TOSHIHIKO
IZUTSU ( ETICHO RELIGIOUS CONCEPTIN THE QUR’AN & GOD AND MAN IN THE QUR’AN)
Oleh:
LUCKY ANDRIYANTOKO (16771007)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama
Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Dasar Pemikiran
Sebagai sebuah Kitab Suci, al-Qur‘an ternyata
sangat menarik perhatian tidak saja umat Islam, namun juga non-Muslim. Kajian
mengenai al-Qur‘an tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tapi juga oleh
kalangan non-Muslim. Akan tetapi kelompok yang disebutkan terakhir tidak
memandang al-Qur‘an sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas kaum Muslim
meyakini bahwa al-Qur‘an adalah kalam
Allah yang diturunkan kepada Muhammad melalui perantaraan Jibril, kemudian
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mutawâtir, yang tertulis dalam mushaf
dan membacanya dianggap ibadah. Keyakinan demikian pada gilirannya menimbulkan
ketertarikan dalam diri kaum Muslim tersebut untuk memahami kandungan
al-Qur‘an, sehingga melahirkan karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-kitab
tafsir. Sementara non-Muslim pada umumnya memandang al-Qur‘an bukanlah firman
Tuhan, tapi sebagai ucapan Muhammad.
Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji
al-Qur‘an tentu saja tidak menimbulkan keheranan, karena al-Qur‘an adalah kitab
suci dan pedoman hidup mereka. Sebaliknya, ketertarikan non-Muslim terhadap
al-Qur‘an sering mengundang tanda tanya. Apa motivasi yang mendorong mereka
mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti al-Qur‘an, sementara dalam hati mereka
tidak ada keyakinan terhadap al-Qur‘an dan ajaran-ajarannya sebagai berasal
dari Tuhan.
Walau begitu, beberapa non-muslim yang
melakukan pengkajian terhadap Islam terdapat beberapa hal yang layak diberi
apresiasi. Salah satunya adalah Toshihiko Izutsu yang mengkaji al-Qur’an lewat
pendekatan semantiknya. Makalh kali ini akan mencoba mengulas buku kedua Izutsu
seorang sarjana Jepang penganut Zen Budhism, dalam bukunya God and Man in the
Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung.
Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu memfokuskan
pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia.
Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-Qur‘an, menurutnya, memiliki empat
bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan etik.
Secara umum relasi tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut: Pertama, bahwa Tuhan adalah sumber wujud. Ia adalah pencipta
segala yang ada, termasuk manusia. Dengan demikian, secara ontologis, relasi
antara Tuhan dengan manusia adalah relasi antara pencipta dan makhluk. Kedua,
antara Tuhan (pencipta) dan manusia (makhluk) senantiasa terdapat jalinan
komunikasi. Jalinan ini memiliki dua bentuk, yaitu: bersifat verbal atau
linguistik, dan non linguistik. Ketiga, karena Tuhan adalah pencipta dan
pemelihara manusia, maka manusia harus tunduk dan mengabdi kepada-Nya dengan
sepenuh hati, sebagaimana seorang hamba mengabdi kepada tuannya. Dengan
demikian relasi ini dapat digambarkan sebagai relasi tuan-hamba. Dan keempat,
menurut konsep al-Qur‘an, Tuhan bersifat etik dan tindakannya terhadap manusia
dilakukan dengan cara yang etik. Sifat dan tindakan Tuhan tersebut membawa
kepada pengertian yang sangat penting bahwa manusia diharapkan untuk memiliki
sifat etik dan merespon tindakan Tuhan dengan cara yang etik pula.
Banyak biografi tentang Toshihiko Izutsu yang
telah ditulis, baik dalam media cetak maupun elektronik. Untuk lebih menambah
wawasan, maka saya mengambil biografi Toshihiko Izutsu dari sebuah jurnal
Qur’anic Studies, Edinburgh University.
Tohihiko Izutsu lahir pada 4 Mei 1914 di
Tokyo, dimana ayahnya merupakan master Zen dalam agama Budha. Izutsu telah
diperkenalkan dengan Zen Budha sejak usia dini dan ketertarikanya dengan agama
Islam dimulai ketika di duduk di bangku sekolah menengah atas. Secara periodik
dia mengunjungi masjid dan The Turkish Islamic Centre di Tokyo, mempelajari
kedua bahasa baik bahasa turki maupun bahasa arab disana. Perlu diketahui bahwa
guru Islam pertamanya adalah Tatar Turks yang berhasil melarikan diri dari Rusia
setelah Revolusi Bolshevik.[1]
Mentor awal yang penting juga bagi Izutsu
adalah Musa Carullah Bigiyef seorang ulama dan reformis,[2]
dimana Izutsu belajar al-kitab Sibawayhi dan Shahih Muslim serta sya’ir-syair
arab sebelum kedatangan Islam. Izutsu belajar Sastra Inggris di Universitas
Keio dan pada tahun 1942, mulai bekerja sebagai seorang ahli dalam bahasa Timur
di Universitas Institut Kebudayaan dan Linguistic Studies. Dia menjadi Kepala
Departemen Studi Arab pada tahun 1945. Pada tahun 1950 Izutsu menjadi Asisten
Profesor, tahun 1954 ia diangkat sebagai Profesor di Keio dan bekerja di sana
sampai 1968.[3]
Izutsu mendapatkan beasiswa Rockefeller Fellow
scholarship pada tahun 1959, ia menetap di Mesir dan Libanon hingga penghujung
tahun 1961. Dia menemui banyak ulama muslim disana, termasuk Rashid Ridha,
Ibrāhīm Madhkūr, Aḥmad Fuʾād Akhwānī and Muḥammad Kāmil Ḥusayn. Tahun 1962,
Izutsu diundang oleh Wilfred Cantwell Smith ke kanada, dimana dia dijadikan
profesor tamu di Universitas McGill hingga tahun 1969. Kemudian dia diberikan
mandat untuk mengajar full-time di program professor McGill dan bekerja disana
hingga 1974. Disana juga ia bertemu Seyyed Hossein Nasr, A. Rusen Sezer and
Hermann Landolt. Izutsu mengajar di cabang universitas McGill di Teheran sejak
1972. Di akhir tahun 1974, dia meninggalkan McGill atas undangan Hossein Nasr.
Ketika masih berada di Iran, dia juga bertemu dengan para akademisi seperti
Sayyid Jalāl al-Dīn Ashtiyānī, Henry Corbin, James Morris and Mohammed Arkoun.
Dia meninggalkan Iran pada malam tahun 1979, ketika berkecamuknya Revolusi Iran
dan pindah ke Jepang, dimana ia diangkat sebagai Profesor Emeritus di
Universitas Keio tahun 1982. Ia menerbitkan berbagai buku selama periode ini
dan meninggal di rumah pada 7 Januari 1993.[4]
Izutsu telah menulis beberapa karya yang
menyangkut tentang al-Qur’an, diantara tulisan-tulisan yang diterbitkan adalah
sebagai berikut:
1.
The Structure
of the Ethical Terms in the Quran: A Study in Semantics (Tokyo: Keio
University, 1959).
2.
God and Man in
the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Tokyo: Keio Institute of
Cultural and Linguistic Studies, 1964)
3.
The Concept of
Belief in Islamic Theology: A Semantic Analysis of Īmān and Islām (Tokyo: Keio
Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1966).
4.
Ethico-religious
Concepts in the Qurʾān (Montreal: McGill University Press, 1966)
Ada beberapa alasan mengapa hasil penelitian
Izutsu ini menarik untuk dikaji. Pertama, Izutsu merupakan sosok intelektual
yang dikenal memiliki pengetahuan yang baik tentang Islam. Toshihiko Izutsu
adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan
serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Izutsu
juga didukung dengan penguasaanya lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk
Yahudi, Persia, Cina, Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa
modern.
Kedua, ia merupakan sarjana non Muslim yang
dengan metode dan pendekatan yang dipakainya – kalau dipandang dengan sikap
tebuka, tanpa kecurigaan akan tujuan-tujuan negatif yang tersembuyi – dapat
membuka cakrawala baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini
terlupakan. Di antara sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan non Muslim
(outsiders) relatif dapat bersikap lebih netral terhadap data-data historis
yang tersimpan dalam karya-karya kaum Muslim sendiri.[5]
Izutsu menerangkan metodologi pembacaan teks
al-Qur’an secara gamblang terutama dalam dua buku karyanya yaitu: The Structure
of Ethical Terms in the Quran: A Study in Semantics dan God and Man in the
Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung. Izutsu mengatakan bahwa
al-Qur’an dapat didekati dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti
teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya. Izutsu
sendiri menggunakan pendekatan yang disebutnya sebagai pendekatan semantik untuk
kajian al-Qur’an. Analisis semantik atau konseptual digunakan untuk mengkaji
bahan-bahan yang disediakan oleh kosakata al-Qur’an. Dengan kata lain, semantik
merupakan metodologinya, sedangkan al-Qur’an merupakan materinya.
Semantik adalah cabang linguistik yang
meneliti arti atau makna. Semantik sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai
kedudukan yang sama dengan cabang-cabang ilmu bahasa lainnya. Semantik
berkedudukan sama dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di sini, yang
membedakan adalah cabang-cabang ilmu bahasa ini terbagi menjadi dua bagian
besar yaitu morfologi dan sintaksis termasuk pada tataran gramatika, sedangkan
fonologi dan semantik termasuk pada tataran di luar gramatika.[6]
Singkatnya, semantik adalah ilmu bahasa yang mempelajari arti kata atau makna
kata.
Izutsu sendiri memberikan penjelasan tentang
semantik yang akan digunakan dalam kajianya. Semantik yang dimaksud Izutsu
adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu
pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau
pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak sebagai alat
bicara dan berfikir, tetapi lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya.[7]
Lebih lanjut Izutsu mengatakan bahwa kata-kata
atau konsep dalam al-Qur’an itu tidak sederhana. Kedudukanya masing-masing
saling terpisah, tetapi sangat saling bergantung dan menghasilkan makna konkret
justru dari seluruh sistem hubungan itu. Dengan kata lain, kata-kata itu
membentuk kelompok-kelompok yang bervariasi, besar dan kecil, dan berhubungan
satu sama lain dengan berbagai cara, demikianlah pada akhirnya menghasilkan
keteraturan yang menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja
gabungan konseptual.[8]
Hubungan antara kata inilah yang akan diteliti disamping mengetahui makna dasar
dari kata tersebut.[9]
Kemudian Izutsu membedakan antara makna dasar
kata dan makna relasional. Menurutnya, makna dasar kata adalah sesuatu yang
melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu
diletakkan. Sedang makna relasional adalah sesuatu yang konotatif, yang
diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu
pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan
semua kata-kata penting lainya dalam sistem tersebut.[10]
Contohnya kata ‘yaum’ yang memiliki arti kata
dasar ‘hari’. Hal ini akan berlaku bila kita menempatkan kata ini bersamaan
dengan peristiwa yang biasa dijalani, maka sifatnya netral dan berarti ‘hari’
sebagaimana biasanya. Bila kita melihat variasinya dalam al-Qur’an, kita akan
menemukan konsep ‘yaum’ sebagai hari akhir dengan sedikit ditandai warna
eskatologis. Pendek kata ‘al-yaum’ ‘hari’ dalam pengertian ini bukan hari
biasa, tetapi ‘hari akhir’ atau ‘hari pengadilan’.[11]
Namun ada suatu ketika kekuatan modifikasi
seluruh sistem pada kata itu bekerja begitu kuatnya sehingga akhirnya hampir
menghilangkan makna konseptual aslinya. Bila ini terjadi, kita mendapatkan
sebuah kata yang berbeda. Dengan kata lain, kita menyaksikan sebuah kelahiran
kata baru.
Izutsu menerangkan contoh yang paling terkenal
adalah kata kafara. Kafara berarti tidak bersyukur untuk menunjukkan
rasa tidak bersyukur terhadap perbuatan baik atau pertolongan yang ditunjukkan
oranglain. Kata ini berarti berlawanan dengan kata ‘syakaro’ yang berarti
bersyukur. Namun, ketika konsep-konsep Islam masuk dan memberikan warna baru
bagi kosakata bahasa arab, kafaro tidak sesederhana sikap tidak bersyukur,
tetapi tidak bersyukur kepada Tuhan, atau lebih tepatnya lagi, mengingkari
kebaikan-kebaikan Tuhan yang telah diberikan kepadanya.[12]
Selanjutnya, perlu diingat bahwa salah satu
konsep essensial dalam al-Qur’an adalah kepercayaan atau keyakinan ‘iman’. Nah,
disini kata ‘kafara’ mulai sedikit-demi sedikit menyimpang dari arti aslinya
yaitu tidak bersyukur dan semakin dekat pada makna ‘tidak percaya’ sebagai
pengingkaran terhadap konsep iman. Kini kafara bukan lagi lawan kata dari
syakaro, melainkan lawan kata dari aamana yang berarti menolak keimanan atau
keluar dari iman.
Izutsu melanjutkan bahwa yang dicari bukan
hanya relasi kata tersebut dengan kata lainya atau dalam bentuk-bentuk tertentu
dalam susunanya, melainkan juga makna relasional yang kongkret, atau
kristalisasi dari semangat budaya dan refleksi yang terpercaya dari
kecenderungan umum, keadaan psikologik dan lainya dari masyarakat yang emmakai
kata tersebut sebagai bagian kosakatanya.
Analisis semantik bukanlah analisis sederhana
mengenai struktur bentuk kata maupun studi makna asli yang melekat pada bentuk
kata itu atau analisis etimologi. Etimologi hanya dapat memberikan petunjuk
bagi kita untuk mencapai makna ‘dasar’ kata. Analisis semantik lebih dari itu,
jika diklasifikasi, ia diaku sebagai ilmu budaya. Analisis unsur-unsur dasar
dan relasional terhadap istilah kunci harus dilakukan dengan cara yang
sedemikian rupa, sehingga jika kita benar-benar berhasil melakukanya, kombinasi
dua aspek makna kata akan memperjelas aspek khusus. Satu segi yang signifikan
dengan budayanya, atau pengalaman yang dilalui oleh budaya tersebut. Dan pada
akhirnya, jika kita mencapai tahap akhir, semua analisis akan membantu kita
merekonstruksi pada tingkat analitik struktur keseluruhan budaya itu sebagai
konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Inilah yang disebut Izutsu
sebagai weltanschauung semantik budaya.[13]
Analisis ini menurut penulis bermula dengan
mencari makna dasar suatu kata, kemudian mencari hubungan antara kata itu
dengan kata yang lain yang disebut makna relasional. Makna relasional ini
secara tidak langsung akan menggambarkan budaya pada masa dimana kata itu
digunakan. Dengan mengetahui budaya dari relasi kata tersebut, maka proses
rekonstruksi budaya bisa dilakukan yang mana rekonstruksi ini membentuk
konsepsi masyarakat pada masanya.
Hal ini bisa dipahami bahwa bahasa merupakan
kunci sebuah kebudayaan manusia. Setiap bagian dari belahan dunia memiliki
bahasanya masing-masing yang itu bukan hanya menunjukkan bahasa, melainkan
konsepsi yang berisi kepercayaan dan hal-hal lainya dalam komunitas tersebut.
Wajar bila Izutsu ingin mengetahui budaya dan konsepsi masyarakt pada zaman itu
dengan menggunakan analisis bahasa dengan makna dasar dan relasionalnya.
Dalam bab kedua ini Izutsu menerangkan tentang
semantik sinkronik dan diakronik yang akan digunakan dalam telaahnya terhadap
istilah-istilah kunci dalam al-Qur’an. Sebagaimana disinggung diatas, Izutsu
mencoba menelaah weltanschauung al-Qur’an melalui kosakata-kosakatanya.
Diakronik menurut pengertian etimologi adalah
pandangan terhadap bahasa, yang pada prinsipnya menitikberatkan pada unsur
waktu. Dengan demikian, secara diakronik kosakata adalah sekumpulan kata yang
masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang
khas. Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti tumbuh dalam pengertian
berhenti penggunaanya oleh masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan
kata-kata lainya dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Sekali
lagi kata-kata baru dapat melakukan debutnya di gelanggang pada titik waktu
tertentu dan memulai sejarahnya pada periode itu. [14]
Dengan kata lain, terdapat kosakata yang
seiring dengan zaman dilupakan dan tidak digunakan oleh masyarakat sehingga
kosakata ini dinamakan mati atau tidak tumbuh. Dilain waktu, terdapat kosakata
baru yang masuk dalam perbendaharaan kata dan digunakan masyarakat pada waktu
itu.
Kosakata yang terkumpul pada satu waktu
membentuk jaringan dan pola kalimat sebagai hasil budaya masyarakat. Dalam hal
ini Izutsu menyebut sebagai permukaan. Pada permukaan yang seperti itulah dan
hanya pada permukaan itu sajalah, kata-kata tersebut muncul dihadapan kita
dalam bentuk jaringan konsep yang rumit. Sehingga sudut pandang yang melintasi
garis-garis historis kata-kata tersebut memungkinkan kita dengan cara tersebut
untuk memperoleh suatu sistem kata yang statis, disebut singkronik.[15]
Kosakata dalam pengertian khusus ini, yakni
permukaan kata yang statis, sesungguhnya merupakan sesuatu yang artifisial. Ia
merupakan kondisi statis yang dihasilkan secara artifisial oleh satu pukulan
dalam arus sejarah terhadap semua kata-kata dalam bahasa pada suatu titik waktu
tertentu. Lintas-bagian yang dihasilkan memberikan kesan kepada kita sebagai
sesuatu yang statis, namun sebenarnya hanya tampaknya seperti itu. Dengan kata
lain, ia hanya statis bila dilihat dari sudut pandang makroskopik. Secara
mikroskopik, permukaan tersebut menggelegakkan kehidupan dan gerakan. Keadaan
tersebut tampak sangat jelas bila bahasa berada dalam periode kritis dan
revolusioner.[16]
Semantik historis bukanlah pelacakan sejarah
terhadap kata-kata individual belaka untuk melhiat bagaimana kata-kata tersebut
berubah maknanya karena perjalanan sejarah. Semantik historis yang sesungguhnya
hanya dimulai bila kita melakukan pengkajian terhadap sejarah kata-kata
berdasarkan seluruh sistem statis. Dengan kata lain, bila kita membandingkan
dua permukaan atau lebih dari satu bahasa yang sama, maka akan memunculkan
tahap-tahap sejarah yang berbeda, yang satu sama lainya dipisahkan oleh
interval waktu.[17]
Interval tersebut bisa panjang ataupun pendek
tergantung apda tujuan analisa kita. Misalnya, bahkan bahasa al-Qur’an itu
sendiri dapat dianggap sebagai proses historis yang berlangsung selama lebih
dari duapuluh tahun dengan periode yang khas, periode Mekah dan Madinah.dalam
kasus tersebut, sudah pada tempatnya bila kita membuat dua potongan horizontal
yang melintasi perkembangan sejarah bahasa tersebut pada titik-titik yang penting,
kemudian membandingkan dua cross-section antara yang satu dengan yang lain,
bila tujuan kita melakukan studi semantik terhadap perkembangan pemikiran Islam
di dalam batas-batas al-Qur’an.[18]
Kemudian Izutsu melakukan upaya untuk menunjukkan
persoalan ini dengan cara sederhana dan sejelas mungkin, dengan mengisolasi
tiga permukaan semantik yang berbeda pada awal sejarah kosakata al-Qur’an.
Pertama, sebelum turunya al-Qur’an atau masa jahiliyah, kedua masa turunya
al-Qur’an, dan yang terakhir masa setelah turunya al-Qur’an.[19]
Dengan demikian, pada tahap pertama, yakni
masa pra-Islam, kita memiliki tiga sistem kata yang berbeda dengan tiga
pandangan dunia yang mendasarinya yang berbeda pula: (1) kosakata Badwi murni
yang mewakili weltanschauung Arab yang sangat kuno dan berkarakter sangat
nomaden, (2) kosakata kelompok pedagang, yang pada hakikatnya sangat terkait
dengan dan berlandaskan pada kosakata Badwi, yang sekalipun mewakili semangat
yang sangat berbeda dalam memandang dunia, namun merupakan hasil dari perkembangan terakhir ekonomi perdagangan di
Mekah, yang dengan demikian sangat dipengaruhi oleh kata-kata dan gagasan yang
menjadi cirikhas para pedagang di kota tersebut, dan (3) kosakata
Yahudi-Kristen, suatu sistem istilah-istilah religious yang digunakan di
kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup di tanah arab, yang juga
mencakup persoalan sistem hanifiah yang lebih banyak. Ketiga unsur-unsur
tersebut merupakan unsur-unsur penting kosakata Arab pra-Islam.[20]
Dalam bab ketiga dengan tema struktur dasar
weltanschauung al-Qur’an Izutsu menuliskan bagian yang bisa jadi merupakan inti
kajianya, yaitu relasi Tuhan dan Manusia. Dalam hal ini, Izutsu menerangkan
empat hubungan atau relasi yang berlainan antara Tuhan dan Manusia, yaitu:
1)
Relasi
ontologis; dimana Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan
manusia sebagai representasi wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan.
Kedua,
2)
relasi
Komunikatif; Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat, melalui
komunikasi timbale balik.
3)
Relasi
Tuan-hamba; yakni Tuhan sebagai tuan (rabb), dan manusia sebagai hamaba (abd).
4)
Relasi Etik;
yakni adanya perbedaan yang paling mendasar antara keduanya. Divina Commedia, juga meliputi Allah berperan
sebagai Pemberi eksistensi dan wujud pada manusia. Dia adalah pencipta manusia,
danmanusia tidak lain adalah mahluknya. [21]
Salah
satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam weltanschauung
religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi dan
berulang-ulang adalah: Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di dunia
ini? Menurut konsepsi al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah sumber
wujud yang menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara ontologis,
relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq) dan
yang diciptakan (makhlûq).[22]
Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah.
Dalam al-Qur‘an juga ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai
dari malaikat, jin, langit dan bumi, matahari, bulan, siang dan malam, gunung
dan sungai, pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, hingga semua
jenis binatang, dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat
disebutkan satu persatu. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan yang
dapat menciptakan segala hal dan juga menjaganya, pencipta itulah Allah Swt
Tuhan semesta alam.
Konsep
Allah sebagai Tuhan sejatinya telah dikenal masyarakat pada zaman pra-Islam,
yaitu sebelum kedatangan Islam. Orang-orang Arab jahiliyah telah meyakini bahwa
Allah adalah Tuhan langit dan bumi, Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu
dimuka bumi ini. Redaksi ini bisa kita temukan dalam al-Qur’an surah Ar-Ra’du
ayat 16 sebagai berikut:
ö@è%
`tB
>§
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
È@è%
ª!$#
4 ö@è%
Mè?õsªB$$sùr&
`ÏiB
ÿ¾ÏmÏRrß
uä!$uÏ9÷rr&
w
tbqä3Î=ôJt
öNÎgÅ¡àÿRL{
$YèøÿtR
wur
#uÑ
4 ö@è%
ö@yd
ÈqtGó¡o
4yJôãF{$#
çÅÁt7ø9$#ur
÷Pr&
ö@yd
ÈqtGó¡n@
àM»uHä>à9$#
âqZ9$#ur
3 ÷Pr&
(#qè=yèy_
¬!
uä!%x.uà°
(#qà)n=yz
¾ÏmÉ)ù=yÜx.
tmt6»t±tFsù
ß,ù=sø:$#
öNÍkön=tã
4 È@è%
ª!$#
ß,Î=»yz
Èe@ä.
&äóÓx«
uqèdur
ßÏnºuqø9$#
㻣gs)ø9$#
ÇÊÏÈ
Artinya:
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya:
"Allah". Katakanlah: "Maka Patutkah kamu mengambil
pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?".
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah
gelap gulita dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu
bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan
itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah
Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha
Perkasa". ( Q.S. al-Ra’du (13): 16)
Meskipun
masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan Allah, akan tetapi
konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh terhadap pola pikir mereka.
Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman tanpa menaruh perhatian sama sekali
terhadap asal-usul eksistensinya sendiri. Dalam sistem jahiliyah, aktivitas
kreatif Allah adalah awal sekaligus akhir intevensi-Nya dalam urusan manusia.
Dia tidak menaruh perhatian terhadap makhluk ciptaan-Nya. Manusia, sesudah
proses penciptaannya selesai, dikuasai oleh wujud lain yang disebut dahr.[23]
Dahr ini meskipun memiliki beberapa nama lain, yaitu: zamân, ashr, ayyâm, dan
aud, namun gagasan yang mendasari konsep
dahr selalu sama, ia merupakan tiran yang tidak memiliki belas kasihan
dan berdarah dingin. Dahr bilamana dirujuk pada arti kosakatanya berarti waktu.
Waktu memang tidak mengenal siapapun, semua akan berlanjut dan berjalan baik
siapapun yang mau maupun tidak mau.
Dalam bagian relasi ontologis telah diketahui
bahwa Allah adalah pencipta dan manusia adalah yang diciptakan. Antara pencipta
dan yang diciptakan terdapat hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan
bertimbal balik. Komunikasi antara Allah dan manusia terjadi melalui dua cara,
yaitu: pertama, melalui penggunaan
bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak; kedua, melalui penggunaan tanda-tanda alam
oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Dengan demikian
komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe
kedua bersifat non linguistik atau non verbal.
Tipe komunikasi verbal dari atas kebawah
adalah wahyu menurut pengertian yang sempit dan teknis, sedangkan bentuk dari
bawah ke atas mengambil bentuk sembahyang/ du’a. Tipe komunikasi dari
non-verbal dari atas adalah tindakan ilahiah menurunkan (tanzil) “tanda-tanda”
(ayat). Dari bawah ke atas komunikasi dalam bentuk ibadah ritual (shalat) atau
yang lebih umum lagi praktek-praktek penyembahan.[24]
Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia
terjadi dalam bentuk pengiriman wahyu dari Tuhan. Toshihiko Izutsu menjelaskan
bahwa wahyu merupakan perkataan (kalâm) Tuhan. Meskipun ia menyadari bahwa
dalam komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan
manusia sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada dalam
taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖
supra-natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural,
sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. Oleh karena itu
secara teoritik, tidak mungkin terjadi pertukaran kata (al-taẖawwur),
pengajaran (al-ta’lîm), dan juga belajar (al-ta’llum).[25]
Problem eksistensi antara keduanya juga
berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai
dzat yang ghaib atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa
non-alamiah atau non-natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural
menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika dalam konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa
proses pewahyuan bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian
inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.[26]
Problem tersebut, menurut Toshihiko Izutsu,
dapat diatasi dengan mengemukakan teori perantara. Perantara inilah yang
menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia
menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural
merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini juga
berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran kenabian
yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius antara
Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk ghaib
tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat Jibril,
yang pada periode Mekah disebut sebagai
rûh al-quds (roh suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya). Hal
inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan
perkataan manusia pada umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya
yang bersumber dari jinn. Dalam hal ini ada tiga cara pengiriman wahyu yang
berbeda-beda: (1) komunikasi misterius, (2) berbicara dari balik tabir, (3)
mengirimkan seorang utusan.[27]
Bila komunikasi linguistik dari Tuhan berupa
wahyu, maka dari pihak manusia berupa doa yang dipanjatkan ke hadirat-Nya.
Menurut Toshihiko Izutsu, doa dapat menjadi komunikasi dari manusia hanya
terjadi dalam situasi yang sangat istimewa, yakni ketika manusia mendapati
dirinya berada dalam situasi yang tidak wajar. Ketika jiwa
manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana hari-harinya, maka ia berada
dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata secara langsung kepada Tuhan. Dengan
demikian, bahasa yang diucapkan manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi,
dan doa merupakan percakapan personal yang paling intim antara hati dengan
Tuhan. Dengan mengutip al-Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam
situasi seperti itu manusia bukan lagi manusia dalam pengertian umum, ia sudah
mentransformasikan diri menjadi sesuatu yang berada di atas dirinya.[28]
Komunikasi non linguistik antara Tuhan dan
manusia terjadi dalam bentuk pengiriman tanda-tanda alam dari Tuhan.
Tanda-tanda ini, bagi orang-orang yang mau memperhatikan dan merenungkannya,
dapat dilihat setiap saat, karena memang semua yang sering disebut sebagai
peristiwa alam, seperti hujan, angin, susunan langit dan bumi, pergantian siang
dan malam, dan sebagainya pada dasarnya merupakan tanda-tanda yang menunjukkan
kepedulian Tuhan terhadap kehidupan umat manusia di muka bumi, sekaligus
merupakan bukti Ketuhanan-Nya.Sementara dari manusia berupa salat.[29]
Komunikasi antara Tuhan dan manusia, baik yang
bersifat verbal maupun non-verbal, terjadi atas inisiatif dari Tuhan, sementara
manusia pada dasarnya hanya menanggapi apa yang dilakukan Tuhan. Kehendak Tuhan
untuk membuka komunikasi langsung antara Dia dan manusia termanifestasi dalam
bentuk pengiriman âyât
(tanda-tanda). Ayat Ilahi yang dimaksud dalam al-Qur‘an merupakan
pengertian yang umum, yakni meliputi simbol-simbol verbal dan non-verbal. Dari
kedua jenis simbol ini, pesan-pesan Tuhan melalui simbol verbal (waẖy) dapat
dikatakan lebih jelas, karena pada dasarnya bersifat konseptual dan analitis.
Dengan demikian, waẖy dapat menyajikan
kehendak Tuhan dalam yang mudah dipahami oleh alam pikiran manusia. Sementara
dalam simbol non-verbal, kehendak Tuhan termanifestasikan secara global. Dan
karena sifatnya yang tidak konseptual, maka pesan-pesan yang dibawa sangat
tidak jelas atau kabur. Akan tetapi simbol non-verbal lebih terbuka, dapat
diakses oleh siapa saja tanpa perantara, sedang simbol verbal hanya mungkin
diketahui oleh umat manuisa melalui seorang perantara, yaitu Rasul.[30]
Relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai
Tuhan (rabb), semua konsep yang berhubungan dengan keagungan-Nya,
kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-nya dan lain sebagainya. Sedangkan di pihak
manusia sebagai hamba (‘abd) seluruh konsep yang menunjukkan kerendahan, kepatuhan
mutlak, dan sifat-sifat serupa lainya yang tercakup di dalam dan terkait dengan
kata jahiliyyah.[31]
Dalam sistem al-Qur‘an, Allah adalah penguasa
mutlak; satu-satunya Tuhan yang berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia
adalah hamba (‘abd). Sebagai hamba (‘abd), manusia harus bersikap berserah diri
sepenuhnya, merendah, dan menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat.
Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, islâm
merupakan istilah yang paling penting. Dengan menghubungkan kata islâm dengan
kata kerjanya, yaitu aslama, maka islâm dapat dipahami sebagai tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri kepada kehendak
Allah dan memercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian ini diperoleh
berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allâh.[32]
Istilah ini dapat ditemukan salah satunya dalam surah al-Baqoroh ayat 128,
yakni:
$uZ/u
$uZù=yèô_$#ur
Èû÷üyJÎ=ó¡ãB y7s9
`ÏBur
!$uZÏFÍhè
Zp¨Bé& ZpyJÎ=ó¡B
y7©9 $tRÍr&ur $oYs3Å$uZtB
ó=è?ur !$oYøn=tã
( y7¨RÎ)
|MRr&
Ü>#§qG9$# ÞOÏm§9$#
ÇÊËÑÈ
Artinya: Ya Tuhan Kami, Jadikanlah
Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara
anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada
Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. (al-Baqoroh: 128)
Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm
sangat penting adalah karena ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat
personal pada tiap-tiap orang, merupakan peristiwa penting yang menandai titik
awal dimulainya penyerahan dan kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai
titik balik yang menentukan dalam kehidupan seorang manusia. Sementara semua
istilah al-Qur‘an lainnya yang bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat
samar dan ambigu. Istilah-istilah tersebut dapat memberikan kesan yang salah
tentang kepatuhan dan kerendahan diri sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam
struktur semantiknya tidak terdapat momentum keputusan eksistensial, momentum lompatan
ke dalam bidang kehidupan yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang
berimplikasi demikian.[33]
Islâm dalam
pandanganToshihiko Izutsu bertentangan dengan jahiliyah. Namun pada masa
pra-al-Qur‘an, term jahiliyah sama sekali tidak mempunyai konotasi religius.
Menurut konsepsi pra-Islam, jahl sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan
tuhan-tuhan. Konsep ini semata-mata hanya meyangkut hubungan manusia dengan
sesamanya. Jahl merupakan sifat pribadi manusia yang menjadi ciri khas
masyarakat Arab pra-Islam. Konsep ini, bersama dengan pasangannya – hilm,
begitu lekat dengan psikologi mayarakat Arab ketika itu, sehingga wajar jika
kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi-puisi jahiliyah. Dalam al-Qur‘an,
jahiliyah merupakan istilah religius dalam pengertian yang negatif, karena
merupakan landasan tempat kata kufr. Di sini Toshihiko Izutsu memandang
jahiliyah bukan sebagai fase sejarah yang mendahului Islam, tetapi merupakan
sifat yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan,
kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan penguasa
manapun, baik manusia maupun Tuhan.[34]
Relasi ini didasarkan pada perbedaan yang
paling dasar antara dua aspek yang berbeda, yang dapat dibedakan dengan konsep
Tuhan itu sendiri. Tuhan yang kebaikanya tak terbatas, maha pengasih, pengampun
dan penyayang di satu sisi. Tuhan yang murka dan kejam serta sangat keras
hukumanya di sisi yang lain. Demikian pula, dari sisi manusia terdapat
perbedaan dasar antara rasa syukur di satu pihak (syukr), dan takut kepada
tuhan (takwa) bersama-sama membentuk satu kategori iman, dan ini akhirnya
membentuk perbedaan yang tajam dengan kufr baik dalam pengertian tidak
bersyukur maupun ingkar.
Etika berkaitan dengan apa yang harus
dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan
Tuhan, maupun bagaimana Tuhan berkehendak terhadap makhluk-Nya. Menurut
Toshihiko Izutsu, terdapat tiga kategori yang berbeda mengenai konsep etik di
dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama,
kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang
menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan; dan
ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah
laku yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.[35]
Aspek Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah,
Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun kepada manusia ini disebutkan
dalam al-Qur‘an dengan kata kunci seperti ni„mah (kenikmatan), fadl (kemurahan
hati), rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut
Toshihiko Izutsu, fakta yang menunjukkan bahwa Tuhan bersifat demikian dan
menunjukkan semua kebaikan dalam bentuk âyât ini hendaknya menentukan respon
yang benar di pihak manusia. Respon tersebut adalah syukr atau rasa terima
kasih atas karunia yang telah dianugerahkan Tuhan. Rasa terima kasih ini hanya
mungkin timbul bila manusia sudah mengerti makna âyât tersebut.[36]
Konsep syukr sesungguhnya telah mengakar kuat pada
masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh sajak karya seorang penyair dari suku
Hudzail, syukr bermakna sebagai ungkapan terima kasih terhadap pemberian (ni’mah)
orang lain.[37] Dan
konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana, yakni bila
seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian menganugerahkan ni’mah kepada
anda, maka reaksi wajar yang harus anda tunjukkan adalah berterima kasih. Ini
dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar dalam hubungan antar sesama manusia.
Akan tetapi, respon manusia terhadap ni„mah tidaklah tunggal. Manusia kadang
kala bahkan sering mengingkari (kufr) atau menyikapi ni’mah dengan tidak berterima
kasih. Contoh dalam al-Qur’an adalah surah al-Zukhruf ayat 15, yakni:
(#qè=yèy_ur ¼çms9 ô`ÏB
¾ÍnÏ$t6Ïã #¹ä÷ã_ 4 ¨bÎ)
Æ»|¡SM}$# Öqàÿs3s9 îûüÎ7B ÇÊÎÈ
Artinya: Dan mereka menjadikan sebahagian dari
hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). (Q.S. al-Zukhruf :
15)
Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau
ni’mah yang telah diterima tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi
aturan moral dasar. Dengan demikian, makna dasar syukr adalah respon positif
manusia terhadap kebaikan yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr,
yang makna dasarnya adalah tidak berterima kasih.
Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan
membalas di Hari Pengadilan dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-‘iqâb),
Tuhan yang membalas dendam (dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab)
akan melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia
tidak menolak untuk berserah diri ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam
hidupnya. Penekanan mutlak terhadap penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup
yang berdasarkan kesadaran tentang Hari Pengadilan yang akan datang ini,
menurut Toshihiko Izutsu, merupakan makna asli taqwâ.[38]
Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga
telah dikenal pada masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ
yang merupakan salah satu kata favorit dalam syair-syair pra-Islam. Hanya saja
pada masa jahiliyah, kata ini tidak dipergunakan dalam pengertian religius,
kecuali mungkin di lingkungan khusus, yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan
orang-orang yang secara nyata telah terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam
konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ bermakna menjaga diri dari bahaya yang
mengancam keselamatan dengan sesuatu, baik berupa benda ataupun makhluk hidup.
Dengan demikian, kata kerja ittaqâ dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam pengertian
fisik atau material, atau paling tinggi diterapkan dalam konteks moral.
Sementara dalam kasus al-Qur‘an, istilah ittaqâ hampir selalu muncul dalam
konteks religius.[39]
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman, Al-Qur'an dan Tafsirnya dalam
Prespektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010)
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in
the Qur’an, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1993)
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,
Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
[1] Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan
Revolusi Oktober adalah revolusi yang dilakukan oleh pihak komunis Rusia, di
bawah pimpinan Lenin. Setelah merebut kekuasaan di Petrograd, ibu kota Rusia
kala itu, mereka menggulingkan pemerintahan nasionalis di bawah pimpinan
Alexander Kerensky yang mulai memerintah sejak bulan Februari. Pemerintahan ini
diangkat setelah Tsar Nikolas II dari Rusia turun takhta karena dianggap tidak
kompeten.
Amerika Serikat yang saat itu sedang menjalankan
perjanjian dengan pemimpin Rusia, Tsar Nikolai II, secara otomatis kehilangan
perjanjian tersebut karena kaum Bolshevik mengambil alih pemerintahan dan
menghilangkan kuasa dari Tsar Rusia saat itu.
[2] Musa Carullah lahir di Rusia pada tahun 1875
dan meninggal di Mesir pada tahun 1949. Ia dianggap salah satu ulama terkemuka
saat itu. Ia dididik dalam Madaris di Bukhara(Uzbekistan saat ini) dan
menerbitkan banyak jurnal, surat kabar dan buku. Dia terutama bekerja pada
sejarah teks Alquran, masa depan umat Islam di Rusia, status perempuan dalam
Islam, dan berbagai masalah hukum. Ia menerjemahkan al-Qur'an kedalam bahasa
tatar atau Turki.
[3] Ismail Albayrak, The Reception of Toshihiko
Izutsu’s Qur’anic Studies in the Muslim World: With Special Reference to
Turkish Qur’anic Scholarship, Journal of Qur’anic Studies 14.1 (2012),
Edinburgh University Press, Skotlandia.
[4] Ibid.
[5] Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi
terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran:
Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein,
dkk., Relasi Tuhan dan Manusia;
Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h.
xiii.
[6] Dra. Novi Resmini, M.Pd, Bahan Belajar
Mandiri (BBM) VIII, Unsur Semantik dan Jenis Makna, pdf file on
file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/KEBAHASAAN_I/BBM_8.pdf, t.t.
hal, 44
[7] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,
Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal.
3
[8] Ibid., Izutsu, hal. 4
[9] Ibid., Izutsu, hal. 4
[10] Ibid., Izutsu, hal. 12
[11] Ibid., Izutsu, hal. 12
[12] Ibid., Izutsu, hal. 14
[13] Ibid., Izutsu, hal. 17
[14] Ibid., Izutsu, hal. 32
[15] Ibid., Izutsu, hal. 33
[16] Ibid., Izutsu, hal. 33
[17] Ibid., Izutsu, hal. 33
[18] Ibid., Izutsu, hal. 34
[19] Ibid., Izutsu, hal. 35
[20] Ibid., Izutsu, hal. 35
[22] Ibid., hal. 77-78
[23] Ibid., hal. 131
[24] Ibid., hal. 79
[26] Fathurrahman, Al-Qur'an dan Tafsirnya dalam Prespektif Toshihiko
Izutsu, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hal. 128
[27] Op. Cit., Izutsu, hal. 194
[28] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 129
[29] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 129
[30] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 130
[31] Ibid., hal. 79
[32] Op. Cit., Izutsu..., hal.220
[33] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 133
[34] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 135
[35] Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in
the Qur’an, hal. 18
[36] Op. Cit., Izutsu..., hal.258
[37] Op. Cit., Izutsu..., hal.260
[38] Op. Cit., Izutsu..., hal.262-263
[39] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar