Sabtu, 04 Februari 2017

JURNAL TENTANG PERAN DA’IYAH DALAM MASYARAKAT



PERAN DA’IYAH DALAM MASYARAKAT


Oleh : Sakdiah, M.Ag
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Darussalam-Banda Aceh

Abstrak
Peran dā'iyah di masyarakat tidak hanya cukup dengan dak’wah dalam bentuk konsep normatif saja, akan tetapi lebih mendalam jika dā'iyah mencari metode dakwah berdasarkan fakta empiris yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang pada dasarnya tidak sama, untuk itu dā'iyah tetap memposisikan keberpihakannya kepada kepentingan masyarakat, sehingga masyarakat akan merasa kehadiran dā'iyah bukan hanya sebagai penyuluh tetapi memberi dan mencari solusi terhadap kebutuhan umat. Pengkajian ini diharapkan dapat menemukan peran da’iyah yang efektif dalam berda’wah di masyarakat. Sehingga hambatan-hambatan yang dirasakan dā'iyah selama ini dapat diminimalisir untuk mempermudah dā'iyah berkiprah baik dalam lingkup kecil maupun di dunia publik. Dari  hasil kajian terhadap masalah ini, ternyata peran  yang efektif bagi dā'iyah dalam berda’wah di masyarakat adalah melalui uswah di rumah sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya, di lingkungan tempat tinggal dan di lingkungan kerjanya melalu metode bi al-lisān, bi al-hāl, bi al-ḥikmah, maw’iẓat al-ḥasanah, mujādalah bi al-lati hiya aḥsan. Dari sekian metode, metode yang paling tepat digunakan oleh dā'iyah adalah metode ḥikmah dengan mengajak manusia dengan bijaksana ke jalan yang benar, yang dapat menyentuh kalbu manusia. Sementara metode bi al-lati hiya aḥsan tepat digunakan dalam kondisi dan situasi dialog dan diskusi guna membantah kemaksiatan dengan cara yang baik dan tepat. Dari beberapa metode ini diharapkan dā'iyah bukan hanya mampu berbicara tetapi juga berbuat sesuai dengan anjuran da’wah.

Kata Kunci : Peran, da’iyah, masyarakat

Abstract
Dā'iyah role in society is not only enough with propaganda in the form of normative concept, but also more profound if dā'iyah looking for methods of propaganda based on empirical facts that according to the situation and condition of the people who are basically the same, to keep it dā'iyah keberpihakannya position to the benefit of society, so that people will feel the presence of dā'iyah not only as an educator but give and seek solutions to the needs of the people. This assessment is expected to find da'iyah effective role in preaching in public. So the perceived barriers dā'iyah during this time can be minimized to facilitate dā'iyah take part in both the small sphere and in the public world. From the results of the study on this issue, it turns out an effective role for dā'iyah in preaching in the community is through uswah at home as a wife and mother to their children, in neighborhoods and in the work environment through bi al-oral method, bi al-ways, bi al-Hikmah, maw'iẓat al-hasanah, Mujadalah bi al-lati hiya Ahsan. Of the methods, the most appropriate method is the method used by dā'iyah wisdom to bring people wisely to the right path, that can touch the hearts of people. While the method of bi al-lati Ahsan hiya appropriately used in the conditions and situations of dialogue and discussion to argue disobedience in a way that is good and right. From some of these methods are expected dā'iyah not only able to speak but also act in accordance with the recommendation of proselytizing.
A.      Pengertian Daʻīyah 
            Kata daʻīyah berasal dari bahasa Arab (etimologi), yaitu dari kata:
دعا – يدعو – دعاء – دعوى – دعوة – دعاية.
Artinya: Panggilan, seruan, do’a, ajakan undangan dan propaganda.[1]
Sedangkan daʻīyah mempunyai arti menyeru, memanggil, mengajak dan melayani.[2] Selain itu juga bermakna mengundang, menuntun dan menghasung. Sedangkan menurut terminologi (istilah) daʻīyah dengan sudut pandang masing-masing. Di antaranya:
Menurut M. Arifin, daʻīyah mengandung pengertian sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun secara kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, pengayaan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai message yang disampaikan kepadanya tanpa ada unsur-unsur paksaan.[3]
Sebagai subjek dakwah, selain istilah daʻīyah juga dikenal dengan sebutan mubaligh atau muballighah. Kedua istilah tersebut secara tidak langsung kita temukan dalam al-Qur’ān. Untuk istilah pertama antara lain disebut dalam surat al-Mā’idah ayat 67,[4] dan istilah kedua seperti tercantum pada surat Fuṣṣilat ayat 33,[5] berarti daʻīyah orang yang mengajak, sedangkan muballighah adalah orang yang menyampaikan. Istilah daʻīyah sesungguhnya lebih luas maknanya daripada kata muballighah.[6]
Daʻīyah (Isim fāʻil), yaitu pelaku atau subjek dalam kegiatan dakwah. Kedudukannya adalah sebagai unsur pertama dalam sistem dan proses dakwah. Oleh sebab itu keberadaannya sangat menentukan, baik dalam pencapaian tujuan maupun dalam menciptakan persepsi madʻuw yang benar dalam Islam.
Daʻīyah (berasal dari bahasa Arab)[7] juga didefinisikan oleh pemikir dalam berbagai pengertian. Perbedaan pengertian tersebut antara lain disebabkan oleh berbedanya sudut pandang yang digunakan oleh mereka dalam memahami dan memandang substansi dan cakupan kegiatan daʻīyyah. Agar tidak salah pengertian dalam memahami konsep daʻīyyah dalam tulisan ini, berikut akan dipaparkan beberapa pengertian konsep yang bagaimana yang akan menjadi acuan.
Syaikh ʻAli al-Mahfuz dalam bukunya Hidayat al-Mursyidin, mendefinisikan daʻīyah dengan “mendorong manusia agar memperbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan mungkar agar mereka mendapat kebahagiandi dunia dan akhirat.
Menurut Bisri Affandi, dalam kata pengantar buku Nursyam, daʻīyah dapat diartikan “sebagai orang yang menyampaikan agama Islam kepada umat manusia”. Selanjutnya ia katakan, sebagai orang yang menyampaikan tugas daʻīyah bukan hanya menyeru atau mengajak, tetapi merupakan usaha untuk mengubah way of thinking, way of feeling dan way of life manusia sebagai sasaran dakwah ke arah kualitas kehidupan yang lebih baik.[8]
Menurut Muhammad Natsir, daʻīyah berarti usaha manusia (dari seorang muslim) yang ditujukan untuk menerapkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan.[9] Menurut Pedoman pembinaan Kader Daʻwah yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Dak’wah Islāmiyyah, daʻīyah mengandung pengertian:
      1.      Orang (perempuan) yang melaksanakan amanat Allah swt yang meliputi amanat dan khalifah
      2.      Orang yang menegakkan amar maʻruf dan memberantas kemungkaran
      3.      Merubah situasi yang buruk kepada situasi yang baik
      4.      Orang yang memperbaiki dan membina masyarakat (Islā̱ḥ)
      5.      Orang yang merealisasikan ajaran Islām dalam segenap aspek hidup dan kehidupan manusia.[10]
Menurut Endang Saifuddin Anshari, setelah ia memaparkan beberapa pengertian daʻīyah oleh tokoh-tokoh pemikir dak’wah Indonesia, menyimpulkan pengertian daʻīyah ada dua macam, yaitu:
     1.     Pengetian daʻīyah dalam arti terbatas, yaitu orang perempuan yang menyampaikan Islām kepada manusia secara lisan maupun tulisan ataupun secara lukisan (panggilan, seruan, ajakan kepada manusia pada Islām).
     2.     Pengertian daʻīyah dalam arti luas, yaitu orang yang menjabarkan, menterjemahkan dan melaksanakan Islām dalam kehidupan dan penghidupan manusia (termasuk di dalamnya politik, ekonomi, sosial dan sebagainya).[11]
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa kegiatan da’wah yang dilakukan para daʻīyah secara luas tidak hanya terbatas dalam satu bidang saja, melainkan mencakup secara menyeluruh dalam berbagai aspek, termasuk bidang pendidikan, politik, budaya dan sosial ekonomi. Kegiatan da’wah yang dilakukan daʻīyah dapat dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah.
Sedangkan al-Bayanuni, setelah dia mendalami kegiatan da’wah yang dilakukan oleh Rasulullah dan menyeleksi beberapa pengertian daʻīyah yang telah dikemukakan oleh beberapa tokoh, maka ia menyimpulkan pengertian daʻīyah menurutnya ialah “wanita yang menyampaikan dan mengajarkan al-Islām kepada manusia serta penerapannya dalam kehidupan nyata”.[12]
Menurut Amrullah Ahmad (ed). Dalam bukunya Da’wah dan Perubahan Sosial, daʻīyah pada hakikatnya merupakan orang yang mengaktualisasikan imani yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusiawi pada kenyataan individual serta sosial kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islām dalam semua segi kehidupan manusia, dalam menggunakan cara tertentu.[13]
Dari beberapa pengertian daʻīyah tersebut dapatlah disimpulkan bahwa daʻīyah adalah salah satu profesi yang harus dijalankan oleh setiap wanita muslim berupa kegiatan mengajak orang lain dengan bijaksana untuk meyakini nilai-nilai Islam, memahami dan mematuhi aturannya secara sempurna melalui seruan kata-kata (lisān) atau tulisan atau pendidikan dan pengajaran sesuai kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Berbarengan dengan upaya penterjemahan/pengejewantahan petunjuk serta nilai Islam itu ke dalam aktivitas dan kebijakannya berkaitan dengan status dan peranannya dalam masyarakat, dalam rangka terwujudnya dan berkesinambungannya kehidupan Islami secara individual dan sosial dalam suatu masyarakat di mana ia berada.
Jadi inti dari kegiatan da’wah para daʻīyah adalah ajakan/seruan kepada Islam melalui kata-kata dan upaya serta kegiatan pengejewantahan petunjuk dan nilai-nilai Islam ke dalam pranata dan sistem kehidupan dalam segala aspek-aspeknya. Pengertian daʻīyah seperti ini sejalan dengan pengertian al-Bayanuna, Muhammad Natsir, Endang Saifuddin Anshari, yaitu mencakup pengertian daʻīyah secara sempit dan pengertian daʻīyah secara luas.
Berdasarkan analisis terhadap berbagai rujukan, persepsi umum dari masyarakat, daʻi atau daʻīyah adalah identik dengan muballigh, yaitu orang yang mengajak atau menyampaikan agama Islam kepada jama'ah dan biasanya melalui mimbar.
Sesunggunhya jia merujuk kepada tiga bentuk da’wah, bi al-lisān, bi al kitābah dan bi al-ḥāl, persepsi di atas adalah keliru. Para cendikiawan muslim telah lama mempersoalkan persepsi itu, dan menghendaki agar pengertian daʻīyah supaya diperluas, meskipun mereka tidak memberikan batasannya, tetapi dapat dipahami, bahwa mereka juga ingin disebut sebagai daʻi atau daʻīyyah.
Bertitik tolak dari uraian dan pandangan di atas, maka perlu adanya redefenisi daʻīyah. Jadi daʻīyah adalah orang yang menyampaikan dan mengajak serta merubah sesuatu keadaan kepada yang lebih baik, berdasarkan indikasi yang digariskan oleh agama Islam. bila disepakati, batasan tersebut lebih sesuai dengan keberagaman masyarakat muslim dalam penguasaan ilmu, kemampuan dan profesi. Dengan demikian, setiap individu muslim dapat melaksanakan peran ke daʻīyahan sesuai dengan bidang masing-masing.

B.       Masyarakat
Lingkungan masyarakat yang menjadi salah satu lingkungan hidup bagi setiap manusia merupakan salah satu hubungan sesama manusia (hablun min al-nās) dari masyarakat. Al-Banna berprinsip bahwa tanah air umat Islam adalah seluas tempat berdomisili mereka.[14] Untuk itu dakwah Islampun harus ditunjukan kepada seluruh umat Islam, dengan tidak perlu membedakan letak geografis, bahasa dan warna kulit. Untuk menjangkau wilayah dakwah yang luas itu, maka setiap pribadi muslim punya kewajiban untuk berdakwah atau setidak-tidaknya mereka ikut memberikan dorongan dan dukungan.
Selain itu, gerakan dakwah yang dilakukannya bertujuan untuk menggalang persatuan di kalangan umat Islam, sehingga menjadi umat yang satu (ummatan wahidan) sebagaimana telah diisyarakatkan oleh al-Qur’ān (Q.S. 23: 52). Lebih jauh dari itu, umat Islam diharapkan dapat menjadi saksi kepada seluruh manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut maka umat Islam harus unggul dalam berbagai bidang kehidupan.
Hasan al-Banna dalam gerakan dakwahnya meliputi tiga bentuk yaitu dakwah bi al-lisān, bi al-kitābah dan bi al-hāl. Dakwah bi al-lisān, secara kontinyu dilakukan oleh Hasan al-Banna tatkala ia ditugaskan sebagai guru di Ismaʻilliyah pada tahun 1927. Di luar tugas mengajar dimanfaatkan kesempatan untuk mengunjungi berbagai tempat. Sebagaimana diungkapkan oleh ‘Abdul Mutaʻal al-Jabari ia menjadikan warung kopi sebagai basis kegiatan dakwahnya. Pendekatan yang digunakannya melalui cerita. Ia menceritakan tentang sejarah Rasul, sahabat dan para mujahid agung sepanjang sejarah Islam.
Dari waktu-kewaktu tampaknya para pendengar makin bertambah banyak dan di sini Hasan al-Banna menemukan bahwa dalam hati umat Islam masih tersimpan keimanan tersembunyi dan sangat mungkin untuk dibangkitkan. Untuk memikat umat ia juga menggunakan pendekatan tabsyīr,[15] yaitu memberikan khabar gembira dan menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dikerjakan.
Di samping itu Hasan al-Banna melakukan dakwah dari rumah ke rumah (door to door) atau yang dikenal dengan dakwah fardiyah. Secara bertahap dan dengan sikap lemah lembut umat diajaknya ke masjid. Lalu secara periodik dilaksanakan pengajian tetap antara Magrib dan Isya.

C.      Pendekatan Sosio-Psikologis dalam Berdakwah
Islam sebagai al-Dīn Allah[16] merupakan manhaj al-hayāt atau way of life, atau acuan dan kerangka tata nilai kehidupan. Oleh karena itu, ketika komunitas muslim berfungsi sebagai sebuah komunitas yang ditegakkan di atas sendi-sendi moral imani, Islam dan taqwā serta dapat direalisasikan dan dipahami secara utuh dan terpadu merupakan suatu komunitas yang tidak ekslusif, karena bertindak sebagai "ummatan wasaţan,"[17] yaitu sebagai teladan di tengah arus kehidupan yang serba kompleks, penuh dengan dinamika perubahan, tantangan dan pilihan-pilihan yang terkadang sangat dilematis.
Masuknya berbagai ajaran atau pemahaman yang tidak relavan dengan nilai-nilai agama, membuat masyarakat menjadi bingung mereka mengikuti arus perubahan itu secara spontan.[18] Hal tersebut dapat saja berakibat terjadinya kecenderungan yang membawa agama menjadi tidak berdaya terlebih ketika agama tidak lagi dijadikan sebagai pedoman hidup dalam berbagai bidang. Hal ini akan menerpa ummat Islam bila agama tidak lagi berfungsi secara efektif dalam kehidupan kolektif. Tentu keadaan ini dapat berpengaruh apabila pemeluk agama gagal memberi suatu peradaban alternatif yang benar yang dituntut oleh setiap perubahan sosial yang terjadi.
Di samping itu disadari atau tidak, umat Islam telah dipengaruhi oleh gerakan modernisme yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Di mana perkembangan modernisme memberikan tempat dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap hal yang bersifat materil. Implikasinya adalah kekuatan iman yang selama ini dimiliki oleh umay Islam semakin mengalami degradasi, yang menyebabkan kemiskinan spiritual.
Melihat berbagai fenomena di atas, para dāʻiyah harus mencari solusi terbaik yang dikehendaki oleh umat Islam, yaitu melaksanakan dakwah secara efektif, efesien dan berkesinambungan.
Agar dakwah dapat mencapai sasaran strategis jangka panjang, maka tentunya diperlukan suatu sistem manajerial komunikatif baik dalam penataan perkataan maupun perbuatan yang sangat relavan dan terkait dengan nilai-nilai ke-Islaman, dengan adanya kondisi seperti itu, maka para dāʻiyah harus mempunyai pemahaman yang mendalam bukan saja menganggap bahwa dakwah adalah frame "amar maʻrūf nahi mungkar" hanya sekedar menyampaikan saja, melainkan harus memenuhi beberapa syarat di antaranya mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek dakwah secara tepat, memilih metode yang representatif, menggunakan bahasa yang bijaksana dan sebagainya. Dari semua aspek di atas akan menjadi stressing point pembahasan dalam metode dakwah.
Al-Qur’ān menyebutkan kegiatan dakwah dāʻiyah dengan aḥsanul qaula (ucapan) dan perbuatan yang baik disebutkan dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (فصلت: ٣٣)
Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang ṣalīh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri." (Q.S. al-Fuṣṣilat: 33).
Dakwah seperti yang diungkapkan dalam ayat tersebut tidak hanya dakwah berdimensi ucapan atau lisan tetapi juga dakwah dengan perbuatan yang baik (uswah) seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Sejalan dengan ungkapan dalan Surat Fuṣṣilat: 33 di atas, al-Qur’ān memberikan bimbingan agar ummat Islam berdakwah dengan baik sesuai dengan ayat al-Qur’ān:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل: ١٢٥)
Artinya: Suruhlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Naḥl: 125).
Lafadz al-ḥikmah dalam ayat di atas mengandung pengertian yang sangat luas,[19] salah satu format dakwah yang terkandung dalam lafadz bi al-ḥikmah adalah metode bi al-lisān, al-hāl. "Ḥikmah" inilah yang menjadi persyaratan bagi setiap dāʻiyah atau muballighah dalam berdakwah.
Menghadapi masyarakat yang masih rendah daya tangkapnya, tentu tidak sama dengan menghadapi masyarakat kelas menengah dan tinggi. Oleh karena itu, dāʻiyah itu sendiri yang perlu mengklasifikasikan, tingkatan masyarakat manakah yang dihadapinya.
Nabi Muhammad sendiri telah memberikan contoh dalam banyak kegiatan dakwah. Sebelum terjun ke gelanggang dakwah ia terlebih dahulu berhitung dan mempersiapkan materi dakwah sesuai dengan ukuran daya tangkap orang yang akan menerimanya, dan itulah sebabnya beliau sendiri telah berpesan "Nasihatilah manusia menurut ukuran akalnya" dan inilah yang merupakan faktor suksesnya Nabi Muhammad dalam berdakwah.[20]
Dakwah dalam perspektif psikologi merupakan satu realitas upaya transformasi idealisme kondisi mental dan perilaku yang di dalamnya terlibat aspek-aspek kejiwaaan manusia dan interaksi manusia dengan yang lain. Konsep ideal tentang kondisi mental dan prilaku dalam dakwah bertitik tolak dari konsep ajaran agama. Ia bisa berupa idealisme moral yang filosofis, namun dalam hubungannya dengan kajian akwah ini, ia harus observabel, artinya konsep-konsep ajaran tersebut harus dapat diukur dalam realitas penerapan kehidupan manusia. Setidaknya penerapan metodologis ini paling tidak menghasilkan dua keuntungan metodologis, yaitu (1) metodologi ini berfungsi sebagai upaya mengantisipasi timbulnya ideologisasi yang berlebihan oleh mitos-mitos yang mungkin dapat ditimbulkan oleh metodologi sosio-analisis, di mana pengkajian dapat tenggelam pada pemakaian konsep-konsep rasional yang "melambung" namun sebenarnya belum terbukti aplikasinya (belum teruji secara empiris) (2) mengantisipasi bahaya perkembangan pemikiran yang mengarah kepada pembentukan konsep-konsep atau teori-teori idealis tentang mental dan prilaku keagamaan yang dapat timbul oleh interpretasi-interpretasi yang terlalu dogmatis dan subyektif, baik oleh pemikiran individu maupun dihasilkan oleh perjalanan sejarah pemikiran.[21]
Bidang kajian dari psikolog meliputi masalah prilaku dan proses mental yang melatar belakangi dan mengikutinya. Perilaku merupakan hal yang nampak (dapat dideteksi oleh indera), sedang proses mental merupakan sesuatu yang tidak nampak. Dua hal ini merupakan realitas yang berbeda namun saling berkaitan,[22] maksudnya pembahasan psikologis tidak hanya memisahkan dan membahas satu perilaku atau kondisi mental sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Untuk memberikan kejelasan tentang pendekatan sosio-psikologis dāʻiyah dalam berdakwah dapat diterapkan melalui beberapa langkah berikut ini:

1.    Melalui Dakwah Bi al-Lisān al-Hāl
Dakwah secara lisān sesungguhnya telah memiliki usia yang sangat tua, yakni setua umur manusia. Ketika Nabi Ādam mengajak anaknya Qabīl dan Ḥabīl untuk mentaʻati perintah Allah, Ādam telah berdakwah secara lisān. Demikian halnya Nabi dan Rasul yang lain telah melakukan hal yang sama, di samping berdakwah melalui tulisan dan keteladanan. Nabi Muhammad pada permulaan kerasulannya juga berdakwah secara lisān meskipun pada saat yang sama beliau secara simultan melakukan dakwah bi al-hāl dan kemudian juga berdakwah dengan tulisan (bi al-kitābah).
Dakwah bi al-lisān yang hampir sama dengan tablīgh secara umum dibagi kepada dua macam. Pertama, dakwah secara langsung atau tanpa media, yaitu antara dāʻiyah dan madʻuw berhadapan wajah (face of face). Dalam ilmu komunikasi hal semacam ini disebut komunikasi primer. Kedua, dakwah yang menggunakan media (channel), yaitu antara dāʻiyah dan madʻuw tidak saling berhadapan dan media komunikasi seperti ini disebut dengan komunikasi sekunder. Dakwah melalui media seperti ini: televisi (tv), radio, film, tape dan media lainnya.
Dakwah tanpa media (face of face), juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu dakwah yang ditujukan kepada kelompok (jamāʻah) dan kepada person madʻuw yaitu yang dikenal dengan dakwah fardiyyah melalui komunikasi interpersonal. Dakwah yang ditujukan kepada kolektif umat Islam (jamāʻah), seperti: pengajian atau ceramah rutin, khutbah, peringatan hari-hari besar Islam, dan bentuk-bentuk pertemuan lainnya yang bersifat kolektif. Menurut ‘Abdullah kegiatan dalam bentuk ini memiliki beberapa keunggulan di antaranya;
"Dāʻiyah dapat lebih memahami kondisi objektif madʻuwnya, respon dari madʻuw dapat diterima secara langsung oleh dāʻiyah, dāʻiyah dapat menyesuaikan materi ceramah dengan tingkat pendidikan dan daya nalar madʻuw, dapat terjalin hubungan yang lebih harmonis antara dāʻiyah dan madʻuw."[23]

Dakwah di samping harus memanfaatkan berbagai media komunikasi modern, juga harus tetap mempertahankan komunikasi lisān. Khutbah Jum’at misalnya sebagai suatu bentuk dakwah tatap muka, keberadaannya tidak dapat diubah dengan bentuk lainnya, karena syariʻat telah menetapkan demikian pelaksanaannya.
Bila kita telusuri sejarah dakwah Islam pada masa Rasulullah saw, bahwa Nabi mulai berdakwah sejak turun wahyu yang kedua (Q.S. al-Muḍḍathir, 74: 1-5). Kegiatan dakwah pada waktu itu masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia. Dakwah dalam keadaan seperti ini berjalan selama 3 tahun.
Pada periode ini dakwah yang dilakukan oleh Rasul adalah secara fardiah yaitu Nabi mendakwahkan mereka secara pribadi atau individu, mereka yang pertama sekali menyatakan diri masuk Islam (asabiq al-awwalūn) adalah mereka yang selama ini dekat dengan Nabi Muhammad dan amat mengetahui tentang pribadi Nabi secara baik.
Pengiriman sejumlah dāʻiyah untuk melaksanakan tugas dakwah juga dilakukan dengan cara lisān. Hal ini dilakukan karena ada permintaan masyarakat menyangkut persoalan umat dan masalah-masalah yang dianggap perlu dalam mengembangkan misi dakwah pada waktu itu.
Dakwah bi al-Lisān mempunyai arti "memanggil, menyeru ke jalan Tuhan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat dengan menggunakan ucapan (bahasa) yang dapat dipahami oleh orang lain. Bahasa dalam konteks dakwah adalah segala hal yang berhubungan dengan keadaan mad'uw baik fisiologis maupun psikologis.[24]
Dalam pembahasan konteks dakwak bi al-lisān, seorang dāʻiyah bukan hanya mampu berbicara lewat lisan dan menggunakan bahasa secara baik dan santun, tetapi antara ucapan dan perbuatannya harus sesuai, sehingga dakwah dalam bentuk ini di sebut dakwah bi al-lisān al-hāl.
Dalam sebuah tulisannya, M. Yunan Yusuf mengungkapkan bahwa istilah dakwah bi al-lisān al-hāl dipergunakan untuk merujuk kegiatan dakwah melalui aksi atau tindakan/perbuatan nyata.[25] Karena merupakan aksi atau tindakan nyata maka dakwah bi al-lisān al-hāl lebih mengarah kepada tindakan menggerakkan "aksi menggerakkan" madʻuw sehingga dakwah ini lebih berorientasi pada pengembangan masyarakat.
Usaha pengembangan masyarakat Islam memiliki bidang garapan yang luas meliputi pengembangan pendidikan, ekonomi dan sosial, masyarakat. Pengembangan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa pendidikan harus diupayakan untuk menghidupkan kehidupan bangsa yang maju, efesien, mandiri terbuka dan berorientasi ke masa depan. Pengembangan pendidikan mesti pula mampu meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan diharapkan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam bidang ekonomi, pengembangannya dilakukan peningkatan minat dan etos kerja yang tinggi serta menghidupkan dan mengoptimalkan sumber ekonomi umat. Sementara pengembangan sosial kemasyarakatan dilakukan dalam rangka merespon problem sosial yang timbul karena dampak modernisasi dan globalisasi, seperti masalah pengangguran, tenaga kerja, penegakan hukum, HAM, dan pemberdayaan perempuan.
Kegiatan dakwah ditugaskan untuk meningkatkan kualitas umatnya yang pada akhirnya akan membawa adanya perubahan sosial, karena pada hakikatnya Islam menyangkut tataran kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat (sosio-kultural).

2.    Melalui Tulisan (Media Cetak)
Berdakwah menggunakan sarana media cetak memerlukan bakat pengarang karena media cetak merupakan sarana komunikasi tulisan. Banyak dāʻiyah yang mampu berbicara memikat di atas mimbar tetapi tidak mampu menuangkannya dalam sebuah karya ilmiyah. Jadi, frekwensi dakwah bi al-lisān jauh lebih besar daripada dakwah bi al-kitābah. Tetapi, banyak pula dāʻiyah yang mampu menyampaikan dakwah dengan baik di atas mimbar dan hebat pula menggagas ide-ide cemerlang dakwah dalam bentuk tulisan.
Dakwah melalui tulisan, juga merupakan media awal yang sama usianya dengan media tatap muka. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah: "Tulislah apa yang telah terjadi, dan apa yang akan terjadi sampai hari kiamat, baik perbuatan, peninggalan, maupun pemberian. Lalu, al-Qalampun menuliskan apa yang telah terjadi dan yang akan terjaddi sampai hari kiamat."
"Sesungguhnya apa yang pertama diciptakan Allah adalah al-Qalam, kemudian Allah menciptakan Nur yakni tinta." Media cetak yang berisi dakwah sudah cukup berkembang. Majalah Islam, Soeloeh Islam, Semangat Islam, dan al-Lisān. Pada zaman kemerdekaan pernah pula jaya majalah-majalah Islam seperti Gema Islam. Dewasa ini ada "Majalah Risalah," "Suara Masjid," "al-Muslimun," Panji Masyarakat, Amanah, Kiblat, Risalah serta Ulumul Qurʻān,[26] tetapi tiras-majalah-majalah tersebut sangat tidak seimbang dengan jumlah umat Islam yang hidup di Indonesia. Bahkan di antara penerbitan tersebut ada yang seperti hilang timbul. Kurang maraknya tiras majalah atau media cetak dakwah Islamiyah ini suatu hal yang sangat memprihatinkan di tengah-tengah derasnya masuk penerbitan berupa buku-buku dan majalah yang membawa limbah-limbah budaya.

3.    Melalui Media Elektronik
a.    Melalui Radio
Hampir seluruh radio siaran yang menyelenggarakan siaran di Indonesia menyajikan informasi, edukasi, dan hiburan. Siaran keagamaan termasuk fungsi edukasi. Dalam sejarahnya, RRI Jakarta ketika kebangkitan orde baru, menjadi sangat terkenal dengan acaran siaran "Kuliah Shubuh" yang diselenggarakan oleh almarhum Buya Hamka. Kepeloporan kuliah subuh RRI itu sekarang marak melalui radio siaran swasta, bahkan juga diikuti oleh tv-tv swasta.
Dakwah melalui radio siaran dan tv siaran cukup efektif karena besarnya jumlah pendengar dan pemirsa yang mengikuti acara kuliah shubuh itu dengan nomen latur yang beraneka, seperti "Hikmah Fajar", "Di Ambang Fajar", Baiturrahman, semuanya membawa pesan dakwah yang disampaikan oleh para dāʻī dan dāʻiyah terkemuka. Bentuk acaranya ada yang bersifat dialogis (berbincang-bincang) ada juga yang bersifat monologis (seorang dāʻiyah sendirian tampil di corong radio atau di depan kamera televisi). Bagi para dāʻiyah yang mempergunakan radio sebagai media dakwah harus memperhatikan karakteristik radio siaran, yaitu:
  1. Sifat siaran radio hanya untuk didengar (audialhearable),[27]
  2. Bahasa yang dipergunakan haruslah bahasa tutur,
  3. Orang mendengar radio dalam keadaan santai, bisa sambil mengemudi, sambil tiduran, sambil bekerja dan sebagainya,
  4. Siaran radio mampu mengembangkan daya reka,
  5. Siaran radio hanya bersifat komunikatif satu arah.
Media radio siaran dianggap sebagai media komunikatif efektif karena: Memiliki daya langsung, memiliki daya tembus, memiliki daya tarik. Dengan daya langsung, peran dakwah dapat disampaikan secara langsung kepada khalayak. Proses penyampaiannya tidak begitu komplek dari ruangan siaran radio di studio melalui saluran modulasi diteruskan ke pemancar lalu sampai ke pesawat penerima radio. Pesan dakwah langsung diterima di mana saja, di kantor, di kamar tidur, di sawah, di dalam mobil dan lain-lain. Media radio dapat pula langsung menyiarkan suatu peristiwa, langsung dari tempat kejadian (on the spot reporting).[28]
Di samping itu radio memiliki daya tembus. Siaran radio menjangkau yang luas. Semakin kuat pemancarannya semakin jauh jaraknya. Pemancaran yang bergelombang pendek (shot wave) dengan kekuatan 500-1000 KW dengan gelombang antenna tertentu dapat menjangkau seluruh dunia.
Radio juga memiliki daya tarik. Daya tarik media siaran radio ialah terpadunya suara manusia, suara musik, dan bunyi tiruan (sound effect) sehingga mampu mengembangkan daya peka pendengarannya. Sebuah sandiwara radio yang dikemas secara baik akan mampu menarik pendengarnya. Berdakwah dengan mempergunakan paket produksi sandiwara radio cukup efektif. Banyak sandiwara radio yang berisikan dakwah, antaranya dalam tahun 1950-an ialah sandiwara radio yang berjudul "sinar memancar dari jabbal nur" karya almarhum penyair Bahrum Rangkuti.[29]
b.   Berdakwah melalui media televisi
Media televisi adalah media audio-visual yang disebut juga media dengar pandang, atau sambil didengar langsung dapat dilihat. Dibandingkan dengan media siaran radio siaran, penanganan produksi dan penyiaran media televisi jauh lebih rumit dan kompleks dan biaya produksinyapun jauh lebih besar. Berbeda dengan media radio yang menstimulasi daya reka (imajinasi) pendengarnya, maka media televisi bersifat realitas, yaitu menggambarkan apa yang nyata. Pemirsa tayangan televisi tidak mungkin sesantai mendengar radio. Kita tidak mungkin memirsa tv sambil mengemudikan kendaraan, atau sedang memacul di sawah, sedang komunikasi di kantor dan sebagainya. Tetapi persamaannya tetap ada yaitu sifat bahasa tutur. Seorang dāʻiyah yangtampil di depan kamera tv dapat menyesuaikan diri dengan karakteristik kamera saat peralatan lain yang menopang suatu produksi audio-visual, seperti cahaya (lighting) yang tersorot ke wajahnya. Ketidak biasaan berbicara di bawah sorotan cahaya lampu yang ribuan watt dan di depan kamera peralatan studio yang canggih dapat membuat seorang dāʻiyah menjadi tidak nyaman dan kaku. Kekakuan di hadapan kamera membawa dampak tegang dan tidak santai yang berakibat arus pesan komunikasi dakwah yang disampaikan menjadi tersendat-sendat.
Dāʻiyah yang tampil di depan kamera seyogyanya tidak mempergunakan naskah. Kadang-kadang untuk menghindari "kebingunan" dengan idiot board, yaitu pointers yang akan dibahas dituliskan dalam kartu-kartu besar yang berada di hadapan seorang dāʻiyah. Bagi seorang yang berdakwah di depan kamera televisi, selain mengendalikan fleksibelitas suaranya, tidak kalah penting adalah faktor gerak anggota tangannya. Penampilan diri di depan kamera memerlukan pula perhatian atas busana yang dikenakan dengan warna yang harus sesuai dan serasi dengan tv dan warna yang dimiliki oleh pemirsa.
Dāʻiyah yang tampil di depan kamera tv harus mampu mempersembahkan pribadi yang menyenangkan, suara yang menarik serta keserasian suara dan wajah. Semuanya itu haruslah diciptakan oleh pribadi orang yang tampil di depan kemera haruslah dapat membayangkan seolah-olah kita berbicara akrab dengan seorang di depan kita.

4.    Melalui Pendidikan
Pada masa Nabi, dakwah lewat pendidikan dilakukan beriringan dengan masuknya Islam kepada para kalangan sahabat. Begitu juga pada masa sekarang, pendekatan pendidikan teraplikasi dengan lembaga-lembaga pendidikan pesantren, yayasan yang bernuansa Islam ataupun Perguruan Tinggi yang di dalamnya terdapat mater-materi ke-Islaman.[30]
Berbicara tentang pendidikan dalam kedudukannya sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri. Biasanya tidak dimasukkan dalam kategori publisistik atau propaganda. Akan tetapi dapat dipandang sebagai metode dakwah jangka panjang. Kita maklum bahwa dakwah meliputi segala tindakan untuk meluruskan fikiran dan tindak tanduk manusia menurut ajaran Islam. Karena pendidikan memegang peranan yang sangat penting di dalam proses perkembangan individu, maka dakwah dapat menggunakan proses pendidikan ini sebagai medianya. Melahan pendidikan (tarbiyah) merupakan gelanggang dakwah jangka panjang yang paling efektif.
Seorang anak yang masih dalam fiţrah kesuciannya, "dijemput baik" agar ia tetap mempertahankan kesuciannya itu. Kemudian ia diisi dengan pengertian iman dan tawhīd, Islam dan Ihsān. Sudah tentu bidang ini memerlukan kesabaran dan ketekunan.
a.    Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan dakwah utama dan pertama diterima anak dalam hidupnya. Anak yang lahir dan berada dalam lingkungan keluarga yang taat menjalankan agama akan tumbah dengan sifat-sifat dan pribadi yang mulia. Ibu sebagai pendidik utama dalam keluarga memegang peranan penting dalam menentukan pribadi anak-anaknya. Hal senada juga tersikap dalam sebuah ḥadīth:
كل مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه (رواه البخارى)
Artinya: “Tiap-tiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci (fiţrah) maka kedua orang tuanyalah yang meyahudikan, menasranikan dan memajusikan.”[31]

Ḥadīth di atas menjelaskan bahwa anak-anak itu dapat dimbimbing atau diarahkan oleh orang tuanya, terutama ibunya karena sejak kecil perlu ditanamkan perasaan kasih sayang terhadap saudara, menghormati sesame, memelihara tingkah laku yang baik, menyukai bacaan yang mengandung hikmah.
Dr. Zakiyah Daradjat mengatakan:
"Jika kita menginginkan anak-anak dan generasi yang baik di masa mendatang dengan tumbuh kearah yang hidup bahagia-membahagiakan, tolong-mrnolong, jujur, benar dan adil maka mau tidakmau penanaman jiwa agama yang bertaqwa perlu dibina sejak kecil, karena kepribadian mental dan unsurnya terdiri antara lain keyakinan beragama itu akan dapat mengendalikan kelakukan dan tindakan sikap dalam hidup, karena mental yang sehat penuh dengan keyakinan beragama itulah yang menjadi polisi pengawas dari segala tindakan."[32]

Selanjutnya Zakiah Daradjat mengemukakan: kebiasaan yang baik dan sesuai dengan jiwa sianak, apabila orang dewasa disekitarnya memberikan contoh-contoh yang baik itu dalam kehidupan mereka sehari-hari kepada anak-anak yang lebih cepat meniru dari pada mengerti kata-kata yang abstrak itu.[33]
Hal senada juga sesuai dengan pendapat para ahli pendidikan bangsa Barat, John Lock dalam teorinya "tabularasa" mengatakan "bahwa sejak kecil jiwa anak seperti kertas putih, yang bersih yang dapat ditulis sesuka hati oleh si pendidik. Oleh karenanya apabila seseorang diajak untuk mengerjakan yang baik sejak ia masih kecil sehingga ia menjadi besar, maka akhirnya para remaja akan terbiasa dengan hal-hal yang baik, sehingga membawa ke arah kebahagiaan. Sehingga mampu mencegah keluarganya dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Pendidikan agama di dalam keluarga adalah salah satu jalan keluar untuk merawat akhlak. Kewajiban yang pertama bagi seorang dāʻiyah di rumahnya adalah berkaitan dengan suami dan anak-anaknya. Mereka harus tumbuh sebagai muslim dan muslimah yang mempunyai rasa bangga dengan intima' mereka terhadap Islam, berakhlak dengan akhlak yang baik antara mereka sendiri atau dengan teman, baik itu di rumah, dengan suami, anak, maupun sesama anggota keluarga.
Yang pertama kali dan terbebani oleh kewajiban ini adalah seorang ibu. Karena seorang ibu merawat anak semenjak kecil dan sering bergaaul dengan mereka. Oleh kerena itu ia lebih banyak berperan dalam membentuk akhlak, kecenderungan dan arah mereka. Berbeda dengan seorang ayah, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan, yang kadang-kadang ia tidak berada di rumah dalam tempo yang tidak sebentar. Lalu apa yang harus dilakukan seorang ibu terhadap anak-anak kecil yang dicintai tersebut, agar mereka berhias dengan akhlak yang Islami, yang semua itu akan membawa manfaat bagi diri dan masyarakat di dunia dan akhirat.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa seorang ibu hendaknya lebih banyak memberikan nasehat dan bimbingan yang baik kepada anak mereka, karena cara ini merupakan alat yang paling ampuh dalam mencegah dan menanggulangi permasalahan anak yang dihadapinya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (التحريم:٦)
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksaan api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S. al-Taḥrim: 6).

Adapun tahapan pemberian pendidikan dan nasehat dapat dilakukan dengan langkah sebagai beriku:
     1)      Memberi qudwah kepada anak-anaknya semenjak indera mereka mulai berfungsi. Agar anak memiliki prilaku yang Islami, maka orang tua harus memberi contoh kepada anak-anak, yaitu dengan konsisten berprilaku dan akhlak Islami baik dalam ucapan maupun perbuatan. Karena anak-anak itu akan tumbuh dengan sifat dan akhlak yang terpuji.
Seorang ibu yang tenang, anaknya akan tumbuh dengan sifat yang sama. Begitu juga dengan seorang ibu yang bertemperamen tinggi, yang cepat emosi hanya karena sebab yang amat sepele, maka anak-anaknyapun akan memiliki sifat yang sama. Seorang ibu yang rajin dan disiplin dalam mengerjakan tugas-tugas rumah serta selalu memperhatikan kerapian dan kebersihan rumah, bisa jadi tidak perlu memerintah anak-anaknya untuk mengerjakan itu semua. Karena secara langsung sifat-sifat itu sudah tertanam dalam diri anak-anak tersebut, demikian pula sebaliknya.
      2)      Memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan menceritakan kepada mereka cerita anak-anak yang dapat melipur mereka, atau yang dapat menanamkan nilai-nilai luhur dan akhlāk mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ (يوسف: ٣)
Artinya: "Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’ān ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum kami mewahyukannya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui." (Yūsuf: 3).
     3)      Jika usia anak semakin tanggap ibu dapat memberikan pengetahuan kepada anak-anaknya tentang mesjid dan pengaruhnya dalam masyarakat Muslim. Faktor yang menyebabkan kekhusyukan dalam şalat, adab yang harus diperhatikan dalam şalat berjamaah dan sifat-sifat pokok lainnya yang harus dimiliki oleh orang-orang yang mendirikan shalat dan beribadah di masjid, agar anak mengetahui dan mentaati adab dan tata cara ketika berada di masjid, tidak berlari-lari, tidak berteriak dan tidak berkata kotor di masjid.
Seorang wanita muslimah hendaknya dalam menjawab setiap pertanyaan anak-anaknya dengan jawaban yang benar, terutama pada usia yang menjadikan mereka ingin mengetahui apa yang ada disekitar mereka dan ingin mengetahui makna pertumbuhan bagian-bagian tubuh mereka (ketika memasuki usia baligh). Jika seorang ibu membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu tanpa suatu jawaban yang memberikan pemahaman mereka (anak-anak) maka ibu telah membiarkan anak-anaknya mendapatkan jawaban dari daya khayal mereka sendiri, atau dari teman-teman yang tidak diinginkan dan berprilaku buruk. Hal ini merupakan suatu kesalah besar dalam mendidik anak.[34]
    4)      Seorang ibu hendaklah memilih teman-teman bagi anak-anak perempuannya, yang berakhlak dan menjadikan aturan Islam sebagai barometer, dan terus menerus memantau persahabatan anak-anaknya, serta berusaha agar persahabatan itu tetap berjalan pada garis yang ditentukan oleh Islam dan tidak diselewengkan pada hal-hal yang negatif yang biasanya terjadi pada anak-anak usia menjelang baligh.[35]

b.   Sekolah
Sehubungan dengan persiapan terjun ke lembaga sekolah, seorang dāʻiyah perlu memperhatikan:
     1)      Kemampuan mengontrol diri
Seorang dāʻiyah harus selalu menguasai diri sendiri, menguasai emosi (perasaan) dan selalu berusaha menjaga agar mental selalu berada dalam keadaan stabil. Untuk itu dāʻiyah tetap menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Gangguan-gangguan dalam rohani dan jasmani biasanya menjadi penghalang untuk mencapai stabilitas perasaan dan pikiran.
Kemampuan mengontrol diri ini perlu selain, untuk menghindari jangan sampai seorang dāʻiyah tergelincir kepada cara-cara yang membawa kepada kegagalan total dan reputasi yang jelek bagi diri dan misi yang dibawakannya.
      2)      Keinginan yang kuat
Sudah menjadi keharusan dalam melaksanakan tugas dakwah, seorang dāʻiyah memiliki keinginan yang kuat dan kerja keras dalam melaksanakannya. Pekerjaan ini dapat terlaksana dengan sempurna jika didorong oleh tingginya minat juang yang dimiliki dāʻiyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ. (العنكبوت: ٢-٣)
Artinya: "Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan berkata: Kami telah beriman, tanpa mendapat ujian (tantangan kebenaran ucapannya itu)? Sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji keimanan orang-orang yang terdahulu. Maka sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang berbohong." (Q.S. al-Ankabūt, 29: 2-3).

Sejarah telah memaparkan kepada kita betapa hebatnya tantangan dakwah yang dialami oleh para dāʻiyah bahkan para nabi-nabi dan rasulnya sekalipun, yang menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh itu selalu mendapat tantangan, namun demikian, mereka pantang mundur dan pantang surut dalam jihadnya. Oleh karena itu setiap dāʻiyah dan muballighah terlebih dahulu menanamkan tekad yang bulat dan keinginan yang kuat dalam melaksanakan tugas dakwah.
      3)      Keyakinan yang tangguh
Seseorang tidak akan mampu meyakinkan orang lain, jika diri sendiri tidak yakin akan kebenaran yang dia sampaikan kepada anak didik. Keragu-raguan merupakan kompilasi batin yang harus diusir, karena ia merupakan penyakit yang memberikan tekanan keseluruh tubuh dan pribadi kita sehingga melahirkan keadaan yang tidak wajar, lutut menjadi gemetar, perasaan dingin. Semua itu membuktikan seorang dāʻiyah di sekolah tidak memiliki ketangguhan yang kuat dalam memegang keyakinan.[36]
      4)      Persiapan yang matang
Banyak yang perlu diperhatikan dāʻiyah (guru) untuk melaksanakan tugasnya di sekolah, tetapi pada umumnya dapat digolongkan kepada 5 bahagian:
a)      Menyiapkan pikiran, idea tau materi dakwah yang akan dikemukakan. Dengan demikian dakwah itu harus jelas temanya (judulnya), misalnya mengenai pendidikan, persatuan, ketawhidan dan sebagainya,
b)      Sistematika bahan-bahan yang akan dikemukakan. Jadi tahap pembicaraan itu disusul dalam bagian-bagian yang teratur. Pembicaraan yang tersusun rapi akan membuat siswa mudah menerima pesan yang disampaikan guru,
c)      Adab dan gaya yang menarik. Hal ini penting karena manusia dalam fiţrahnya senang kepada keindahan atau sesuatu yang dihayati oleh seni,
d)     Mengingat dan menghafalkan babak-babak yang telah disusun itu. Bukan  menghafal seluruh teks,
e)      Mempelajari cara mengucapkan dan merasakan tekanan dan langgamnya.[37]
      5)      Pengetahuan yang Luas
Seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas dalam memberikan berbagai pendidikan dan latihan pada anak didik, dengan pengetahuan yang luas siswa tidak akan merasa jenuh dan bosan menerima pelajaran dari guru tersebut. Memberikan pengetahuan dan mengingatkan kaum wanita akan tugas-tugas mereka terhadap Allah dan sikapnya terhadap perintah Allah dan larangan-Nya.
Mengingatkan kepada siswa bahwa mereka mempunyai keharusan memiliki perhatian terhadap pengetahuan umum dan pengetahuan Islam, memperluas wawasan, serta berprilaku dengan sifat-sifat mulia dan menjauhi sifat-sifat yang jelek.

Kesimpulan
Medan dakwah yang sering digeluti oleh dāʻiyah adalah keluarga, dan sedikit sekali berperan dalam bidang publik, baik melalui media elektronik maupun media lisān dan tulisan. Hambatan ini diakui oleh wanita pada umumnya karena secara fisiologis ia mengalami haid, nifas, hamil, melahirkan dan menyusui, semua ini menjadikan wanita dalam keadaan lemah. Beban psikologis ini terasa berat bagi dāʻiyah jika ia keluar dalam pentas publik, sehingg dāʻiyah terpaksa melakukan ekstra kerja keras dalam membagi waktu antara lapangan rutinitas kegiatannya dengan lapangan dakwahnya. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar, seperti anak, suami, ekonomi, lingkungan sosial dāʻiyah dan wawasan dakwah dāʻiyah.

DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Wawasan Dakwah Kajian Epistimologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah, Medan: IAIN Press, 2002.
Abdullah Syamsuddin, Agama dan Masyarakat, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Adi Sasono, Salusi Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan dan Da’wah, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Al-Kirmany, Şahīh Abī ‘Abdullah Al-Bukhārī, Bisyarhi Al-Kirmany, Juz VIII, Mesir: Al-Baby al-Halaby, 1937.
Ali ‘Abdullah Halim Mahfud, Dakwah Ibu Rumah Tangga, terj. Ali Abdul Halim Mahmud., Jakarta: Studi Press, 1999.
Djamal Abidin, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 1993.
Hamzah Yaʻqub, Publisistik Islam Teknik Daʻwah dan Leadership, Bandung: Diponegoro, 1992.
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1987.
Kartini Kartono, Psikologi Umum, Bandung: Mandar Maju, 1990.
M. Arifin, Ensiklopedi Dakwah, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-Madkhal lal ʻIlm al-Daʻwah, cet. I, Beirut: Muassasah al-Risākah, 1991.
M. Jakfar Puteh, Dakwah Tekstual dan Kontekstual, Banda Aceh, LD-NU Aceh, 2001.
Muhammad Natsir, Fiqhud Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997.
Nursyam, Metode Penelitian Da’wah: Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Da’wah, cet. I, Solo: Ramadani, 1991.
Rasyad Saleh, Manajemen Da’wah Islām, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Rusli Amin, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman, Jakarta: Almawardi Prima, 2002.
Said Aqil Husin Al-Munawar, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2003.
Sakdiah, Peran Da’iyah dalam Persfektif Dakwah (Kajian Metodelogi), Banda Aceh: Dakwah Ar-Raniry Press dan Bandar Publishing, 2004.
Surjadi, Da’wah Islam dengan Pembangunan Masyarakat Desa, cet. II, Bandung: Mudur Maju, 1989.
Yunan Yunus, "Dakwah bil Hāl", Vol. 3. 2, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 2001.
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dan Pembinaan Mental, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

[1] M. Arifin, Ensiklopedi Dakwah, C et. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 144.
[2] Abdullah, Wawasan Dakwah Kajian Epistimologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah, (Medan: IAIN Press, 2002), hal. 44.
[3] Ibid., hal. 45.
[4] يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ
لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِي
[5] وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
[6] Subjek dalam ilmu lain – sebagai mitra ilmu dakwah juga dikenal istilah tersendiri. Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan sebutan komunikator, dalam retorika disebut orator dan dalam bimbingan dan penyuluhan menggunakan istilah konselor. Jadi ilmu dakwah memiliki istilah (term) sendiri mengenai semua unsur dakwah, dan tidak pernah mengadopsi istilah dari ilmu lain. Abdullah, Wawasan Dakwah Kajian Epistemologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah, (Medan: IAIN Press Medan, 2002), hal. 44.
[7] Rasyad Saleh, Manajemen Da’wah Islām, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 8.
[8] Nursyam, Metode Penelitian Da’wah: Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Da’wah, cet. I, (Solo: Ramadani, 1991), hal. 9.
[9] Muhammad Natsir, Fiqhud Dakwah, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), hal. 34.
[10] Surjadi, Da’wah Islam dengan Pembangunan Masyarakat Desa, cet. II, (Bandung: Mudur Maju, 1989), hal. 29.
[11] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1993), hal. 78.
[12] Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-Madkhal lal ʻIlm al-Daʻwah, cet. I, (Beirut: Muassasah al-Risākah, 1991), hal. 250.
[13] Adi Sasono, Salusi Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan dan Da’wah, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hal. 250.
[14] Abdullah Syamsuddin, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 132.
[15] Dalam al-Qur’ān, kata tabsyīr disebutkan sebanyak 18 kali yang berarti penyampaian daʻwah yang berisi kabar yang menggemberikan bagi orang-orang yang mengikuti daʻwah. Ali Mustafa Yaʻqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal. 50.
[16] Q.S. Āli ‘Imrān: 85.
[17] Q.S. Al-Baqarah: 143.
[18] M. Jakfar Puteh, Dakwah Tekstual dan Kontekstual, (Banda Aceh, LD-NU Aceh, 2001), hal. 23.
[19] M. ‘Abduh memberikan definisi kata hikmah adalah sebagai berikut:
فا لحكمة هي الطم الصحيح للار ادة الى العمل النافح
Hikmah adalah ilmu yang şahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bermanfaat (berguna)... Sementara Al-Rāqhib al-Isfahānī mengungkapkan tentang pengertian hikmah dengan: mencapai kebenaran dengan ilmu dan ‘aqal. Dari kedua defenisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah ilmu yang mendalam yang menjadi daya penggerak untuk melakukan suatu yang bermanfaat. Bila dibawa ke bidang daʻwah yaitu untuk melakukan suatu tindakan yang berguna dan efektif. Kemampuan daʻwah bi al-hikmah berarti kemampuan untuk memahami semua unsur dalam daʻwah meliputi materi daʻwah, unsur madʻuw, metode dan sebagainya sehingga merupakan daya penggerak untuk menentukan langkah yang tepat dan menjalankan metode daʻwah yang efektif.
[20] Hamzah Yaʻqub, Publisistik Islam Teknik Daʻwah dan Leadership, (Bandung: Diponegoro, 1992), hal. 66.
[21] Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 34.
[22] Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 12.
[23] ‘Abdullah, Wawasan Dakwah..., hal. 25.
[24] Kondisi fisiologis meliputi kondisi fisik manusia: lingkungan, sandang, pangan dan sebagainya. Kondisi psikologis meliputi sikap, pola pikir, kebutuhan (motif) dan sebagainya.
[25] Yunan Yunus, "Dakwah bil Hāl", Vol. 3. 2, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 2001), hal. 43.
[26] Djamalul Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, hal. 128.
[27] Djamal Abidin, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 126.
[28] Dewasa ini penyaiaran radio semakin maju. Komunikasi langsung antara khalayak dan dāʻiyah yang berdaʻwah di radio dapat dilakukan melalui sistem phone in program. Pendengar dapat menelepon langsung menanyakan sesuatu kepada dāʻiyah yang sedang mengudara menanggapi atau menanyakan sesuatu kepada dāʻiyah dan didengar oleh seluruh pendengar "dialog di udara." Djamalul Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 126.
[29] Ibid., hal. 123.
[30] Kegiatan ini dilakukan dari rumah-kerumah, maka rumah sahabat al-Arqam Ibn Abī Arqam dijadikan sebagai tempat pertama penyampaian dakwah Islām secara berkelompok, selain itu ada tempat lainnya, yaitu di antaranya As-Ṣuffāh, Dār al-Qurra dan Kuffah. Said Aqil Husin Al-Munawar, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 1218.
[31] Al-Kirmany, Şahīh Abī ‘Abdullah Al-Bukhārī, Bisyarhi Al-Kirmany, Juz VIII, (Mesir: Al-Baby al-Halaby, 1937), hal. 76.
[32] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dan Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 40.
[33] Ibid., hal. 67.
[34] Rusli Amin, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman, (Jakarta: Almawardi Prima, 2002), hal. 87.
[35] Ali ‘Abdullah Halim Mahfud, Dakwah Ibu Rumah Tangga, terj. Ali Abdul Halim Mahmud., (Jakarta: Studi Press, 1999), hal. 17.
[36] Sakdiah, Peran Da’iyah dalam Persfektif Dakwah (Kajian Metodelogi), (Banda Aceh: Dakwah Ar-Raniry Press dan Bandar Publishing, 2004), Hal. 91.
[37] Hamzah Yaʻqub, Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, (Bandung: Diponegoro, 1992), hal. 44.