HAKIKAT, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Pendidikan Islam”
Dosen
Pengampu:
Dr. M.
Zainuddin, MA
Pemakalah:
MUHAMMAD
FURQAN
(16771006)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi
manusia untuk menghadapi kelangsungan hidupnya hingga masa depan. Pendidikan
dituntut untuk dapat mengantarkan manusia pada kehidupan yang sesungguhnya.
Pendidikan yang dikenal dewasa ini tidak hanya mencakup secara umum tetapi juga
spesifik kepada pendidikan Islam. Di mana pendidikan Islam dituntut untuk dapat
mencetak generasi-generasi penerus yang handal baik dalam ilmu pendidikan umum
maupun agama.
Pendidikan Islam sebagai salah
satu aspek dari ajaran Islam, dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad
saw. Dari kedua sumber tersebut, para intelektual muslim kemudian mengembangkannya dan
mengklasifikannya ke dalam dua bagian yaitu: pertama, akidah untuk ajaran keimanan; kedua, syariah untuk ajaran amal
nyata. Oleh karena pendidikan termasuk amal nyata, maka pendidikan tercakup
dalam bidang syariah.
Hal tersebut
menggariskan prinsip-prinsip dasar materi pendidikan Islam yang terdiri atas
masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan. Sebagai bantahan pendapat
yang meragukan terhadap adanya aspek pendidikan dalam Al-Qur’an, Abdul Rahman
Saleh Abdullah mengemukakan bahwa kata Tarbiyah yang berasal dari
kata “Rabb”(mendidik dan memelihara), demikian pula kata “’Ilm” yang
banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Al-Qur’an
tidak mengabaikan konsep-konsep yang menunjukkan kepada pendidikan. Begitu juga
dengan hadist yang juga banyak memberikan dasar-dasar bagi pendidikan Islam. Di sini posisi penting pendidikan Islam
membentuk perilaku manusia yang
bermartabat.
Hingga
saat ini masih ditengarai bahwa sistem pendidikan Islam belum mampu menghadapi perubahan dan menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Oleh sebab itu pola pengajaran maintenance learning yang selama ini dipandang terlalu
bersifat adaptif dan pasif harus segera ditinggalkan. Dengan begitu, maka
lembaga pendidikan Islam setiap saat dituntut untuk selalu melakukan rekonstruksi
pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang
terjadi.
Setidaknya
ada dua faktor yang menjadikan model pendidikan Islam berwatak statis dan
tertinggal: pertama, subject matter pendidikan
Islam masih berorientasi ke masa
silam dan bersifat normatif serta tekstual; kedua, masih mengentalnya system pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap
selalu benar terhadap warisan
masa lalu. Ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan warisan masa
lalu. Warisan masa lalu sangat berharga nilainya karena ia merupakan mata
rantai sejarah yang tidak boleh diabaikan. Prinsip: tetap memelihara tradisi
warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik (al-muhafadhat ala ‘l-Qadim
as-Shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-Jadid al-Ashlah) justru
merupakan prinsip yang tepat bagi sebuah rekonstruksi pemikiran pendidikan
Islam.
Adanya anggapan, bahwa pendidikan Islam masih merupakan subsistem
dari sistem pendidikan secara
umum haruslah dilihat dalam kapasitas rancang bangun bagi para pakar pendidikan
Islam untuk melakukan rekonstruksi pendidikan Islam tersebut.[1] Dari uraian di atas, maka perlu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut apa
sebenarnya hakikat, tujuan dan fungsi pendidikan Islam itu sendiri.
B. Hakikat Pendidikan Islam
Sebelum
membahas hakikat pendidikan Islam secara keseluruhan, alangkah baiknya kita
artikan dulu kata-kata pendidikan. Istilah pendidikan berasal dari kata “didik”
dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan”
(hal, cara dan sebagainya). Istilah
pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagoie” yang
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education”
yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah”
yang berarti pendidikan.[2]
Dalam
perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa.[3] Orang-orang Yunani, lebih kurang 600 tahun sebelum
Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi
manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan
kedua “manusia”.
Manusia
perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah
menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan, itu menunjukkan
bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia
gagal menjadi manusia. Jadi, tujuan mendidik ialah me-manusia-kan manusia. Agar
tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia
yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas. Seperti apa kriteria manusia
yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh
filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan tiga
syarat untuk disebut manusia, pertama, memiliki
kemampuan dalam mengendalikan diri; kedua,
cinta tanah air; dan ketiga berpengetahuan.[4]
Dalam
perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai
tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi (mental). Dengan demikian
pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Dalam
konteks ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada kedewasaan fisik
belaka, akan tetapi bisa pula dipahami kepada kedewasaan psikis.[5]
Maka
dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu adalah suatu proses yang dilakukan
secara sadar atau disengaja guna untuk menambah pengetahuan, wawasan serta
pengalaman untuk menentukan tujuan hidup sehingga bisa memiliki pandangan yang
luas untuk ke arah masa depan lebih baik dan dengan pendidikan itu sendiri
dapat menciptakan orang-orang berkualitas.
Pendidikan Islam adalah usaha
atau upaya manusia secara terstruktur dan terencana yang dilakukan untuk
mengembangkan seluruh potensi manusia baik lahir maupun bathin
agar terbentuknya pribadi Muslim seutuhnya dan berkualitas.[6] Adapun potensi manusia yang
harus dikembangkan dari segi lahir yaitu semuahal yang berhubungan dengan
keadaan fisik. Sedangkan potensi bathin yang harus dikembangkan adalah
menyangkut rohani manusia seperti akal, qolb, nafs, dan roh.[7]
Selain itu pendidikan Islam juga
berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin
kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai
dan mewarnai corak kepribadiannya sebagaimana kedudukan manusia yang menjadi khalifah
filardh dan ‘abdullah[8], dengan kata lain pendidikan
Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan
yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi
seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.
Istilah pendidikan dalam konteks
Islam pada umumnya mengacu kepada term al-Tarbiyah, al-Ta’dib, dan al-Ta’lim.
Dari keriga istilah tersebut term yang populer
digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-Tarbiyah. Sedangkan term al-Ta’dib dan al-Ta’lim jarang sekali
digunakan. Padalah kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal
pertumbuhan pendidikan Islam.[9]
Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga
term tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term
memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu
dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi
tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam.
1.
Term Al-Tarbiyah
Satu hal yang harus dicatat adalah bahwa istilah tarbiyah untuk menunjukkan kepada
pendidikan Islam adalah termasuk hal yang baru. Menurut Muhammad Munir Mursa,
istilah ini muncul berkaitan dengan gerakan pembaharuan pendidikan di dunia
Arab pada perempat kedua abad ke- 20, oleh karena itu, penggunaannya dalam
konteks pendidikan menurut pengertian sekarang tidak ditemukan
di dalam referensi-referensi klasik. Yang ditemukan adalah istilah-istilah
sperti ta'lim, 'ilm, adab dan tahdzib.[10]
Di lain pihak istilah tarbiyah tampaknya
merupakan terjemahan dari istilah latin educare dan educatio yang bahasa inggrisnya educate dan education. Konotasi
kata ini menurut Naquib Al-Attas yaitu menghasilkan, mengembangkan dari
kepribadian yang tersembunyi atau potensial yang di dalam proses menghasilkan
dan mengembangkan itu mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan
material. Atau kalau di dalam istilah educatio
maupun education ada pula pembinaan intelektual dan moral, sumber
pelaksanaannya bukanlah wahyu, melainkan semata-mata hasil spekulasi filosofis
tentang etika yang disesuaikan dengan tujuan fisik material orang-orang
sekuler.[11]
Istilah tarbiyah menurut
pendukungnya berakar pada tiga kata. Pertama,
kata raba-yarbu yang berarti
bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabba-rabiya- yarba yang berarti tumbuh
dan berkembang. Ketiga, kata rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki,
menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Kata Al-Rab yang mempunyai akar kata yang sama dengan kata tarbiyah
berarti menumbuhkan atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara
berangsur-angsur.[12]
Makna dasar istilah-istilah tersebut (rab, rabiya dan rabba) tidak secara alami mengandung
unsur-unsur esensial pengetahuan, inteligensi dan kebijakan, yang pada
hakikatnya merupakan unsur-unsur pendidikan sebenarnya. Menurut Al-Jauhari kata
tarbiyah dan beberapa bentuk lainnya
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Asma'i berarti memberi makan, memelihara,
mengasuh; yakni dari kata ghadza-yaghdzu.
Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti anak-anak, tanaman,
dan sebagainya.[13]
Pada dasarnya memang tarbiyah
berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memlihara,
membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi
hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab
tidak hanya terbatas pada manusia saja, tetapi meluas kepada spesies-spesies
lain dan medan-medan sematik lainnya, untuk mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.[14] Karena tarbiyah sebagai
sebuah istilah dan konsep yang dapat diterapkan untuk berbagai spesies, maka
menurut Naquib Al-Attas, ia tidak cukup cocok untuk menunjukkkan pendidikan
dalam arti Islam yang dimaksudkan hanya untuk manusiasaja.
Jadi, penyusupan makna esensial lain yang membawa unsur fundamental
pengetahuan ke dalam istilah tarbiyah hanyalah
merupakan tindakan yang mengada-ada, karena makna bawaan struktural konseptual tarbiyah tidak secara alami mencakup
pengetahuan sebagai salah satu di antaranya.
Kelompok yang mendukung penggunaan istilah tarbiyah menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendukung penggunaan
istilah tersebut bagi pendidikan Islam. Ayat-ayat tersebut antara lain:
- Surat Al-Isra'
ayat 24 yang terjemahannya sebagai berikut: "… dan ucapkanlah, "Wahai tuhanku kasihilah mereka keduanya
sebagimana mereka berdua telah mengasihi aku waktukecil".
-
Surat Al-Syu'ara'
ayat 18 yang terjemahannya sebagai berikut: "Fir'aun
menjawab, "Bukankah kami yang telah mengasuhmu di dalam (keluarga) kami
waktu kamu masih kank-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun
dariumurmu…".
'Abdurrahman Al-Nahlawi, salah seorang
pendukung istilah tarbiyah,
berpendapat bahwa pendidikan berarti: (a) memelihara fitrah anak; (b)
menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya; (c) mengarahkan seluruh fitrah dan
bakat agar menjadi baik dan sempurna; dan
(d) bertahap dalam prosesnya.
Sehubungan dengan ayat Al-Qur’an yang
dikemukakan di atas, Muhammad Al-Naquib
Al-Attas menjelaskan bahwa kata “rabbayani” di situ bermakna rahmah,
yaitu ampunan atau kasih sayang. Istilah itu mempunyai arti pemberian makna dan
kasih sayang, pakaian dan tempat berteduh serta perawatan; pendeknya
pemeliharaan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya.[15]
Jadi, kata tarbiyah
disini sama artinya dengan kata rahmah
atau ampunan. Apabila Tuhan yang menciptakan, memelihara, menjaga, mengurus
dan memiliki tindakan-tindakan yang menyebabkan Tuhan disebut sebagai Al-Rabb, maka semuanya itu adalah
tindakan-tindakan rahmah atau kasih sayang. Apabila manusia yang secara
analogis melakukan tindakan-tindakan seperti itu kepada keturunannya, maka hal
itu disebut tarbiyah. Memang,
pengertian utama Al-Rabb, sebagai yang telah dikemukakan di atas, yaitu
membawa sesuatu kepada keadaan kelengkapan secara berangsur, tetapi tindakan
itu sebagai tindakan rahmah dan karenanya juga secara analogis berarti
tindakan-tindakan tarbiyah tidak
melibatkan pengetahuan. Hal itu lebih mengacu kepada suatu kondisi
eksisitensial atau kondisi fisik dan material daripada kondisi rasional dan
intelektual. Kondisi yang terakhir ini mengharuskan penanaman pengetahuan
sebagai yang telah dijelaskan, tidak inheren dalam kata tarbiyah.[16]
Oleh sebab itu, ketika Fir'aun berkata kepada
Nabi Musa: "alam nurabbika fina
walida"[17] kita
tidak diharapkan untuk menyimpulkan bahwa dengan demikian Fir'aun telah
"mendidik" Nabi, meskipun kenyataannya Fir'aun, dengan menggunakan
ungkapan nurabbika, memang melakukan "tarbiyah" atas Nabi Musa. Tarbiyah, secara sederhana, berarti membesarkan, tanpa
meski mencakup penanaman pengetahuan dalam proses itu.
Apabila dikatakan bahwa suatu makna yang
berhubungan dengan pengetahuan bisa disusupkan dalam konsep rabba, maka makna tersebut mengacu
kepada pemilikan pengetahuan dan
bukan pada proses penanamannya. Oleh
karenanya, hal itu tidak mengacu pada pendidikan dalam arti yang kita
maksudkan, seperti adanya istilah rabbaniy
yang diberikan bagi orang-orang bijaksana yang terpelajar dalam bidang
pengetahuan tentang Al-Rabb.
Sejalan
dengan Al-Attas, Abdul Fattah Jalal, ahli pendidikan Universitas Al-Azhar, juga
menjelaskan bahwa yang dimaksud tarbiyah di
dalam surat Al- Isra/17:24 dan Al-Syura/26:18 di atas adalah pendidikan yang berlangsung
pada fase bayi dan kanak-kanak masa anak masih sangat bergantung pada
pemeliharaan bergantung kepada kasih sayang kedua orang tuanya. Dengan demikian
pengertian pendidikan yang digali dari kata tarbiyah
terbatas pada pemeliharaan dan pengasihan anak manusia pada masa kecil.
Oleh karena itu pula bimbingan dan penyuluhan yang diberikan sesudah masa itu
tidak lagi termasuk dalam pengertian pendidikan.[18]
2.
Term Al-Ta’lim
Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk
konsep pendidikan dalam Islam adalah ta'lim.
Secara bahasa (etimologi), ta’lim merupakan bentuk masdar dari kata ‘allama-yu’allimu-ta’liman
yang berarti pengajaran. Dalam Al-Qur’an, kata ta’lim muncul dalam
berbagai surat. Sedangkan menurut istilah (terminologi) kata ta’lim adalah pendidikan yang menitikberatkan pada pengajaran,
penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu.
Ta’lim mempunyai ruang lingkup yang
luas, tidak terbatas pada pendidikan dalam keluarga, akan tetapi dapat
diartikan sebagai semua proses dan bentukan pendidikan baik dalam keluarga (in
formal), pendidikan formal, dan pendidikan non formal. Ta’lim berlangsung secara terus menerus sepanjang hayat, sejalan
dengan konsep pendidikan seumur hidup. Oleh karena itu istilah ta’lim mencakup aspek kognitif (ilmu pengetahuan), afektif (sikap),
dan aspek psikomotorik (keterampilan).[19]
Istilah ta’lim
telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para
ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan tarbiyah maupun
ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu.[20]
Jalal memberikan alasan bahwa
proses ta’lim lebih umum dibandingkan dengan proses tarbiyah:
-
Pertama, ketika mengajarkan membaca Al-Qur’an
kepada kaum muslimin, Rasulullah saw
tidak terbatas pada membuat mereka sekedar dapat membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang
berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah sehingga
terjadi pembersihan diri (tazkiyah
al-nufus) dari segala kotoran,
menjadikan dirinya dalam kondisi siap menerima hikmah, dan mempelajari segala
sesuatu yang belum diketahuinya dan yang tidak diketahuinya serta berguna bagi
dirinya
-
Kedua, kata ta’lim tidak berhenti hanya
kepada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid
semata-mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongengan hayalan dan syahwat
atau cerita-cerita dusta.
- Ketiga,
kata ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik.
Dengan
demikian kata ta’lim menurut Jalal mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik dan berlangsung sepanjang hayat serta tidak terbatas pada masa
bayi dan kanak-kanak, tetapi juga orang dewasa. Sementara itu Abrasyi,
menjelaskan kata ta’lim hanya merupakan bagian dari tarbiyah karena
hanya menyangkut domain kognitif. Al-Attas menganggap kata ta’lim lebih
dekat kepada pengajaran atau pengalihan ilmu dari guru kepada pembelajaran,
bahkan jangkauan aspek kognitif tidak memberikan porsi pengenalan secara
mendasar.[21]
3.
Term Al-Ta’dib
Istilah ketiga yang digunakan
untuk menunjukkan kepada pendidikan adalah adab.
Arti dasar istilah ini yaitu “undangan kepada suatu perjamuan”, Ibn Mandzur
juga menyebutkan ungkapan “addabahu
fataaddaba” berarti allamahu (mendidiknya).[22]
Gagasan ke suatu perjamuan mengisyaratkan bahwa tuan rumah adalah orang yang
mulia dan adanya banyak orang yang hadir, dan bahwasanya yang hadir adalah
orang-orang yang menurut perkiraan tuan rumah pantas mendapatkan kehormatan
untuk diundang dan oleh karen itu, mereka adalah orang-orang bermutu dan
berpendidikan tinggi yang diharapkan bisa bertingkah laku sesuai dengan
keadaan, baik dalam berbicara, bertindak maupun etiket.[23]
Pendidikan menurut Al-Attas,
dalam kenyataannya adalah ta'dib karena
adab sebagaimana didefenisikan di atas sudah mencakup ilmu dan amal sekaligus. Keterkaitan konseptual kedua istilah itu, 'ilm dan adab, di dalam hadis lain lebih langsung sehingga mengisyaratkan
identitas antara adab dan ilmu, "Addabani
Rabbi fa ahsana ta'dibi" (Tuhanku telah mendidikku dan dengan
demikian menjadilah pendidikanku yang terbaik).
Di dalam hadis ini secara
eksplisit digunakan istilah ta'dib (yang
diartikan pendidikan) dari kata addaba yang berarti mendidik. Kata ini,
menurut Al-Zajjaj, dikatakan sebagai cara Tuhan mendidik Nabi-Nya,[24] tentu saja mengandung konsep pendidikan
yang sempurna.
Al-Attas
mengatakan konsep ta’dib-lah
yang lebih baik ketimbang tarbiyah dan ta’lim. Menurutnya,
konsep ta’dib harus dipahami secara benar-benar dan menyeluruh karena
struktur ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (ta’lim), serta
pembinaan yang baik (tarbiyah). Walaupun dalam Al-Qur’an sendiri tidak
menggunakan istilah “adab” ataupun
istilah lainnya yang memiliki akar kata sama dengannya, namun istilah adab
sering disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw, atsar para sahabat,
puisi-puisi, ataupun karya sarjana Muslim yang datang setelah mereka.[25]
Pada prinsipnya Islam
mengakui pada diri manusia terdapat potensi untuk berbuat baik sekaligus
berbuat jahat. Sehingga Islam berusaha mengarahkan potensi tersebut dalam
koridor agama,[26] usaha ke arah tersebut
bukan hanya perpindahan sejumlah teori ilmu pengetahuan, tapi lebih dari itu
juga adalah penanaman nilai-nilai moral. Sejalan dengan itu, hakekat pendidikan
pada dasarnya adalah mewariskan nilai-nilai Islami yang menjadi penuntun dalam
melakoni aktivitasnya yang sekaligus sarana untuk membentuk peradaban manusia.[27]
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan tarbiyah dalam pengertian aslinya dan dalam penerapan dan pemahaman kaum Muslimin pada masa-masa
awal tidak dimaksudkan untuk menunjukkan pendidikan maupun proses pendidikan.
Penonjolan kualitatif pada konsep tarbiyah
adalah kasih sayang (rahmah) dan
bukannya pengetahuan ('ilm).
Sementara dalam kasus ta'dib pengetahuan
lebih ditonjolkan dari pada unsur kasih sayang. Dalam struktur konseptualnya ta'dib
sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan ('ilm),
pengajaran (ta'lim) dan pengasuhan
yang baik (tarbiyah). Oleh karena
itu, ta'dib, merupakan istilah yang
paling tepat dan cermat untuk menunjukkan pendidikan Islam.[28] Adapun istilah pendidik dalam
konteks ta’dib ini adalah Mu’addib yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk
bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
C.
Tujuan
Pendidikan Islam
Berbicara
tentang tujuan pendidikan Islam tentunya tidak dapat dilepaskan pada dasar dan
hakikat pendidikan. Dimana menetapkan Al-Qur’an dan
Hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran
yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang
terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan
dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Adapun suatu
kegiatan yang terencana pasti memiliki tujuan. Seperti halnya dengan
pendidikan Islam
yang terlaksana karena memiliki tujuan dan karena adanya sesuatu yang
diharapkan.
Manusia pun juga merupakan makhluk yang sadar tujuan, dalam arti setiap
aktifitasnya senantiasa disadari dan dimiliki tujuan yang hendak dicapainya.
Dan yang dimaksud dengan tujuan adalah sesuatu yang dicita-citakan dimasa yang
akan datang dan ingin diwujudkan dengan berbagai daya dan upaya.[29]
Secara terminologis, tujuan adalah arah,
haluan, jurusan, maksud. Selain
itu, tujuan
juga dapat diartikan sebagai sasaran yang akan
dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan. Menurut Zakiah Darajat,
tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau
kegiatan selesai.Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah sasaran yang akan
dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan
Islam.[30]
Secara epistemologis, merumuskan tujuan
pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri
yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu
serta dengan pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya. Hujair AH. Sanaky menyebut
istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam.
Menurutnya, sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal,
yaitu “Rahmatan lil ‘Alamin”. Munzir Hitami berpendapat bahwa
tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi
oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya.
Secara ontologis, dalam Islam, hakikat manusia adalah makhluk ciptaan
Allah. Sedangkan menurut tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh
manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah
beribadah kepada Allah.[31]
Sebagai bagian dari komponen kegiatan pendidikan, keberadaan
rumusan tujuan pendidikan memegang peranan sangat penting. Karena memang tujuan
berfungsi mengarahkan aktivitas, mendorong untuk bekerja, memberi nilai dan
membantu mencapai keberhasilan.[32] Pendidikan Islam
bertugas mempertahankan, menanamkan, dan mengembangkan kelangsungan
berfungsinya nilai-nilai islami yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits.[33]
Menurut Ibn Taimiyah,
sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan Al-Kaylani, tujuan pendidikan Islam tertumpu pada
empat aspek, yaitu:
1) Tercapainya pendidikan tauhid dengan cara
mempelajari ayat Allah swt Dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq)
dan psikis (anfus).
2) Mengetahui ilmu Allah swt, melalui
pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya.
3) Mengetahuai kekuatan (qudrah) Allah
swt melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas,dan kreativitas makhluk-Nya.
4) Mengetahui apa yang diperbuat Allah swt,
(Sunnah Allah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.[34]
Adapun
pendapat ahli lain, Abdurrahman Saleh Abdullah ikut memperkuat dengan adanya
pendapat diatas. Yaitu menyatakan bahwa proses pendidikan
terkait dengan kebutuhan dan tabiat manusia sehingga tujuan pendidikan Islam secara umum harus meliputi empat aspek, yaitu:
1) Tujuan Pendidikan Jasmani (Al-Ahdaf Al-Jismiyah)
Bahwa proses pendidikan ditujukan
dalam kerangka mempersiapkan diri manusia sebagai tugas pengemban tugas khalifah
fil ardh, melalui pelatihan keterampilan fisik. Beliau berpijak pada
pendapat Imam Al-Nawawi yang menafsirkan “Al-Qowiy” sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan
fisik. (QS. Al-Baqarah: 247, QS. Al-Anfal: 60).
2) Tujuan Pendidikan Rohani(Al-Ahdaf Al-Ruhaniah)
Bahwa proses
pendidikan ditujukan dalam kerangka meningkatkan jiwa dari kesetiaan
yang hanya kepada Allah swt semata dan melaksanakan moralitas Islami yang
diteladani oleh Nabi Muhammad saw dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam
Al-Qur’an (QS. Ali Imran: 19). Indikasi pendidikan rohani adalah tidak
bermuka dua (QS. Al-Baqarah: 10), berupaya memurnikan dan menyucikan diri
manuisa secara individual dari sikap negative (QS. Al-Baqarah: 126) inilah yang disebut dengan tazkiyah (purification) dan hikmah (wisdom).
3) Tujuan PendidikanAkal (Al-Ahdaf Al-Aqliyah)
Bahwa proses
pendidikan ditujukan dalam rangka mengarahkan potensi intelegensi manusia untuk
menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya, dengan menelaah ayat-ayat-Nya (baik qouliyah
dan kauniyah) yang membawa kepada perasaan keimanan kepada Allah. Tahapan
pendidikan akal ini adalah:
a. Pencapaian kebenaran ilmiah (‘ilmu
al-yaqin) (QS.
Al-Takatsur: 5).
b. Pencapaian kebenaran empiris (‘ain
al-yaqin) (QS. Al-Takatsur: 7).
c. Pencapaian kebenaran metaempiris atau
mungkin lebih tepatnya kebenaran filosofis (haqq al-yaqin) (QS. Al-Waqiah: 95).
4) Tujuan Pendidikan Sosial (Al-Ahdaf Al-Ijtima’iyyah)
Bahwa proses pendidikan ditujukan
dalam kerangka pembentukan kepribadian yang utuh. Pribadi disini tercermin
sebagai “al-nass” yang hidup pada masyarakat plural (majemuk).[35]
Menurut
Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, tujuan pendidikan harus
tercermin pada dua segi yaitu sebagai manusia yang mendekatkan diri kepada
Allah dan menjadi manusia yang bertujuan mendapat kebahagiaan dunia akhirat. Al-Ghazali
melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi
petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk
individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.[36]
Dari beberapa rumusan
tujuan di atas,
dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai
keseimbangan pertumbuhan kepribadian dan potensi manusia.
Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan fisik, jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional,
perasaan dan indra, dan rohani yang mencakup
pengembangan seluruh aspek fitrah atau potensi manusia yang meliputi aqidah,
akhlak mulia, berfikir, kekuatan jasmani, serta membentuk manusia menjadi kreatif,
inisiatif, antisipatif, dan responsif. Oleh karena itu, pendidikan Islam hendaknya
memperhatikan didikan sebagai bekal di dunia yang tentu juga mempersiapkannya
sebagai bekal di akhirat supaya mampu untuk merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an.
Kemudian, dapat disimpulkan juga bahwa tujuan pendidikan Islam adalah: “terbentuknya insan
kamil (manusia paripurna) yang mempunyai wajah-wajah qur’ani yang di
dalamnya memiliki wawasan khaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas
kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris Nabi (warasatalanbiya’)”.
D.
Fungsi Pendidikan Islam
Fungsi
pendidikan Islam secara mikro sudah jelas yaitu memelihara dan mengembangkan
fitrah dan sumber daya insan yang ada pada subyek didik menuju terbentuknya
manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lazim digunakan
yaitu menuju kepribadian Muslim. Lebih lanjut secara makro fungsi pendidikan
Islam dapat ditinjau dari fenomena yang muncul dalam perkembangan peradaban
manusia, dengan asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh dan berkembang
melalui pendidikan.
Fenomena
tersebut dapat kita telusuri melalui kajian antropologi budaya dan sosiologi
yang menunjukkan bahwa peradaban masyarakat manusia dari masa ke masa semakin
berkembang maju yang diperoleh melalui interaksi komunikasi sosialnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, ditinjau dari segi antropologi budaya dan
sosiologi, fungsi pendidikan ialah menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai
manusia di alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya
kreatifitas yang dapat membangun dirinya dan lingkungannya. Abdul Halim
menyebutkan dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, fungsi pendidikan dilihat
secara operasional adalah:
1)
Alat untuk memelihara,
memperluas, dan menghubungan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi
dan sosial, serta ide-ide masyarakat nasional.
2) Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan
perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu
pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia
(peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan
ekonomi yang demikian dinamis.[37]
Menurut pandangan
pendidikan Islam, fungsi pendidikan itu bukanlah sekedar
mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan otak peserta didik saja, tetapi juga menyelamatkan fitrahnya. Oleh karena itu
fungsi pendidikan dan pengajaran Islam dalam hubungannya dengan faktor anak
didik adalah untuk menjaga, menyelamatkan, dan mengembangkan fitrah ini agar
tetap menjadi al-fithratus salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya, agar anak tetap memiliki aqidah keimanan yang
tetap dibawanya sejak lahir itu, terus menerus mengokohkannya, sehingga mati dalam keadaan
fitrah yang semakin mantap, tidak menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi ataupun
agama-agama dan faham-faham yang selain Islam.[38]
Al-Qur’an
pun secara eksplisit menyebutkan fungsi pendidikan Islam
yang terkandung dalam QS.
Al-Baqarah ayat 151:
!$yJx. $uZù=yör&
öNà6Ïù
Zwqßu
öNà6ZÏiB (#qè=÷Gt
öNä3øn=tæ $oYÏG»t#uä
öNà6Ïj.tãur ãNà6ßJÏk=yèãur
|=»tGÅ3ø9$#
spyJò6Ïtø:$#ur Nä3ßJÏk=yèãur $¨B
öNs9 (#qçRqä3s? tbqßJn=÷ès?
ÇÊÎÊÈ
Artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan
nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 151).
Dari
ayat di atas ada lima 5 fungsi pendidikan yang dibawa Nabi Muhammad, yang
dijelaskan dalam tafsir Al-Manar karangan Muhammad Abduh. Yang dimaksud dengan
5 fungsi pendidikan ialah:
1)
Membacakan ayat-ayat kami, (ayat-ayat Allah)
ialah membacakan ayat-ayat dengan tidak tertulis dalam Al-Qur’an (Al-Kauniyah), ayat-ayat tersebut
tidak lain adalah alam semesta. Dan isinya termasuk diri manusia sendiri
sebagai mikro kosmos. Dengan kemampuan membaca ayat-ayat
Allah wawasan seseorang semakin luas dan mendalam, sehingga sampai pada
kesadaran diri terhadap wujud zat Yang Maha Pencipta (yaitu Allah).
2)
Menyucikan diri merupakan efek langsung dari
pembacaan ayat-ayat Allah setelah mengkaji gejala-gejalanya serta menangkap hukum-hukumnya. Yang dimaksud dengan penyucian diri
menjauhkan diri dari syirik (menyekutukan Allah) dan memelihara akhlaq al-karimah. Dengan sikap dan perilaku demikian
fitrah kemanusiaan manusia akan terpelihara.
3)
Yang dimaksud mengajarkan al-kitab ialah
Al-Qur’an
Al-karim yang secara eksplisit berisi tuntunan hidup. Bagaimana manusia
berhubungan dengan tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya.
4)
Hikmah,
menurut Abduh adalah hadits, akan tetapi kata al-hikmah diartikan lebih luas yaitu kebijaksanaan, maka yang
dimaksud ialah kebijaksanaan hidup berdasarkan nilai-nilai yang datang dari
Allah dan rasul-Nya. Walaupun manusia sudah memiliki kesadaran akan perlunya
nilai-nilai hidup, namun tanpa pedoman yang mutlak dari Allah, nilai-nilai
tersebut akan nisbi. Oleh karena itu, menurut Islam nilai-nilai kemanusiaan
harus disadarkan pada nilai-nilai Ilahi (Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah).
5)
Mengajarkan ilmu pengetahuan, banyak ilmu
pengetahuan yang belum terungkap, itulah sebabnya Nabi Muhammad mengajarkan
pada umatnya ilmu pengetahuan yang belum diketahui oleh umat sebelumnya. Karena
tugas utamanya adalah membangun akhlak
al-karimah.[39]
Namun
sebagai antisipasi ke depan
dan dalam memberikan wawasan global, Nabi banyak menganjurkan umatnya untuk
belajar dan menuntut ilmu dari siapa saja dan dari manapun sumbernya: اطلب العلم ولو بالصين “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Dengan mengembalikan kajian
antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif Al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan
Islam adalah:
a.
Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar
mengenal jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran ilahi,
sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan serta
memahami hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Dengan himbauan ini akan
menumbuhkan kreativitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan
“pencipta”.
b.
Membebaskan manusia dari segala analisis yang
dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari
dalam dirinya sendiri maupun dari luar.
c.
Mengembalikan ilmu pengetahuan untuk menopang
dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial.[40]
Dari
sanalah terlihat bahwa betapa pentingnya fungsi
pendidikan dan pengajaran di dalam menyelamatkan dan mengembangkan fitrah ini.
Di pihak lain, pendidikan dan pengajaran juga berfungsi untuk mengembangkan
potensi-potensi
atau kekuatan-kekuatan yang ada pada diri anak agar ia
bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi pergaulan hidup
di sekelilingnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai hamba Allah dan sebagai
khalifah Allah di muka bumi ini.[41]
Dalam upaya merekonstruksi pendidikan Islam, kita
perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan Islam, yang meliputi:
1) Pendidikan
Islam merupakan bagian dari sistem kehidupan Islam, yaitu suatu proses
internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral Islam melalui sejumlah
informasi, pengetahuan, sikap, prilaku dan budaya.
2) Pendidikan
Islam merupakan sesuatu yang integrated artinya mempunyai kaitan yang membentuk
suatu kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lain.
3) Pendidikan
Islam merupakan life long process sejak
dini kehidupan manusia.
4) Pendidikan
Islam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni harus mampu
menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara pendidik dan peserta didik.
5)
Pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak
mengenai pesan-pesan moral pada peserta didik.
Prinsip-pinsip di atas akan membuka jalan dan menjadi pondasi
bagi terciptanya konsep pendidikan Islam. Dengan tawaran prinsip inilah, konsep
pendidikan Islam lebih pas apabila diletakkan dalam kerangka pemahaman, bahwa
pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam, bukan pendidikan tentang Islam. Pendidikan Islam hendaknya bukan saja berusaha meningkatkan kesadaran
beragama, melainkan juga untuk melihat perubahan-perubahan sosial dan
perspektif transedental, dan menempatkan iman sebagai sumber motivasi
perkembangan dalam menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern.
Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan Islam terkandung
upaya peningkatan kemampuan mengintegrasikan akal dengan nurani dalam
menghadapi masalah perubahan sosial. Dengan begitu diharapkan pendidikan Islam
dapat memenuhi fungsi yang luhur dalam menghadapi perkembangan sosial, apabila dalam
proses belajar mengajar menggunakan pola pengajaran innovative learning,
yakni: (1) berusaha memupuk motivasi yang kuat pada peserta didik untuk
mempelajari dan memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada, (2) berusaha
memupuk sikap berani menghadapi tantangan hidup, kesanggupan untuk mandiri dan
berinisiatif, peka terhadap kepentingan sesama manusia dan sanggup bekerja
secara kolektif dalam suatu proses perubahan sosial.[42]
Sampai saat ini masih terdapat
beberapa kesalahpahaman umum (salah kaprah) tentang pendidikan yang terus
mempengaruhi pemikiran banyak pihak. Kesalahpahaman tersebut disebabkan oleh
adanya pemahaman parsial dan mekanistik tentang anak dan proses pendidikan.
Pada sebagian pendidik kita masih memiliki anggapan bahwa semua anak adalah sama
dan dapat diinjeksi informasi secara berlebihan. Karena pemahaman seperti
inilah, banyak anak-anak yang gagal dalam proses pendidikan tanpa adanya beban
kesalahan yang mereka dilakukan. Para pendidik dan orang tua harus mengenal dan
memahami bahwa setiap anak itu unik dan memiliki karakteristik sendiri-sendiri.
Praktik pendidikan yang dibutuhkan saat ini adalah perubahan terhadap pemahaman
yang lebih natural, menyeluruh, dan ramah (humanis) tentang anak, pendidikan
dan proses pembelajaran.
Berikut ini adalah beberapa
kesalahpahaman umum tentang pendidikan dan sekaligus pandangan alternatifnya:
Komponen
|
Senyatanya
|
Seharusnya
|
Visi
|
Pendidikan
dianggap sebagai disiplin yang terpisah; partikularistik, masih memakai
paradigma mekanistik (model perusahaan).
|
Pendidikan
dipandang secara holistik, menyeluruh dan
berparadigma rekonstruktif.
|
Tujuan
|
Perolehan
informasi ansich, pengetahuan
dan keterampilan hanya untuk perolehan pekerjaan.
|
Beyond schooling, bagaimana belajar (how to learn), pembelajaran seumur hidup (life long education),
pengembangan manusia seutuhnya (ulǖ al-albǡb dan khaira ummah).
|
Isi
|
Pembelajaran
bersifat konvensional, sekadar informatif, tidak relevan dengan kehidupan riil siswa, hanya terfokus
pada instruksi/ pengajaran textbook.
|
Pembelajaran
bersifat kontekstual, transformatif, realistik, kurikulum berbasis kehidupan
nyata.
|
Struktur
|
Struktur
tidak koheren atau disusun oleh disiplin akademik yang rigid.
|
Gagasan
bersifat powerful (powerful ideas), mampu memberi inspirasi dan transformasi, mampu membangun kepribadian dan jati
diri anak.
|
Metode
|
Didaktik
(ceramah, monolog); guru sebagai pusat, satu model untuk semua siswa, tidak
inspiratif.
|
Discovery learning, terpusat
pada siswa, pengajaran bervariasi, dialogis, interaktif, guru sebagai penunjuk (guide), modellling dan mentoring, model
pembelajaran terpadu/ integrated learning model (ILM)
|
Program
|
Terfokus
pada masa lampau, belajar tentang Islam dan kepemilikan Islam,
ritual-seremonial.
|
Life mastery, terpusat pada hal-hal kekinian, “belajar menjadi Muslim”, Islam sebagai gaya hidup; Islam untuk pemahaman atau penguasaan hidup/ Islam for Life Mastery (ILM).
|
Penilaian
|
Tes
formal bersifat textbook, benar-salah, lulus atau
tidak lulus, tes standar.
|
Authentic assessment, berhubungan dengan dunia riil, penilaian bersifat
multi inteligensi.
|
Kini masalah pembaruan pendidikan lagi gencar-gencarnya digaungkan,
sehingga Muslim yang
tercerahkan (enlightened Muslim) diharapkan mampu menemukan solusi riil terhadap
permasalahan-permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi komunitas Muslim termasuk “bagaimana” dan “apa” yang harus diajarkan pada anak-anak
kita. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pembaruan visi pendidikan sangat
mendesak dilakukan, salah satunya adalah mencetak generasi yang mempunyai
tingkat pemahaman, komitmen, dan tanggung jawab sosial yang mampu mengabdikan
diri pada kemanusiaan dan sosial secara efektif.[43]
E. Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana
ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan
dengan hakikat, tujuan dan fungsi pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam adalah usaha
atau upaya manusia secara terstruktur dan terencana yang dilakukan untuk
mengembangkan seluruh potensi manusia baik lahir maupun bathin agar
terbentuknya pribadi Muslim seutuhnya dan berkualitas. Untuk mengungkapkan
hakikat pendidikan Islam, dapat dikenal dengan beberapa istilah yaitu tarbiyah,
ta’lim, dan ta’dib.
2. Sekalipun tujuan pendidikan oleh sejumlah pakar
bervariasi dari sudut redaksional, namun substansi tetap satu, yaitu pendidikan
Islam bertujuan melahirkan sosok muslim yang tunduk dan patuh kepada Allah swt
sebagai konsekwensi dari kekhalifahannya dan ‘abdullah. Lebih dari itu
pendidikan Islam bertujuan melahirkan manusia yang tunduk, patuh, dan
menyerahkan diri kepada Allah swt.
3. Sedangkan fungsi pendidikan itu
bukanlah sekedar mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan otak peserta didik,
tetapi juga menyelamatkan fitrahnya. Oleh karena itu fungsi pendidikan dan
pengajaran Islam dalam hubungannya dengan faktor anak didik adalah untuk
menjaga, menyelamatkan, dan mengembangkan fitrah ini agar tetap menjadi al-fithratus
salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya,
agar anak tetap memiliki aqidah keimanan yang tetap dibawanya sejak lahir itu,
terus menerus mengokohkannya, sehingga mati dalam keadaan fitrah yang semakin
mantap, tidak menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi ataupun agama-agama dan
faham-faham yang selain Islam.
4. Adapun konsep pendidikan
Islam adalah berlandaskan kepercayaan bahwa pengembangan dan transformasi
manusia, khususnya pengembangan karakter adalah tujuan sentral pendidikan. Oleh
karena itu konsep pendidikan Islam harus mengembangkan program pendidikan yang
yang menfokuskan pada karakter dan pengajaran nilai, yang menekankan pada isu
identitas dan jati diri manusia, di samping juga mengembangkan
keterampilan-keterampilan dalam berkomukasi dan hubungan interpersonal,
pelatihan pelayanan masyarakat dan kepemimpinan, melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan
Islam haruslah disusun dan distrukturkan untuk memenuhi keseluruhan tujuan-tujuan
tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.
Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem
Pendidikan Versi Al-Ghazali, Terj. Fathur Rahman, Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif
Filsafat, Jakarta: Kencana, 2014.
Hamdan
Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2007.
Hans
Wehr, A Dictionary of Modern Written
Arabic, Beirut: Maktabah Lubnan, 1980.
Hasan
Langgulung, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan
Pemikiran Tokoh, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Heri
Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Ibn
Manzur, Lisan Al-Arab, Jilid I, Beirut:
Dar Shadir, 1990.
M. Abduh, Tafsir al-Manar, Juz
III, Beirut: Darul Ma’arif, t.th.
Majid
‘Irsan Al-Kaylani, Al-Fikr Al-Tarbawi
‘inda Ibn Taymiyah, Al-Madinah
Al-Munawarah: Maktabah Dar Al-Tarats, 1986.
Mangun
Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Griya Santri, 2010.
Maragustam, Mencetak
Pembelajaran Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), Yogyakarta: Nuha Litera, 2010.
Muhammad
Al-Naquib Al-Attas, The Concept of
Education in Islam: A Frame Work for an Islamic Phylosophy of Education,
Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1996.
Muhammad Munir Mursa, Al-Tarbiyah
Al-Islamiyah: Ushuluha wa Ththawwuruha fi Al-Bilad Al-Arabiyah, Kairo:
'Alam Al-kutub, 1977.
Muslihusah
dan Adi Wijdan, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta:
Aditya Medya, 1997.
Muzayyin
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Raghib
Al-Asfahaniy, Mu'jam Al-Mufradat li
Alfazh Al-Qur'an, Damaskus: Dar Al-Qalam, 1997.
Ramayulis, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan
Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Tobroni, Pendidikan Islam Paradigma Teologis,
Filosofis dan Spiritualitas, Malang: UMM Pers, 2008.
http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id
[1]
M. Zainuddin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, dilansir melalui laman http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/08/rekonstruksi-pendidikan-islam/#more-79i
dikutip pada tanggal 22 Mei 2017.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), hlm. 33.
[6] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam
Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 11.
[8] Islam memberikan dua kedudukan kepada
manusia yaitu sebagai: a. khalifatullah
fil ardh
(wakil Allah di bumi) yang akan memakmurkan bumi ini dengan segala potensi yang
dimilikinya, dan hal ini tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 30; b. ‘abdullah
(hamba Allah) yang selalu tunduk dan patuh kepada-Nya baik dalam ucap,
langkah, perbuatan, maupun pemikirannya.
[9] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hlm. 25.
[10] Muhammad Munir Mursa, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah: Ushuluha wa Ththawwuruha fi Al-Bilad
Al-Arabiyah, (Kairo: 'Alam Al-kutub, 1977), hlm. 17.
[11] Muhammad Al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Frame
Work for an Islamic Phylosophy of Education, Terj. Haidar Bagir, (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 64-65.
[12] Kata ini adalah bentuk mashdar yang dipinjam untuk bentuk pelaku atau mashdar musta'ar li Al-fa'il. Lihat Raghib Al-Asfahaniy, Mu'jam Al-Mufradat li Alfazh Al-Qur'an, (Damaskus:
Dar Al-Qalam, 1997), hlm. 336. Kata Al-Rab
(dlm bentuk ma'rifah dengan alif dan lam) hanya digunakan untuk Allah swt, kecuali
di dalam syair yang jumlahnya sangat terbatas. Dialah Rab (pemilik) segala sesuatu. Apabila digunkan untuk selain Allah swt biasanya bentuk idhafah, seperti ungkapan Fulan
Rab Al-Bait (Fulan adalah pemilik rumah itu). Lihat Ibn Manzur, Lisan Al-Arab, Jilid I, (Beirut: Dar Shadir, 1990), hlm.
399-400.
[13] Ibid
[14]
Karena itu pula di dalam kamus-kamus bahasa Arab seperti A Dicionaryi of Modern Written Arabic ditemukan istilah Tarbiyat Al-Hayawan, Tarbiyat Al-Dajaj, Tarbiyat Al-Nabatat dan sebagainya yang menunjukkan bahwa istilah tarbiyah penggunaannya tidak hanya
terbatas pada manusia saja. Lihat Hans Wehr, hlm. 324.
[17] Al-Qur'an Surat Al-Syu'ara/26:18.
[18]
Heri Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 6.
[20] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, hlm. 27.
[21] Maragustam, Mencetak Pembelajaran Menjadi Insan
Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), (Yogyakarta:
Nuha Litera, 2010), hlm. 25-26.
[22]
Ibn Mandzur, Lisan Al-‘Arab, hlm.
206.
[24]
Ibn Mandzur, Lisan Al-‘Arab, hlm.
202.
[25] Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian
Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 7.
[26] Umar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafat Tarbiyyah Al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan
judul “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 145.
[27] Muslihusah
dan Adi Wijdan, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Aditya Medya, 1997), hlm. 221.
[29] Tobroni, Pendidikan Islam Paradigma
Teologis, Filosofis dan Spiritualitas, (Malang: UMM Pers, 2008), hlm. 49.
[30] Hamdan Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 68.
[31] Hamdan Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat
Pendidikan Islam, hlm. 68.
[32] Mangun
Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), hlm.
27.
[33]
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003),
hlm. 110.
[34]
Majid ‘Irsan Al-Kaylani, Al-Fikr
Al-Tarbawi ‘inda Ibn Taymiyah, (Al-Madinah
Al-Munawarah: Maktabah Dar Al-Tarats, 1986), hlm. 117-118.
[36] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem
Pendidikan Versi Al-Ghazali, Terj. Fathur Rahman, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1986), hlm.24.
[37] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, hlm. 34.
[42]
M. Zainuddin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, dilansir melalui laman http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/08/rekonstruksi-pendidikan-islam/#more-79i
dikutip pada tanggal 22 Mei 2017.
[43]
M. Zainuddin, Reformulasi Paradigma Pendidikan Islam Untuk Menyiapkan Generasi Masa
Depan, melalui laman http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/11/reformulasi-paradigma-pendidikan-islam-untuk-menyiapkan-generasi-masa-depan/ dikutip pada tanggal 22 Mei 2017.