Minggu, 05 November 2017

MAKALAH ORIENTALISME DAN AL-QUR’AN

ORIENTALISME DAN AL-QUR’AN


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Al-Qur’an”



Dosen Pengampu:
Dr. Bakhruddin Fanani, M.Ag

 



Pemakalah:
MUHAMMAD FURQAN
(16771006)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017




A.       Dasar Pemikiran
Ketertarikan sarjana-sarjana non-muslim terhadap dunia Timur pada umumnya dan Al-Qur’an pada khususnya sudah muncul sejak abad ke-3 H/9 M.[1] Ketertarikan ini bukan tanpa sebab, motivasi utama munculnya upaya ini adalah “kekaguman” Barat akan Islam yang sejak kemunculannya di awal abad ke-7 Masehi telah mendominasi dunia dengan beragam keberhasilan dan kegemilangan dari berbagai aspek yang dicapainya. Pada perkembangannya motivasi ini mulai berubah dari rasa keingintahuan menjadi keinginan untuk menguasai, yang menjadi kepentingan imperealisme negara-negara besar Eropa seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Italia dan Prancis untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam masyarakat yang menjadi jajahannya.
Belakangan orang-orang barat yang mengkaji keTimuran disebut orientalis. Istilah ini baru muncul belakang jauh setelah terjadi persentuhan antara Timur dan Barat. Istilah ini tidak muncul secara alami. Edward Said memaparkan secara panjang lebar hakikat Orientalisme itu, yang baginya secara keseluruhan tidak lebih dari alat penjajah bangsa-bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur khususnya Timur-Islam. Menurutnya apa yang dikatakan Timur bukanlah sesuatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Dalam istilah Said, Timur (orient) adalah imaginative  geography  yang  diciptakan  secara  sepihak  oleh  Barat.[2] Kemudian menjadi salah satu praktik orientalis untuk membedakan identitas Timur dengan Barat dalam bata-batas teritorialnya yang tegas. Persoalan metodologis kemudian muncul ketika imajinasi Barat tentang Timur ini dinyatakan sebagai temuan yang bersifat obyektif dan netral. Oleh karena itu, Said menganggap kajian orientalisme selalu berkedok ilmiah dengan mengatasnamakan diri pada ilmu. Ia termasuk seorang orientalis yang mengkaji tentang kajian-kajian “sahabatnya” sendiri dan menolaknya secara ekstrim.
“Orientalis” bagi sebagian kalangan sering kali dianggap sebagai “momok” yang harus diwaspadai dan disingkirkan jauh-jauh. Dalam hal ini, untuk memberi kesan seolah-olah obyektif dan autoritatif, orientalis-missionaris ini biasanya “berkedok” sebagai pakar (scholar/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang “jauh” (far eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang “dekat” (near eastern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia).[3]
Tetapi bagi sebagian yang lain tidaklah demikian. Hal ini tidak terlepas dari keberadaannya yang memang problematis. Satu sisi, orientalis sangat merugikan karena kajian dan analisis yang dilakukannya seringkali dimaksudkan untuk mendiskreditkan dan menghegemoni dunia Islam. Tetapi di sisi lain, tidak jarang mereka melakukan analisis dan kajian dengan begitu objektif, sehingga -diakui atau tidak- mereka telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi peradaban Timur pada umumnya, dan dunia Islam khususnya.
Sikap kritis pada setiap karya para orientalis, berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan Al-Qur’an khususnya, jelas sangat diperlukan dalam dunia akademis. Dengan kata lain, kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka bukan berdasarkan agama mereka bukan Islam, tetapi atas dasar semangat untuk mencari kebenaran ilmiah.[4]
Pada tahun 1978, lahirlah sebuah karya pengkritikan yang ditulis oleh Edward Said. Isi dari buku tersebut berupa kritikan-kritikan yang ditujukan kepada para orientalis terdahulu. Berkat kritikan keras dari Edward Said, kajian- kajian sarjana Barat terhadap Islam dan Al-Qur’an pada abad ke-20 dan 21 sudah mulai berubah dan berkembang. Selepas pengertian, sangat perlu kiranya untuk melihat dan berkaca tentang keadaan orientalis masa kini. Sekarang akan berbeda dengan masa lalu, begitu pula yang terjadi dalam kajian orientalisme. Semula berawal dari peristiwa sejarah Perang Salib. Berikut ini ialah sejarah perkembangan orientalisme (orientalisme terdahulu hingga sekarang), yaitu:
-          Abad 15. Pada saat itu Barat mulai menguasai dan mempelajari tentang segala hal yang terkait keTimuran. Karya-karya yang dihasilkan masih terbilang sedikit dan terkenal sangat tendensius. Al-Qur’an pada masa tersebut dinilai tidak original.
-          Abad 16-18. Kajian orientalis-nya terfokus pada kajian tata bahasa dan kosakata yang ada di dalam Al-Qur’an. Pada abad ini, para orientalis menggunakan metode pendekatan filologi (studi naskah) dan mulai munculnya terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa asing.
-          Abad 19-20. Pada abad ini kajian orientalis semakin marak terhadap Al- Qur‟an dengan beragam metode, perspektif, dan pendekatan.
-          Abad 21 (sekarang). Pada abad ini kajian orientalis semakin bersifat objektif dalam penilaiannya. Abad ini merupakan abad keemasan kajian orientalis.[5]
Seiring perkembangan zaman, kata orientalis itu sendiri lambat laun mengalami penyempitan makna. Sebagaimana yang telah dirincikan di atas, yakni dari yang awalnya mengkaji hal-hal yang bersifat keTimuran -apapun itu- hingga kini hanya fokus mengkaji Al-Qur’an saja. Adapun kajian-kajian yang telah ditelaah terkait dengan pembahasan teks Al-Qur’an, sejarah Al-Qur’an, kandungan Al-Qur’an, ulum Al-Qur’an, terjemahan, dan banyak lagi pembahasan yang lebih luas lagi kajiannya.
Menurut Yusuf Rahman, kajian orientalis tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori umum, yaitu:
1.            Old orientalism
Old orientalism (orientalisme pada masa lalu), dalam kajiannya kelompok ini cenderung pergi ke dalam pembahasan what’s behind the text (yakni kajian penelitian yang fokus pada apa-apa yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an, seperti asbabun nuzul serta kondisi zaman waktu itu). Contohnya ialah yang seperti dilakukan oleh Edward Sell, A. Jeffery, Richard Bell, Theodore Noldeke, dll.

2.            Now orientalism
Kelompok yang kedua ialah now orientalism (orientalisme pada masa sekarang). Di dalam kajiannya kelompok ini lebih bersifat moderat dan cenderung trusting tradisionalis (mengamini, mengambil sumber-sumber Islam tanpa menghujat dan mengkritik keras keaslian sumber). Mereka membahas permasalahan- permasalahan yang terkait dengan what is before/in front of the text, yakni apa-apa yang ada pada teks. Misalnya seperti bagaimana pengaruh Al-Qur’an bagi orang yang membaca dan memahaminya, penafsiran, makna-makna tersirat, ulum Al-Qur’an, dsb.[6]
Pembagian kategori kajian orientalis di atas menunjukkan adanya perubahan dalam sudut pandang atau dikenal dengan sebutan shift of paradigm. Dari yang mulanya kajian Al-Qur’an itu bersifat kritis dan terkesan meragukan serta selalu mempertanyakan keotentikan Al-Qur’an, hingga berkembangnya bidang keilmuan, yang mana kali ini Al-Qur’an tidak lagi dikaji dengan sebelah mata, akan tetapi lebih positif. Contoh dari perubahan paradigma ini dapat ditunjukkan dengan lahirnya buku The Literary Structures of Religius Meaning in the Qur’an, yang mengkaji gaya sastra Al-Qur’an, karya ini dihasilkan oleh tokoh orientalis ternama yakni Issa J. Boullata, A. Neuwirth, A.H. Johns, A.M. Zahniser, Michael Sells, dan A.T. Welch.[7]
Kata shift of paradigm juga berfungsi untuk menjelaskan tentang percampuran pemikiran oleh ilmuan Muslim dan ilmuan Barat dalam mengkaji Al-Qur’an. Melihat hal tersebut, nampaknya penyebutan orientalis tidak hanya disandarkan pada sarjana Barat yang mengkaji Al-Qur’an, namun juga disandarkan pada sarjana Muslim yang sekarang tengah menulis di Barat. Jadi, ketika kita berusaha melihat perkembangan keilmuan Al-Qur’an yang ada di Barat kini, maka yang akan nampak adalah perpaduan atau pengkolaborasian -dengan kata lain saling bertukar pikiran dan saling mendukung dalam hal tertentu- antara sarjana non-Muslim dan sarjana Muslim yang tinggal di sana.
Perubahan paradigma tersebut membawa kajian Al-Qur’an di Barat mencapai masa kejayaannya, atau dalam istilah Reynolds -seperti yang dikutip oleh Yusuf Rahman- ialah the golden age. Meskipun demikian, kita (sebagai Muslim) juga harus meningkatkan pengetahuan dan keilmuan dengan cara membaca dan mempelajari karya dari kalangan umat Islam itu sendiri, sebelum melangkah lebih jauh dalam keilmuan Islam yang tengah berkembang di Barat. Pembentukan pondasi awal keimanan adalah modal untuk memperkaya khazanah keilmuan serta meneguhkan sikap kritis dalam pribadi setiap Muslim.
Pada makalah ini akan lebih difokuskan pada kajian orientalisme terhadap Al-Qur’an. Beberapa hal pokok yang akan dipaparkan dalam tulisan ini: pengertian orientalisme, metodologi yang digunakan dalam tafsir serta kelebihan dan kelemahannya.
B.        Makna dan Istilah Orientalisme
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Orient artinya Timur dan isme artinya paham. Lawannya adalah occidentalisme yang terdiri dari kata occident dan isme, occident artinya barat. Kata Timur mengarah pada semua wilayah yang terbentang dari Timur Dekat (Near Eastern, seperti wilayah Persia, Mesir dan Arabia) hingga Timur Jauh (Far Eastern,  seperti Jepang, China dan India), dan Negara-negara yang berada di Afrika Utara dan Tengah.[8] Secara terminologi orientalisme adalah “an Eastern mode of thought of expression” yakni suatu cara pemikiran dan ekspresi Timur, termasuk kesusasteraan, agama, kebudayaan, sejarah, etnografi, dsb.[9]
Sarjana dari Turki, Abdul Haq Adnan Adviar memberikan penjelasan lebih luas tentang definisi kata orientalisme: “orientalism is an organic whole which is composed of the knowledge, derived from the original source concerningthe language, religion, culture, history, geography, ethnography, literature and Aert of the Orient”; yang artinya orientalisme adalah suatau pengertian yang lengkap di mana dikumpulkan pengetahuan yang berasal dari sumbernya yang asli yang berkenaan dengan bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi, ethnografi, kesusteraan dan kesenian yang berada di Timur.[10] Secara lebih singkat dalam buku Orientalisme dan Misionarisme karya Hasan Abdul Rauf M. El-Badawiy dan Abdurrahman Ghirah dijelaskan bahwa orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang keTimuran.[11]
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa orientalisme adalah gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang negara-negara Timur Islam. Objek kajian orientalisme mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Timur dan dunia Islam. Caranya ialah dengan menyebarkan kemunduran cara berfikir dunia Islam dalam pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat.
Orang-orang yang menekuni dunia keTimuran ini disebut orientalis. Mereka adalah sekelompok orang atau golongan yang berasal dari negara-negara dan ras yang berbeda-beda, yang mengkonsentrasikan diri dalam berbagai kajian keTimuran. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini identik  ditunjukkan  kepada orang-orang non-muslim, Kristen, yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap Islam dan Bahasa Arab.[12]
C.       Fokus Utama Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an
Orientalis telah mengerahkan tenaga dan pikiran mereka untuk mengkaji, mengkritik dan menyerang Al-Qur’an. Mereka menyerang Al-Qur’an dari berbagai dimensi untuk menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan mereka dalam mencemarkan kemurnian teks Al-Qur’an menggunakan sumber-sumber tidak etis bahkan penipuan.[13] Secara garis besar, diskursus kajian Barat terhadap Al-Qur‟an menyoroti hal-hal berikut ini:
1.            Otentisitas Al-Qur’an
Dalam membahas otentisitas Al-Qur’an, orientalis memiliki tiga asumsi, yakni:
-       Mereka menganggap bahwa Al-Qur’an adalah dokumen tertulis atau teks, bukan sebagai hafalan yang dibaca. Dengan asumsi ini mereka lantas mau menerapkan metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel. Akibatnya mereka menganggap Al-Qur’an sebagai karya sejarah, sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf sekarang berbeda dengan aslinya, karenanya perlu membuat edisi kritis.
-       Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan, tetapi merupakan bacaan. Proses pewahyuannya, cara penyampaiannya dan periwayatannya dilakukan melalui lisan, bukan tulisan. Adapun para penghafal tersebut menuliskannya, semua berdasarkan hafalan, bersandar pada apa yang dibacakan dari gurunya. Proses transmisi ini terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keasliannya dari generasi ke generasi.[14]
-       Para orientalis ingin mengubah-ubah Al-Qur’an dengan mempertanyakan fakta sejarah, menganggap bahwa sejarah kodofikasi hanyalah fiktif. Meskipun pada prinsipnya diterima melalui hafalan dan diajarkan melalui hafalan, telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan medium tulisan. Hampir seluruh catatan tersebut adalah milik pribadi   sahabat   Nabi.   Baru   kemudian   hari,   ketika   jumlah penghafal menyusut karena gugur di peperangan, dilakukan kodifikasi hingga pada masa Utsman bin Affan. Jadi, jelas fakta sejarah dan kodofikasinya.[15]
2.            Sumber yang Dipakai Nabi Muhammad
Kajian orientalis terhadap Al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otensititasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Qur’an. Sebagian mereka berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi teori pinjaman dan pengaruh itu dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen.[16] Misalnya saja orientalis menyatakan bahwa huruf-huruf muqaththa’at yang terdapat pada awal surah Al-Qur’an akibat pengaruh asing, kemungkinan besar Yahudi yang diserap oleh Nabi Muhammad. Bagaimana mungkin ini terjadi, sebab dari dua puluh tujuh surat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang dimulai dengan huruf demikian, hanya dua yang turun di Madinah. Yakni 25 lainnya turun sebelum Nabi berhijrah dan melakukan kontak dengan Yahudi.[17]
Para orientalis juga menganggap bahwa informasi dan tuntunan dalam Al- Qur’an adalah jiplakan dari perjanjian lama atau baru, bila tidak, maka ia adalah hasil dari kebohongan dan tipu daya. Kaum muslimin tidak menolak adanya sekian kesamaan antara Al-Qur’an dan kitab mereka. Bahkan sekian ulama tafsir menggunakan kedua kitab tersebut sebagai referensi. Tetapi kesamaan tersebut bukan berarti menjiplak. Persamaan tersebut lahir karena keduanya mengunjungi objek yang sama dan menampilkannya sebagaimana adanya.[18]
3.            Upaya Mengubah Al-Qur’an
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan orientalis dalam merusak keyakinan umat Islam terhadap keaslian Al-Qur’an. Di antaranya adalah:
a)     Upaya Flugel Mengubah Al-Qur’an
Pada tahun 1847 Flugel mencetak sejenis indeks Al-Qur’an, ia juga sengaja menguras tenaga ingin mengubah teks-teks Al-Qur’an yang berbahasa Arab sehingga dapat diterima oleh kaum muslimin. Adalah sudah menjadi kesepakatan bagi kaum Muslim untuk membaca Al-Qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh bacaan pakar terkenal yang semuanya mengikuti Rasm Utsmani dan sunnah dalam bacaannya. Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari tujuh qiraat. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu qiraat dengan tidak menentu.
b)     Upaya Bachelere Merusak Al-Qur’an
Ketika terjadi penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Perancis, Bachelere bukan saja mengubah urutan surat dalam Al-Qur’an, malah juga menambahkan dua ayat ke dalamnya. Dia berpijak pada cerita palsu yang menerangkan bahwa setan yang memberi wahyu kepada Nabi Muhammad tampaknya tidak dapat membedakan antara kalam Allah dan ucapan mantra-mantra kafir. Tak satupun manuskrip Al-Qur’an yang masih ada memasukkan dua ayat itu, di mana secara keseluruhan bersebrangan dengan setiap naskah yang terdahulu dan berikutnya.[19]
c)     Upaya Mingana Merusak Al-Qur’an
Mingana melakukan penelitian pada manuskrip yang bernama Palimpset. Palimpset adalah manuskrip di mana tulisan aslinya telah dihapus guna memberi peluang bagi tulisan baru. Ia menganalisis lembaran tersebut, dan membuat daftar perbedaan Al-Qur’an pada manuskrip tersebut. Hasil dari daftar perbedaan tersebut ia cetak menjadi sebuah Al-Qur’an.[20]
D.       Metodologi Orientalisme dalam Tafsir
Dewasa ini, Islamolog Barat mengembangkan studi Islam dalam bidang Quranic Studies di berbagai Universitas di Eropa Barat dan Amerika. Perhatian dan kecenderungan Islamolog Barat dalam studi Al Qur’an perlu diidentifikasi, baik pada konsep subtansialnya maupun dalam metodologinya. Karena dengan mengidentifikasi metode yang mereka gunakan dapat dipahami struktur logika internal dari suatu metode pendekatan yang mengharuskan munculnya suatu konklusi. Namun apakah konklusi tersebut sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, karena biasanya konklusi itu bercorak menurut metodologinya.
Metodologi yang dipakai sarjana Barat dalam mendekati Al Qur’an dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.          Pendekatan Filologi
Di dalam kamus Bahasa Indonesia, filologi ialah ilmu yang mengkaji tentang bahasa, kebudayaan etika, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam keterangan tertulis.[21] Dari pengertian tersebut dapat diketahui, bahwa filologi merupakan satu bentuk pengkajian melalui manuskrip-manuskrip lama guna mengetahui sejarah suatu bangsa beserta kebahasaan dan kebudayaan  bangsa tersebut. Kajian inilah yang dipakai para orientalis untuk meneliti tentang Al-Qur’an. Model penelitian filologi ini berkembang sejak abad ke-19, dan masih digunakan hingga abad ke-20.[22] Pendekatan Filologi itu sendiri tidak hanya bermanfaat untuk kepentingan orang Barat saja, akan tetapi umat Islam juga dapat memakai pendekatan filologi tersebut. Karena, dengan pendekatan tersebut, orang Islam akan dapat menemukan masa kejayaan yang pernah hilang berabad-abad silam.
Menurut Charles J. Adams, metode pendekatan filologi ini harus tetap dipertahankan dalam studi Islam hingga kini. Meskipun begitu, Adams bukan berarti mengesampingkan pendekatan-pendekatan kontemporer yang tengah berkembang. Hanya saja, pendekatan filologi ini penting guna meneliti tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di masa lalu.[23]
2.          Pendekatan Sastra
Pendekatan sastra merupakan pendekatan yang populer di abad ini. Al- Qur’an dikaji dari sudut kesastraannya. Salah satu tokoh orientalis yang mengkaji Al-Qur’an dengan pendekatan sastra ini salah satunya ialah Angelika Neuwirth. Ada beberapa model kajian sastra Al-Qur’an, di antaranya:
-       Stilistika, dalam Bahasa Inggris stylistic[24] yang berarti ilmu gaya bahasa. Dengan ilmu ini Al-Qur’an dikaji dari sudut pandang kebahasaannya.
-       Semiotika, dalam Kamus Bahasa Indonesia yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan sistem tanda dan lambang.
-       Semantik adalah bagian dari ilmu kebahasaan yang mempelajari tentang makna kata.[25] Jadi, kosakata di dalam Al-Qur’an dipelajari dan dipahami dengan metode ini. Sedangkan di dalam buku tulisan U. Syafrudin yang dikutip dari Toshihiko Izutsu, Semantik ialah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan  berfikir, tetapi yang  lebih  penting  lagi  pengonsepan  dan  penafsiran  dunia  yang melingkupinya. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa semantik ialah utak-atik istilah di dalam Al-Qur’an. Toshihiko Izutsu merupakan tokoh penggagas metode semantik struktural.[26]
3.          Pendekatan Fenomenologi
Sesuai dengan pengertiannya, fenomenologi ialah ilmu yang mengkaji tentang suatu keadaan atau fenomena yang tengah terjadi. Metode pendekatan ini pertama   kali   ditemukan   pada   pertengahan   abad   ke-19.[27] Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan agama.
Menurut Adams, pendekatan fenomenologi ini memiliki dua karakteristik.
-       Pertama, sebagai upaya untuk memahami agama dengan ‘melepaskan atribut’ (epoche).[28] Maksudnya begini, pendekatan ini berupaya melihat sudut pandang agama lain tanpa mengedepankan ego agama kita sendiri. Hal ini bersifat penetralan pendapat untuk memahami apa yang terjadi pada agama lain. Pendekatan ini berfungsi untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah, dan benci terhadap agama lain.
-       Kedua, mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, dan budaya. Tugas dari pendekatan fenomenologi setelah mengumpulkan data sebanyak- banyaknya ialah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut.[29]
Pendekatan fenomenologi tidak serta merta dilakukan tanpa bantuan ilmu yang lain. Ada banyak disiplin ilmu yang diperlukan, seperti filologi, sastra, antropologi, psikologi, dan masih banyak lagi yang diperlukan dalam pendekatan ini. Adapun tokoh yang menggunakan pendekatan fenomenologi ini salah satunya ialah Farid Esack.

4.          Living Qur’an
Seringkali kita mendengar istilah Living Qur’an dalam studi kajian Al-Qur’an. Fenomena Qur’an yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau yang kita kenal dengan Living Qur’an, sebenarnya merupakan makna dan fungsi Al- Qur’an yang dipahami dan dialami oleh masyarakat Muslim.[30] Contoh dari Living Qur’an ini diantaranya ialah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Frederick M. Denny (Professor kajian-kajian Keislaman pada Development of Religious Studies Colorado Boulder USA) yang mengkaji tentang adab membaca Al-Qur’an. Ada juga yang diteliti oleh Farid Esack tentang adab memegang mushaf.[31]
5.          Kajian Al-Qur’an di Era Kontemporer
Kajian orientalis tentang Al-Qur’an kini mulai berkembang, dan arahnya pun cenderung kepada pembahasan sastra dan penafsiran-penafsiran terkait tema tertentu. Selain dari pendekatan- pendekatan yang telah disebutkan sebelumnya, fenomena kajian Al-Qur’an yang tengah populer ialah kajian Al-Qur’an melalui media online. Ada beberapa alamat website yang dibuat khusus untuk membahas tentang Al-Qur’an beserta kajiannya. Salah satunya ialah website dengan nama International Qur’anic Studies Assosiation (IQSA).
Dalam mengkaji Al-Qur’an, para orientalis menggunakan metode Critical of Historis dan Literary Criticism/Textual Criticism.
1.          Critical of Historis
Para orientalis modern menggunakan metode kritis-historis ketika mengkaji Al-Qur’an. Metode tersebut sebenarnya berasal dari studi kritis kepada Bibel. Metode kritis-historis tersebut karena Bibel memiliki persoalan yang sangat mendasar seperti persoalan teks, banyaknya naskah asal, versi teks yang berbeda beda, redaksi teks, gaya bahasa (genre) teks dan bentuk awal teks (kondisi oral sebelum Bibel disalin). Persoalan-persoalan tersebut melahirkan kajian Bibel kritis-historis.
Akhirnya, lahirlah kajian-kajian kritis Bibel yang mendetil seperti kajian mengenai studi filologi “philological study”, kritik bentuk “form criticism”, kritik redaksi “redaction-criticism”. Para orientalis menggunakan berbagai jenis kritik tersebut ke dalam studi Al-Qur’an. Kajian filologis “philological study” misalnya, dianggap sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang.
Asumsi dasar dari metode kritis historis ini adalah teks Al-Qur’an, sebagaimana teks-teks “kitab suci” lainnya telah mengalami perubahan- perubahan.[32] Selain tidak memiliki autografi dari naskah asli, wajah teks asli juga telah dirusak (berubah), sekalipun alasan perubahan itu demi kebaikan. Manuskrip-manuskrip awal Al-Qur’an, misalnya, tidak memiliki titik dan baris, serta ditulis dengan khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi, teks yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan fax dari Al-Qur’an yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari berbagai proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di dalam komunitas masyarakat.[33]
2.          Literary Criticism/Textual Criticism
Para orientalis juga menggunakan kritik sastra “literary criticism” untuk mengkaji Al-Qur’an. Pendekatan sastra ke dalam studi Al-Qur’an dilakukan oleh John Wansbrough. Menurutnya, kanonisasi teks Al-Qur’an terbentuk pada akhir abad ke 2 Hijrah. Oleh sebab itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan Al-Qur’an harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud- maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha’ untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks. Menurut Wansbrough untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini  oleh  kaum  Muslimin  sebenarnya  adalah  fiksi  yang  belakangan  yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks Al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun 800 M.
Salah satu jenis kritik yang dilakukan orientalis[34] modern ke dalam Al-Qur’an adalah kritik teks (textual criticism), yang akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya adalah menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recension) dan amandemen (emendation).
Menurut Arthur Jeffery, seorang orientalis berasal dari Australia, Al- Qur’an menjadi teks standart dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the action of community). Tindakan komunitas masing-masing agama yang menjadikan sebuah kitab itu suci.[35]
E.        Analisis Penulis Terhadap Sisi Positif dan Negatif Kajian Orientalisme
Para pengamat studi orientalis yang jujur mengemukakan beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun. Di antaranya sebagai berikut:
1.            Tidak menguasai bahasa Arab secara baik, sense bahasa yang lemah, dan pemahaman yang terbatas atas konteks pemakaian bahasa Arab yang variatif. Kelemahan ini tentu mempengaruhi pemahaman mereka atas referensi-referensi Islam yang inti, seperti Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, pemahaman mereka tentang Islam dan risalahnya rancu dan kabur. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Musthafa As-Siba‟i setelah ia meninjau langsung pusat orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog langsung dengan para orientalis. Para orientalis itu pada akhirnya banyak yang mengakui bahwa keterbatasan mereka dalam memahami materi-materi keislaman lebih menonjol ketimbang kelebihan metodologi yang mereka miliki. Bahkan, ada di antara mereka yang berterus terang bahwa Arablah (muslimlah) yang seharusnya memegang pekerjaan ini. Keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab sangat mempengaruhi pemahaman mereka tentang Islam.
2.            Perasaan “superioritas” sebagai orang Barat. Ilmuwan Barat, khususnya orientalis, senantiasa merasa bahwa “Barat” adalah “guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung tidak mau digurui oleh orang Timur.
3.            Orientalis Barat sangat memegang teguh doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkat fanatik buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al-Qur’an dalam pandangan insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan rasul Allah. Doktrin ini sudah lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti, sebab ini merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Sehingga, penelitian yang dilakukannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin mencari kebenaran secara objektif dan bebas. Karena itulah, peneliti-peneliti Barat menelan mentah-mentah riwayat-riwayat palsu, membesar-besarkan masalah kecil, menggunakan tuduhan palsu sebagai argumentasi, dan beralasan dengan sesuatu yang tidak diakui sebagi dalil. Mereka menolak semua pendapat yang berbeda dengan pikirannya, sekalipun itu benar dan argumentatif.
4.            Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang terkait erat dengan kepentingan negara-negara tertentu yang mendanai kajian itu. Percuma saja negara-negara Barat menghamburkan uangnya jutaan bahkan miliaran dollar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu bisa bersifat politis, bisnis, strategis, dan misi.[36]
Menurut penulis, sebagian besar umat Muslim sangat anti terhadap kajian orientalis. Hal ini bisa dimaklumi, melihat beberapa karya orientalis yang dengan sengaja bertujuan untuk menjatuhkan Islam atau hanya mencari-cari sisi negatif bangsa Timur dan selalu menilai segala hal yang berkaitan denga keTimuran adalah rendah. Meskipun segala usaha untuk mencari-cari sisi negatif bangsa Timur tidak pernah tercapai dan selalu terkendala. Terlepas dari semua itu penulis mencoba untuk berpikir positif dan menemukan sisi positif dari kajian para orientalis dan bersikap ilmiah terhadap karya-karyanya.
Cukup banyak karya tulis kaum orientalis yang berisi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan ummatnya. Karena memang tidak semua karya-karya mereka bertujuan untuk negatif, justru bisa dijadikan koreksi dan penguat serta menggali hal-hal yang belum terpikirkan sebelumnya, bahkan oleh bangsa Barat (baca: Islam) sendiri. Contohnya adalah karya dalam bidang penyusunan berbagai indeks, kamus/leksikon, dan ensiklopedia. Umat Islam tidak perlu phobia dengan kajian-kajian orientalis selama kajian-kajian yang mereka lakukan ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.
Para orientalis dari Inggris seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J. Arberry berhasil menulis karya penting berupa penerjemahan karya- karya Islam klasik sehingga terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji oleh para pembaca di Eropa. Pada umumnya para orientalis itu benar- benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung membatasi cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (fair-minded orientalist), demikian menurut penulis.
F.        Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan orientalisme dan Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1.    Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya Timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di Timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia keTimuran ini disebut orientalis. Orientalisme adalah gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang negara-negara Timur Islam. Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastera, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam.
2.    Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Qur’an (theories of borrowing and influence).
3.    Di antara tokoh-tokoh orientalis adalah orientalis dari Perancis, De Sacy (wafat 1838 M), Cantremere (wafat 1857), De Parceval, Carra  De  Foux,  Massignon; dari Inggris Edward lane, William wright , Sir Thomas Arnold, Margoliouth, Nicholson, Gibb. Dari Jerman, Flugel (wafat 1780 M), Freitag (wafat 1861 M), Wustenfield. Dari Belanda Dozy (wafat 1883), De Goeje (wafat 1909). Dari Rusia, Kratchovskki (1883-1951). Dari Hongaria Goldziher (wafat 1929), Baron Kemer dan Dr. Muller dari Austria, Van    Dijk, D.B. Mc. Donald dan Charles Adams dari Amerika, Karimaki dari Polandia, dan Paul Kraus dari Cekoslavia.
4.    Adapun pendekatan yang digunakan orientalis terhadap Al-Qur’an adalah pendekatan filologi, sastra dan fenomenologi. Sedangkan metodologi yang digunakan orientalis dalam menafsirkan Al-Qur’an adalan metode literary critisism (kritik sastra) yang digabungkan dengan historical critisism (kritik sejarah), pembahasan sejarah dan kronologi-kronologi Al-Qur’an.
5.    Sikap kritis pada setiap karya orientalis sangat diperlukan dalam dunia akademis. Dengan kata lain, kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka itu bukan didasarkan atas satu alasan, bahwa mereka tidak beragama Islam, akan tetapi didorong semangat untuk mencari kebenaran ilmiah. Dengan demikian, kritik yang dihasilkan tidak bersifat emosional, tapi bersifat akademis. Demikian tulisan ini dibuat, tentulah kekurangan masih terdapat dalam tulisan ini, tegur sapa dari pembaca untuk perbaikan tulisan ini sangat penulis harapkan.




DAFTAR PUSTAKA



Abdul Karim, Pemikiran Orientalis terhadap Kajian Tafsir, Jurnal Online, ADDIN, Volume 7, Nomor 2,  Agustus 2013.

Edward W. Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka, 1996.

Edward W. Said, Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, Terj. Achmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Hasan Abdul Rauf M. El-Badawiy dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Terj. Andi Subarkah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Hasan Hanafi, dkk, Orientalisme vis a vis Oksidentalisme, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

M. John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Gramedia, 2002.

M. Mansyur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2007.

M. Nur Kholis Setiawan, Sahiron Syamsuddin, dkk., Orientalisme Al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Nawesa Press, 2007.

Mariasusai Dhavamony, Fenomonologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.


Mustafa Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, Jakarta, Gema Insani, 2005.

Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003.


Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Mekar, 2008.

Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 2008.


U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Umar A. Muin, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Quraish  Shihab, Orientalisme (Jurnal  Studi  Al-Qur’an), Vol.  I, Ciputat:  Pusat Studi Al-Qur’an, 2006.


Yusuf Rahman, “Tren Kajian Al-Qur’an di Dunia Barat”, Jurnal Studia Insania. Vol. 1, No. 1, April 2013.

Zuhriyah, Luluk Fikri. “Metode dan Pendekatan dalam Studi Islam: Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”, ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman. Vol. 2, No. 1, September 2007.

https://blogdanang.wordpress.com



[1] M. Nur Kholis Setiawan, Sahiron Syamsuddin, dkk., Orientalisme Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Nawesa Press, 2007), hlm. v.
[2] Edward W. Said, Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, Terj. Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
[3] Edward W. Said, Orientalisme, Terj.  Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 10.
[4] Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 79.
[5] Alfi Kamaliah, Makalahnya yang berjudul “Arah Baru Kajian Al-Qur’an di Barat”, pada diskusi Mata Kuliah Al-Qur‟an dan Orientalisme di Jurusan Tafsir Hadits Program Khusus Ulama Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2014.
[6] Yusuf Rahman, “Tren Kajian Al-Qur’an di Dunia Barat”, Jurnal Studia Insania. Vol. 1, No. 1, April 2013.
[7] Ibid.
[8] Umar A. Muin, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 7.
[9] Definisi dikutip oleh Muin Salim dari The New Webster Ensyclopedic Dictionary of The English Language, Vol. I, (Grolier Incorporated New York), 1970.
[10] Umar A. Muin, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, hlm. 7-8. Muin menukil dari buku aslinya Abdul Haq Adnan Aviar, “Turkish account of Orientalism”, Moslem World, Vol. 43 (1953), hlm. 276.
[11] Hasan Abdul Rauf M. El-Badawiy dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Terj. Andi Subarkah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 3.
[12] Ibid., hlm. 4.
[13] Mustafa Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Jakarta, Gema Insani, 2005), hlm. 337.
[14] Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 10.
[15] Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 11-12.
[16] Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 6.
[17] Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi Al-Qur’an), Vol. I, (Ciputat: Pusat Studi Al- Qur‟an, 2006), hlm. 42.
[18] Quraish Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi Al-Qur’an), hlm. 36
[19] Mustafa Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 344.
[20] Mustafa Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, hlm. 347.
[21] Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mekar, 2008), hlm. 151.
[22] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 348.
[23] Zuhriyah, Luluk Fikri. “Metode dan Pendekatan dalam Studi Islam: Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”, ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman. Vol. 2, No. 1, September 2007.
[24] M. John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 564.
[25] Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia, hlm. 441.
[26] U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 22.
[27] Dzikri Nirwana, Pendekatan dalam Pengkajian Islam: Telaah Artikel Islamic Religious Tradition Karya Charles J. Adams, Koleksi Makalah Program S3 IAIN Sunan Ampel oleh Dzikri Nirwana, hlm. 15.
[28] Dzikri Nirwana, Pendekatan dalam Pengkajian Islam, hlm. 15.
[29] Zuhriyah, Luluk Fikri, “Metode dan Pendekatan dalam Studi Islam: Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”, ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman. Vol. 2, No. 1, September 2007.
[30] M. Mansyur, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 5.
[31] Alfi Kamaliah, Makalahnya yang berjudul “Arah Baru Kajian Al-Qur’an di Barat”, pada diskusi Mata Kuliah Al-Qur‟an dan Orientalisme di Jurusan Tafsir Hadits Program Khusus Ulama Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2014.
[32] Menurut pendekatan historisme, dalam mempelajari suatu aspek dari organisasi sosial atau kebudayaan dari suatu  bangsa pada kurun waktu tertentu, sejarawan harus melacak sejarahnya untuk memperlihatkan bagaimana bentuk khusus itu berkembang dan untuk menghubungkannya dengan aspek-aspek lain dari sistem sosio-kultural dalam mana aspek itu berada. Lihat, Mariasusai Dhavamony, Fenomonologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 39.
[33] Abdul Karim, Pemikiran Orientalis terhadap Kajian Tafsir, (Jurnal Online, ADDIN, Volume 7, Nomor 2,  Agustus 2013), diakses pada tanggal 01 Mei 2017.
[34] Para orientalis mengkaji Islam dengan membawa misi lain; misi imperealisme, baik agama, budaya atau pun kepentingan politik. “Sebab Islam merupakan ‘kekuatan lain’ (the other) yang mengkhawatirkan bagi Barat”. Dr. Mohammad Imarah mengatakan dalam kolomnya di Azhar Megazine Edisi Bulan Maret 2005. Lihat, Hasan Hanafi, dkk, Orientalisme vis a vis Oksidentalisme, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 114.
[35] Ibid.
[36] Frydan, Mengetahui Kelemahan Pandangan Orientalisme terhadap Al-Qur’an, dikutip melalui laman https://blogdanang.wordpress.com/2010/02/25/mengetahui-kelemahan-pandangan- orientalisme-terhadap-al-qur%E2%80%99an/, pada tanggal 01 Mei 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar