PERAN DA’IYAH DALAM MASYARAKAT
Oleh
: Sakdiah, M.Ag
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Darussalam-Banda Aceh
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Darussalam-Banda Aceh
Abstrak
Peran dā'iyah di masyarakat tidak
hanya cukup dengan dak’wah dalam bentuk konsep normatif saja, akan tetapi lebih
mendalam jika dā'iyah mencari metode dakwah berdasarkan fakta empiris
yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang pada dasarnya tidak
sama, untuk itu dā'iyah tetap memposisikan keberpihakannya kepada
kepentingan masyarakat, sehingga masyarakat akan merasa kehadiran dā'iyah
bukan hanya sebagai penyuluh tetapi memberi dan mencari solusi terhadap
kebutuhan umat. Pengkajian ini diharapkan dapat menemukan peran da’iyah yang
efektif dalam berda’wah di masyarakat. Sehingga hambatan-hambatan yang
dirasakan dā'iyah selama ini dapat diminimalisir untuk mempermudah dā'iyah
berkiprah baik dalam lingkup kecil maupun di dunia publik. Dari hasil kajian terhadap masalah ini, ternyata
peran yang efektif bagi dā'iyah
dalam berda’wah di masyarakat adalah melalui uswah di rumah sebagai istri dan
ibu bagi anak-anaknya, di lingkungan tempat tinggal dan di lingkungan kerjanya melalu
metode bi al-lisān, bi al-hāl, bi al-ḥikmah, maw’iẓat
al-ḥasanah, mujādalah bi al-lati hiya aḥsan. Dari sekian metode,
metode yang paling tepat digunakan oleh dā'iyah adalah metode ḥikmah
dengan mengajak manusia dengan bijaksana ke jalan yang benar, yang dapat
menyentuh kalbu manusia. Sementara metode bi al-lati hiya aḥsan tepat
digunakan dalam kondisi dan situasi dialog dan diskusi guna membantah
kemaksiatan dengan cara yang baik dan tepat. Dari beberapa metode ini
diharapkan dā'iyah bukan hanya mampu berbicara tetapi juga berbuat
sesuai dengan anjuran da’wah.
Kata
Kunci : Peran, da’iyah, masyarakat
Abstract
Dā'iyah role in society is not only
enough with propaganda in the form of normative concept, but also more profound
if dā'iyah looking for methods of propaganda based on empirical facts that
according to the situation and condition of the people who are basically the
same, to keep it dā'iyah keberpihakannya position to the benefit of society, so
that people will feel the presence of dā'iyah not only as an educator but give
and seek solutions to the needs of the people. This assessment is expected to
find da'iyah effective role in preaching in public. So the perceived barriers
dā'iyah during this time can be minimized to facilitate dā'iyah take part in
both the small sphere and in the public world. From the results of the study on
this issue, it turns out an effective role for dā'iyah in preaching in the
community is through uswah at home as a wife and mother to their children, in
neighborhoods and in the work environment through bi al-oral method, bi
al-ways, bi al-Hikmah, maw'iẓat al-hasanah, Mujadalah bi al-lati hiya Ahsan. Of
the methods, the most appropriate method is the method used by dā'iyah wisdom
to bring people wisely to the right path, that can touch the hearts of people.
While the method of bi al-lati Ahsan hiya appropriately used in the conditions
and situations of dialogue and discussion to argue disobedience in a way that
is good and right. From some of these methods are expected dā'iyah not only
able to speak but also act in accordance with the recommendation of
proselytizing.
A.
Pengertian Daʻīyah
Kata daʻīyah berasal dari bahasa Arab (etimologi), yaitu dari kata:
Kata daʻīyah berasal dari bahasa Arab (etimologi), yaitu dari kata:
دعا
– يدعو – دعاء – دعوى – دعوة – دعاية.
Artinya:
Panggilan, seruan, do’a, ajakan undangan dan propaganda.[1]
Sedangkan
daʻīyah mempunyai arti menyeru, memanggil, mengajak dan melayani.[2] Selain
itu juga bermakna mengundang, menuntun dan menghasung. Sedangkan menurut
terminologi (istilah) daʻīyah dengan sudut pandang masing-masing. Di
antaranya:
Menurut
M. Arifin, daʻīyah mengandung pengertian sebagai suatu kegiatan ajakan
baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan
secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara
individual maupun secara kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian,
kesadaran, pengayaan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai message
yang disampaikan kepadanya tanpa ada unsur-unsur paksaan.[3]
Sebagai
subjek dakwah, selain istilah daʻīyah juga dikenal dengan sebutan mubaligh
atau muballighah. Kedua istilah tersebut secara tidak langsung kita
temukan dalam al-Qur’ān. Untuk istilah pertama antara lain disebut dalam surat
al-Mā’idah ayat 67,[4]
dan istilah kedua seperti tercantum pada surat Fuṣṣilat ayat 33,[5]
berarti daʻīyah orang yang mengajak, sedangkan muballighah adalah
orang yang menyampaikan. Istilah daʻīyah sesungguhnya lebih luas
maknanya daripada kata muballighah.[6]
Daʻīyah (Isim fāʻil), yaitu pelaku atau subjek dalam kegiatan dakwah.
Kedudukannya adalah sebagai unsur pertama dalam sistem dan proses dakwah. Oleh
sebab itu keberadaannya sangat menentukan, baik dalam pencapaian tujuan maupun
dalam menciptakan persepsi madʻuw yang benar dalam Islam.
Daʻīyah (berasal dari bahasa Arab)[7]
juga didefinisikan oleh pemikir dalam berbagai pengertian. Perbedaan pengertian
tersebut antara lain disebabkan oleh berbedanya sudut pandang yang digunakan
oleh mereka dalam memahami dan memandang substansi dan cakupan kegiatan daʻīyyah.
Agar tidak salah pengertian dalam memahami konsep daʻīyyah dalam tulisan
ini, berikut akan dipaparkan beberapa pengertian konsep yang bagaimana yang
akan menjadi acuan.
Syaikh
ʻAli al-Mahfuz dalam bukunya Hidayat al-Mursyidin, mendefinisikan daʻīyah
dengan “mendorong manusia agar memperbuat kebaikan dan menurut petunjuk,
menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan mungkar
agar mereka mendapat kebahagiandi dunia dan akhirat.
Menurut
Bisri Affandi, dalam kata pengantar buku Nursyam, daʻīyah dapat
diartikan “sebagai orang yang menyampaikan agama Islam kepada umat manusia”.
Selanjutnya ia katakan, sebagai orang yang menyampaikan tugas daʻīyah
bukan hanya menyeru atau mengajak, tetapi merupakan usaha untuk mengubah way
of thinking, way of feeling dan way of life manusia sebagai
sasaran dakwah ke arah kualitas kehidupan yang lebih baik.[8]
Menurut
Muhammad Natsir, daʻīyah berarti usaha manusia (dari seorang muslim)
yang ditujukan untuk menerapkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan.[9]
Menurut Pedoman pembinaan Kader Daʻwah yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi
Dak’wah Islāmiyyah, daʻīyah mengandung pengertian:
1.
Orang
(perempuan) yang melaksanakan amanat Allah swt
yang meliputi amanat dan khalifah
2.
Orang
yang menegakkan amar maʻruf dan memberantas kemungkaran
3.
Merubah
situasi yang buruk kepada situasi yang baik
4.
Orang
yang memperbaiki dan membina masyarakat (Islā̱ḥ)
5.
Orang
yang merealisasikan ajaran Islām dalam segenap aspek hidup dan kehidupan
manusia.[10]
Menurut
Endang Saifuddin Anshari, setelah ia memaparkan beberapa pengertian daʻīyah
oleh tokoh-tokoh pemikir dak’wah Indonesia, menyimpulkan pengertian daʻīyah
ada dua macam, yaitu:
1. Pengetian
daʻīyah dalam arti terbatas, yaitu orang perempuan yang menyampaikan
Islām kepada manusia secara lisan maupun tulisan ataupun secara lukisan
(panggilan, seruan, ajakan kepada manusia pada Islām).
2. Pengertian
daʻīyah dalam arti luas, yaitu orang yang menjabarkan, menterjemahkan
dan melaksanakan Islām dalam kehidupan dan penghidupan manusia (termasuk di
dalamnya politik, ekonomi, sosial dan sebagainya).[11]
Dari
kutipan di atas dapat dilihat bahwa kegiatan da’wah yang dilakukan para daʻīyah
secara luas tidak hanya terbatas dalam satu bidang saja, melainkan mencakup
secara menyeluruh dalam berbagai aspek, termasuk bidang pendidikan, politik,
budaya dan sosial ekonomi. Kegiatan da’wah yang dilakukan daʻīyah dapat
dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah.
Sedangkan
al-Bayanuni, setelah dia mendalami kegiatan da’wah yang dilakukan oleh
Rasulullah dan menyeleksi beberapa pengertian daʻīyah yang telah
dikemukakan oleh beberapa tokoh, maka ia menyimpulkan pengertian daʻīyah
menurutnya ialah “wanita yang menyampaikan dan mengajarkan al-Islām kepada
manusia serta penerapannya dalam kehidupan nyata”.[12]
Menurut
Amrullah Ahmad (ed). Dalam bukunya Da’wah dan Perubahan Sosial, daʻīyah
pada hakikatnya merupakan orang yang mengaktualisasikan imani yang
dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang
kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara
merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusiawi pada kenyataan individual
serta sosial kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islām dalam
semua segi kehidupan manusia, dalam menggunakan cara tertentu.[13]
Dari
beberapa pengertian daʻīyah tersebut dapatlah disimpulkan bahwa daʻīyah
adalah salah satu profesi yang harus dijalankan oleh setiap wanita muslim
berupa kegiatan mengajak orang lain dengan bijaksana untuk meyakini nilai-nilai
Islam, memahami dan mematuhi aturannya secara sempurna melalui seruan kata-kata
(lisān) atau tulisan atau pendidikan dan pengajaran sesuai
kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Berbarengan dengan upaya
penterjemahan/pengejewantahan petunjuk serta nilai Islam itu ke dalam aktivitas
dan kebijakannya berkaitan dengan status dan peranannya dalam masyarakat, dalam
rangka terwujudnya dan berkesinambungannya kehidupan Islami secara individual
dan sosial dalam suatu masyarakat di mana ia berada.
Jadi
inti dari kegiatan da’wah para daʻīyah adalah ajakan/seruan kepada Islam
melalui kata-kata dan upaya serta kegiatan pengejewantahan petunjuk dan
nilai-nilai Islam ke dalam pranata dan sistem kehidupan dalam segala
aspek-aspeknya. Pengertian daʻīyah seperti ini sejalan dengan pengertian
al-Bayanuna, Muhammad Natsir, Endang Saifuddin Anshari, yaitu mencakup
pengertian daʻīyah secara sempit dan pengertian daʻīyah secara
luas.
Berdasarkan
analisis terhadap berbagai rujukan, persepsi umum dari masyarakat, daʻi
atau daʻīyah adalah identik dengan muballigh, yaitu orang yang
mengajak atau menyampaikan agama Islam kepada jama'ah dan biasanya melalui
mimbar.
Sesunggunhya
jia merujuk kepada tiga bentuk da’wah, bi al-lisān, bi al kitābah
dan bi al-ḥāl, persepsi di atas adalah keliru. Para cendikiawan
muslim telah lama mempersoalkan persepsi itu, dan menghendaki agar pengertian daʻīyah
supaya diperluas, meskipun mereka tidak memberikan batasannya, tetapi dapat
dipahami, bahwa mereka juga ingin disebut sebagai daʻi atau daʻīyyah.
Bertitik
tolak dari uraian dan pandangan di atas, maka perlu adanya redefenisi daʻīyah.
Jadi daʻīyah adalah orang yang menyampaikan dan mengajak serta merubah
sesuatu keadaan kepada yang lebih baik, berdasarkan indikasi yang digariskan
oleh agama Islam. bila disepakati, batasan tersebut lebih sesuai dengan
keberagaman masyarakat muslim dalam penguasaan ilmu, kemampuan dan profesi.
Dengan demikian, setiap individu muslim dapat melaksanakan peran ke daʻīyahan
sesuai dengan bidang masing-masing.
B.
Masyarakat
Lingkungan masyarakat yang menjadi salah satu lingkungan hidup bagi
setiap manusia merupakan salah satu hubungan sesama manusia (hablun min
al-nās) dari masyarakat. Al-Banna berprinsip bahwa tanah air umat Islam
adalah seluas tempat berdomisili mereka.[14]
Untuk itu dakwah Islampun harus ditunjukan kepada seluruh umat Islam, dengan
tidak perlu membedakan letak geografis, bahasa dan warna kulit. Untuk menjangkau
wilayah dakwah yang luas itu, maka setiap pribadi muslim punya kewajiban untuk
berdakwah atau setidak-tidaknya mereka ikut memberikan dorongan dan dukungan.
Selain itu, gerakan dakwah yang dilakukannya bertujuan untuk
menggalang persatuan di kalangan umat Islam, sehingga menjadi umat yang satu (ummatan
wahidan) sebagaimana telah diisyarakatkan oleh al-Qur’ān (Q.S. 23: 52).
Lebih jauh dari itu, umat Islam diharapkan dapat menjadi saksi kepada seluruh
manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut maka umat Islam harus unggul dalam
berbagai bidang kehidupan.
Hasan al-Banna dalam gerakan dakwahnya meliputi tiga bentuk yaitu
dakwah bi al-lisān, bi al-kitābah dan bi al-hāl. Dakwah bi
al-lisān, secara kontinyu dilakukan oleh Hasan al-Banna tatkala ia
ditugaskan sebagai guru di Ismaʻilliyah pada tahun 1927. Di luar tugas mengajar
dimanfaatkan kesempatan untuk mengunjungi berbagai tempat. Sebagaimana
diungkapkan oleh ‘Abdul Mutaʻal al-Jabari ia menjadikan warung kopi sebagai
basis kegiatan dakwahnya. Pendekatan yang digunakannya melalui cerita. Ia
menceritakan tentang sejarah Rasul, sahabat dan para mujahid agung sepanjang
sejarah Islam.
Dari waktu-kewaktu tampaknya para pendengar makin bertambah banyak
dan di sini Hasan al-Banna menemukan bahwa dalam hati umat Islam masih
tersimpan keimanan tersembunyi dan sangat mungkin untuk dibangkitkan. Untuk
memikat umat ia juga menggunakan pendekatan tabsyīr,[15]
yaitu memberikan khabar gembira dan menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang
mudah dikerjakan.
Di samping itu Hasan al-Banna melakukan dakwah dari rumah ke rumah
(door to door) atau yang dikenal dengan dakwah fardiyah. Secara
bertahap dan dengan sikap lemah lembut umat diajaknya ke masjid. Lalu secara
periodik dilaksanakan pengajian tetap antara Magrib
dan Isya.
C.
Pendekatan Sosio-Psikologis dalam Berdakwah
Islam sebagai al-Dīn Allah[16]
merupakan manhaj al-hayāt atau way of life, atau acuan dan
kerangka tata nilai kehidupan. Oleh karena itu, ketika komunitas muslim
berfungsi sebagai sebuah komunitas yang ditegakkan di atas sendi-sendi moral
imani, Islam dan taqwā serta dapat direalisasikan dan dipahami secara
utuh dan terpadu merupakan suatu komunitas yang tidak ekslusif, karena
bertindak sebagai "ummatan wasaţan,"[17]
yaitu sebagai teladan di tengah arus kehidupan yang serba kompleks, penuh
dengan dinamika perubahan, tantangan dan pilihan-pilihan yang terkadang sangat
dilematis.
Masuknya berbagai ajaran atau pemahaman yang tidak relavan dengan
nilai-nilai agama, membuat masyarakat menjadi bingung mereka mengikuti arus
perubahan itu secara spontan.[18]
Hal tersebut dapat saja berakibat terjadinya kecenderungan yang membawa agama
menjadi tidak berdaya terlebih ketika agama tidak lagi dijadikan sebagai
pedoman hidup dalam berbagai bidang. Hal ini akan menerpa ummat Islam bila
agama tidak lagi berfungsi secara efektif dalam kehidupan kolektif. Tentu
keadaan ini dapat berpengaruh apabila pemeluk agama gagal memberi suatu
peradaban alternatif yang benar yang dituntut oleh setiap perubahan sosial yang
terjadi.
Di samping itu disadari atau tidak, umat Islam telah dipengaruhi
oleh gerakan modernisme yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Di mana
perkembangan modernisme memberikan tempat dan penghargaan yang terlalu tinggi
terhadap hal yang bersifat materil. Implikasinya adalah kekuatan iman yang
selama ini dimiliki oleh umay Islam semakin mengalami degradasi, yang
menyebabkan kemiskinan spiritual.
Melihat berbagai fenomena di atas, para dāʻiyah harus
mencari solusi terbaik yang dikehendaki oleh umat Islam, yaitu melaksanakan
dakwah secara efektif, efesien dan berkesinambungan.
Agar dakwah dapat mencapai sasaran strategis jangka panjang, maka
tentunya diperlukan suatu sistem manajerial komunikatif baik dalam
penataan perkataan maupun perbuatan yang sangat relavan dan terkait dengan
nilai-nilai ke-Islaman, dengan adanya kondisi seperti itu, maka para dāʻiyah
harus mempunyai pemahaman yang mendalam bukan saja menganggap bahwa dakwah
adalah frame "amar maʻrūf nahi mungkar" hanya sekedar
menyampaikan saja, melainkan harus memenuhi beberapa syarat di antaranya
mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek dakwah secara tepat,
memilih metode yang representatif, menggunakan bahasa yang bijaksana dan
sebagainya. Dari semua aspek di atas akan menjadi stressing point
pembahasan dalam metode dakwah.
Al-Qur’ān menyebutkan kegiatan dakwah dāʻiyah dengan aḥsanul
qaula (ucapan) dan perbuatan yang baik disebutkan dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى
اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (فصلت: ٣٣)
Artinya: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang ṣalīh
dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri." (Q.S. al-Fuṣṣilat: 33).
Dakwah seperti yang diungkapkan dalam ayat
tersebut tidak hanya dakwah berdimensi ucapan atau lisan tetapi juga dakwah
dengan perbuatan yang baik (uswah) seperti yang telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad.
Sejalan dengan ungkapan dalan Surat
Fuṣṣilat: 33 di atas, al-Qur’ān memberikan bimbingan agar ummat Islam berdakwah
dengan baik sesuai dengan ayat al-Qur’ān:
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل: ١٢٥)
Artinya: “Suruhlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-Naḥl: 125).
Lafadz al-ḥikmah dalam ayat di atas
mengandung pengertian yang sangat luas,[19] salah satu format dakwah yang terkandung
dalam lafadz bi al-ḥikmah adalah metode bi al-lisān, al-hāl.
"Ḥikmah" inilah yang menjadi persyaratan bagi
setiap dāʻiyah atau muballighah dalam berdakwah.
Menghadapi masyarakat yang masih rendah daya tangkapnya, tentu
tidak sama dengan menghadapi masyarakat kelas menengah dan tinggi. Oleh karena
itu, dāʻiyah itu sendiri yang perlu mengklasifikasikan, tingkatan
masyarakat manakah yang dihadapinya.
Nabi Muhammad sendiri telah memberikan contoh dalam banyak kegiatan
dakwah. Sebelum terjun ke gelanggang dakwah ia terlebih dahulu berhitung dan
mempersiapkan materi dakwah sesuai dengan ukuran daya tangkap orang yang akan
menerimanya, dan itulah sebabnya beliau sendiri telah berpesan
"Nasihatilah manusia menurut ukuran akalnya" dan inilah yang
merupakan faktor suksesnya Nabi Muhammad dalam berdakwah.[20]
Dakwah dalam perspektif psikologi merupakan satu realitas upaya
transformasi idealisme kondisi mental dan perilaku yang di dalamnya terlibat
aspek-aspek kejiwaaan manusia dan interaksi manusia dengan yang lain. Konsep
ideal tentang kondisi mental dan prilaku dalam dakwah bertitik tolak dari
konsep ajaran agama. Ia bisa berupa idealisme moral yang filosofis, namun dalam
hubungannya dengan kajian akwah ini, ia harus observabel, artinya
konsep-konsep ajaran tersebut harus dapat diukur dalam realitas penerapan
kehidupan manusia. Setidaknya penerapan metodologis ini paling tidak
menghasilkan dua keuntungan metodologis, yaitu (1) metodologi ini berfungsi
sebagai upaya mengantisipasi timbulnya ideologisasi yang berlebihan oleh
mitos-mitos yang mungkin dapat ditimbulkan oleh metodologi sosio-analisis, di
mana pengkajian dapat tenggelam pada pemakaian konsep-konsep rasional yang
"melambung" namun sebenarnya belum terbukti aplikasinya (belum teruji
secara empiris) (2) mengantisipasi bahaya perkembangan pemikiran yang mengarah
kepada pembentukan konsep-konsep atau teori-teori idealis tentang mental dan prilaku
keagamaan yang dapat timbul oleh interpretasi-interpretasi yang terlalu
dogmatis dan subyektif, baik oleh pemikiran individu maupun dihasilkan oleh
perjalanan sejarah pemikiran.[21]
Bidang kajian dari psikolog meliputi masalah prilaku dan proses
mental yang melatar belakangi dan mengikutinya. Perilaku merupakan hal yang
nampak (dapat dideteksi oleh indera), sedang proses mental merupakan sesuatu
yang tidak nampak. Dua hal ini merupakan realitas yang berbeda namun saling
berkaitan,[22]
maksudnya pembahasan psikologis tidak hanya memisahkan dan membahas satu
perilaku atau kondisi mental sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Untuk
memberikan kejelasan tentang pendekatan sosio-psikologis dāʻiyah dalam
berdakwah dapat diterapkan melalui beberapa langkah berikut ini:
1.
Melalui Dakwah Bi al-Lisān al-Hāl
Dakwah secara lisān sesungguhnya telah memiliki usia yang
sangat tua, yakni setua umur manusia. Ketika Nabi Ādam mengajak anaknya Qabīl
dan Ḥabīl untuk mentaʻati perintah Allah, Ādam telah berdakwah secara lisān.
Demikian halnya Nabi dan Rasul yang lain telah melakukan hal yang sama, di
samping berdakwah melalui tulisan dan keteladanan. Nabi Muhammad pada permulaan
kerasulannya juga berdakwah secara lisān meskipun pada saat yang sama
beliau secara simultan melakukan dakwah bi al-hāl dan kemudian juga
berdakwah dengan tulisan (bi al-kitābah).
Dakwah bi al-lisān yang hampir sama dengan tablīgh
secara umum dibagi kepada dua macam. Pertama, dakwah secara langsung
atau tanpa media, yaitu antara dāʻiyah dan madʻuw berhadapan
wajah (face of face). Dalam ilmu komunikasi hal semacam ini disebut
komunikasi primer. Kedua, dakwah yang menggunakan media (channel),
yaitu antara dāʻiyah dan madʻuw tidak saling berhadapan dan media
komunikasi seperti ini disebut dengan komunikasi sekunder. Dakwah melalui media
seperti ini: televisi (tv), radio, film, tape dan media lainnya.
Dakwah tanpa media (face of face), juga dibedakan menjadi
dua macam, yaitu dakwah yang ditujukan kepada kelompok (jamāʻah) dan
kepada person madʻuw yaitu yang dikenal dengan dakwah fardiyyah
melalui komunikasi interpersonal. Dakwah yang ditujukan kepada kolektif umat
Islam (jamāʻah), seperti: pengajian atau ceramah rutin, khutbah,
peringatan hari-hari besar Islam, dan bentuk-bentuk pertemuan lainnya yang bersifat
kolektif. Menurut ‘Abdullah kegiatan dalam bentuk ini memiliki beberapa
keunggulan di antaranya;
"Dāʻiyah dapat lebih
memahami kondisi objektif madʻuwnya, respon dari madʻuw dapat
diterima secara langsung oleh dāʻiyah, dāʻiyah dapat menyesuaikan
materi ceramah dengan tingkat pendidikan dan daya nalar madʻuw, dapat
terjalin hubungan yang lebih harmonis antara dāʻiyah dan madʻuw."[23]
Dakwah di samping harus memanfaatkan berbagai media komunikasi
modern, juga harus tetap mempertahankan komunikasi lisān. Khutbah Jum’at
misalnya sebagai suatu bentuk dakwah tatap muka, keberadaannya tidak dapat
diubah dengan bentuk lainnya, karena syariʻat telah menetapkan demikian
pelaksanaannya.
Bila kita telusuri sejarah dakwah Islam pada masa Rasulullah saw,
bahwa Nabi mulai berdakwah sejak turun wahyu yang kedua (Q.S. al-Muḍḍathir, 74:
1-5). Kegiatan dakwah pada waktu itu masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi
atau rahasia. Dakwah dalam keadaan seperti ini berjalan selama 3 tahun.
Pada periode ini dakwah yang dilakukan oleh Rasul adalah secara
fardiah yaitu Nabi mendakwahkan mereka secara pribadi atau individu, mereka
yang pertama sekali menyatakan diri masuk Islam (asabiq al-awwalūn)
adalah mereka yang selama ini dekat dengan Nabi Muhammad dan amat mengetahui
tentang pribadi Nabi secara baik.
Pengiriman sejumlah dāʻiyah untuk melaksanakan tugas dakwah
juga dilakukan dengan cara lisān. Hal ini dilakukan karena ada
permintaan masyarakat menyangkut persoalan umat dan masalah-masalah yang
dianggap perlu dalam mengembangkan misi dakwah pada waktu itu.
Dakwah bi al-Lisān mempunyai arti "memanggil, menyeru
ke jalan Tuhan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat dengan menggunakan ucapan
(bahasa) yang dapat dipahami oleh orang lain. Bahasa dalam konteks dakwah
adalah segala hal yang berhubungan dengan keadaan mad'uw baik fisiologis
maupun psikologis.[24]
Dalam pembahasan konteks dakwak bi al-lisān, seorang dāʻiyah
bukan hanya mampu berbicara lewat lisan dan menggunakan bahasa secara baik dan
santun, tetapi antara ucapan dan perbuatannya harus sesuai, sehingga dakwah
dalam bentuk ini di sebut dakwah bi al-lisān al-hāl.
Dalam sebuah tulisannya, M. Yunan Yusuf mengungkapkan bahwa istilah
dakwah bi al-lisān al-hāl dipergunakan untuk merujuk kegiatan dakwah
melalui aksi atau tindakan/perbuatan nyata.[25]
Karena merupakan aksi atau tindakan nyata maka dakwah bi al-lisān al-hāl
lebih mengarah kepada tindakan menggerakkan
"aksi menggerakkan" madʻuw sehingga dakwah ini lebih
berorientasi pada pengembangan masyarakat.
Usaha pengembangan masyarakat Islam memiliki bidang garapan yang
luas meliputi pengembangan pendidikan, ekonomi dan sosial, masyarakat.
Pengembangan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa pendidikan harus diupayakan untuk menghidupkan
kehidupan bangsa yang maju, efesien, mandiri terbuka dan berorientasi ke masa
depan. Pengembangan pendidikan mesti pula mampu meningkatkan penguasaan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan diharapkan mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam bidang ekonomi, pengembangannya dilakukan peningkatan minat
dan etos kerja yang tinggi serta menghidupkan dan mengoptimalkan sumber ekonomi
umat. Sementara pengembangan sosial kemasyarakatan dilakukan dalam rangka
merespon problem sosial yang timbul karena dampak modernisasi dan globalisasi,
seperti masalah pengangguran, tenaga kerja, penegakan hukum, HAM, dan
pemberdayaan perempuan.
Kegiatan dakwah ditugaskan untuk meningkatkan kualitas umatnya yang
pada akhirnya akan membawa adanya perubahan sosial, karena pada hakikatnya
Islam menyangkut tataran kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat (sosio-kultural).
2.
Melalui Tulisan (Media Cetak)
Berdakwah menggunakan sarana media cetak memerlukan bakat pengarang
karena media cetak merupakan sarana komunikasi tulisan. Banyak dāʻiyah
yang mampu berbicara memikat di atas mimbar tetapi tidak mampu menuangkannya
dalam sebuah karya ilmiyah. Jadi, frekwensi dakwah bi al-lisān jauh
lebih besar daripada dakwah bi al-kitābah. Tetapi, banyak pula dāʻiyah
yang mampu menyampaikan dakwah dengan baik di atas mimbar dan hebat pula
menggagas ide-ide cemerlang dakwah dalam bentuk tulisan.
Dakwah melalui tulisan, juga merupakan media awal yang sama usianya
dengan media tatap muka. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah:
"Tulislah apa yang telah terjadi, dan apa yang akan terjadi sampai hari
kiamat, baik perbuatan, peninggalan, maupun pemberian. Lalu, al-Qalampun
menuliskan apa yang telah terjadi dan yang akan terjaddi sampai hari
kiamat."
"Sesungguhnya apa yang pertama diciptakan Allah adalah al-Qalam,
kemudian Allah menciptakan Nur yakni tinta." Media cetak yang
berisi dakwah sudah cukup berkembang. Majalah Islam, Soeloeh Islam,
Semangat Islam, dan al-Lisān. Pada zaman kemerdekaan pernah pula
jaya majalah-majalah Islam seperti Gema Islam. Dewasa ini ada "Majalah
Risalah," "Suara Masjid," "al-Muslimun,"
Panji Masyarakat, Amanah, Kiblat, Risalah serta Ulumul Qurʻān,[26]
tetapi tiras-majalah-majalah tersebut sangat tidak seimbang dengan jumlah umat
Islam yang hidup di Indonesia. Bahkan di antara penerbitan tersebut ada yang
seperti hilang timbul. Kurang maraknya tiras majalah atau media cetak dakwah
Islamiyah ini suatu hal yang sangat memprihatinkan di tengah-tengah derasnya
masuk penerbitan berupa buku-buku dan majalah yang membawa limbah-limbah
budaya.
3.
Melalui Media Elektronik
a.
Melalui Radio
Hampir
seluruh radio siaran yang menyelenggarakan siaran di Indonesia menyajikan
informasi, edukasi, dan hiburan. Siaran keagamaan termasuk fungsi edukasi.
Dalam sejarahnya, RRI Jakarta ketika kebangkitan orde baru, menjadi sangat
terkenal dengan acaran siaran "Kuliah Shubuh" yang
diselenggarakan oleh almarhum Buya Hamka. Kepeloporan kuliah subuh RRI itu
sekarang marak melalui radio siaran swasta, bahkan juga diikuti oleh tv-tv
swasta.
Dakwah
melalui radio siaran dan tv siaran cukup efektif karena besarnya jumlah
pendengar dan pemirsa yang mengikuti acara kuliah shubuh itu dengan nomen
latur yang beraneka, seperti "Hikmah Fajar", "Di Ambang
Fajar", Baiturrahman, semuanya membawa pesan dakwah yang disampaikan oleh
para dāʻī dan dāʻiyah terkemuka. Bentuk acaranya ada yang
bersifat dialogis (berbincang-bincang) ada juga yang bersifat monologis
(seorang dāʻiyah sendirian tampil di corong radio atau di depan kamera
televisi). Bagi para dāʻiyah yang mempergunakan radio sebagai media
dakwah harus memperhatikan karakteristik radio siaran, yaitu:
- Sifat siaran radio hanya untuk didengar (audialhearable),[27]
- Bahasa yang dipergunakan haruslah bahasa tutur,
- Orang mendengar radio dalam keadaan santai, bisa sambil mengemudi, sambil tiduran, sambil bekerja dan sebagainya,
- Siaran radio mampu mengembangkan daya reka,
- Siaran radio hanya bersifat komunikatif satu arah.
Media radio siaran dianggap sebagai media komunikatif efektif
karena: Memiliki daya langsung, memiliki daya tembus, memiliki daya tarik.
Dengan daya langsung, peran dakwah dapat disampaikan secara langsung kepada
khalayak. Proses penyampaiannya tidak begitu komplek dari ruangan siaran radio
di studio melalui saluran modulasi diteruskan ke pemancar lalu sampai ke
pesawat penerima radio. Pesan dakwah langsung diterima di mana saja, di kantor,
di kamar tidur, di sawah, di dalam mobil dan lain-lain. Media radio dapat pula
langsung menyiarkan suatu peristiwa, langsung dari tempat kejadian (on the
spot reporting).[28]
Di samping itu radio memiliki daya tembus. Siaran radio menjangkau
yang luas. Semakin kuat pemancarannya semakin jauh jaraknya. Pemancaran yang
bergelombang pendek (shot wave) dengan kekuatan 500-1000 KW dengan
gelombang antenna tertentu dapat menjangkau seluruh dunia.
Radio juga memiliki daya tarik. Daya tarik media siaran radio ialah
terpadunya suara manusia, suara musik, dan bunyi tiruan (sound effect)
sehingga mampu mengembangkan daya peka pendengarannya. Sebuah sandiwara radio
yang dikemas secara baik akan mampu menarik pendengarnya. Berdakwah dengan
mempergunakan paket produksi sandiwara radio cukup efektif. Banyak sandiwara
radio yang berisikan dakwah, antaranya dalam tahun 1950-an ialah sandiwara
radio yang berjudul "sinar memancar dari jabbal nur" karya almarhum
penyair Bahrum Rangkuti.[29]
b.
Berdakwah melalui media televisi
Media
televisi adalah media audio-visual yang disebut juga media dengar pandang, atau
sambil didengar langsung dapat dilihat. Dibandingkan dengan media siaran radio
siaran, penanganan produksi dan penyiaran media televisi jauh lebih rumit dan
kompleks dan biaya produksinyapun jauh lebih besar. Berbeda dengan media radio
yang menstimulasi daya reka (imajinasi) pendengarnya, maka media televisi
bersifat realitas, yaitu menggambarkan apa yang nyata. Pemirsa tayangan
televisi tidak mungkin sesantai mendengar radio. Kita tidak mungkin memirsa tv
sambil mengemudikan kendaraan, atau sedang memacul di sawah, sedang komunikasi
di kantor dan sebagainya. Tetapi persamaannya tetap ada yaitu sifat bahasa
tutur. Seorang dāʻiyah yangtampil di depan kamera tv dapat menyesuaikan
diri dengan karakteristik kamera saat peralatan lain yang menopang suatu produksi
audio-visual, seperti cahaya (lighting) yang tersorot ke wajahnya.
Ketidak biasaan berbicara di bawah sorotan cahaya lampu yang ribuan watt dan di
depan kamera peralatan studio yang canggih dapat membuat seorang dāʻiyah
menjadi tidak nyaman dan kaku. Kekakuan di hadapan kamera membawa dampak tegang
dan tidak santai yang berakibat arus pesan komunikasi dakwah yang disampaikan
menjadi tersendat-sendat.
Dāʻiyah yang tampil di depan kamera seyogyanya tidak mempergunakan naskah.
Kadang-kadang untuk menghindari "kebingunan" dengan idiot board,
yaitu pointers yang akan dibahas dituliskan dalam kartu-kartu besar yang
berada di hadapan seorang dāʻiyah. Bagi seorang yang berdakwah di depan
kamera televisi, selain mengendalikan fleksibelitas suaranya, tidak kalah
penting adalah faktor gerak anggota tangannya. Penampilan diri di depan kamera
memerlukan pula perhatian atas busana yang dikenakan dengan warna yang harus
sesuai dan serasi dengan tv dan warna yang dimiliki oleh pemirsa.
Dāʻiyah yang tampil di depan kamera tv harus mampu mempersembahkan pribadi
yang menyenangkan, suara yang menarik serta keserasian suara dan wajah.
Semuanya itu haruslah diciptakan oleh pribadi orang yang tampil di depan kemera
haruslah dapat membayangkan seolah-olah kita berbicara akrab dengan seorang di
depan kita.
4.
Melalui Pendidikan
Pada masa Nabi, dakwah lewat pendidikan dilakukan beriringan dengan
masuknya Islam kepada para kalangan sahabat. Begitu juga pada masa sekarang,
pendekatan pendidikan teraplikasi dengan lembaga-lembaga pendidikan pesantren,
yayasan yang bernuansa Islam ataupun Perguruan Tinggi yang di dalamnya terdapat
mater-materi ke-Islaman.[30]
Berbicara tentang pendidikan dalam kedudukannya sebagai pengetahuan
yang berdiri sendiri. Biasanya tidak dimasukkan dalam kategori publisistik atau
propaganda. Akan tetapi dapat dipandang sebagai metode dakwah jangka panjang.
Kita maklum bahwa dakwah meliputi segala tindakan untuk meluruskan fikiran dan
tindak tanduk manusia menurut ajaran Islam. Karena pendidikan memegang peranan
yang sangat penting di dalam proses perkembangan individu, maka dakwah dapat
menggunakan proses pendidikan ini sebagai medianya. Melahan pendidikan
(tarbiyah) merupakan gelanggang dakwah jangka panjang yang paling efektif.
Seorang anak yang masih dalam fiţrah kesuciannya,
"dijemput baik" agar ia tetap mempertahankan kesuciannya itu.
Kemudian ia diisi dengan pengertian iman dan tawhīd, Islam dan Ihsān.
Sudah tentu bidang ini memerlukan kesabaran dan ketekunan.
a.
Keluarga
Keluarga
merupakan lembaga pendidikan dakwah utama dan pertama diterima anak dalam
hidupnya. Anak yang lahir dan berada dalam lingkungan keluarga yang taat
menjalankan agama akan tumbah dengan sifat-sifat dan pribadi yang mulia. Ibu
sebagai pendidik utama dalam keluarga memegang peranan penting dalam menentukan
pribadi anak-anaknya. Hal senada juga tersikap dalam sebuah ḥadīth:
كل
مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه (رواه البخارى)
Artinya: “Tiap-tiap anak yang
dilahirkan dalam keadaan suci (fiţrah)
maka kedua orang tuanyalah yang meyahudikan, menasranikan dan memajusikan.”[31]
Ḥadīth
di atas menjelaskan bahwa anak-anak itu dapat dimbimbing atau diarahkan oleh
orang tuanya, terutama ibunya karena sejak kecil perlu ditanamkan perasaan
kasih sayang terhadap saudara, menghormati sesame, memelihara tingkah laku yang
baik, menyukai bacaan yang mengandung hikmah.
Dr. Zakiyah Daradjat mengatakan:
"Jika kita menginginkan anak-anak dan generasi yang baik di
masa mendatang dengan tumbuh kearah yang hidup bahagia-membahagiakan,
tolong-mrnolong, jujur, benar dan adil maka mau tidakmau penanaman jiwa agama
yang bertaqwa perlu dibina sejak kecil, karena kepribadian mental dan unsurnya
terdiri antara lain keyakinan beragama itu akan dapat mengendalikan kelakukan
dan tindakan sikap dalam hidup, karena mental yang sehat penuh dengan keyakinan
beragama itulah yang menjadi polisi pengawas dari segala tindakan."[32]
Selanjutnya
Zakiah Daradjat mengemukakan: kebiasaan yang baik dan sesuai dengan jiwa
sianak, apabila orang dewasa disekitarnya memberikan contoh-contoh yang baik
itu dalam kehidupan mereka sehari-hari kepada anak-anak yang lebih cepat meniru
dari pada mengerti kata-kata yang abstrak itu.[33]
Hal
senada juga sesuai dengan pendapat para ahli pendidikan bangsa Barat, John Lock
dalam teorinya "tabularasa" mengatakan "bahwa sejak kecil jiwa
anak seperti kertas putih, yang bersih yang dapat ditulis sesuka hati oleh si
pendidik. Oleh karenanya apabila seseorang diajak untuk mengerjakan yang baik
sejak ia masih kecil sehingga ia menjadi besar, maka akhirnya para remaja akan
terbiasa dengan hal-hal yang baik, sehingga membawa ke arah kebahagiaan.
Sehingga mampu mencegah keluarganya dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Pendidikan
agama di dalam keluarga adalah salah satu jalan keluar untuk merawat akhlak.
Kewajiban yang pertama bagi seorang dāʻiyah di rumahnya adalah berkaitan
dengan suami dan anak-anaknya. Mereka harus tumbuh sebagai muslim dan muslimah
yang mempunyai rasa bangga dengan intima' mereka terhadap Islam, berakhlak
dengan akhlak yang baik antara mereka sendiri atau dengan teman, baik itu di
rumah, dengan suami, anak, maupun sesama anggota keluarga.
Yang
pertama kali dan terbebani oleh kewajiban ini adalah seorang ibu. Karena
seorang ibu merawat anak semenjak kecil dan sering bergaaul dengan mereka. Oleh
kerena itu ia lebih banyak berperan dalam membentuk akhlak, kecenderungan dan
arah mereka. Berbeda dengan seorang ayah, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan,
yang kadang-kadang ia tidak berada di rumah dalam tempo yang tidak sebentar.
Lalu apa yang harus dilakukan seorang ibu terhadap anak-anak kecil yang
dicintai tersebut, agar mereka berhias dengan akhlak yang Islami, yang semua
itu akan membawa manfaat bagi diri dan masyarakat di dunia dan akhirat.
Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa seorang ibu hendaknya lebih banyak memberikan
nasehat dan bimbingan yang baik kepada anak mereka, karena cara ini merupakan
alat yang paling ampuh dalam mencegah dan menanggulangi permasalahan anak yang
dihadapinya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (التحريم:٦)
Artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksaan api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan." (Q.S. al-Taḥrim: 6).
Adapun
tahapan pemberian pendidikan dan nasehat dapat dilakukan dengan langkah sebagai
beriku:
1)
Memberi
qudwah kepada anak-anaknya semenjak indera mereka mulai berfungsi. Agar
anak memiliki prilaku yang Islami, maka orang tua harus memberi contoh kepada
anak-anak, yaitu dengan konsisten berprilaku dan akhlak Islami baik dalam
ucapan maupun perbuatan. Karena anak-anak itu akan tumbuh dengan sifat dan
akhlak yang terpuji.
Seorang ibu yang tenang, anaknya akan tumbuh dengan sifat yang
sama. Begitu juga dengan seorang ibu yang bertemperamen tinggi, yang cepat
emosi hanya karena sebab yang amat sepele, maka anak-anaknyapun akan memiliki
sifat yang sama. Seorang ibu yang rajin dan disiplin dalam mengerjakan tugas-tugas
rumah serta selalu memperhatikan kerapian dan kebersihan rumah, bisa jadi tidak
perlu memerintah anak-anaknya untuk mengerjakan itu semua. Karena secara
langsung sifat-sifat itu sudah tertanam dalam diri anak-anak tersebut, demikian
pula sebaliknya.
2)
Memperhatikan
dengan sungguh-sungguh dan menceritakan kepada mereka cerita anak-anak yang
dapat melipur mereka, atau yang dapat menanamkan nilai-nilai luhur dan akhlāk
mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ
الْغَافِلِينَ (يوسف: ٣)
Artinya:
"Kami menceritakan kepadamu kisah
yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’ān ini kepadamu, dan sesungguhnya
kamu sebelum kami mewahyukannya adalah termasuk orang-orang yang belum
mengetahui." (Yūsuf: 3).
3)
Jika
usia anak semakin tanggap ibu dapat memberikan pengetahuan kepada anak-anaknya
tentang mesjid dan pengaruhnya dalam masyarakat Muslim. Faktor yang menyebabkan
kekhusyukan dalam şalat, adab yang harus diperhatikan dalam şalat berjamaah dan
sifat-sifat pokok lainnya yang harus dimiliki oleh orang-orang yang mendirikan
shalat dan beribadah di masjid, agar anak mengetahui dan mentaati adab dan tata
cara ketika berada di masjid, tidak berlari-lari, tidak berteriak dan tidak
berkata kotor di masjid.
Seorang wanita muslimah hendaknya dalam menjawab setiap pertanyaan
anak-anaknya dengan jawaban yang benar, terutama pada usia yang menjadikan
mereka ingin mengetahui apa yang ada disekitar mereka dan ingin mengetahui
makna pertumbuhan bagian-bagian tubuh mereka (ketika memasuki usia baligh).
Jika seorang ibu membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu tanpa suatu jawaban yang
memberikan pemahaman mereka (anak-anak) maka ibu telah membiarkan anak-anaknya mendapatkan
jawaban dari daya khayal mereka sendiri, atau dari teman-teman yang tidak
diinginkan dan berprilaku buruk. Hal ini merupakan suatu kesalah besar dalam
mendidik anak.[34]
4)
Seorang
ibu hendaklah memilih teman-teman bagi anak-anak perempuannya, yang berakhlak
dan menjadikan aturan Islam sebagai barometer, dan terus menerus memantau
persahabatan anak-anaknya, serta berusaha agar persahabatan itu tetap berjalan
pada garis yang ditentukan oleh Islam dan tidak diselewengkan pada hal-hal yang
negatif yang biasanya terjadi pada anak-anak usia menjelang baligh.[35]
b.
Sekolah
Sehubungan
dengan persiapan terjun ke lembaga sekolah, seorang dāʻiyah perlu
memperhatikan:
1)
Kemampuan
mengontrol diri
Seorang dāʻiyah harus selalu menguasai diri sendiri,
menguasai emosi (perasaan) dan selalu berusaha menjaga agar mental selalu
berada dalam keadaan stabil. Untuk itu dāʻiyah tetap menjaga kesehatan
jasmani dan rohani. Gangguan-gangguan dalam rohani dan jasmani biasanya menjadi
penghalang untuk mencapai stabilitas perasaan dan pikiran.
Kemampuan mengontrol diri ini perlu selain, untuk menghindari
jangan sampai seorang dāʻiyah tergelincir kepada cara-cara yang membawa
kepada kegagalan total dan reputasi yang jelek bagi diri dan misi yang
dibawakannya.
2)
Keinginan
yang kuat
Sudah menjadi keharusan dalam melaksanakan tugas dakwah, seorang dāʻiyah
memiliki keinginan yang kuat dan kerja keras dalam melaksanakannya. Pekerjaan
ini dapat terlaksana dengan sempurna jika didorong oleh tingginya minat juang
yang dimiliki dāʻiyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ
فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ. (العنكبوت: ٢-٣)
Artinya:
"Apakah manusia menyangka bahwa
mereka akan dibiarkan berkata: Kami telah beriman, tanpa mendapat ujian
(tantangan kebenaran ucapannya itu)? Sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji
keimanan orang-orang yang terdahulu. Maka sesungguhnya Allah telah mengetahui
orang-orang yang benar dan orang-orang yang berbohong." (Q.S.
al-Ankabūt, 29: 2-3).
Sejarah telah
memaparkan kepada kita betapa hebatnya tantangan dakwah yang dialami oleh para dāʻiyah
bahkan para nabi-nabi dan rasulnya sekalipun, yang menunjukkan bahwa jalan yang
ditempuh itu selalu mendapat tantangan, namun demikian, mereka pantang mundur
dan pantang surut dalam jihadnya. Oleh karena itu setiap dāʻiyah dan muballighah
terlebih dahulu menanamkan tekad yang bulat dan keinginan yang kuat dalam
melaksanakan tugas dakwah.
3)
Keyakinan
yang tangguh
Seseorang tidak akan mampu meyakinkan orang lain, jika diri sendiri
tidak yakin akan kebenaran yang dia sampaikan kepada anak didik. Keragu-raguan
merupakan kompilasi batin yang harus diusir, karena ia merupakan penyakit yang
memberikan tekanan keseluruh tubuh dan pribadi kita sehingga melahirkan keadaan
yang tidak wajar, lutut menjadi gemetar, perasaan dingin. Semua itu membuktikan
seorang dāʻiyah di sekolah tidak memiliki ketangguhan yang kuat dalam
memegang keyakinan.[36]
4)
Persiapan
yang matang
Banyak yang perlu diperhatikan dāʻiyah (guru) untuk
melaksanakan tugasnya di sekolah, tetapi pada umumnya dapat digolongkan kepada
5 bahagian:
a)
Menyiapkan
pikiran, idea tau materi dakwah yang akan dikemukakan. Dengan demikian dakwah
itu harus jelas temanya (judulnya), misalnya mengenai pendidikan, persatuan,
ketawhidan dan sebagainya,
b)
Sistematika
bahan-bahan yang akan dikemukakan. Jadi tahap pembicaraan itu disusul dalam
bagian-bagian yang teratur. Pembicaraan yang tersusun rapi akan membuat siswa
mudah menerima pesan yang disampaikan guru,
c)
Adab
dan gaya yang menarik. Hal ini penting karena manusia dalam fiţrahnya
senang kepada keindahan atau sesuatu yang dihayati oleh seni,
d)
Mengingat
dan menghafalkan babak-babak yang telah disusun itu. Bukan menghafal seluruh teks,
e)
Mempelajari
cara mengucapkan dan merasakan tekanan dan langgamnya.[37]
5)
Pengetahuan
yang Luas
Seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas dalam memberikan
berbagai pendidikan dan latihan pada anak didik, dengan pengetahuan yang luas
siswa tidak akan merasa jenuh dan bosan menerima pelajaran dari guru tersebut.
Memberikan pengetahuan dan mengingatkan kaum wanita akan tugas-tugas mereka
terhadap Allah dan sikapnya terhadap perintah Allah dan larangan-Nya.
Mengingatkan kepada siswa bahwa mereka
mempunyai keharusan memiliki perhatian terhadap pengetahuan umum dan
pengetahuan Islam, memperluas wawasan, serta berprilaku dengan sifat-sifat
mulia dan menjauhi sifat-sifat yang jelek.
Kesimpulan
Medan dakwah yang sering digeluti
oleh dāʻiyah adalah keluarga, dan sedikit sekali berperan dalam bidang
publik, baik melalui media elektronik maupun media lisān dan tulisan.
Hambatan ini diakui oleh wanita pada umumnya karena secara fisiologis ia
mengalami haid, nifas, hamil, melahirkan dan menyusui, semua ini menjadikan
wanita dalam keadaan lemah. Beban psikologis ini terasa berat bagi dāʻiyah
jika ia keluar dalam pentas publik, sehingg dāʻiyah terpaksa melakukan
ekstra kerja keras dalam membagi waktu antara lapangan rutinitas kegiatannya
dengan lapangan dakwahnya. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang
berasal dari luar, seperti anak, suami, ekonomi, lingkungan sosial dāʻiyah
dan wawasan dakwah dāʻiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Wawasan Dakwah Kajian Epistimologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah, Medan:
IAIN Press, 2002.
Abdullah Syamsuddin, Agama dan Masyarakat, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Adi
Sasono, Salusi Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan dan Da’wah,
cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Al-Kirmany,
Şahīh Abī ‘Abdullah Al-Bukhārī, Bisyarhi Al-Kirmany, Juz VIII, Mesir:
Al-Baby al-Halaby, 1937.
Ali
‘Abdullah Halim Mahfud, Dakwah Ibu Rumah Tangga, terj. Ali Abdul Halim
Mahmud., Jakarta: Studi
Press, 1999.
Djamal
Abidin, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Endang
Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 1993.
Hamzah
Yaʻqub, Publisistik Islam Teknik Daʻwah dan Leadership, Bandung:
Diponegoro, 1992.
Ignas
Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1987.
Kartini
Kartono, Psikologi Umum, Bandung: Mandar Maju, 1990.
M.
Arifin, Ensiklopedi Dakwah, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Muhammad
Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-Madkhal lal ʻIlm al-Daʻwah, cet. I, Beirut:
Muassasah al-Risākah, 1991.
M. Jakfar Puteh, Dakwah Tekstual dan Kontekstual, Banda Aceh,
LD-NU Aceh, 2001.
Muhammad Natsir, Fiqhud Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, 1997.
Nursyam, Metode Penelitian Da’wah: Sketsa Pemikiran Pengembangan
Ilmu Da’wah, cet. I, Solo: Ramadani, 1991.
Rasyad Saleh, Manajemen Da’wah Islām, Jakarta: Bulan
Bintang, 1993.
Rusli
Amin, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman, Jakarta: Almawardi Prima,
2002.
Said
Aqil Husin Al-Munawar, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2003.
Sakdiah, Peran Da’iyah dalam Persfektif Dakwah (Kajian
Metodelogi), Banda Aceh: Dakwah Ar-Raniry Press dan Bandar Publishing, 2004.
Surjadi, Da’wah Islam dengan Pembangunan Masyarakat Desa,
cet. II, Bandung: Mudur Maju, 1989.
Yunan Yunus, "Dakwah bil Hāl", Vol. 3. 2, Jakarta:
IAIN Syarif Hidayatullah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 2001.
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dan Pembinaan Mental,
Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
[2] Abdullah, Wawasan
Dakwah Kajian Epistimologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah, (Medan: IAIN
Press, 2002), hal. 44.
[3] Ibid.,
hal. 45.
[4] يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ
اللَّهَ
لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِي
[5] وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي
مِنَ الْمُسْلِمِينَ
[6] Subjek dalam
ilmu lain – sebagai mitra ilmu dakwah juga dikenal istilah tersendiri. Dalam
ilmu komunikasi dikenal dengan sebutan komunikator, dalam retorika
disebut orator dan dalam bimbingan dan penyuluhan menggunakan istilah konselor.
Jadi ilmu dakwah memiliki istilah (term) sendiri mengenai semua unsur
dakwah, dan tidak pernah mengadopsi istilah dari ilmu lain. Abdullah, Wawasan
Dakwah Kajian Epistemologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah, (Medan: IAIN
Press Medan, 2002), hal. 44.
[7] Rasyad Saleh, Manajemen
Da’wah Islām, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 8.
[8] Nursyam, Metode
Penelitian Da’wah: Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Da’wah, cet. I,
(Solo: Ramadani, 1991), hal. 9.
[9] Muhammad
Natsir, Fiqhud Dakwah, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia,
1997), hal. 34.
[10] Surjadi, Da’wah
Islam dengan Pembangunan Masyarakat Desa, cet. II, (Bandung: Mudur Maju, 1989),
hal. 29.
[11] Endang
Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1993),
hal. 78.
[12] Muhammad Abu
al-Fatah al-Bayanuni, al-Madkhal lal ʻIlm al-Daʻwah, cet. I, (Beirut:
Muassasah al-Risākah, 1991), hal. 250.
[13] Adi Sasono, Salusi
Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan dan Da’wah, cet. I,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hal. 250.
[14] Abdullah
Syamsuddin, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hal. 132.
[15] Dalam
al-Qur’ān, kata tabsyīr disebutkan sebanyak 18 kali yang berarti
penyampaian daʻwah yang berisi kabar yang menggemberikan bagi
orang-orang yang mengikuti daʻwah. Ali Mustafa Yaʻqub, Sejarah dan
Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal. 50.
[16] Q.S. Āli
‘Imrān: 85.
[17] Q.S.
Al-Baqarah: 143.
[18] M. Jakfar
Puteh, Dakwah Tekstual dan Kontekstual, (Banda Aceh, LD-NU Aceh, 2001),
hal. 23.
[19] M. ‘Abduh
memberikan definisi kata hikmah adalah sebagai berikut:
فا
لحكمة هي الطم الصحيح للار ادة الى العمل النافح
Hikmah adalah ilmu
yang şahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang bermanfaat (berguna)... Sementara Al-Rāqhib al-Isfahānī
mengungkapkan tentang pengertian hikmah dengan: mencapai kebenaran
dengan ilmu dan ‘aqal. Dari kedua defenisi di atas dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan hikmah adalah ilmu yang mendalam yang menjadi daya
penggerak untuk melakukan suatu yang bermanfaat. Bila dibawa ke bidang daʻwah
yaitu untuk melakukan suatu tindakan yang berguna dan efektif. Kemampuan daʻwah
bi al-hikmah berarti kemampuan untuk memahami semua unsur dalam daʻwah
meliputi materi daʻwah, unsur madʻuw, metode dan sebagainya sehingga
merupakan daya penggerak untuk menentukan langkah yang tepat dan menjalankan
metode daʻwah yang efektif.
[20] Hamzah Yaʻqub,
Publisistik Islam Teknik Daʻwah dan Leadership, (Bandung: Diponegoro,
1992), hal. 66.
[21] Ignas Kleden, Sikap
Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 34.
[22] Kartini
Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 12.
[23] ‘Abdullah, Wawasan
Dakwah..., hal. 25.
[24] Kondisi fisiologis
meliputi kondisi fisik manusia: lingkungan, sandang, pangan dan sebagainya.
Kondisi psikologis meliputi sikap, pola pikir, kebutuhan (motif)
dan sebagainya.
[25] Yunan Yunus,
"Dakwah bil Hāl", Vol. 3. 2, (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 2001), hal. 43.
[26] Djamalul
Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, hal. 128.
[27] Djamal Abidin,
Komunikasi dan Bahasa Dakwah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal.
126.
[28] Dewasa ini
penyaiaran radio semakin maju. Komunikasi langsung antara khalayak dan dāʻiyah
yang berdaʻwah di radio dapat dilakukan melalui sistem phone in program.
Pendengar dapat menelepon langsung menanyakan sesuatu kepada dāʻiyah
yang sedang mengudara menanggapi atau menanyakan sesuatu kepada dāʻiyah
dan didengar oleh seluruh pendengar "dialog di udara." Djamalul
Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hal. 126.
[29] Ibid.,
hal. 123.
[30] Kegiatan ini
dilakukan dari rumah-kerumah, maka rumah sahabat al-Arqam Ibn Abī Arqam
dijadikan sebagai tempat pertama penyampaian dakwah Islām secara berkelompok,
selain itu ada tempat lainnya, yaitu di antaranya As-Ṣuffāh, Dār al-Qurra dan
Kuffah. Said Aqil Husin Al-Munawar, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana,
2003), hal. 1218.
[31] Al-Kirmany, Şahīh
Abī ‘Abdullah Al-Bukhārī, Bisyarhi Al-Kirmany, Juz VIII, (Mesir: Al-Baby
al-Halaby, 1937), hal. 76.
[32] Zakiah
Daradjat, Pendidikan Agama dan Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), hal. 40.
[33] Ibid.,
hal. 67.
[34]
Rusli Amin, Kunci
Sukses Membangun Keluarga Idaman, (Jakarta: Almawardi Prima, 2002), hal.
87.
[35] Ali ‘Abdullah
Halim Mahfud, Dakwah Ibu Rumah Tangga, terj. Ali Abdul Halim Mahmud.,
(Jakarta: Studi Press, 1999), hal. 17.
[36] Sakdiah, Peran Da’iyah dalam
Persfektif Dakwah (Kajian Metodelogi), (Banda Aceh: Dakwah Ar-Raniry Press
dan Bandar Publishing, 2004), Hal. 91.
[37] Hamzah Yaʻqub,
Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, (Bandung: Diponegoro,
1992), hal. 44.