CARA, METODE, DAN SUMBER ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Pemakalah :
YOFI NUR ROHMAN
(16771009)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna. Bukti
kesemprnaan agama Islam tidak terlepas dari konsep Ilmu yang ada dalam dunia
Islam. Tidak dipungkiri Ilmu adalah sesuatu yang wajib dipelajari bagi
seseorang yang ingin mengetahui hakekat hidupnya dan mencapai tujuan yang
tertinggi didalam hidupnya, yakni mewujudkan Insanul kamil. Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam
kehidupan manusia. Orang yang hidup tanpa memiliki ilmu ibarat orang yang
berjalan tanpa memiliki tujuan.
Dewasa ini, dunia Islam semakin tertinggal
dengan dunia barat. Hal ini dikarenakan orang Islam sendiri yang meninggalkan
ilmu pengetahuan yang telah diajarkan oleh Rasul. Semakin mundurnya
perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam bisa kita lihat dari banyaknya
ilmu pengetahuan yang beredar menggunakan konsep ilmu pengetahuan dunia barat.
Konsep ilmu pengetahuan dunia Islam dan konsep ilmu pengetahuan dunia barat
sangatlah berbeda terutama dari aspek epistemologinya
(Sumber ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan, cara memperoleh ilmu pengetahuan
dan sebagainya). Hal dikarenakan dunia barat hanya menerima ilmu pengetahuan
yang bersifat ilmiah dan empiris. Paham sekulerisme dalam dunia barat telah
memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan. Sehingga konsep seperti ini jika
dibiarkan berkembang di masyarakat Islam, maka lambat laun akan mengakibatkan
hilangnya konsep ilmu yang sesuai dalam Islam.
Oleh karena itu, penulis berusaha
menjelaskan epistemologi ilmu
pengetahuan dalam Islam. Mulai dari cara mendapat ilmu pengetahuan, metode
dalam menggali ilmu pengetahuan dan sumber ilmu pengetahuan. Ketiga kajian
tersebut, tentu saja dibahas sesuai dengan konsep ilmu yang ada dalam dunia
Islam.
B. Pembahasan
1.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi, ilmu pengetahuan
terdiri dari dua kata, yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu dalam bahasa Arab, berasal dari kata Alima artinya mengecap atau memberi tanda.
Sedangkan ilmu berarti pengetahuan.[1] Sedangkan
dalam bahasa Inggris ilmu berarti science, yang berasal dari bahasa
latin scientia, yang merupakan turunan dari kata scire,
dan mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to
learn).[2] Dalam Webster’s
Dictionary disebutkan bahwa;
- (1) Possession of knowledge as distinguished from ignorance or misunderstanding; knowledge attain trough study or practice, (2) A departemen of sistematiced knowledge as an object of study (the science of tiology), (3) Knowledge covering general truths of the operasion laws esp. As obtained and tested through scientific method; such knowledge concerned with the physical word an its phenomena (natural science), (4) a system or method based or purporting to be based an scientific principles.[3]
(1) Pengetahuan
yang membedakan dari ketidak tahuan atau kesalahpahaman; penetahuan yang
diperoleh melalui belajar atau praktek, (2) suatu bagian dari pengetahuan
yang disusun secara sistematis sebagai salah satu objek studi (ilmu
teologi), (3) pengetahuan yang mencakup kebenaran umum atau hukum-hukum
operasinal yang diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah; pengetahuan yang
memperhatikan dunia pisik dan gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), (4)
suatu sistem atau metode atau pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
ilmiah.
Sedangkan pengetahuan merupakan arti dari kata knowledge yang
mempunyai arti;
- (1) the fact or conditioning of knowing something whit familiriality gained through experience or association, (2) the fact or conditioning of being aware of something.(3) the fact or condition of having information or of being learned, (4) the sum of is known; the body of truth, information, and principels acquired by mankind.[4]
(1) kenyataan atau
keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau
kebenaran secara umum, (2) kenyataan atau kondisi manusia yang menyadari sesuatu,
(3) kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari, (4)
sejumlah pengetahuan; susunan kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip yang
diperoleh manusia.
Dari definisi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa ilmu merupakan salah satu
dari pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis.
Sedangkan pengetahuan diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari.
Dengan demikian ilmu lebih sempit dari pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian
dari pengetahuan.
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan
oleh para ahli -terminologi-. Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer
sebagai proses membuat pengetahuan. Definisi yang hampir sama dikemukakan
John Warfield yang mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas
penyelidikan.[5] Sedangkan
pengetahuan menurut Zidi Gazalba merupakan hasil pekerjaan dari tahu yang
merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan
menurutnya adalah milik atau isi fikiran.[6]
Sedangkan
pengertian ilmu pengetahuan sebagai terjemahan dari science,
seperti dikatakan oleh Endang Saefuddin Anshori ialah; Usaha pemahaman
manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian,
bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia,
dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan
itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksprimental.[7]
Dari definisi
tersebut diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas (keumuman), rasionalitas, objektivitas, verifibialitas dan komunitas. Sistematis, ilmu pengetahuan disusun seperti
sistem yang memiliki fakta-fakta penting yang saling berkaitan. Generalitas,
kualitas ilmu pengetahuan untuk merangkum penomena yang senantiasa makin luas
dengan penentuan konsep yang makin umum dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas, bersumber
pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas,
dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap
anggota lainnya dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima
secara umum, setelah diuji kebenarannya oleh ilmuwan.[8]
Sedangkan yang menjadi objek ilmu pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek
materi (material objek) dan objek fomal (formal objek). Objek
materi adalah sasaran yang berupa materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran
atau penelitian. Didalamnya terkandung benda-benda materi ataupun non-materi.
Bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.[9]
Objek forma yang berarti sudut pandang menurut segi mana suatu objek
diselidiki. Objek forma menunjukkan pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi
objek dalam ilmu pengetahuan.[10] Sebagai
contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam diri manusia terdapat beberapa
aspek, seperti: kejiwaan, keragaan, keindividuaan dan juga kesosialan. Aspek
inilah yang menjadi objek forma ilmu pengetahuan. Manusia dengan objek formanya
akan menghasilkan beberapa macam ilmu pengetahuan, misalnya biologi,
fisikologi, sosiologi, antropologi dll.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode ilmiah yang disusun secara
sistematik sebagai sebuah kebenaran.[11]
2.
Cara dan Metode Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Metode merupakan suatu prosedur atau
cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.[12]
Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan
dalam metode tersebut.[13]
Metodologi dalam Ilmu Filsafat termasuk dalam kategori Epistemologi.
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan ilmu
pengetahuan: apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan
dan ruang lingkup Ilmu pengetahuan? Apakah manusia manusia dimungkinkan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia.[14]
Adapun cara
mendapatkan ilmu pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific
method). Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan
pemikiran, pola kerja tata langkah dan cara teknis untuk memperolah pengetahuan
yang lama.[15]
Metode ilmiah
muncul dari kombinasi antara empirisme
dengan rasionalisme yang ditambah
dengan eksperimen sehingga melahirkan positivisme dengan bidangnya. Metode ilmiah
merupakan alat operasional dari positivisme yang terperinci dalam
langkah-langkah logico-hypothico-verivicartif.[16]
Maksudnya yaitu dengan pembuktian bahwa objek itu logis, kemudian mengajukan
hipotesa yang mendasarkan pada logika, setelah itu lakukanlah pembuktian
hipotesa dengan eksperimen untuk memverifikasi hipotesa yang diajukan. Dalam
praktisnya metode ilmiah menjadi metode penelitian (research) untuk
menemukan pengetahuan. Secara garis besar langkah-langkah metode ilmiah
disebutkan yang menurut Jujun adalah sebagai berikut;
a. Perumusan
masalah, merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya
serta data diidentifikasikan dengan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b. Penyususnan
kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling
mengait dan membentuk permasalahan.
c. Perumusan
hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang
diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berfikir yang
dikembangkan.
d. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian
apakah sebuah hiptesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila fakta
mendukung hipotesis maka hipotesis diterima. Dan apabila fakta tidak mendukung
hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima menjadi bagian dari ilmu pengetahuan
sebab telah memenuhi persyaratan pengetahuan ilmiah.[17]
Selanjutnya adalah, metode keilmuan
dalam Al-Quran. Dalam
memerintahkan atau memotivasi manusia
untuk meneliti, memikirkan dan
mengkaji sesuatu, terdapat beberapa istilah yang digunakan Allah Swt. di dalam
al-Qur’an, yakni antara lain seperti al-nazr[18] ,
al-fikr, al-aql[19], dan al-qalb[20]. Istilah-istilah ini mengandung makna yang
memuat konsep epistemologi atau metodologi keilmuan. Hal ini dapat digambarkan
sebagai berikut:[21]
a.
An-Nazr
Istilah An-Nazr dapat diartikan dengan melihat atau memperhatikan. Berarti
menurut Al-Qur’an, salah satu cara untuk
mengetahui kebenaran adalah dengan melihat atau memperhatikan. Melihat (dengan
kasat mata) tentunya dengan menggunakan indera mata. Adapun memperhatikan
maknanya lebih luas, dapat dilihat dengan mata dan bagian indera yang lain
seperti telinga yang fungsinya untuk mendengar. Seorang astronom Francis, Piere
Simon Laplace menyatakan, I mistruct
anything but the direct result of observation and calculation.[22]
(saya curiga atau tidak mempercayai apapun sebagai sumber ilmu) kecuali hasil
langsung observasi dan kalkulasi.
Dengan aktivitas melihat manusia dapat
mengetahui kebenaran objek atau hal-hal fisik dan inderawi. Didalam al-Quran
terdapat 30 lebih ayat yang memakai kata nadhoro salah satu diantara seperti
yang tercantum di surat al-Ghaziyah ayat 17:
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ
كَيۡفَ خُلِقَتۡ ١٧
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan
unta bagaimana dia diciptakan
Selain
mata, manusia memiliki 4 indera lagi yaitu pencium (hidung), pendengar
(telinga), perasa (lidah) dan peraba (kulit). Masing-masing indera tersebut
menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi objek.
Akibatnya pengetahuan inderawi sifatnya parsial.[23] Selain
itu pengetahuan inderawi hanya terletak pada realitas permukaan, karena
terbatas pada kemampuan inderawi secara individual dan hanya dilihat dari segi
tertentu saja.[24]oleh
karena itu, observasi indera bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi
terhadap hasilnya.
Al-Nazhr yang berarti melihat atau memperhatikan dalam meneliti sesuatu
yang menggunakan indera, sekarang ini dikenal sebagai metode observasi
(pangamatan) atau bayani. Banyak filosof dan ilmuan muslimyang telah
menggunakan metode observasi ini, misalnya al-Kindi yang menggunakan metode
observasi dilaboratorium kimia dan fisikanya. Nashir al-Din al-Thusi mengadakan
pengamatan astronomi di observatorium miliknya yang amat terkenal di
Maraghah. Demikian juga Ibn Haitsam menggunakan metode observasi dalam
eksperimennya di bidang optik mengenai cahaya dan teori pengelihatan atau vision
yang hasilnya ia abadikan dalam karya besarnya, al-Manazir.[25] Ia melakukan eksperimennya
sendiri terhadap cahaya dan pengaruhnya terhadap mata dengan kesimpulan manusia
dapat melihat sebuah objek karena ia memantulkan cahaya pada kornea mata. Kesimpulan ini
bertentangan dengan pendapat Aristoteles dan para pengikutnya, termasuk Al-Kindi,
yang menyatakan bahwa manusia dapat melihat sebuah benda karena mata
memancarkan cahaya pada objek tersebut.[26]
b.
Al-Aql
dan al- Fikr
Secara bahasa kata al-Aql berarti
mengikat dan menahan. Didalam
al-Quran kata al-Aql selalu disebut dengan kata kerjanya. Yakni (ta’qilun) 24
ayat dan (ya’qilun) 22 ayat. Dalam bentuk ini kata al-Aql berarti memahami dan
berfikir. Hal ini seperti didalam Al-Quran:
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ
لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٢٤٢
242. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya[27]
يَٰٓأَهۡلَ
ٱلۡكِتَٰبِ لِمَ تُحَآجُّونَ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمَآ أُنزِلَتِ ٱلتَّوۡرَىٰةُ
وَٱلۡإِنجِيلُ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِهِۦٓۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٦٥
65. Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal
Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim.
Apakah kamu tidak berpikir[28]
Bila
digunakan dengan mematuhi aturan-aturan berfikir yang benar yang disebut
logika, akal juga dapat mencapai kebenaran.[29]
Metodologi dengan menggunakan akal ini sekarang dikenal dengan metodologi
demontratif atau burhani, selain mampu mengolah data-data inderawi, akal juga
mampu menangkap konsep-konsep mental dan intelektual yang bersifat non fisik.[30]
Hal ini sesuai dengan pernyatan Musa al Asyarie yang menyatakan bahwa akal
berkaitan dengan nilai-nilai kebenaran yang berkaitan dengan realitas yang
material dan spiritual (berdimensi ganda).[31]
Menurut al-Kindi, bahwa pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan cara
menggunakan akal, ia bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial[32]
Metode
demonstratif merupakan salah satu yang telah pernah digunakan oleh para filosof
dan ilmuan Muslim, dan telah membuahkan hasil yang luar biasa. Sebagai contoh
adalah Ibn Sina. Ia menuliskan hasil penelitian filosofisnya dalam ratusan
karya, di antaranya al-Syifa’ sebanyak lebih dari lima belas jilid yang
membahas ilmu-ilmu metafisika, matematika, fisika, dan logika secara intensif. Karya
filosofis lainnya dapat dilihat dari komentar-komentar Ibn Rusyd atas
karya-karya Aristoteles dan Plato, serta karya teosofis Suhrawardi, terutama Hikmat
al-Isyraq dan lain sebagainya.[33]
Selain
dengan bentuk kata ya’qilun atau ta’qilun yang berasal dari kata
al-aql, aktivitas berpikir juga dinyatakan Allah dengan menggunakan kata
al-fikr. Di dalam al-Qur’an terdapat 16 ayat yang menyebutkan al-fikr
dengan bentuk kata tafakkara dan tafakkarun yang berarti berpikir
atau memikirkan. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata al-fikr diambil dari
kata fark yang membentuk kata faraka dengan makna (1) mengorek
sesuatu sehingga yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk sampai hancur, dan (3)
menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang. Kata fikr maupun kata fakr
memiliki makna yang sama. Perbedaannya, bahwa kata fikr digunakan
untuk hal-hal yang abstrak, sedangkan kata Aql digunakan untuk hal-hal yang
kongkrit. Larangan berpikir tentang Tuhan adalah salah satu contoh tentang
objek fikr.Tuhan memang tidak dapat tergambar dalam pikiran seseorang
sehingga sangat sukar untuk diketahui[34]
Metode
al-fikr masih berkaitan erat dengan term al-nazhr, karena melihat
tanpa berpikir bukan metodologi keilmuan. Kata al-fikr yang dalam
al-Qur’an terdapat kurang lebih 16 ayat tersebut, kesemuanya dipakai dalam
konteks alam dan manusia dalam dimensi
fisiknya[35]
Dalamarti
dasar al-fikr itu terkandung makna yang sangat dalam, yakniberkaitan
dengan usaha serius, giat, dan tidak kenal lelah untuk mengelaborasi, atau
bahkan mencari hingga bagian terdalam dari alam semesta. Dari upaya itu akan
dapat ditemukan hakikat alam semesta. Para ahli yang mengelaborasi materi alam
semesta sampai ditemukan atom kemudian neutron, elektron, dan
selanjutnya quark adalah contoh kegiatan berpikir tersebut.[36]
Seseorang
yang berpikir dengan membebaskan akal dan nuraninya dari segala ikatan sosial,
ideologis, dan psikologis, maka pada akhirnya ia akan merasakan bahwa seluruh
alamsemesta, termasuk dirinya adalah diciptakan oleh sebuah kekuatan Yang Maha
Kreatif.[37] Contoh
ayat al-Qur’an yang menggunakan kata al-fikr di antaranya adalah surat
Ali Imran ayat 191 yang berbunyi sebagai berikut:
ٱلَّذِينَ
يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ
فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا
سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
c.
Al-Qolb
Istilah selanjutnya yang berkaitan
dengan metodologi ilmu di dalam al-Qur’an adalah al-qalb. Istilah al-qalb yang
berarti hati, terdapat kurang lebih terdapat 101di dalam al-Qur’an.[38]
Metodologi keilmuan dengan menggunakan
hati, sekarang dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani. Dalam
metode ini, objek-objeknya hadir (present) dalam jiwa seseorang, dan
karena itu modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri (knowledge by
presence).Selain itu, objek-objek itu juga dapat diteliti secara langsung,
karena tidak ada lagi jurang yang pemisah antara si peneliti dengan objek-objek
yang diteliti, karena telah terjadi kesatuan antara subjek dan objek, antara
yang mengetahui dan yang diketahui. Intuisi mampu memahami banyak hal-hal yang
tidak dapat dipahami oleh akal.Hal itu karena intuisi memiliki keunggulan keunggulan
jika dibandingkan dengan akal.Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, akal
sering dibuat tak berdaya terhadap persoalanpersoalan hidup yang lebih dalam
yang menyangkut sisi kehidupan manusia.Ia hanya dapat memahami pengalaman
fenomenal dan tidak pada eksistensial. Kedua, akal tidak mampu mengerti keunikan
sebuah momen atau ruang sebagaimana yang dialami langsung oleh seseorang. Hal
tersebut disebabkan oleh kebiasaannya untuk meruang-ruangkan (spatilize) apapun yang menjadi
objeknya selanjutnya cenderung memahami sesuatu secara general dan homogen.Ketiga,
akal tidak mampu memahami objek penelitiannya secara langsung karena akan dengan
menggunakan kata dan simbol hanya akan berkutat di sekitar objek tersebut.
Tetapi tidak pernah secara langsung menyentuhnya. Dapatkah disunting sekuntum
mawar dari kata M.A.W.A.R? Tidak, karena yang disebut nama, bukan yang empunya
nama.[39]
Ilmu huduri atau ladunni,
diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya.
Hal itu diperoleh melalui proses pencerahan dengan hadirnya cahaya Illahi dalam
qalb. Dengan hadirnya cahaya Ilahi itu, semua pintu ilmu terbuka menerangi
kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam kesadaran intelek,
seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Di sini
Tuhan bertindak sebagai pengajarnya. Menurut al-Kindi, orang-orang yang
memperoleh pancaran nur Ilahi adalah para Nabi dengan tanpa upaya, tanpa
bersusah payah, terjadi karena kehendak Allah.[40]
Al-qalb ini
berkaitan dengan hal yang sifatnya spiritual. Pengalaman spiritual ini dapat
dikembangkan melalui kesatuan pikir dan zikir. Contoh ayat al-Qur’an yang
menggunakan kata al-qalb adalah Q.S. Al-Jatsiyyah (45) ayat 23
أَفَرَءَيۡتَ
مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ
عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن
يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ٢٣
23. Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran.
Seperti halnya al-nazhar serta al-aql dan al-fikr, al-qalb atau
hati yang selanjutnya dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani juga
memiliki validitas yang kuat. Di kalangan filosof Barat modern, dikenal yang
namanya Henry Bergson yang mengetengahkan metode intuitif dalam melahirkan
pemikiran filosofis. Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Pengetahuan yang lengkap adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.[41] Seiring
dengan itu, Muhammad Iqbal seperti dikemukakan Danusiri menjelaskan bahwa
pengetahuan intuitif lebih tinggi daripada pengetahuan rasional dan empirikal,
karena akal dan indera adalah instrumen yang lebih kompeten untuk menghadapi objek
materi serta hubungan kuantitatif. Intuisi dapat menuntun pada
kehidupan(immateri).[42]
3.
Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah
(مصدر), dengan jamaknya: (مصادر). Kata sumber atau “mashdar”
dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau
ditimba norma hukum[43].
Menurut Kamus Bahasa Arab, مصدر diartikan sumber, asal, referensi, atau sumber pengambilan.
Dengan demikian sumber ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang diyakini sebagai
asal mula ilmu pengetahuan.
Menurut Dr. Mulyadi Kartanegara mendefinisikan sumber pengetahuan adalah alat
atau sesuatu darimana manusia bisa memperoleh informasi tentang objek ilmu yang
berbeda-beda sifat dasarnya.[44] Karena
sumber pengetahuan adalah alat, maka Ia menyebut indera, akal dan hati
sebagai sumber pengetahuan.[45]
Amsal Bakhtiar
berpendapat tidak jauh berbeda. Menurutnya sumber pengetahuan merupakan alat
untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan istilah yang berbeda ia menyebutkan
empat macam sumber pengetahuan, yaitu: emperisme, rasionalisme, intuisi
dan wahyu.[46] Begitu
jugadengan Jujun Surya Sumantri, ia menyebutkan empat sumber pengetahuan
tersebut.[47]
Sedangkan John
Hospers dalam bukunya yang berjudul An Intruction to Filosofical
Analysis, sebagaimana yang dikutip oleh Surajiyo menyebutkan beberapa alat
untuk memperoleh pengetahuan, antara lain: pengalaman indera, nalar, otoritas,
intuisi, wahyu dan keyakinan.[48] Sedangkan
Amin Abdullah menyebutkan dua aliran besar, idealisme dan imperisme.[49]
Sementara Najati mengkategorikan
perolehan pengetahuan itu berasal dari dua sumber, yaitu: sumber Ilahi dan
sumber insani. Kedua jenis sumber ini
merupakan jenis pengetahuan yang saling berintegrasi dan secara asasi kembali
kepada Allah sebagai Dzat yang menciptakan manusia. Sumber Ilahi adalah sejenis
ilmu pengetahuan yang didatangkan kepada manusia secara langsung dari Allah
melalui ilham, wahyu atau mimpi-mimpi yang benar. Dan ilmu yang bersumber dari
sumber insani adalah ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman-pengalaman
pribadi manusia dan dari kemampuannya dalam melakukan riset, observasi, serta
usahanya untuk memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupannya.[50]
Dr. Muhamad
Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, pertama;
ilmu yang bersumber dari Tuhan, kedua; ilmu yang bersumber dari
manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu pertama;
ilmu Qadim dan kedua; ilmu Hadits. Ilmu Qadim adalah ilmu Allah
yang jelas sangat berbeda dari ilmu hadits yang dimiliki manusia sebagai
hamba-Nya[51]
Dari berbagai pendapat diatas, penulis
membagi sumber ilmu pengetahuan menjadi 2 bagian. Yaitu Sumber Ilahi dan Sumber
Insani. Sumber Ilahi meliputi Wahyu (Al-Quran), Sunnah dan Intuisi atau disebut
juga Ilham. Dan sumber Insani meliputi, Rasio yang sehat dan panca indera.
Berikut pemetaan dari pembagian ini.
a.
Wahyu (Al-Qur’an, Sunnah, Intuisi)
Wahyu sebagai sumber pengetahuan juga berkembang dikalangan agamawan. Wahyu
adalah pengetahuan agama disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara
para nabi yang memperoleh pegetahuan tanpa mengusahakannnya. Pengetahuan ini
terjadi karena kehendak Tuhan.[52] Hanya
para nabilah yang mendapat wahyu.
Wahyu Allah berisikan
pengetahua yang baik mengenai kehidupan manusia itu sendiri, alam semesta dan
juga pengetahuan transendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan
manusia, alam semesta dan kehidupan di akhitar nanti.[53] Pengetahuan
wahyu lebih banyak menekankan pada kepercayaan yang merupakan sifat dasar dari
agama.
Wahyu sebagai sumber asli seluruh
pengetahuan memberi kekuatan yang sangat besar terhadap bangunan pengetahuan
bila mampu mentransformasikan berbagai bentuk ajaran normatif-doktriner menjadi
teori-teori yang bisa diandalkan. Di samping itu, wahyu memberikan bantuan
intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan empiris. Wahyu
bisa juga dijadikan sebagai sumber pengetahuan, baik pada saat seseorang
menemui jalan buntu ketika melakukan perenungan secara radikal maupun dalam kondisi
biasa. Artinya wahyu bisa dijadikan sebagai rujukan pencarian pengetahuan kapan
saja dibutuhkan, baik yang bersifat inspiratif maupun terkadang ada juga yang
bersifat eksplisit.[54]
Sumber ilmu pengetahuan kedua yang
bersumber dari wahyu adalah Sunnah secara etimologi (harfiah), sunah berarti
jalan, metode dan program. Sedangkan secara terminologi, sunah adalah sejumlah
perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih, baik berupa perkataan,
perbuatan, peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai dan
dibenci, peperangan, tindak-tanduk dan semua kehidupan nabi Muhammad saw.[55]
Al-Sunah sebagaimana al-Qur’an juga
bersumber dari Ilahi. Keberadaan al-Sunah sebagai sumberhukum atau sumber
pengetahuan yang kedua mempunyai tiga fungsi, yaitu: pertama sebagai tasyri,
yang menunjukkan hukum atau pengetahuan baru contohnya hadits yang membicarakan
tentang cara mengatasi ketika nyamuk masuk ke dalam makanan. Kedua sebagai
tabyin, yaitu menjelaskan hukum atau pengetahuan yang dijelaskan dalam
al-Qur’an yang masih bersifat global seperti proses penciptaan manusia. Ketiga
berfungsi sebagai taqrir, yaitu mengulang sesuatu yang sudah dijelaskan dalam
al-Qur’an, seperti proses penciptaan manusia.
Al-Sunah tidak hanya mengkaji tentang
hal-hal yang ada di masa sekarang, akan tetapi juga mengkaji tentang hal-hal
yang bersifat transendental, seperti alam ghaib, yaitu alam yang tidak dapat ditangkap
oleh indera kita. Pengetahuan pokok yang didapatkan dari al-Sunah bukanlah
pengetahuan yang bersifat praktis dan berkaitan dengan kemajuan yang terus
berkembang hingga saat ini. Tentang teknis urusan duniawi, al-Sunah memberikan
hak prerogatif sepenuhnya kepada manusia.[56]
Sementara itu, sumber ilmu pengetahuan
yag berasal dari wahyu yang ketiga adalah Intuisi. Intuisi merupakan kemampuan
manusia yang berada di atas kemampuan akal. Dengan intuisi, manusia dapat
mengenal hakikat setiap sesuatu. Untuk memperoleh intuisi, individu harus
terlebih dahulu memiliki kegiatan batiniah yang tidak disadari dan harus bebas
dari berbagai keinginan pribadi yang mementingkan diri sendiri. Sedangkan salah
satu sifat dari intuisi adalah deduksi yang dapat secepat kilat sebagai akibat
dari penginderaan sekejap. Ini sangat identik dengan ilmu laduni yang proses
penerimaan pelajaran sangat cepat, sehingga seolah-olah tidak mengalami belajar
seperti dialami manusia umumnya.[57]
Sedangkan Al-Attas[58]
berpendapat bahwa intuisi adalah salah satu saluran yang absah dan penting
untuk mendapatkan pengetahuan kreatif dengan alasan: Karena intuisilah yang
mampu mensintesis hal-hal yang dilihat secara terpisah oleh nalar dan pengalaman
tanpa mampu digabungkan ke dalam keseluruhan yang koheren. Intuisi ini datang
kepada orang, yang dengan pencapaian intelektualnya, telah memahami hakikat
keesaan Tuhan dan arti keesaan ini dalam satu sistem metafisika terpadu.[59]
b.
Rasio yang sehat
Akal pikiran sehat merupakan salah satu
saluran penting bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang jelas; yaitu sesuatu yang
dapat dipahami dan dikuasai oleh akal, dan sesuatu yang dapat diserap oleh
indera. Akal pikiran manusia akan mengatur dan menemukan hubungan yang sesuai
dalam setiap ruang ilmu pengetahuan dan hubungan antara pengetahuan yang satu
dengan lainnya. Akal pikiran bukan hanya rasio, ia adalah “fakultas mental“
yang mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka
logika yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu yang dapat dipahami.
Akal mengatur
data-data yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga menjadi
pengetahuan yang benar. Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional
atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan
bersifat universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret. Selain
menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan yang dikirim indera, akal juga mampu
menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu pengetahuan yang bersifat
abstrak.[60] Seperti
pengetahuan tentang hukum/ aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk.
Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris.
c.
Panca Indera
Iqbal[61]
berpendapat bahwa, Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera yang pada
dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu
pengetahuan tentang realitas empiris. Bahkan indera berfungsi sebagai instrumen
pokok bagi jiwa dalam mengetahuiaspek-aspek tertentu dari sifat dan nama Allah
melalui alam ciptaan-Nya (QS. An-Nahl: 78).
وَٱللَّهُ
أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡٔٗا وَجَعَلَ
لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
78. Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur
Arifin[62]
menegaskan bahwa panca indera adalah pintu gerbang bagi pengetahuan untuk
berkembang. Oleh karena itu, Tuhan mewajibkan panca indera manusia untuk
digunakan menggali pengetahuan (QS. AlIsra’:36).
وَلَا
تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
C. Kesimpulan
Metode menggali ilmu pengetahuan dalam
dunia islam tidak lepas dari sumbernya. Didalam Islam, sumber ilmu pengetahuan
terbagi menajdi dua, yaitu sumber ilahi dan sumber insani. Sumber ilahi meliputi
wahyu yang didalamnya merupakan kitab suci umat Islam yakni al-Quran, dan
segala perbuatan, perkataan dan keputusan Nabi Muhammas SAW yang disebut
sebagai as-Sunnah lalu Intuisi yang biasa disebut sebagai ilham. Sumber inilah
yang menjadi jati diri konsep ilmu pengetahuan didalam Islam, yang tentu saja
berbeda dengan konsep pengetahuan didalam dunia barat yang hanya mengedepankan
akal. Sumber ilmu pengetahuan Islam yang kedua adalah sumber Insani yang
meliputi rasio yang sehat dan panca indera.
Sedangkan
dari segi cara dan metode penggalian Ilmu dalam Islam, penulis lebih fokus
kepada konsep-konsep yang ditawarkan oleh al-Quran yang meliputi An-Nazr
(melihat/mengamati). Al-Nazhr yang berarti melihat atau memperhatikan dalam
meneliti sesuatu yang menggunakan indera, sekarang ini dikenal sebagai metode
observasi (pangamatan) atau bayani. Konsep kedua adalah Al-Aqlu/ al-Fikru, Selain keberadaan
al-nazhar sebagai sebuah metode keilmuan, keberadaan akal dan pikiran yang
diungkap al-Qur’an sebagai sebuah metodologi keilmuan tidak dapat dibantah. Rasio (akal) merupakan alat untuk
memperoleh pengetahuan/kebenaran dan sekaligus sumber pengetahuan/kebenaran. Rasio
tidak hanya sebagai penemu pengetahuan kebenaran melainkan pengetahuan dan
kebenaran hanya diperoleh melalui rasio tersebut. Seperti halnya al-nazhar serta al-aql dan al-fikr, al-qalb atau
hati yang selanjutnya dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani juga
memiliki validitas yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2002. Studi Agama Normativitas Atau Historivitas?.
Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Cet, iii
Al-Attas, Naquib. 1989. Islam dan Filsafat Sains.
Bandung: Mizan.
Anshari, Endang
Saifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama.Surabaya:
Bina Ilmu Offset. Cet. Vii.
An-Nahlawi, A. R. 1995. Pendidikan Islam di Rumah,
Sekolah dan Masyarakat. Terj., Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press.
Arifin, Muhammad. 1994. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara.
Asy’arie, Musa. Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran
Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di
IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th).
Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalm
Berpikir. Yokyakarta: LESFI. Cet. Ke-3.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi
Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Bakhtiar, Amsal.
2009. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Rajawali Perss.
Munawwar, A.W.
1997. Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap.
ditelaah oleh KH.Ali Ma’sum, KH. Zaenal Abidin,cet. Xiv. Surabaya Pustaka
Progressif.
Gie, The Liang.
2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Cet.
v.
Suharsono, Supalan.
1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar: Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
Danusiri. 1996. Epistemologi Tasawuf Iqbal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Firdaus, Feris. 2004. Alam Semesta:Sumber Ilmu, Hukum,
dan Informasi Ketiga Setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Yogyakarta: Insan
Cipta Press.
Harits. 2004. Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartanegara, Mulyadi. 2002. Menembus Batas Waktu;
Panorama Filsafat Islam. Bandung; Mizan. Cet. Ke-1
. 2003. Menyibak Tirai
Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.
. 2005. Integrasi
Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistic. Jakarta; UIN Jakarta Press.
Lubis, Agus Salim. Epistemologi
Pengetahuan dan Relevansinya dalam Study Al-Qur’an dalam Jurnal Hermenuetik
Vol. 8, No. 1, Juni 2014.
Nurdin, Nasrullah. 2013. Alquran dan Sunnah Sebagai
Sumber Doktrin Dan Ilmu dalam Islam, Makalah, Jakarta, UIN Syahid.
Paisak, Taufik. 2004. Revolusi IQ/EQ/SQ:Antara Neurosains
dan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Cet., IV.
Russel, Bertrand. 1982. Religion and Science. London:
Oxford University Press.
Rusuli, Izzatur dan Zakiul Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan
danri John Locke ke Al-Attas dalam Jurnal Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015.
Senn, Peter R. 1971. Social
Science and its Methods. Boston: Holbrook.
Shihab, M.Quraish. 1997. Tafsir Al-Qur’an ul Karim:
Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandumg:
Mizan.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Pancaranintan
Indahgraha. cet. ke-20.
Sudarsono. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka
Cipta, Cet. I.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat, suatu pengantar. Jakarta; PT. Bumi Aksara. Cet. 1.
Wan Daud, W. M. N. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed Naquib al-Attas, terj., Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan
Iskandar Amel. Bandung: Mizan.
Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran
Islam. Jakarta: Lintas Pustaka.
[1] A.W. Munawar, Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah oleh KH.Ali
Ma’sum, KH. Zaenal Abidin,cet. Xiv, (Surabaya Pustaka Progressif, 1997), hlm.966.
[3] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 35.
[4] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 35
[7] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama. (Cet. Vii, Surabaya: Bina Ilmu Offset,
1987), hlm.
50.
[8] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
2000), hlm. 148-150
[9] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 39.
[11]
Dikutip dari (www.kumpulanmakalah.com/2015/12/sumber-ilmu-pengetahuan.html) pada tanggal 18-03-2017
[12]
Peter R. Senn, Social Science and its
Methods, (Boston: Holbrook, 1971), hlm. 4.
[13]
Ibid., hlm. 6.
[14]
William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of Philosophy, sebagaimana dikutip oleh Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet.
ke-20, hlm. 119.
[15] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
2000), hlm.
110.
[17] Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet.
ke-20, hlm. 128.
[18]
Dalam dunia filosofis akademis, istilah ini lebih dikenal dengan sebagai metode
observasi atau bayani yaitu sebuah metode memperhatikan dan meneliti sesuatu
yang menggunakan indera.
[19]
Metodologi dengan menggunakan akal dalam dunia filosofis akademis dikenal
dengan metodologi demontratif atau burhani.
[20]
Metodologi dengan menggunakan hati dalam dunia filosofis akademis dikenal
dengan metode intuitif atau irfani
[21] Agus
Salim Lubis, Epistemologi Pengetahuan dan
Relevansinya dalam Study Al-Qur’an dalam Jurnal Hermenuetik Vol. 8, No. 1,
Juni 2014, hlm. 45.
[22] Bertrand
Russell, Religion and Science, (London: Oxford University Press,1982),
hlm.57.
[23] Anton
Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm.21.
[24] Ibid
15
[25] Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu;
Panorama Filsafat Islam, Cet. Ke-1 (Bandung; Mizan, 2002), hlm. 62
[26]
Ibid., hlm. 95.
[28] QS.
Ali-Imron/ 65
[29] Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu:
Panorama Filsafat Islam(Bandung: Mizan, Cet. I, 2002), hlm.63.
[31] Musa Asy’arie, Epistemologi dalam
Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi
Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th),hlm.5
[32] Sudarsono,
Filsafat Islam ( Jakarta: Rineka Cipta, Cet. I, 1997), hlm.27
[33] Ibid.,
hlm. 64.
[34] M.Quraish
Shihab, Tafsir Al-Qur’an ul Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu (Bandumg: Mizan, 1997), hlm. 266
[35] Musa
Asy’arie, Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah
yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan
Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga,t.th),hlm. 5
[36] Taufik Paisak, Revolusi IQ/EQ/SQ:Antara
Neurosains dan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Cet., IV, 2004), hlm. 211
[37] Feris
Firdaus, Alam Semesta:Sumber Ilmu, Hukum, dan Informasi Ketiga Setelah
al-Qur’an dan al-Sunnah (Yogyakarta: Insan Cipta Press, 2004), hlm. 34
[38] Musa
Asy’arie, Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah
yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan
Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga,t.th), hlm. 4.
[39] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai
Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan. 2003), hlm. 26-27.
[40] Musa
Asy’arie, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalm Berpikir Cet. Ke-3 (Yokyakarta:
LESFI, 2002), hlm. 72.
[41] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif
Pemikiran Islam ( Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), hlm. 33.
[43] Nasrullah
Nurdin, Alquran dan Sunnah Sebagai Sumber Doktrin Dan Ilmu dalam Islam,
Makalah, Jakarta, UIN Syahid, 2013, hal. 4
[44] Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistic, (Jakarta; UIN Jakarta
Press, 2005). hlm. 101.
[47] Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet.
ke-20, hlm. 50-54.
[49] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas Atau Historivitas?, cet iii, (Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 244
[50] Izzatur
Rusuli dan Zakiul Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan danri John Locke ke Al-Attas
dalam Jurnal Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015, hlm. 15.
[53] Jujun S Suryasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Popular, cet. Xii, (Jakarta; Pustaka
Sinar Harapan, 1999), hlm. 54
[54] Wan Daud,
W. M. N, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas, terj.,
Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), Hlm.
105.
[55] An-Nahlawi,
A. R, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Terj.,
Shihabuddin, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm.
31.
[56] Wan Daud,
W. M. N, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas, terj.,
Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), Hlm.
105-151.
[57] Harits, Ilmu Laduni
dalam Perspektif Teori Belajar Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 133-135.
[59] Izzatur
Rusuli dan Zakiul Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan danri John Locke ke Al-Attas
dalam Jurnal Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015, hlm. 17
[61] Naquib
Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 38.
[62] Muhammad
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar