Senin, 20 Maret 2017

MAKALAH HAKIKAT, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM

HAKIKAT, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam”



Dosen Pengampu:
Dr. M. Zainuddin, MA




Pemakalah:
MUHAMMAD FURQAN
(16771006)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



A.      Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi manusia untuk menghadapi kelangsungan hidupnya hingga masa depan. Pendidikan dituntut untuk dapat mengantarkan manusia pada kehidupan yang sesungguhnya. Pendidikan yang dikenal dewasa ini tidak hanya mencakup secara umum tetapi juga spesifik kepada pendidikan Islam. Di mana pendidikan Islam dituntut untuk dapat mencetak generasi-generasi penerus yang handal baik dalam ilmu pendidikan umum maupun agama.
Pendidikan Islam sebagai salah satu aspek dari ajaran Islam, dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw. Dari kedua sumber tersebut, para intelektual muslim kemudian mengembangkannya dan mengklasifikannya ke dalam dua bagian yaitu: pertama, akidah untuk ajaran keimanan; kedua, syariah untuk ajaran amal nyata. Oleh karena pendidikan termasuk amal nyata, maka pendidikan tercakup dalam bidang syariah.
Hal tersebut menggariskan prinsip-prinsip dasar materi pendidikan Islam yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan. Sebagai bantahan pendapat yang meragukan terhadap adanya aspek pendidikan dalam Al-Qur’an, Abdul Rahman Saleh Abdullah mengemukakan bahwa kata Tarbiyah yang berasal dari kata “Rabb”(mendidik dan memelihara), demikian pula kata “’Ilm” yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Al-Qur’an tidak mengabaikan konsep-konsep yang menunjukkan kepada pendidikan. Begitu juga dengan hadist yang juga banyak memberikan dasar-dasar bagi pendidikan Islam. Di sini posisi penting pendidikan Islam membentuk perilaku manusia yang bermartabat.
Hingga saat ini masih ditengarai bahwa sistem pendidikan Islam belum mampu menghadapi perubahan dan menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Oleh sebab itu pola pengajaran maintenance learning yang selama ini dipandang terlalu bersifat adaptif dan pasif harus segera ditinggalkan. Dengan begitu, maka lembaga pendidikan Islam setiap saat dituntut untuk selalu melakukan rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi.
Setidaknya ada dua faktor yang menjadikan model pendidikan Islam berwatak statis dan tertinggal: pertama, subject matter pendidikan Islam masih berorientasi ke masa silam dan bersifat normatif serta tekstual; kedua, masih mengentalnya system pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap selalu benar terhadap warisan masa lalu. Ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan warisan masa lalu. Warisan masa lalu sangat berharga nilainya karena ia merupakan mata rantai sejarah yang tidak boleh diabaikan. Prinsip: tetap memelihara tradisi warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik (al-muhafadhat ala ‘l-Qadim as-Shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-Jadid al-Ashlah) justru merupakan prinsip yang tepat bagi sebuah rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam.
Adanya anggapan, bahwa pendidikan Islam masih merupakan subsistem dari sistem pendidikan secara umum haruslah dilihat dalam kapasitas rancang bangun bagi para pakar pendidikan Islam untuk melakukan rekonstruksi pendidikan Islam tersebut.[1] Dari uraian di atas, maka perlu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut apa sebenarnya hakikat, tujuan dan fungsi pendidikan Islam itu sendiri.
B.       Hakikat Pendidikan Islam
Sebelum membahas hakikat pendidikan Islam secara keseluruhan, alangkah baiknya kita artikan dulu kata-kata pendidikan. Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagoie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.[2]
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.[3] Orang-orang Yunani, lebih kurang 600 tahun sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua “manusia”.
Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan, itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi, tujuan mendidik ialah me-manusia-kan manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas. Seperti apa kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan tiga syarat untuk disebut manusia, pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri; kedua, cinta tanah air; dan ketiga berpengetahuan.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi (mental). Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Dalam konteks ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada kedewasaan fisik belaka, akan tetapi bisa pula dipahami kepada kedewasaan psikis.[5]
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja guna untuk menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan tujuan hidup sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk ke arah masa depan lebih baik dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang berkualitas.
Pendidikan Islam adalah usaha atau upaya manusia secara terstruktur dan terencana yang dilakukan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia baik lahir maupun bathin agar terbentuknya pribadi Muslim seutuhnya dan berkualitas.[6] Adapun potensi manusia yang harus dikembangkan dari segi lahir yaitu semuahal yang berhubungan dengan keadaan fisik. Sedangkan potensi bathin yang harus dikembangkan adalah menyangkut rohani manusia seperti akal, qolb, nafs, dan roh.[7]
Selain itu pendidikan Islam juga berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya sebagaimana kedudukan manusia yang menjadi khalifah filardh dan ‘abdullah[8], dengan kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-Tarbiyah, al-Ta’dib, dan al-Ta’lim. Dari keriga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-Tarbiyah. Sedangkan term al-Ta’dib dan al-Ta’lim jarang sekali digunakan. Padalah kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[9]
Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga term tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam.
1.        Term Al-Tarbiyah
Satu hal yang harus dicatat adalah bahwa istilah tarbiyah untuk menunjukkan kepada pendidikan Islam adalah termasuk hal yang baru. Menurut Muhammad Munir Mursa, istilah ini muncul berkaitan dengan gerakan pembaharuan pendidikan di dunia Arab pada perempat kedua abad ke- 20, oleh karena itu, penggunaannya dalam konteks pendidikan menurut pengertian sekarang tidak ditemukan di dalam referensi-referensi klasik. Yang ditemukan adalah istilah-istilah sperti ta'lim, 'ilm, adab dan tahdzib.[10]
Di lain pihak istilah tarbiyah tampaknya merupakan terjemahan dari istilah latin educare dan educatio yang bahasa inggrisnya educate dan education. Konotasi kata ini menurut Naquib Al-Attas yaitu menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi atau potensial yang di dalam proses menghasilkan dan mengembangkan itu mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Atau kalau di dalam istilah educatio maupun education ada pula pembinaan intelektual dan moral, sumber pelaksanaannya bukanlah wahyu, melainkan semata-mata hasil spekulasi filosofis tentang etika yang disesuaikan dengan tujuan fisik material orang-orang sekuler.[11]
Istilah tarbiyah menurut pendukungnya berakar pada tiga kata. Pertama, kata raba-yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabba-rabiya- yarba yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Kata Al-Rab yang mempunyai akar kata yang sama dengan kata tarbiyah berarti menumbuhkan atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur.[12]
Makna dasar istilah-istilah tersebut (rab, rabiya dan rabba) tidak secara alami mengandung unsur-unsur esensial pengetahuan, inteligensi dan kebijakan, yang pada hakikatnya merupakan unsur-unsur pendidikan sebenarnya. Menurut Al-Jauhari kata tarbiyah dan beberapa bentuk lainnya sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Asma'i berarti memberi makan, memelihara, mengasuh; yakni dari kata ghadza-yaghdzu. Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti anak-anak, tanaman, dan sebagainya.[13]
Pada dasarnya memang tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memlihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia saja, tetapi meluas kepada spesies-spesies lain dan medan-medan sematik lainnya, untuk mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.[14] Karena tarbiyah sebagai sebuah istilah dan konsep yang dapat diterapkan untuk berbagai spesies, maka menurut Naquib Al-Attas, ia tidak cukup cocok untuk menunjukkkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan hanya untuk manusiasaja.
Jadi, penyusupan makna esensial lain yang membawa unsur fundamental pengetahuan ke dalam istilah tarbiyah hanyalah merupakan tindakan yang mengada-ada, karena makna bawaan struktural konseptual tarbiyah tidak secara alami mencakup pengetahuan sebagai salah satu di antaranya.
Kelompok yang mendukung penggunaan istilah tarbiyah menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendukung penggunaan istilah tersebut bagi pendidikan Islam. Ayat-ayat tersebut antara lain:
-       Surat Al-Isra' ayat 24 yang terjemahannya sebagai berikut: "… dan ucapkanlah, "Wahai tuhanku kasihilah mereka keduanya sebagimana mereka berdua telah mengasihi aku waktukecil".
-       Surat Al-Syu'ara' ayat 18 yang terjemahannya sebagai berikut: "Fir'aun menjawab, "Bukankah kami yang telah mengasuhmu di dalam (keluarga) kami waktu kamu masih kank-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dariumurmu…".
'Abdurrahman Al-Nahlawi, salah seorang pendukung istilah tarbiyah, berpendapat bahwa pendidikan berarti: (a) memelihara fitrah anak; (b) menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya; (c) mengarahkan seluruh fitrah dan bakat agar menjadi baik dan sempurna; dan  (d) bertahap dalam prosesnya.
Sehubungan dengan ayat Al-Qur’an yang dikemukakan di atas, Muhammad Al-Naquib Al-Attas menjelaskan bahwa kata “rabbayani” di situ bermakna rahmah, yaitu ampunan atau kasih sayang. Istilah itu mempunyai arti pemberian makna dan kasih sayang, pakaian dan tempat berteduh serta perawatan; pendeknya pemeliharaan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya.[15]
Jadi, kata tarbiyah disini sama artinya dengan kata rahmah atau ampunan. Apabila Tuhan yang menciptakan, memelihara, menjaga, mengurus dan memiliki tindakan-tindakan yang menyebabkan Tuhan disebut sebagai Al-Rabb, maka semuanya itu adalah tindakan-tindakan rahmah atau kasih sayang. Apabila manusia yang secara analogis melakukan tindakan-tindakan seperti itu kepada keturunannya, maka hal itu disebut tarbiyah. Memang, pengertian utama Al-Rabb, sebagai yang telah dikemukakan di atas, yaitu membawa sesuatu kepada keadaan kelengkapan secara berangsur, tetapi tindakan itu sebagai tindakan rahmah dan karenanya juga secara analogis berarti tindakan-tindakan tarbiyah tidak melibatkan pengetahuan. Hal itu lebih mengacu kepada suatu kondisi eksisitensial atau kondisi fisik dan material daripada kondisi rasional dan intelektual. Kondisi yang terakhir ini mengharuskan penanaman pengetahuan sebagai yang telah dijelaskan, tidak inheren dalam kata tarbiyah.[16]
Oleh sebab itu, ketika Fir'aun berkata kepada Nabi Musa: "alam nurabbika fina walida"[17] kita tidak diharapkan untuk menyimpulkan bahwa dengan demikian Fir'aun telah "mendidik" Nabi, meskipun kenyataannya Fir'aun, dengan menggunakan ungkapan nurabbika, memang melakukan "tarbiyah" atas Nabi Musa. Tarbiyah, secara sederhana, berarti membesarkan, tanpa meski mencakup penanaman pengetahuan dalam proses itu.
Apabila dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan bisa disusupkan dalam konsep rabba, maka makna tersebut mengacu kepada pemilikan pengetahuan dan bukan pada proses  penanamannya. Oleh karenanya, hal itu tidak mengacu pada pendidikan dalam arti yang kita maksudkan, seperti adanya istilah rabbaniy yang diberikan bagi orang-orang bijaksana yang terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang Al-Rabb.
Sejalan dengan Al-Attas, Abdul Fattah Jalal, ahli pendidikan Universitas Al-Azhar, juga menjelaskan bahwa yang dimaksud tarbiyah di dalam surat Al- Isra/17:24 dan Al-Syura/26:18 di atas adalah pendidikan yang berlangsung pada fase bayi dan kanak-kanak masa anak masih sangat bergantung pada pemeliharaan bergantung kepada kasih sayang kedua orang tuanya. Dengan demikian pengertian pendidikan yang digali dari kata tarbiyah terbatas pada pemeliharaan dan pengasihan anak manusia pada masa kecil. Oleh karena itu pula bimbingan dan penyuluhan yang diberikan sesudah masa itu tidak lagi termasuk dalam pengertian pendidikan.[18]
2.        Term Al-Talim
Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk konsep pendidikan dalam Islam adalah ta'lim. Secara bahasa (etimologi), ta’lim merupakan bentuk masdar dari kata ‘allama-yu’allimu-ta’liman yang berarti pengajaran. Dalam Al-Qur’an, kata ta’lim muncul dalam berbagai surat.  Sedangkan menurut istilah (terminologi) kata ta’lim adalah pendidikan yang menitikberatkan pada pengajaran, penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu.
Ta’lim mempunyai ruang lingkup yang luas, tidak terbatas pada pendidikan dalam keluarga, akan tetapi dapat diartikan sebagai semua proses dan bentukan pendidikan baik dalam keluarga (in formal), pendidikan formal, dan pendidikan non formal. Ta’lim berlangsung secara terus menerus sepanjang hayat, sejalan dengan konsep pendidikan seumur hidup. Oleh karena itu istilah ta’lim mencakup aspek kognitif (ilmu pengetahuan), afektif (sikap), dan aspek psikomotorik (keterampilan).[19]
Istilah ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan tarbiyah maupun ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.[20]
Jalal memberikan alasan bahwa proses ta’lim lebih umum dibandingkan dengan proses tarbiyah:
-       Pertama, ketika mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah saw tidak terbatas pada membuat mereka sekedar dapat membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah sehingga terjadi pembersihan diri (tazkiyah al-nufus) dari segala kotoran, menjadikan dirinya dalam kondisi siap menerima hikmah, dan mempelajari segala sesuatu yang belum diketahuinya dan yang tidak diketahuinya serta berguna bagi dirinya
-       Kedua, kata ta’lim tidak berhenti hanya kepada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid semata-mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongengan hayalan dan syahwat atau cerita-cerita dusta.
-       Ketiga, kata ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik.
Dengan demikian kata ta’lim menurut Jalal mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dan berlangsung sepanjang hayat serta tidak terbatas pada masa bayi dan kanak-kanak, tetapi juga orang dewasa. Sementara itu Abrasyi, menjelaskan kata ta’lim hanya merupakan bagian dari tarbiyah karena hanya menyangkut domain kognitif. Al-Attas menganggap kata ta’lim lebih dekat kepada pengajaran atau pengalihan ilmu dari guru kepada pembelajaran, bahkan jangkauan aspek kognitif tidak memberikan porsi pengenalan secara mendasar.[21]
3.        Term Al-Tadib
Istilah ketiga yang digunakan untuk menunjukkan kepada pendidikan adalah adab. Arti dasar istilah ini yaitu “undangan kepada suatu perjamuan”, Ibn Mandzur juga menyebutkan ungkapan “addabahu fataaddaba” berarti allamahu (mendidiknya).[22] Gagasan ke suatu perjamuan mengisyaratkan bahwa tuan rumah adalah orang yang mulia dan adanya banyak orang yang hadir, dan bahwasanya yang hadir adalah orang-orang yang menurut perkiraan tuan rumah pantas mendapatkan kehormatan untuk diundang dan oleh karen itu, mereka adalah orang-orang bermutu dan berpendidikan tinggi yang diharapkan bisa bertingkah laku sesuai dengan keadaan, baik dalam berbicara, bertindak maupun etiket.[23]
Pendidikan menurut Al-Attas, dalam kenyataannya adalah ta'dib karena adab sebagaimana didefenisikan di atas sudah mencakup ilmu dan amal sekaligus. Keterkaitan konseptual kedua istilah itu, 'ilm dan adab, di dalam hadis lain lebih langsung sehingga mengisyaratkan identitas antara adab dan ilmu, "Addabani Rabbi fa ahsana ta'dibi" (Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadilah pendidikanku yang terbaik).
Di dalam hadis ini secara eksplisit digunakan istilah ta'dib (yang diartikan pendidikan) dari kata addaba yang berarti mendidik. Kata ini, menurut Al-Zajjaj, dikatakan sebagai cara Tuhan mendidik Nabi-Nya,[24] tentu saja mengandung konsep pendidikan yang sempurna.
Al-Attas mengatakan konsep tadib-lah yang lebih baik ketimbang tarbiyah dan ta’lim. Menurutnya, konsep ta’dib harus dipahami secara benar-benar dan menyeluruh karena struktur ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (ta’lim), serta pembinaan yang baik (tarbiyah). Walaupun dalam Al-Qur’an sendiri tidak menggunakan istilah “adab” ataupun istilah lainnya yang memiliki akar kata sama dengannya, namun istilah adab sering disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw, atsar para sahabat, puisi-puisi, ataupun karya sarjana Muslim yang datang setelah mereka.[25]
Pada prinsipnya Islam mengakui pada diri manusia terdapat potensi untuk berbuat baik sekaligus berbuat jahat. Sehingga Islam berusaha mengarahkan potensi tersebut dalam koridor agama,[26] usaha ke arah tersebut bukan hanya perpindahan sejumlah teori ilmu pengetahuan, tapi lebih dari itu juga adalah penanaman nilai-nilai moral. Sejalan dengan itu, hakekat pendidikan pada dasarnya adalah mewariskan nilai-nilai Islami yang menjadi penuntun dalam melakoni aktivitasnya yang sekaligus sarana untuk membentuk peradaban manusia.[27]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tarbiyah dalam pengertian aslinya dan dalam penerapan dan pemahaman kaum Muslimin pada masa-masa awal tidak dimaksudkan untuk menunjukkan pendidikan maupun proses pendidikan. Penonjolan kualitatif pada konsep tarbiyah adalah kasih sayang (rahmah) dan bukannya pengetahuan ('ilm). Sementara dalam kasus ta'dib pengetahuan lebih ditonjolkan dari pada unsur kasih sayang. Dalam struktur konseptualnya ta'dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan ('ilm), pengajaran (ta'lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Oleh karena itu, ta'dib, merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan pendidikan Islam.[28] Adapun istilah pendidik dalam konteks ta’dib ini adalah Mu’addib yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.

C.      Tujuan Pendidikan Islam

Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam tentunya tidak dapat dilepaskan pada dasar dan hakikat pendidikan. Dimana menetapkan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Adapun suatu kegiatan yang terencana pasti memiliki tujuan. Seperti halnya dengan pendidikan Islam yang terlaksana karena memiliki tujuan dan karena adanya sesuatu yang diharapkan. Manusia pun juga merupakan makhluk yang sadar tujuan, dalam arti setiap aktifitasnya senantiasa disadari dan dimiliki tujuan yang hendak dicapainya. Dan yang dimaksud dengan tujuan adalah sesuatu yang dicita-citakan dimasa yang akan datang dan ingin diwujudkan dengan berbagai daya dan upaya.[29]
Secara terminologis, tujuan adalah arah, haluan, jurusan, maksud. Selain itu, tujuan juga dapat diartikan sebagai sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan. Menurut Zakiah Darajat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan Islam.[30]
Secara epistemologis, merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya. Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya, sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal, yaitu “Rahmatan lil ‘Alamin”. Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya.
Secara ontologis, dalam Islam, hakikat manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Sedangkan menurut tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.[31]
Sebagai bagian dari komponen kegiatan pendidikan, keberadaan rumusan tujuan pendidikan memegang peranan sangat penting. Karena memang tujuan berfungsi mengarahkan aktivitas, mendorong untuk bekerja, memberi nilai dan membantu mencapai keberhasilan.[32] Pendidikan Islam bertugas mempertahankan, menanamkan, dan mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai islami yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits.[33]
Menurut Ibn Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan Al-Kaylani, tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu:
1)   Tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah swt Dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus).
2)   Mengetahui ilmu Allah swt, melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya.
3)   Mengetahuai kekuatan (qudrah) Allah swt melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas,dan kreativitas makhluk-Nya.
4)   Mengetahui apa yang diperbuat Allah swt, (Sunnah Allah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.[34]
Adapun pendapat ahli lain, Abdurrahman Saleh Abdullah ikut memperkuat dengan adanya pendapat diatas. Yaitu menyatakan bahwa proses pendidikan terkait dengan kebutuhan dan tabiat manusia sehingga tujuan pendidikan Islam secara umum harus meliputi empat aspek, yaitu:
1)   Tujuan Pendidikan Jasmani (Al-Ahdaf Al-Jismiyah)
Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam kerangka mempersiapkan diri manusia sebagai tugas pengemban tugas khalifah fil ardh, melalui pelatihan keterampilan fisik. Beliau berpijak pada pendapat Imam Al-Nawawi yang menafsirkan Al-Qowiy sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. (QS. Al-Baqarah: 247, QS. Al-Anfal: 60).
2)   Tujuan Pendidikan Rohani(Al-Ahdaf Al-Ruhaniah)
Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam kerangka meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah swt semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi Muhammad saw dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran: 19). Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua (QS. Al-Baqarah: 10), berupaya memurnikan dan menyucikan diri manuisa secara individual dari sikap negative (QS. Al-Baqarah: 126) inilah yang disebut dengan tazkiyah (purification) dan hikmah (wisdom).

3)   Tujuan PendidikanAkal (Al-Ahdaf Al-Aqliyah)
Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam rangka mengarahkan potensi intelegensi manusia untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya, dengan menelaah ayat-ayat-Nya (baik qouliyah dan kauniyah) yang membawa kepada perasaan keimanan kepada Allah. Tahapan pendidikan akal ini adalah:
a.    Pencapaian kebenaran ilmiah (‘ilmu al-yaqin) (QS. Al-Takatsur: 5).
b.    Pencapaian kebenaran empiris (‘ain al-yaqin) (QS. Al-Takatsur: 7).
c.    Pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin lebih tepatnya kebenaran filosofis (haqq al-yaqin) (QS. Al-Waqiah: 95).

4)   Tujuan Pendidikan Sosial (Al-Ahdaf Al-Ijtima’iyyah)
Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam kerangka pembentukan kepribadian yang utuh. Pribadi disini tercermin sebagai al-nass yang hidup pada masyarakat plural (majemuk).[35]
Menurut Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, tujuan pendidikan harus tercermin pada dua segi yaitu sebagai manusia yang mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi manusia yang bertujuan mendapat kebahagiaan dunia akhirat. Al-Ghazali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.[36]
Dari beberapa rumusan tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian dan potensi manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan fisik, jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, dan rohani yang mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah atau potensi manusia yang meliputi aqidah, akhlak mulia, berfikir, kekuatan jasmani, serta membentuk manusia menjadi kreatif, inisiatif, antisipatif, dan responsif. Oleh karena itu, pendidikan Islam hendaknya memperhatikan didikan sebagai bekal di dunia yang tentu juga mempersiapkannya sebagai bekal di akhirat supaya mampu untuk merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an.
Kemudian, dapat disimpulkan juga bahwa tujuan pendidikan Islam adalah: “terbentuknya insan kamil (manusia paripurna) yang mempunyai wajah-wajah qur’ani yang di dalamnya memiliki wawasan khaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris Nabi (warasatalanbiya’)”.

D.      Fungsi Pendidikan Islam

Fungsi pendidikan Islam secara mikro sudah jelas yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya insan yang ada pada subyek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lazim digunakan yaitu menuju kepribadian Muslim. Lebih lanjut secara makro fungsi pendidikan Islam dapat ditinjau dari fenomena yang muncul dalam perkembangan peradaban manusia, dengan asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
Fenomena tersebut dapat kita telusuri melalui kajian antropologi budaya dan sosiologi yang menunjukkan bahwa peradaban masyarakat manusia dari masa ke masa semakin berkembang maju yang diperoleh melalui interaksi komunikasi sosialnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, ditinjau dari segi antropologi budaya dan sosiologi, fungsi pendidikan ialah menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai manusia di alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya kreatifitas yang dapat membangun dirinya dan lingkungannya. Abdul Halim menyebutkan dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, fungsi pendidikan dilihat secara operasional adalah:
1)   Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat nasional.
2)   Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.[37]
Menurut pandangan pendidikan Islam, fungsi pendidikan itu bukanlah sekedar mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan otak peserta didik saja, tetapi juga menyelamatkan fitrahnya. Oleh karena itu fungsi pendidikan dan pengajaran Islam dalam hubungannya dengan faktor anak didik adalah untuk menjaga, menyelamatkan, dan mengembangkan fitrah ini agar tetap menjadi al-fithratus salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya, agar anak tetap memiliki aqidah keimanan yang tetap dibawanya sejak lahir itu, terus menerus mengokohkannya, sehingga mati dalam keadaan fitrah yang semakin mantap, tidak menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi ataupun agama-agama dan faham-faham yang selain Islam.[38]
Al-Quran pun secara eksplisit menyebutkan fungsi pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 151:
!$yJx. $uZù=yör& öNà6Ïù Zwqßu öNà6ZÏiB (#qè=÷Gtƒ öNä3øn=tæ $oYÏG»tƒ#uä öNà6ŠÏj.tãƒur ãNà6ßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur Nä3ßJÏk=yèãƒur $¨B öNs9 (#qçRqä3s? tbqßJn=÷ès? ÇÊÎÊÈ  

Artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 151).

Dari ayat di atas ada lima 5 fungsi pendidikan yang dibawa Nabi Muhammad, yang dijelaskan dalam tafsir Al-Manar karangan Muhammad Abduh. Yang dimaksud dengan 5 fungsi pendidikan ialah:
1)   Membacakan ayat-ayat kami, (ayat-ayat Allah) ialah membacakan ayat-ayat dengan tidak tertulis dalam Al-Quran (Al-Kauniyah), ayat-ayat tersebut tidak lain adalah alam semesta. Dan isinya termasuk diri manusia sendiri sebagai mikro kosmos. Dengan kemampuan membaca ayat-ayat Allah wawasan seseorang semakin luas dan mendalam, sehingga sampai pada kesadaran diri terhadap wujud zat Yang Maha Pencipta (yaitu Allah).
2)   Menyucikan diri merupakan efek langsung dari pembacaan ayat-ayat Allah setelah mengkaji gejala-gejalanya serta menangkap hukum-hukumnya. Yang dimaksud dengan penyucian diri menjauhkan diri dari syirik (menyekutukan Allah) dan memelihara akhlaq al-karimah.  Dengan sikap dan perilaku demikian fitrah kemanusiaan manusia akan terpelihara.
3)   Yang dimaksud mengajarkan al-kitab ialah Al-Quran Al-karim yang secara eksplisit berisi tuntunan hidup. Bagaimana manusia berhubungan dengan tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya.
4)   Hikmah, menurut Abduh adalah hadits, akan tetapi kata al-hikmah diartikan lebih luas yaitu kebijaksanaan, maka yang dimaksud ialah kebijaksanaan hidup berdasarkan nilai-nilai yang datang dari Allah dan rasul-Nya. Walaupun manusia sudah memiliki kesadaran akan perlunya nilai-nilai hidup, namun tanpa pedoman yang mutlak dari Allah, nilai-nilai tersebut akan nisbi. Oleh karena itu, menurut Islam nilai-nilai kemanusiaan harus disadarkan pada nilai-nilai Ilahi (Al-Quran dan Sunnah Rasulullah).
5)   Mengajarkan ilmu pengetahuan, banyak ilmu pengetahuan yang belum terungkap, itulah sebabnya Nabi Muhammad mengajarkan pada umatnya ilmu pengetahuan yang belum diketahui oleh umat sebelumnya. Karena tugas utamanya adalah membangun akhlak al-karimah.[39]
Namun sebagai antisipasi ke depan dan dalam memberikan wawasan global, Nabi banyak menganjurkan umatnya untuk belajar dan menuntut ilmu dari siapa saja dan dari manapun sumbernya: اطلب العلم ولو بالصينTuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Dengan mengembalikan kajian antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif Al-Quran dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam adalah:
a.    Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenal jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan serta memahami hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Dengan himbauan ini akan menumbuhkan kreativitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan “pencipta”.
b.    Membebaskan manusia dari segala analisis yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.
c.    Mengembalikan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial.[40]
Dari sanalah terlihat bahwa betapa pentingnya fungsi pendidikan dan pengajaran di dalam menyelamatkan dan mengembangkan fitrah ini. Di pihak lain, pendidikan dan pengajaran juga berfungsi untuk mengembangkan potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan yang ada pada diri anak agar ia bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi pergaulan hidup di sekelilingnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.[41]
Dalam upaya merekonstruksi pendidikan Islam, kita perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan Islam, yang meliputi:
1)   Pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem kehidupan Islam, yaitu suatu proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral Islam melalui sejumlah informasi, pengetahuan, sikap, prilaku dan budaya.
2)   Pendidikan Islam merupakan sesuatu yang integrated artinya mempunyai kaitan yang membentuk suatu kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lain.
3)   Pendidikan Islam merupakan life long process sejak dini kehidupan manusia.
4)   Pendidikan Islam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni harus mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara pendidik dan peserta didik.
5)   Pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai pesan-pesan moral pada peserta didik.
Prinsip-pinsip di atas akan membuka jalan dan menjadi pondasi bagi terciptanya konsep pendidikan Islam. Dengan tawaran prinsip inilah, konsep pendidikan Islam lebih pas apabila diletakkan dalam kerangka pemahaman, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam, bukan pendidikan tentang Islam. Pendidikan Islam hendaknya bukan saja berusaha meningkatkan kesadaran beragama, melainkan juga untuk melihat perubahan-perubahan sosial dan perspektif transedental, dan menempatkan iman sebagai sumber motivasi perkembangan dalam menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern.
Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan Islam terkandung upaya peningkatan kemampuan mengintegrasikan akal dengan nurani dalam menghadapi masalah perubahan sosial. Dengan begitu diharapkan pendidikan Islam dapat memenuhi fungsi yang luhur dalam menghadapi perkembangan sosial, apabila dalam proses belajar mengajar menggunakan pola pengajaran innovative learning, yakni: (1) berusaha memupuk motivasi yang kuat pada peserta didik untuk mempelajari dan memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada, (2) berusaha memupuk sikap berani menghadapi tantangan hidup, kesanggupan untuk mandiri dan berinisiatif, peka terhadap kepentingan sesama manusia dan sanggup bekerja secara kolektif dalam suatu proses perubahan sosial.[42]
Sampai saat ini masih terdapat beberapa kesalahpahaman umum (salah kaprah) tentang pendidikan yang terus mempengaruhi pemikiran banyak pihak. Kesalahpahaman tersebut disebabkan oleh adanya pemahaman parsial dan mekanistik tentang anak dan proses pendidikan. Pada sebagian pendidik kita masih memiliki anggapan bahwa semua anak adalah sama dan dapat diinjeksi informasi secara berlebihan. Karena pemahaman seperti inilah, banyak anak-anak yang gagal dalam proses pendidikan tanpa adanya beban kesalahan yang mereka dilakukan. Para pendidik dan orang tua harus mengenal dan memahami bahwa setiap anak itu unik dan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Praktik pendidikan yang dibutuhkan saat ini adalah perubahan terhadap pemahaman yang lebih natural, menyeluruh, dan ramah (humanis) tentang anak, pendidikan dan proses pembelajaran.
Berikut ini adalah beberapa kesalahpahaman umum tentang pendidikan dan sekaligus pandangan alternatifnya:
Komponen
Senyatanya
Seharusnya
Visi
Pendidikan dianggap sebagai disiplin yang terpisah; partikularistik, masih memakai paradigma mekanistik (model perusahaan).
Pendidikan dipandang secara holistik, menyeluruh dan berparadigma rekonstruktif.
Tujuan
Perolehan informasi ansich, pengetahuan dan keterampilan hanya untuk perolehan pekerjaan.
Beyond schooling, bagaimana belajar (how to learn), pembelajaran seumur hidup (life long education), pengembangan manusia seutuhnya (ulǖ al-albǡb dan khaira ummah).
Isi
Pembelajaran bersifat konvensional, sekadar informatif, tidak relevan dengan kehidupan riil siswa, hanya terfokus pada instruksi/ pengajaran textbook.
Pembelajaran bersifat kontekstual, transformatif, realistik, kurikulum berbasis kehidupan nyata.
Struktur
Struktur tidak koheren atau disusun oleh disiplin akademik yang rigid.
Gagasan bersifat powerful (powerful ideas), mampu memberi inspirasi dan transformasi, mampu membangun kepribadian dan jati diri anak.
Metode
Didaktik (ceramah, monolog); guru sebagai pusat, satu model untuk semua siswa, tidak inspiratif.
Discovery learning, terpusat pada siswa, pengajaran bervariasi, dialogis, interaktif, guru sebagai penunjuk (guide), modellling dan mentoring, model pembelajaran terpadu/ integrated learning model (ILM)
Program
Terfokus pada masa lampau, belajar tentang Islam dan kepemilikan Islam, ritual-seremonial.
Life mastery, terpusat pada hal-hal kekinian,belajar menjadi Muslim”, Islam sebagai gaya hidup; Islam untuk pemahaman atau penguasaan hidup/ Islam for Life Mastery (ILM).
Penilaian
Tes formal bersifat textbook, benar-salah, lulus atau tidak lulus, tes standar.
Authentic assessment, berhubungan dengan dunia riil, penilaian bersifat multi inteligensi.

Kini masalah pembaruan pendidikan lagi gencar-gencarnya digaungkan, sehingga Muslim yang tercerahkan (enlightened Muslim) diharapkan mampu menemukan solusi riil terhadap permasalahan-permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi komunitas Muslim termasuk “bagaimana” dan “apa” yang harus diajarkan pada anak-anak kita. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pembaruan visi pendidikan sangat mendesak dilakukan, salah satunya adalah mencetak generasi yang mempunyai tingkat pemahaman, komitmen, dan tanggung jawab sosial yang mampu mengabdikan diri pada kemanusiaan dan sosial secara efektif.[43]
E.       Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan hakikat, tujuan dan fungsi pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:
1.    Pendidikan Islam adalah usaha atau upaya manusia secara terstruktur dan terencana yang dilakukan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia baik lahir maupun bathin agar terbentuknya pribadi Muslim seutuhnya dan berkualitas. Untuk mengungkapkan hakikat pendidikan Islam, dapat dikenal dengan beberapa istilah yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.
2.    Sekalipun tujuan pendidikan oleh sejumlah pakar bervariasi dari sudut redaksional, namun substansi tetap satu, yaitu pendidikan Islam bertujuan melahirkan sosok muslim yang tunduk dan patuh kepada Allah swt sebagai konsekwensi dari kekhalifahannya dan ‘abdullah. Lebih dari itu pendidikan Islam bertujuan melahirkan manusia yang tunduk, patuh, dan menyerahkan diri kepada Allah swt.
3.    Sedangkan fungsi pendidikan itu bukanlah sekedar mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan otak peserta didik, tetapi juga menyelamatkan fitrahnya. Oleh karena itu fungsi pendidikan dan pengajaran Islam dalam hubungannya dengan faktor anak didik adalah untuk menjaga, menyelamatkan, dan mengembangkan fitrah ini agar tetap menjadi al-fithratus salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya, agar anak tetap memiliki aqidah keimanan yang tetap dibawanya sejak lahir itu, terus menerus mengokohkannya, sehingga mati dalam keadaan fitrah yang semakin mantap, tidak menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi ataupun agama-agama dan faham-faham yang selain Islam.
4.    Adapun konsep pendidikan Islam adalah berlandaskan kepercayaan bahwa pengembangan dan transformasi manusia, khususnya pengembangan karakter adalah tujuan sentral pendidikan. Oleh karena itu konsep pendidikan Islam harus mengembangkan program pendidikan yang yang menfokuskan pada karakter dan pengajaran nilai, yang menekankan pada isu identitas dan jati diri manusia, di samping juga mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam berkomukasi dan hubungan interpersonal, pelatihan pelayanan masyarakat dan kepemimpinan, melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam haruslah disusun dan distrukturkan untuk memenuhi keseluruhan tujuan-tujuan tersebut di atas.



DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.
Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, Terj. Fathur Rahman, Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, Jakarta: Kencana, 2014.
Hamdan Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Maktabah Lubnan, 1980.
Hasan Langgulung, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Heri Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Ibn Manzur, Lisan Al-Arab, Jilid I, Beirut: Dar Shadir, 1990.
M. Abduh, Tafsir al-Manar, Juz III, Beirut: Darul Ma’arif, t.th.
Majid ‘Irsan Al-Kaylani, Al-Fikr Al-Tarbawi ‘inda Ibn Taymiyah, Al-Madinah Al-Munawarah: Maktabah Dar Al-Tarats, 1986.
Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Griya Santri, 2010.
Maragustam, Mencetak Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), Yogyakarta: Nuha Litera, 2010.
Muhammad Al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Frame Work for an Islamic Phylosophy of Education, Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1996.
Muhammad Munir Mursa, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah: Ushuluha wa Ththawwuruha fi Al-Bilad Al-Arabiyah, Kairo: 'Alam Al-kutub, 1977.
Muslihusah dan Adi Wijdan, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Medya, 1997.
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Raghib Al-Asfahaniy, Mu'jam Al-Mufradat li Alfazh Al-Qur'an, Damaskus: Dar Al-Qalam, 1997.
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Tobroni, Pendidikan Islam Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas, Malang: UMM Pers, 2008.
http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id



[1] M. Zainuddin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, dilansir melalui laman http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/08/rekonstruksi-pendidikan-islam/#more-79i dikutip pada tanggal 22 Mei 2017.
[2] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), hlm. 111.
[3] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 111.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), hlm. 33.
[5] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 111.
[6] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 11.
[7] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, hlm. 12.
[8] Islam memberikan dua kedudukan kepada manusia yaitu sebagai: a. khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi) yang akan memakmurkan bumi ini dengan segala potensi yang dimilikinya, dan hal ini tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 30; b. ‘abdullah (hamba Allah) yang selalu tunduk dan patuh kepada-Nya baik dalam ucap, langkah, perbuatan, maupun pemikirannya.
[9] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 25.
[10] Muhammad Munir Mursa, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah: Ushuluha wa Ththawwuruha fi Al-Bilad Al-Arabiyah, (Kairo: 'Alam Al-kutub, 1977), hlm. 17.
[11] Muhammad Al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Frame Work for an Islamic Phylosophy of Education, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 64-65.
[12] Kata ini adalah bentuk mashdar yang dipinjam untuk bentuk pelaku atau mashdar musta'ar li Al-fa'il. Lihat Raghib Al-Asfahaniy, Mu'jam Al-Mufradat li Alfazh Al-Qur'an, (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1997), hlm. 336. Kata Al-Rab (dlm bentuk ma'rifah dengan alif dan lam) hanya digunakan untuk Allah swt, kecuali di dalam syair yang jumlahnya sangat terbatas. Dialah Rab (pemilik) segala sesuatu. Apabila digunkan untuk selain Allah swt biasanya bentuk idhafah, seperti ungkapan Fulan Rab Al-Bait (Fulan adalah pemilik rumah itu). Lihat Ibn Manzur, Lisan Al-Arab, Jilid I, (Beirut: Dar Shadir, 1990), hlm. 399-400.
[13] Ibid
[14] Karena itu pula di dalam kamus-kamus bahasa Arab seperti A Dicionaryi of Modern Written Arabic ditemukan istilah Tarbiyat Al-Hayawan, Tarbiyat Al-Dajaj, Tarbiyat Al-Nabatat dan sebagainya yang menunjukkan bahwa istilah tarbiyah penggunaannya  tidak hanya  terbatas pada manusia saja. Lihat Hans Wehr, hlm. 324.
[15] Muhammad Al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hlm. 70.
[16] Muhammad Al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hlm. 72.
[17] Al-Qur'an Surat Al-Syu'ara/26:18.
[18] Heri Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 6.
[19] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 5-6.
[20] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 27.
[21] Maragustam, Mencetak Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hlm. 25-26.
[22] Ibn Mandzur, Lisan Al-‘Arab, hlm. 206.
[23] Muhammad Al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hlm. 61.
[24] Ibn Mandzur, Lisan Al-‘Arab, hlm. 202.
[25] Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 7.
[26] Umar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafat Tarbiyyah Al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 145.
[27] Muslihusah dan Adi Wijdan, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Aditya Medya, 1997), hlm. 221.
[28] Heri Gunawan, Pendidikan Islam, hlm. 8.
[29] Tobroni, Pendidikan Islam Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas, (Malang: UMM Pers, 2008), hlm. 49.
[30] Hamdan Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 68.
[31] Hamdan Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 68.
[32] Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), hlm. 27.
[33] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 110.
[34] Majid ‘Irsan Al-Kaylani, Al-Fikr Al-Tarbawi ‘inda Ibn Taymiyah, (Al-Madinah Al-Munawarah: Maktabah Dar Al-Tarats, 1986), hlm. 117-118.
[35] Heri Gunawan, Pendidikan Islam, hlm. 11.
[36] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, Terj. Fathur Rahman, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), hlm.24.
[37] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 34.
[38] Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 107.
[39] M. Abduh, Tafsir al-Manar, Juz III, (Beirut: Darul Ma’arif, t.th), hlm. 29.
[40] Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 33.
[41] Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, hlm.108.
[42] M. Zainuddin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, dilansir melalui laman http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/08/rekonstruksi-pendidikan-islam/#more-79i dikutip pada tanggal 22 Mei 2017.
[43] M. Zainuddin, Reformulasi Paradigma Pendidikan Islam Untuk Menyiapkan Generasi Masa Depan, melalui laman http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/11/reformulasi-paradigma-pendidikan-islam-untuk-menyiapkan-generasi-masa-depan/ dikutip pada tanggal 22 Mei 2017.