LANDASAN FUNDASIONAL
DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
Makalah
Diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah
“Pengembangan
Kurikulum PAI”
Dosen Pengampu
:
Dr. Marno
Nurullah, M.Pd
Astrifidha
Rahma Amalia (16771014)
Pada Acara Kuliah Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang,
Jawa
Timur, pada hari Rabu, 1 Maret 2017, Pkl. 11.30-13.30 di Ruang Gedung
A.308 UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur.
Malang, Maret 2017
A.
Dasar Pemikiran
Kurikulum Pendidikan Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam
seperti yang dirumuskan oleh Arifin yaitu merealisasikan manusia Muslim yang
beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya
kepada sang Khalik dengan sikap dan kepribadian yang bulat[1]. Rumusan
tujuan pendidikan Islam ini sangatlah relevan dengan rumusan tujuan pendidikan
Nasional yang mengutamakan pembentukan kepribadian yang utuh bisa juga
dikatakan sebagai complete personality[2]
dan bukanlah split personalit (pribadi yang pincang).
Complete personality sangat
diinginkan oleh institusi-institusi penyelenggara pendidikan sebagai hasil
akhir dari pengembangan kurikulum khususnya dalam pengembangan kurikulum PAI.
Pengembangan kurikulum yang baik itu sendiri[3],
membutuhkan landasan yang kuat dan kokoh agar tujuan pendidikan terfokus dan
selaras dengan prosedur pengembangan kurikulum atau bisa dikatakan tidak
ngawur. Dengan landasan yang kuat tersebut diharapkan kurikulum pendidikan
akan mencapai keberhasilan yang maksimal untuk mengantarkan rakyat Indonesia
menuju pendidikan yang lebih baik lagi terutama dalam pendidikan Islam
tentunya.
Upaya pengembangan kurikulum selalu dilakukan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik. Walaupun pengembangan kurikulum sebenarnya akan selalu
membawa konsekuensi pada pelaksanaan praktik di dalam kelas namun kurikulum adalah
suatu proses yang saling berineteraksi[4].
Oleh karenanya, perlu diperhatikan lagi kajian mengenai landasan yang digunakan
agar pengimplementasian kurikulum di kelas tetap terfokus pada tujuan.
Lembaga pendidikan Islam seperti Perguruan Tinggi Agama Islam mulai
mengonsepkan kembali kurikulum melalui perpaduan landasan filosofis, historis
dan konseptual serta faktor-faktor terkait yang sangat berpengaruh pada
eksistensi PTAI tersebut[5]. Tidak
menutup kemungkinan bahwa unsur-unsur pelaksana kurikulum harus melakukan peningkatan
terhadap pengembangan kurikulum tersebut yang akan dimulai dengan perbaikan
dari titik dasar atau landasannya.
Dengan merujuk pada latar belakang di atas, makalah ini akan
membahas lebih lanjut tentang landasan fundasional pengembangan kurikulum
meliputi: visi dan misi Pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis,
landasan filosofis religius, dan landasan yuridis.
B.
Landasan Fundasional Pengembangan Kurikulum PAI
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, landasan dari kata dasar landas
yang berarti alas, landasan untuk kapal terbang berarti tempat mendarat, dan
landasan menurut hukum berarti dasar, seperti Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan
fundasional (pondasi) atau fundamental berarti bersifat dasar/ pokok[6]. Landasan
fundamental menurut Muhaimin dalam bukunya[7]
disebut dengan landasan konseptual. Landasan konseptual inilah yang identik
dengan persepsi, gagasan, pandangan, atau juga kepercayaan yang dijadikan dasar
atau tumpuan dalam berpikir dan bertindak. Selain landasan fundasional, ada
juga landasan yang empirik yang diangkat dari problem negara dan bangsa,
problem pelaksana PAI, problem umat, dst.
Maka dari itu, pengembangan kurikulum harus didasarkan atas asumsi
yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti: (1) SDM seperti
apa yang diidealkan?, (2) apa dan bagaimana peran strategis lembaga pendidikan
Islam tentunya dalam menyiapkan SDM yang diidealkan itu ke depan?, dan (3)
kontribusi lembaga pendidikan Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan[8].
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka langkah awal yang harus diambil ialah
bagaimana menetapkan visi misi dan seterusnya bagi lembaga pendidikan Islam
untuk dijadikan dasar arah pengembangan kurikulum.
1.
Visi dan Misi Lembaga Pendidikan Islam
Visi[9]
merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin
mewujudkan dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan misi adalah pernyataan
mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi pihak yang berkepentingan
di masa datang[10]
atau biasa diartikan perwujudan dari visi sebuah lembaga melalui suatu
tahapan-tahapan aksi.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag 2015-2019 menyatakan bahwa visi
dari Pendidikan Islam adalah Terwujudnya Pendidikan Islam yang unggul, moderat
dan menjadi rujukan dunia dalam Integrasi Ilmu Agama, Pengetahuan, dan
Teknologi. Diikuti dengan misinya, antara lain: meningkatkan akses Pendidikan
Islam yang merata, meningkatkan mutu Pendidikan Islam, meningkatkan relevansi
dan daya saing Pendidikan Islam, serta
meningkatkan tata kelola Pendidikan Islam yang baik[11].
Berkaitan dengan penjelasan diatas, Muhaimin memberikan contoh
bahwasannya PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) harus memiliki visi dan misi
sebagai dasar dalam langkah untuk mengembangkan kurikulum di PTAI tersebut.
Visi PTAI, misalnya: “Menjadikan PTAI yang membangun manusia yang
memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlaq, keluasan ilmu,
dan kematangan profesional”, disambung dengan misinya.
Misi PTAI, misalnya:
1) Menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang Islami
2) Mengembangkan
dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang Islami.
3) Memberikan
ketauladanan dalam kehidupan atas dasar nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia[12].
2.
Landasan Sosio-Historis
Prof. Muhaimin menyatakan bahwa dilihat dari dimensi sejarah,
aspirasi umat Islam pada umumnya dalam pengembangan perguruan tinggi Islam,
pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) untuk melaksanakan
pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih
tinggi secara lebih sistematis dan terarah, (2) untuk melaksanakan pengembangan
dan peningkatan dakwah Islam, (3) untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi
ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun
sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan, dan sebagainya[13].(Azra
1999)[14]
Menurut Muhaimin, bahwa pengembangan pendidikan Islam di Indonesia,
terutama pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900-menjelang 1945), agaknya
lebih ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode
tersebut diduga muncul berbagai problem dan isu-isu pendidikan Islam yang
menonjol, yang merupakan diskursus[15]
dalam pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir,
pengembang, dan pengelola pendidikan Islam di Indonesia[16]. Arah
pengembangan pendidikan Islam ditujukan untuk mengantisipasi perkembangan
pendidikan Islam kontemporer yang banyak menghadapi era perkembangan iptek dan
globalisasi.
Pada perkembangan selanjutnya terdapat kecenderungan-kecenderungan
baru untuk merespon berbagai tantangan dan tuntutan yang berkembang di
masyarakat. Beberapa kecenderungan tersebut antara lain menyangkut hal-hal
sebagai berikut: Pertama, tuntutan akan studi keislaman yang mengarah
pada pendekatan non-madzhabi[17],
sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme[18].
Kedua, menyangkut pergeseran dari studi keislaman yang bersifat normatif ke
arah yang lebih historis, sosiologis dan empiris.Dalam arti, kajian Islam tidak
hanya menelaah Islam sebagai ajaran dan nilai-nilai ideal atau dimensi
normatifnya.
Ketiga, menyangkut
orientasi keilmuan yang lebih luas, bahwasannya pemahaman tentang ilmu-ilmu
agama islam tidak terlepas dari suasana historis yang mengitari founding
fathers-nya, yaitu mereka yang masih berhadapan dengan problem dikotomi
ilmu pengetahuan, sehingga demarkasi[19]
ilmu hanya dilihat dari sumbernya, apakah ia bersumber dari wahyu (naqli)
atau rasional manusia (aqli) dan/ atau kauniyah yang pada
gilirannya masing-masing berkembang sendiri-sendiri tanpa ada kaitan secara
sinergis[20].
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat sepertinya menimbulkan
kesenjangan antara iman dan imtelek atau antara ilmu pengetahuan yang bersumber
dari wahyu dan yang bersumber dari upaya manusia. Hal ini pada gilirannya
menimbulkan pecahnya kepribadian manusia melalui berbagai sikap yang berlawanan
dan bahkan konflik-konflik yang tajam. Padahal kekokohan iman pada seseorang tidaklah
hanya tumbuh dan dibangun dari studi naqliyah/ tanzilityah
belaka, tetapi dapat tumbuh dari studi ilmu-ilmu sosial, studi natural
sciences, dan humaniora. Fenomena semacam itu juga menjadi perbincangan dalam
Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di
Islamabad pada tahun 198. Konferensi ini antara lain memeberikan rekomendasi
agar ilmu pengetahuan rasional diajarkan dari sudut pandang Islami[21].
Pemahaman akan tujuan pendidikan Islam yang pertama yaitu untuk
melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat
yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah dapat berimplikasi pada 2
tujuan berikutnya, seperti pada tujuan kedua, yakni untuk melaksanakan
pengembangan dan peningkatan dakwah Islam. Makna dakwah Islam bukan lagi hanya
diartikan untuk mengkomunikasikan ilmu naqliyah[22]
saja, akan tetapi dakwah Islam juga berhubungan dengan bagaimana ilmu naqliyah
memberi spirit dan landasan, serta ancangan bagi pengembangan ilmu aqliyah
yang mencakup: (1) Arts (ilmu-ilmu imajinatif), seperti kesenian dan arsitektur
Islam, bahasa-bahasa, kesusastraan; (2) ilmu-ilmu intelektual meliputi:
ilmu-ilmu sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah,
peradaban Islam, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi; (3)
ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) meliputi: filsafat ilmu pengetahuan,
matematika, statistika, fisika, kimia, biologi, astronomi, dsb; (4) ilmu-ilmu
terapan meliputi: teknik dan teknologi, kedokteran, pertanian dan kehutanan;
(5) ilmu-ilmu praktis, meliputi: perdagangan, ilmu-ilmu administratif,
ilmu-ilmu perpustakaan, ilmu-ilmu kerumahtangaan, ilmu komunikasi dsb.
(Biligrami Hamid Hasan & Ashraf, Syed Ali, 1985)[23].[24]
Adapun tujuan pendidikan Islam yang ketiga adalah untuk melakukan
reproduksi dan kaderisasi ulama. Pemahaman tentang ulama bukan lagi terbatas
pada mereka yang hanya menguasai ilmu naqliyah tetapi juga mereka yang
menguasai ilmu aqliyah, serta menjadikan ilmu naqliyah sebagai
landasan, spirit, serta ancangan bagi ilmu aqliyah serta mewarnai
pengembangan ilmu aqliyah tersebut.
Berdasarkan sudut pandang seperti yang dijelaskan diatas, maka
studi keislaman mengalami pemekaran makna, yaitu Pertama, studi Islam
sebagai sumber ajaran merupakan wahyu Ilahi yang terhimpun dalam Al Qur’an dan
Al Hadis. Maksudnya, studi Islam bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan
dalam bentuk mata kuliah sumber ajaran (Al Qur’an) dan Al Hadis beserta
seperangkat ilmu yang terkait langsung dengannya, seperti ‘ulumul Qur’an, ‘ulumul
Hadis dan lain-lainnya. Kedua, studi Islam sebagai bagian dari pemikiran
dala arti luas. Dalam sejarah pemikiran Islam setidak-tidaknya ada lima bidang
pemikiran Islam yang menonjol, yaitu ilmu kalam, syari’ah, filsafat, tashawwuf,
dan ilmu dunyawiyah yang mencakup bidang-bidang yang cukup luas mulai dari IPA
dan matematika hingga arsitektur, astronomi, dan sebagainya. Ketiga,
studi Islam sebagaimana yang dialami, diamalkan, dan diterapkan dalam
kehidupan. Dengan bersumber pada Al Qur’an dan al-Sunnah, yang kemudian
dijabarkan dalam berbagai pemikiran, ajaran Islam kemudian diamalkan dan
diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah
berabad-abad menyinari dunia[25].
3.
Landasan Filosofis Religius
Filosofis berangkat dari akar kata filsafat yang merupakan bagian
fundamental dalam pengembangan kurikulum[26]. Asas
filosofis berkenaan dengan sistem nilai (value system) yang berlaku di
masyarakat. Sistem nilai erat kaitannya dengan arah dan tujuan yang akan
dicapai. Kurikulum pada hakikatnya berfungsi sebagai alat pendidikan yang
mempersiapkan anggota masyarakat agar mampu mempertahankan sistem dan nilai
masyarakatnya sendiri[27].
Landasan filosofis religius dicontohkan dengan Perguruan Tinggi
Agama Islam yang menjadikan Ulul Albab[28]
sebagai jargon yang hendak dimanifestasikan dalam bentuk program pendidikan
mislanya, maka seluruh fakultas, jurusan, dan program studi yang dikembangkan
harus berada di bawah payung Ulul Albab.
Dari hasil kajian Prof. Muhaimin terhadap istilah Ulul Albab
yang terkandung dalam 16 ayat Al Qur’an, beliau meringkasnya ke dalam lima ciri
utama sosok Ulul Albab tersebut, yaitu: (1) selalu sadar akan kehadiran
Tuhan pada dirinya dalam segala situasi dan kondisi, sambil berusaha mengenali
Allah melalui dzikir serta mengenali alam semesta dengan akal melalui fikr,
sehingga sampai pada bukti yang sangat nyata akan keagungan Allah SWT dalam
segala cipataannya; (2) tidak takut pada siapapun kecuali kepada Allah, serta
mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian dipilih yang baik walaupun
harus sendirian dalam mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu
dipertahankan oleh sekian banyak orang; (3) mementingkan kualitas hidup, baik
dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sabar dan tahan uji walaupun ditimpa
musibah dan diganggu oleh syetan (jin dan manusia), serta tidak mau membuat
onar, keresahan, kerusuhan, dan berbuat makar di masyarakat; (4)
bersungguh-sungguh dalam mencari dan menggali ilmu pengetahuan, dan kritis
dalam menerima pendapat, teori atau gagasan dari manapun datangnya, serta
pandai menimbang-nimbang untuk ditemukan yang terbaik; (5) bersedia
menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya, dan
tidak berpangku tangan di laboraturium belaka, serta hanya terbenam dalam
buku-buku di perpustakaan, tetappi justru tampil di hadapan masyarakat,
terpanggil hatinya untuk memecahkan problem yang ada di tengah-tengah
masyarakat. (Muhaimin, 2003)[29].
Bertolak dari ke lima ciri utama tersebut, ciri yang pertama dan yang kedua menggarisbawahi sosok Ulul Albab yang memiliki kekokohan
aqidah dan kedalaman spiritual, ciri yang ketiga menggarisbawahi sosok Ulul
Albab yang memiliki komitmen terhadap akhlak mulia. Ciri keempat
menggarisbawahi bahwa sosok Ulul Albab yang memilki keluasan ilmu dan
ciri kelima menggarisbawahi sosok
Ulul Albab yang memiliki kematangan profesional. Dari situlah kemudian dapat
diformulasikan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh sosok Ulul Albab ke dalam
empat kalimat yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan
kematangan profesional[30].
4.
Landasan Yuridis
Landasan
yuridis adalah landasan hukum atau landasan undang-undang yang dijadikan tempat
berpijak atau dasar pengembangan kurikulum[31]. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 36),
bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (ayat 1). Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi[32] sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah dan peserta didik (ayat 2). Di dalam Pasal 38
dikemukaan bahwa kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi
yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap
program studi (ayat 3).
Dari
penggalan-penggalan isi UU Sisdiknas No. 20/ 2003 dalam Bab X Kurikulum pasal
38 ayat 3 memang telah disebutkan bahwasannya kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri yang tetap mengacu pada standar
nasional. Jadi bisa saja model pengembangan kurikulum akar rumput yakni
kurikulum dari inisiatif dan ide-ide dari para penggagas kurikulum diterapkan
untuk mengembangkan kurikulum di tingkat perguruan tinggi ini.
Pada UU No.
55/ 2007 pasal 10 ayat 2 juga disebutkan bahwasannya pendidikan ilmu yang
bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang memadukan
ilmu agama dan ilmu umum bertujuan untuk memepersiapkan peseta didik
melanjutkan pada jenjang berikutnya[33].
Bertolak dari
UU yang tersebut diatas, maka merujuka pada landasan filosofis religius pada
PTAI yang dicontohkan dengan konsep Ulul Albab dan kandungan maknanya
sebagai asumsi dasar dalam pengembangan kurikulum PTAI merupakan perwujudan
dari prinsip diversifikasi[34] serta perpaduan ilmu
agama dan umum untuk persiapan jenjang berikutnya, sehingga benar adanya,
sepanjang tetap memerhatikan standar nasional pendidikan.
Dari keempat
landasan fundasional berupa visi dan misi, landasan sosio-historis, landasan
filosofis religius, dan landasan yuridis merupakan akar penguat bagi
pengembangan kurikulum yang satu sama lainnya saling berkorelasi untuk
dijadikan sebagai tumpuan pengembangan kurikulum dalam pendidikan Islam dengan
harapan mewujudkan kurikulum yang lebih baik lagi melalui perbaikan landasan
fundasional yang telah dijelaskan sebelumnya.
C.
Analisis Landasan Fundasional Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam
Dari empat landasan fundasional yang telah penulis paparkan satu
persatu mengenai detailnya perlu diadakan analisis yang lebih untuk memberikan
rekomendasi-rekomendasi agar kurikulum di PAI berkembang untuk kedepannya.
Dilihat dari sisi landasan visi misi, bahwasannya visi misi
perguruan tinggi agama Islam yang sudah terbentuk sedemikian rupa seharusnya mendorong
para pelaksana kurikulum untuk menekankan pada visi misi yang telah dibuat.
Jadi, segala aspek kurikulum memang bertujuan awal pada visi dan misi perguruan
tinggi itu. Perwujudan dari visi yang berupa misi tidak hanya berlaku pada
ranah teoritis saja, namun alangkah baiknya jika berlanjut pada ranah praksis.
Dilihat dari sisi landasan sosio-historis, berangkat dari tujuan
pengembangan perguruan tinggi Islam diharapkan para civitas akademik mampu
menghadapi era teknologi dan globalisasi yang memunculkan berbagai kalangan
atau golongan. Untuk itu perguruan tinggi Islam yang berhasil adalah apabila
mahasiswanya bisa membaur dalam lingkungan masyarakat untuk menjadi penengah
atau problem solver bukan malah menambah masalah baru.
Dilihat dari sisi landasan filosofis religius, sebagai contoh
diatas telah dikemukakan konsep Ulul Albab yang mana konsep ini
mengedepankan segi keilmuan berdasarkan pada ajaran Al Qur’an, al-Sunnah, dan
sumber-sumber lain yang relevan. Jika konsep itu sudah bisa didalami oleh para
pelaksana kurikulum maka pendidikan ideal insha Allah bakal terwujud
dengan menjadikan Al Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasannya.
Dilihat dari sisi landasan yuridis, landasan yang memang berkaitan
dengan undang-undang yang ditetapkan pemerintah. Pengembangan kurikulum PAI
harus tetap berpegang teguh pada tujuan pendidikan nasional menurut
undang-undang tersebut agar tetap terfokus pada pembentukan pribadi yang
unggul, beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab yang hal ini memang sudah tercantum pada UU Sisdiknas No 20
Tahun 2003 Bab II pasal 3.
D.
Penutup
Dari pemaparan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam
pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam dibutuhkan adanya suatu landasan
atau tumpuan tidak lain sebagai pondasi dalam membentuk sebuah kurikulum.
Pengembangan kurikulum didasarkan pada dua landasan yaitu landasan fundasional
dan landasan empirik.
2. Landasan
fundasional pengembangan kurikulum PAI meliputi visi-misi pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis, landasan
filosofis religius, dan landasan yuridis.
3. Landasan
visi-misi PAI mengacu pada turunan tujuan pendidikan Agama Islam yang dijadikan
sebagai acuan pelaksanaan pengembangan kurikulum yang memang harus terfokus
pada tujuan pendidikan Islam pada awalnya. Landasan sosio-historis berangkat
dari aspek sejarah sosial masyarakat dalam dunia pendidikan. Landasan ini
digunakan sebagai penopang dalam menghadapi kemajuan iptek dan globalisasi. Landasan
filosofis religius yakni pandangan hidup yang mendasari kegiatan Pendidikan
Agama Islam berlandaskan Al Qur’an dan al-Sunnah sebagai contoh: Konsep Ulul
Albab. Sedangkan landasan yuridis tentu saja berhubungan dengan hukum/
undang-undang yang berlaku di negara yang terdapat pada UU 20/ 2003 dan UU 55/
2007.
4. Keempat
landasan fundasional yang mencakup visi-misi
pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis, landasan filosofis religius, dan landasan yuridis mempunyai
keterkaitan satu dengan yang lain dalam menopang pengembangan kurikulum yang
mana disini pemakalah lebih menekankan pada kurikulum PAI di Perguruan Tinggi
Agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Furchan,
Arief, dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan
Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Idi,
Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Ar-Ruz
Majid,
Abdul dkk. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Muhaimin.
2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Nuansa
Muhaimin.
2009. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali
Press
Nasution.
2011. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara
Print,
Murray. 1987. Curriculum Development and Design. Sydney: Berne Convention
http://pendis.kemenag.go.id/index
akses tgl 27 Februari 2017
http://safardanial21.blogspot.co.id./2015/05/landasan-yuridis-pengembangan-kurikulum.html akses tgl 28 Februari 2017
[1] Arifin (1993:
237) menyatakan bahwa rumusan tujuan Pendidikan Islam adalah merealisasikan
manusia Muslim yang beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu
mengabdikan dirinya kepada sang Khalik dengan sikap dan kepribadian yang bulat
menyerahkan diri kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari
keridhaanNya. Lihat Dr. Abdullah Idi. M.Ed dalam Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktik. h. 59
[2] Pada tahun
1998, UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan yaitu: (1) learning to know,
(2) learning to do, (3) learning to life together, dan (4) learning to be.
Dengan demikian keluaran proses pendidikan merupakan suatu pribadi yang utuh
denagn keunggulan secara berimbang dalam aspek spiritual, sosial, intelektual,
emosional, dan fisikal serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lihat.
Abdul Majid, S.Ag, Dian Andayani S,Pd. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi. h. 1-2
[3] Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Murray Print bahwasannya “Thus curriculum development
is defined as the process of planning, implementing and evaluating learning
opportunities intended to produce desired changes in learners.” Lihat
Murray Print dalam Curriculum Development and Design. h. 15
[4] Pengembangan
kurikulum dapat diartikan sebagai interaksi atau suatu penelaahan terhadap
komponen-konponen kurikulum. Komponen-komponen kurikulum itu mencakup 4 hal
berupa tujuan, bahan, strategi, dan evaluasi yang terintegrasi
menjadi suatu sistem. Lihat Arif. Furchan, Ph.D, Prof. Dr. Muhaimin. Drs. Agus
Maimun, M.A. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi
Agama Islam. h. 4
[5] Lihat Arif.
Furchan, Ph.D, Prof. Dr. Muhaimin. Drs. Agus Maimun, M.A. Pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam. h. 78
[6] KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia)
[7] Lihat Prof.
Dr. H. Muhaimin, M.A. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h.
233
[8] Ibid.
[9] Visi dalam
sebuah lembaga pendidikan adalah pernyataan yang diucapkan atau ditulis hari
ini, yang merupakan proses manajemen saat ini dan menjangkau masa datang.
Lihat Jurnal SAINTIKOM Vol. 15 No.1 Januari 2016 .Ahmad Calam dan Amnah
Qurniati
[10] Lihat
Jurnal SAINTIKOM Vol. 15 No.1 Januari 2016 .Ahmad Calam dan Amnah Qurniati
[11] Misi
pendidikan Islam memiliki makna pemerataan akses Pendidikan Islam agar
memberikan kesempatan bagi semua peserta didik dari semua golongan untuk
mengenyam Pendidikan Islam yang lebih baik, peningkatkan mutu Pendidikan Islam
ditandai dengan terpenuhinya standar nasional pendidikan yang menghasilkan
peserta didik yang unggul, Peningkatan relevansi dan daya saing Pendidikan
Islam diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul. Dan untuk
peningkatan tata kelola Pendidikan Islam yang baik diarahkan pada pengelolaan
Pendidikan Islam. Lihat http://pendis.kemenag.go.id/index akses tgl 27
Februari 2017
[12] Lihat Prof.
Dr. H. Muhaimin, M.A. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h.
233-234
[13] Ibid.
h.234, Lihat Azra dalam Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru.1999
[14] Azra (1999)
memetakan pola kajian kependidikan Islam di Indonesia sebagaimana terdapat
dalam literatur-literatur yang tersedia selama ini, ke dalam 3 (tiga)
katergori, yaitu: (1) kajian sosio-historis pendidikan Islam; (2) kajian
pemikiran dan teori pendidikan Islam; dan (3) kajian metodologis pendidikan
Islam. Dilihat dari ketiga pola tersebut, maka kajian ini lebih difokuskan pada
yang pertama, yakni kajian sosio-historis pendidikan Islam. Lihat Dr. H.
Muhaimin, M.A. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. h.14.
[15] Suatu bentuk
komunikasi baik secara lisan maupun tulisan.
[16] Lihat Dr. H.
Muhaimin, M.A. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. h.14.
[17] Adanya
perkuliahan perbandingan madzhab, masail fiqh, pemikiran dalam Islam, dan
perkembangan pemikiran modern di Dunia Islam, merupakan upaya pengembangan
wawasan terhadap khazanah pemikiran ulama-ulama terdahulu dan kontemporer untuk
dikaji secara kritis.
[18] Semangat
membela suatu sekte atau madzhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang
berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama
tersebut dan terkungkung pada satu aliran saja.
[19] Menurut KBBI,
tanda batas; batas pemisah yang biasanya ditetapkan oleh pihak yang sedang
berperang (bersengketa)dan tidak boleh
dilanggar selama gencatan senjata berlangsung untuk memisahkan dua pasukan yang
saling berlawanan di medan pertempuran
[20] Lihat
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 235
[21] Ibid.
h. 236
[22] Cakupan ilmu naqliyah:
‘Ulumul Qur’an ‘Ulumul Hadis, sirah Nabawiyah, tauhid, ushul fiqh, fiqh, bahasa
Arab Al Qur’an, serta bidang-bidang studi tambahan yang meliputi: metafisika
Islam, perbandingan agama, dan kebudayaan Islam. Lihat Muhaimin.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 236
[23] Lihat
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 236-237
[24] Ilmu
pengetahuan Islam tidak pernah membedakan antara ilmu dan agama, bahkan
keduanya dipandang inter-komplementer (saling melengkapi). Lihat Tarbiyah
Ulul Albab Melacak Tradisi Membentuk Pribadi. (Malang: UIN Maliki Press),
2012. h. 71-72
[25] Lihat
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 237-238
[26] Filsafat
menunjukkan suatu sistem, yang dapat menentukan arah hidup dan serta
menggambarkan nilai-nilai apa yang paling dihargai dalam hidup seseorang.
Segala keputusan yang diambil mengenai pendidikan atau kurikulum, bila
ditelusuri lebih mendalam, mempunyai dasar filosofis. Lihat Prof. Dr. S.
Nasution, M.A Asas-Asas Kurikulum. h. 27
[27] Lihat Dr. H.
Ali Mudlofir, M.Ag. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam. h.24-25
[28] Istilah Ulul
Albab dapat ditemukan dalam teks Al Qur’an sebanyak 16 kali di bebrapa tempat
dan topik yang berbeda, yaitu dalam Q.S
Al Baqarah: 179, 197, 296; Q.S Ali Imran: 190; Q.S Al Maidah:100; Q.S Yusuf:
111; Q.S Al-Ra’d: 19, Q.S Ibrahim: 52; Q.S Shad: 29; Q.S al-Zumar: 9, 18, 21;
Q.S Al Mu’min: 54 dan Q.S al-Thalaq: 10.Lihat Tarbiyah Ulul Albab Melacak
Tradisi Membentuk Pribadi. (Malang: UIN Maliki Press, 2012) h. 45. Lihat juga
Muhammad Fuad Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an
(Indonesia: Matabah Dahlan), 1945. H.604
[29] Lihat
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 238-239
[30] ibid
[31] Lihat http:
//safardanial21.blogspot.co.id./2015/05/landasan-yuridis-pengembangan-kurikulum.html
akses tgl 28 Februari 2017
[32]
Penganekaragaman
[33] UU No. 55
Tahun 2007 Pasal 10
[34] Lihat
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 240

Tidak ada komentar:
Posting Komentar