ORIENTALISME
DAN AL-QUR’AN
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi
Al-Qur’an”
Dosen
Pengampu:
Dr.
Bakhruddin Fanani, M.Ag
Pemakalah:
MUHAMMAD
FURQAN
(16771006)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A. Dasar
Pemikiran
Ketertarikan sarjana-sarjana non-muslim terhadap dunia Timur pada
umumnya dan Al-Qur’an pada khususnya sudah muncul sejak abad ke-3 H/9 M.[1] Ketertarikan
ini bukan tanpa sebab, motivasi utama munculnya upaya ini adalah “kekaguman” Barat
akan Islam yang sejak kemunculannya di awal abad ke-7 Masehi telah mendominasi
dunia dengan beragam keberhasilan dan kegemilangan dari berbagai aspek yang
dicapainya. Pada perkembangannya motivasi ini mulai berubah dari rasa
keingintahuan menjadi keinginan untuk menguasai, yang menjadi kepentingan
imperealisme negara-negara besar Eropa seperti Spanyol, Portugal, Inggris,
Italia dan Prancis untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam masyarakat
yang menjadi jajahannya.
Belakangan orang-orang barat yang mengkaji keTimuran disebut orientalis.
Istilah ini baru muncul belakang jauh setelah terjadi persentuhan antara Timur
dan Barat. Istilah ini tidak muncul secara alami. Edward Said memaparkan secara
panjang lebar hakikat Orientalisme itu, yang baginya secara keseluruhan tidak
lebih dari alat penjajah bangsa-bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur khususnya
Timur-Islam. Menurutnya apa yang dikatakan Timur bukanlah sesuatu yang alami
atau ada dengan sendirinya. Dalam istilah Said, Timur (orient) adalah imaginative geography
yang diciptakan secara
sepihak oleh Barat.[2] Kemudian
menjadi salah satu praktik orientalis untuk membedakan identitas Timur dengan
Barat dalam bata-batas teritorialnya yang tegas. Persoalan metodologis kemudian
muncul ketika imajinasi Barat tentang Timur ini dinyatakan sebagai temuan yang
bersifat obyektif dan netral. Oleh karena itu, Said menganggap kajian
orientalisme selalu berkedok ilmiah dengan mengatasnamakan diri pada ilmu. Ia
termasuk seorang orientalis yang mengkaji tentang kajian-kajian “sahabatnya”
sendiri dan menolaknya secara ekstrim.
“Orientalis” bagi sebagian kalangan sering kali dianggap sebagai
“momok” yang harus diwaspadai dan disingkirkan jauh-jauh. Dalam hal ini, untuk
memberi kesan seolah-olah obyektif dan autoritatif, orientalis-missionaris ini
biasanya “berkedok” sebagai pakar (scholar/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan
kebudayaan Timur, baik yang “jauh” (far
eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang “dekat” (near eastern, seperti Persia, Mesir, dan
Arabia).[3]
Tetapi bagi sebagian yang lain tidaklah demikian. Hal ini tidak
terlepas dari keberadaannya yang memang problematis. Satu sisi, orientalis
sangat merugikan karena kajian dan analisis yang dilakukannya seringkali
dimaksudkan untuk mendiskreditkan dan menghegemoni dunia Islam. Tetapi di sisi
lain, tidak jarang mereka melakukan analisis dan kajian dengan begitu objektif,
sehingga -diakui atau tidak- mereka telah memberikan kontribusi yang sangat berharga
bagi peradaban Timur pada umumnya, dan dunia Islam khususnya.
Sikap kritis pada setiap karya para orientalis, berkaitan dengan
kajian Islam pada umumnya dan Al-Qur’an khususnya, jelas sangat diperlukan
dalam dunia akademis. Dengan kata lain, kritik yang sebaiknya diarahkan pada
mereka bukan berdasarkan agama mereka bukan Islam, tetapi atas dasar semangat
untuk mencari kebenaran ilmiah.[4]
Pada tahun 1978, lahirlah sebuah karya pengkritikan yang ditulis
oleh Edward Said. Isi dari buku tersebut berupa kritikan-kritikan yang ditujukan
kepada para orientalis terdahulu. Berkat kritikan keras dari Edward Said,
kajian- kajian sarjana Barat terhadap Islam dan Al-Qur’an pada abad ke-20 dan
21 sudah mulai berubah dan berkembang. Selepas pengertian, sangat perlu kiranya
untuk melihat dan berkaca tentang keadaan orientalis masa kini. Sekarang akan
berbeda dengan masa lalu, begitu pula yang terjadi dalam kajian orientalisme.
Semula berawal dari peristiwa sejarah Perang Salib. Berikut ini ialah sejarah
perkembangan orientalisme (orientalisme terdahulu hingga sekarang), yaitu:
-
Abad 15. Pada saat itu Barat mulai menguasai dan
mempelajari tentang segala hal yang terkait keTimuran. Karya-karya yang
dihasilkan masih terbilang sedikit dan terkenal sangat tendensius. Al-Qur’an
pada masa tersebut dinilai tidak original.
-
Abad 16-18. Kajian orientalis-nya terfokus pada kajian
tata bahasa dan kosakata yang ada di dalam Al-Qur’an. Pada abad ini, para
orientalis menggunakan metode pendekatan filologi (studi naskah) dan mulai
munculnya terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa asing.
-
Abad 19-20. Pada abad ini kajian orientalis semakin
marak terhadap Al- Qur‟an dengan beragam metode, perspektif, dan pendekatan.
-
Abad 21 (sekarang). Pada abad ini kajian orientalis
semakin bersifat objektif dalam penilaiannya. Abad ini merupakan abad keemasan
kajian orientalis.[5]
Seiring perkembangan zaman, kata orientalis itu sendiri lambat laun
mengalami penyempitan makna. Sebagaimana yang telah dirincikan di atas, yakni
dari yang awalnya mengkaji hal-hal yang bersifat keTimuran -apapun itu- hingga kini
hanya fokus mengkaji Al-Qur’an saja. Adapun kajian-kajian yang telah ditelaah
terkait dengan pembahasan teks Al-Qur’an, sejarah Al-Qur’an, kandungan
Al-Qur’an, ulum Al-Qur’an, terjemahan, dan banyak lagi pembahasan yang lebih
luas lagi kajiannya.
Menurut Yusuf Rahman, kajian orientalis tersebut dapat dibagi
menjadi dua kategori umum, yaitu:
1.
Old
orientalism
Old orientalism (orientalisme
pada masa lalu), dalam kajiannya kelompok ini cenderung pergi ke dalam pembahasan
what’s behind the text (yakni kajian
penelitian yang fokus pada apa-apa yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an,
seperti asbabun nuzul serta kondisi
zaman waktu itu). Contohnya ialah yang seperti dilakukan oleh Edward Sell, A.
Jeffery, Richard Bell, Theodore Noldeke, dll.
2.
Now
orientalism
Kelompok
yang kedua ialah now orientalism (orientalisme
pada masa sekarang). Di dalam kajiannya kelompok ini lebih bersifat moderat dan
cenderung trusting tradisionalis (mengamini,
mengambil sumber-sumber Islam tanpa menghujat dan mengkritik keras keaslian
sumber). Mereka membahas permasalahan- permasalahan yang terkait dengan what is before/in front of the text,
yakni apa-apa yang ada pada teks. Misalnya seperti bagaimana pengaruh Al-Qur’an
bagi orang yang membaca dan memahaminya,
penafsiran, makna-makna tersirat, ulum Al-Qur’an, dsb.[6]
Pembagian kategori kajian orientalis di atas menunjukkan adanya
perubahan dalam sudut pandang atau dikenal dengan sebutan shift of paradigm. Dari yang mulanya kajian Al-Qur’an itu bersifat
kritis dan terkesan meragukan serta selalu mempertanyakan keotentikan Al-Qur’an,
hingga berkembangnya bidang keilmuan, yang mana kali ini Al-Qur’an tidak lagi
dikaji dengan sebelah mata, akan tetapi lebih positif. Contoh dari perubahan
paradigma ini dapat ditunjukkan dengan lahirnya buku The Literary Structures of Religius Meaning in the Qur’an, yang
mengkaji gaya sastra Al-Qur’an, karya ini dihasilkan oleh tokoh orientalis
ternama yakni Issa J. Boullata, A. Neuwirth, A.H. Johns, A.M. Zahniser, Michael
Sells, dan A.T. Welch.[7]
Kata shift of paradigm juga
berfungsi untuk menjelaskan tentang percampuran pemikiran oleh ilmuan Muslim
dan ilmuan Barat dalam mengkaji Al-Qur’an. Melihat hal tersebut, nampaknya
penyebutan orientalis tidak hanya disandarkan pada sarjana Barat yang mengkaji
Al-Qur’an, namun juga disandarkan pada sarjana Muslim yang sekarang tengah
menulis di Barat. Jadi, ketika kita berusaha melihat perkembangan keilmuan Al-Qur’an
yang ada di Barat kini, maka yang akan nampak adalah perpaduan atau
pengkolaborasian -dengan kata lain saling bertukar pikiran dan saling mendukung
dalam hal tertentu- antara sarjana non-Muslim dan sarjana Muslim yang tinggal
di sana.
Perubahan paradigma tersebut membawa kajian Al-Qur’an di Barat
mencapai masa kejayaannya, atau dalam istilah Reynolds -seperti yang dikutip
oleh Yusuf Rahman- ialah the golden age. Meskipun
demikian, kita (sebagai Muslim) juga harus meningkatkan pengetahuan dan
keilmuan dengan cara membaca dan mempelajari karya dari kalangan umat Islam itu
sendiri, sebelum melangkah lebih jauh dalam keilmuan Islam yang tengah
berkembang di Barat. Pembentukan pondasi awal keimanan adalah modal untuk
memperkaya khazanah keilmuan serta meneguhkan sikap kritis dalam pribadi setiap
Muslim.
Pada makalah ini akan lebih difokuskan
pada kajian orientalisme terhadap Al-Qur’an. Beberapa hal pokok yang akan
dipaparkan dalam tulisan ini: pengertian orientalisme, metodologi yang
digunakan dalam tafsir serta kelebihan dan kelemahannya.
B.
Makna dan Istilah Orientalisme
Secara bahasa orientalisme berasal
dari kata orient dan isme. Orient artinya Timur dan isme artinya paham. Lawannya adalah occidentalisme yang terdiri dari kata occident dan isme, occident artinya
barat. Kata Timur mengarah pada semua wilayah yang terbentang dari Timur Dekat
(Near Eastern, seperti wilayah
Persia, Mesir dan Arabia) hingga Timur Jauh (Far Eastern, seperti Jepang,
China dan India), dan Negara-negara yang berada di Afrika Utara dan Tengah.[8]
Secara terminologi orientalisme adalah “an
Eastern mode of thought of expression” yakni suatu cara pemikiran dan
ekspresi Timur, termasuk kesusasteraan, agama, kebudayaan, sejarah, etnografi,
dsb.[9]
Sarjana dari Turki, Abdul Haq Adnan Adviar memberikan penjelasan
lebih luas tentang definisi kata orientalisme: “orientalism is an organic whole which is composed of the knowledge,
derived from the original source concerningthe language, religion, culture,
history, geography, ethnography, literature and Aert of the Orient”; yang
artinya orientalisme adalah suatau pengertian yang lengkap di mana dikumpulkan
pengetahuan yang berasal dari sumbernya yang asli yang berkenaan dengan bahasa,
agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi, ethnografi, kesusteraan dan kesenian
yang berada di Timur.[10]
Secara lebih singkat dalam buku Orientalisme
dan Misionarisme karya Hasan Abdul Rauf M. El-Badawiy dan Abdurrahman
Ghirah dijelaskan bahwa orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas
tentang keTimuran.[11]
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa orientalisme
adalah gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang
negara-negara Timur Islam. Objek kajian orientalisme mencakup peradaban, agama,
seni, sastra, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan
kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Timur dan dunia Islam.
Caranya ialah dengan menyebarkan kemunduran cara berfikir dunia Islam dalam
pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat.
Orang-orang yang menekuni dunia
keTimuran ini disebut orientalis. Mereka adalah sekelompok orang atau golongan
yang berasal dari negara-negara dan ras yang berbeda-beda, yang
mengkonsentrasikan diri dalam berbagai kajian keTimuran. Dalam perkembangan
selanjutnya, kata ini identik
ditunjukkan kepada orang-orang
non-muslim, Kristen, yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap
Islam dan Bahasa Arab.[12]
C. Fokus
Utama Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur’an
Orientalis telah mengerahkan tenaga dan pikiran mereka untuk
mengkaji, mengkritik dan menyerang Al-Qur’an. Mereka menyerang Al-Qur’an dari
berbagai dimensi untuk menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan mereka dalam
mencemarkan kemurnian teks Al-Qur’an menggunakan sumber-sumber tidak etis
bahkan penipuan.[13]
Secara garis besar, diskursus kajian Barat terhadap Al-Qur‟an menyoroti hal-hal
berikut ini:
1.
Otentisitas Al-Qur’an
Dalam membahas otentisitas Al-Qur’an, orientalis memiliki tiga asumsi,
yakni:
-
Mereka menganggap bahwa Al-Qur’an adalah dokumen
tertulis atau teks, bukan sebagai hafalan yang dibaca. Dengan asumsi ini mereka
lantas mau menerapkan metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel.
Akibatnya mereka menganggap Al-Qur’an sebagai karya sejarah, sekedar rekaman
situasi dan refleksi budaya Arab. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf sekarang
berbeda dengan aslinya, karenanya perlu membuat edisi kritis.
-
Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan, tetapi
merupakan bacaan. Proses pewahyuannya, cara penyampaiannya dan periwayatannya
dilakukan melalui lisan, bukan tulisan. Adapun para penghafal tersebut menuliskannya,
semua berdasarkan hafalan, bersandar pada apa yang dibacakan dari gurunya.
Proses transmisi ini terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keasliannya dari
generasi ke generasi.[14]
-
Para orientalis ingin mengubah-ubah Al-Qur’an dengan
mempertanyakan fakta sejarah, menganggap bahwa sejarah kodofikasi hanyalah
fiktif. Meskipun pada prinsipnya diterima melalui hafalan dan diajarkan melalui
hafalan, telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan
medium tulisan. Hampir seluruh catatan tersebut adalah milik pribadi sahabat
Nabi. Baru kemudian
hari, ketika jumlah penghafal menyusut karena gugur di
peperangan, dilakukan kodifikasi hingga pada masa Utsman bin Affan. Jadi, jelas
fakta sejarah dan kodofikasinya.[15]
2.
Sumber yang Dipakai Nabi Muhammad
Kajian orientalis terhadap Al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otensititasnya.
Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster
terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Qur’an. Sebagian mereka berusaha
mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi teori pinjaman dan
pengaruh itu dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen.[16]
Misalnya saja orientalis menyatakan bahwa huruf-huruf muqaththa’at yang terdapat pada awal surah Al-Qur’an akibat
pengaruh asing, kemungkinan besar Yahudi yang diserap oleh Nabi Muhammad.
Bagaimana mungkin ini terjadi, sebab dari dua puluh tujuh surat yang terdapat
dalam Al-Qur’an yang dimulai dengan huruf demikian, hanya dua yang turun di
Madinah. Yakni 25 lainnya turun sebelum Nabi berhijrah dan melakukan kontak
dengan Yahudi.[17]
Para orientalis juga menganggap
bahwa informasi dan tuntunan dalam Al- Qur’an adalah jiplakan dari perjanjian
lama atau baru, bila tidak, maka ia adalah hasil dari kebohongan dan tipu daya.
Kaum muslimin tidak menolak adanya sekian kesamaan antara Al-Qur’an dan kitab
mereka. Bahkan sekian ulama tafsir menggunakan kedua kitab tersebut sebagai
referensi. Tetapi kesamaan tersebut bukan berarti menjiplak. Persamaan tersebut
lahir karena keduanya mengunjungi objek yang sama dan menampilkannya
sebagaimana adanya.[18]
3.
Upaya Mengubah Al-Qur’an
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan orientalis dalam merusak
keyakinan umat Islam terhadap keaslian Al-Qur’an. Di antaranya adalah:
a) Upaya
Flugel Mengubah Al-Qur’an
Pada tahun 1847 Flugel mencetak sejenis indeks Al-Qur’an, ia juga
sengaja menguras tenaga ingin mengubah teks-teks Al-Qur’an yang berbahasa Arab
sehingga dapat diterima oleh kaum muslimin. Adalah sudah menjadi kesepakatan
bagi kaum Muslim untuk membaca Al-Qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari
tujuh bacaan pakar terkenal yang semuanya mengikuti Rasm Utsmani dan sunnah dalam bacaannya. Setiap mushaf yang dicetak
berpijak pada salah satu dari tujuh qiraat. Tetapi Flugel menggunakan semua
tujuh sistem bacaan dan memilih satu qiraat dengan tidak menentu.
b) Upaya
Bachelere Merusak Al-Qur’an
Ketika terjadi penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Perancis,
Bachelere bukan saja mengubah urutan surat dalam Al-Qur’an, malah juga
menambahkan dua ayat ke dalamnya. Dia berpijak pada cerita palsu yang
menerangkan bahwa setan yang memberi wahyu kepada Nabi Muhammad tampaknya tidak
dapat membedakan antara kalam Allah dan ucapan mantra-mantra kafir. Tak satupun
manuskrip Al-Qur’an yang masih ada memasukkan dua ayat itu, di mana secara
keseluruhan bersebrangan dengan setiap naskah yang terdahulu dan berikutnya.[19]
c) Upaya
Mingana Merusak Al-Qur’an
Mingana melakukan penelitian pada
manuskrip yang bernama Palimpset. Palimpset adalah manuskrip di mana tulisan
aslinya telah dihapus guna memberi peluang bagi tulisan baru. Ia menganalisis
lembaran tersebut, dan membuat daftar perbedaan Al-Qur’an pada manuskrip
tersebut. Hasil dari daftar perbedaan tersebut ia cetak menjadi sebuah Al-Qur’an.[20]
D. Metodologi
Orientalisme dalam Tafsir
Dewasa ini, Islamolog Barat mengembangkan
studi Islam dalam bidang Quranic Studies di
berbagai Universitas di Eropa Barat dan Amerika. Perhatian dan kecenderungan
Islamolog Barat dalam studi Al Qur’an perlu diidentifikasi, baik pada konsep
subtansialnya maupun dalam metodologinya. Karena dengan mengidentifikasi metode
yang mereka gunakan dapat dipahami struktur logika internal dari suatu metode
pendekatan yang mengharuskan munculnya suatu konklusi. Namun apakah konklusi
tersebut sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, karena biasanya konklusi itu
bercorak menurut metodologinya.
Metodologi yang dipakai sarjana
Barat dalam mendekati Al Qur’an dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pendekatan Filologi
Di dalam kamus Bahasa Indonesia, filologi ialah ilmu yang mengkaji
tentang bahasa, kebudayaan etika, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat
dalam keterangan tertulis.[21]
Dari pengertian tersebut dapat diketahui, bahwa filologi merupakan satu bentuk
pengkajian melalui manuskrip-manuskrip lama guna mengetahui sejarah suatu
bangsa beserta kebahasaan dan kebudayaan
bangsa tersebut. Kajian inilah yang dipakai para orientalis untuk
meneliti tentang Al-Qur’an. Model penelitian filologi ini berkembang sejak abad
ke-19, dan masih digunakan hingga abad ke-20.[22] Pendekatan
Filologi itu sendiri tidak hanya bermanfaat untuk kepentingan orang Barat saja,
akan tetapi umat Islam juga dapat memakai pendekatan filologi tersebut. Karena,
dengan pendekatan tersebut, orang Islam akan dapat menemukan masa kejayaan yang
pernah hilang berabad-abad silam.
Menurut Charles J. Adams, metode
pendekatan filologi ini harus tetap dipertahankan dalam studi Islam hingga
kini. Meskipun begitu, Adams bukan berarti mengesampingkan pendekatan-pendekatan
kontemporer yang tengah berkembang. Hanya saja, pendekatan filologi ini penting
guna meneliti tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di masa lalu.[23]
2.
Pendekatan Sastra
Pendekatan sastra merupakan pendekatan yang populer di abad ini.
Al- Qur’an dikaji dari sudut kesastraannya. Salah satu tokoh orientalis yang
mengkaji Al-Qur’an dengan pendekatan sastra ini salah satunya ialah Angelika
Neuwirth. Ada beberapa model kajian
sastra Al-Qur’an, di antaranya:
- Stilistika,
dalam Bahasa Inggris stylistic[24] yang berarti ilmu gaya bahasa.
Dengan ilmu ini Al-Qur’an dikaji dari sudut pandang kebahasaannya.
- Semiotika,
dalam Kamus Bahasa Indonesia yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan sistem
tanda dan lambang.
-
Semantik adalah bagian dari ilmu kebahasaan yang
mempelajari tentang makna kata.[25]
Jadi, kosakata di dalam Al-Qur’an dipelajari dan dipahami dengan metode ini.
Sedangkan di dalam buku tulisan U. Syafrudin yang dikutip dari Toshihiko
Izutsu, Semantik ialah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu
bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian
konseptual pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya
sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi
yang lebih penting
lagi pengonsepan dan
penafsiran dunia yang melingkupinya. Sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas bahwa semantik ialah utak-atik
istilah di dalam Al-Qur’an. Toshihiko Izutsu merupakan tokoh penggagas
metode semantik struktural.[26]
3.
Pendekatan Fenomenologi
Sesuai dengan pengertiannya, fenomenologi ialah ilmu yang mengkaji
tentang suatu keadaan atau fenomena yang tengah terjadi. Metode pendekatan ini
pertama kali ditemukan
pada pertengahan abad
ke-19.[27]
Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah
agama atau perbandingan agama.
Menurut Adams, pendekatan fenomenologi ini memiliki dua karakteristik.
-
Pertama,
sebagai upaya untuk memahami agama dengan ‘melepaskan atribut’ (epoche).[28] Maksudnya
begini, pendekatan ini berupaya melihat sudut pandang agama lain tanpa mengedepankan
ego agama kita sendiri. Hal ini bersifat penetralan pendapat untuk memahami apa
yang terjadi pada agama lain. Pendekatan ini berfungsi untuk menghilangkan
sikap tidak simpatik, marah, dan benci terhadap agama lain.
-
Kedua,
mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, dan budaya. Tugas dari
pendekatan fenomenologi setelah mengumpulkan data sebanyak- banyaknya ialah
mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut.[29]
Pendekatan fenomenologi tidak serta merta dilakukan tanpa bantuan
ilmu yang lain. Ada banyak disiplin ilmu yang diperlukan, seperti filologi,
sastra, antropologi, psikologi, dan masih banyak lagi yang diperlukan dalam
pendekatan ini. Adapun tokoh yang menggunakan pendekatan fenomenologi ini salah
satunya ialah Farid Esack.
4.
Living
Qur’an
Seringkali kita mendengar istilah Living Qur’an dalam studi kajian Al-Qur’an.
Fenomena Qur’an yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau yang kita kenal
dengan Living Qur’an, sebenarnya merupakan
makna dan fungsi Al- Qur’an yang dipahami dan dialami oleh masyarakat Muslim.[30]
Contoh dari Living Qur’an ini
diantaranya ialah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Frederick M. Denny
(Professor kajian-kajian Keislaman pada Development of Religious Studies
Colorado Boulder USA) yang mengkaji tentang adab membaca Al-Qur’an. Ada juga
yang diteliti oleh Farid Esack tentang adab memegang mushaf.[31]
5.
Kajian Al-Qur’an di Era Kontemporer
Kajian orientalis tentang Al-Qur’an
kini mulai berkembang, dan arahnya pun cenderung kepada pembahasan sastra dan
penafsiran-penafsiran terkait tema tertentu. Selain dari pendekatan- pendekatan
yang telah disebutkan sebelumnya, fenomena kajian Al-Qur’an yang tengah populer
ialah kajian Al-Qur’an melalui media online. Ada beberapa alamat website yang
dibuat khusus untuk membahas tentang Al-Qur’an beserta kajiannya. Salah satunya
ialah website dengan nama International Qur’anic Studies Assosiation (IQSA).
Dalam mengkaji Al-Qur’an, para orientalis menggunakan metode Critical of Historis dan Literary Criticism/Textual Criticism.
1.
Critical
of Historis
Para orientalis modern menggunakan metode kritis-historis ketika
mengkaji Al-Qur’an. Metode tersebut sebenarnya berasal dari studi kritis kepada
Bibel. Metode kritis-historis tersebut karena Bibel memiliki persoalan yang
sangat mendasar seperti persoalan teks, banyaknya naskah asal, versi teks yang
berbeda beda, redaksi teks, gaya bahasa (genre) teks dan bentuk awal teks
(kondisi oral sebelum Bibel disalin). Persoalan-persoalan tersebut melahirkan
kajian Bibel kritis-historis.
Akhirnya, lahirlah kajian-kajian kritis Bibel yang mendetil
seperti kajian mengenai studi filologi “philological
study”, kritik bentuk “form
criticism”, kritik redaksi “redaction-criticism”.
Para orientalis menggunakan berbagai jenis kritik tersebut ke dalam studi
Al-Qur’an. Kajian filologis “philological
study” misalnya, dianggap sangat penting untuk menentukan makna yang
diinginkan pengarang.
Asumsi dasar dari metode kritis historis
ini adalah teks Al-Qur’an, sebagaimana teks-teks “kitab suci” lainnya telah
mengalami perubahan- perubahan.[32] Selain
tidak memiliki autografi dari naskah asli, wajah teks asli juga telah dirusak
(berubah), sekalipun alasan perubahan itu demi kebaikan. Manuskrip-manuskrip
awal Al-Qur’an, misalnya, tidak memiliki titik dan baris, serta ditulis dengan
khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi,
teks yang diterima (textus receptus)
saat ini, bukan fax dari Al-Qur’an
yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari berbagai
proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di
dalam komunitas masyarakat.[33]
2.
Literary
Criticism/Textual Criticism
Para orientalis juga menggunakan kritik sastra “literary criticism” untuk mengkaji
Al-Qur’an. Pendekatan sastra ke dalam studi Al-Qur’an dilakukan oleh John
Wansbrough. Menurutnya, kanonisasi teks Al-Qur’an terbentuk pada akhir abad ke
2 Hijrah. Oleh sebab itu, semua hadits yang menyatakan tentang himpunan Al-Qur’an
harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah
fiktif yang punya maksud- maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin
dibuat oleh para fuqaha’ untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak
ditemukan di dalam teks. Menurut Wansbrough untuk menyimpulkan teks yang
diterima dan selama ini diyakini
oleh kaum Muslimin
sebenarnya adalah fiksi yang belakangan
yang
direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks Al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun
800 M.
Salah satu jenis kritik yang dilakukan orientalis[34] modern
ke dalam Al-Qur’an adalah kritik teks (textual
criticism), yang akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya adalah
menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu
edit (recension) dan amandemen (emendation).
Menurut Arthur Jeffery, seorang
orientalis berasal dari Australia, Al- Qur’an menjadi teks standart dan
dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberapa tahap. Dalam
pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the action of community). Tindakan
komunitas masing-masing agama yang menjadikan sebuah kitab itu suci.[35]
E.
Analisis Penulis Terhadap Sisi Positif
dan Negatif Kajian Orientalisme
Para pengamat studi orientalis yang jujur mengemukakan beberapa
kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun. Di antaranya sebagai
berikut:
1.
Tidak menguasai bahasa Arab secara baik, sense bahasa yang lemah, dan pemahaman
yang terbatas atas konteks pemakaian bahasa Arab yang variatif. Kelemahan ini
tentu mempengaruhi pemahaman mereka atas referensi-referensi Islam yang inti,
seperti Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, pemahaman mereka tentang Islam dan
risalahnya rancu dan kabur. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Musthafa As-Siba‟i
setelah ia meninjau langsung pusat orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog
langsung dengan para orientalis. Para orientalis itu pada akhirnya banyak yang
mengakui bahwa keterbatasan mereka dalam memahami materi-materi keislaman lebih
menonjol ketimbang kelebihan metodologi yang mereka miliki. Bahkan, ada di
antara mereka yang berterus terang bahwa Arablah (muslimlah) yang seharusnya
memegang pekerjaan ini. Keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab sangat
mempengaruhi pemahaman mereka tentang Islam.
2.
Perasaan “superioritas” sebagai orang Barat.
Ilmuwan Barat, khususnya orientalis, senantiasa merasa bahwa “Barat” adalah
“guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung
tidak mau digurui oleh orang Timur.
3.
Orientalis Barat sangat memegang teguh
doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkat
fanatik buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al-Qur’an dalam
pandangan insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan rasul Allah. Doktrin
ini sudah lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti, sebab ini
merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Sehingga,
penelitian yang dilakukannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja,
bukan ingin mencari kebenaran secara objektif dan bebas. Karena itulah,
peneliti-peneliti Barat menelan mentah-mentah riwayat-riwayat palsu,
membesar-besarkan masalah kecil, menggunakan tuduhan palsu sebagai argumentasi,
dan beralasan dengan sesuatu yang tidak diakui sebagi dalil. Mereka menolak
semua pendapat yang berbeda dengan pikirannya, sekalipun itu benar dan
argumentatif.
4.
Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang
terkait erat dengan kepentingan negara-negara tertentu yang mendanai kajian
itu. Percuma saja negara-negara Barat menghamburkan uangnya jutaan bahkan
miliaran dollar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada
target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu
bisa bersifat politis, bisnis, strategis, dan misi.[36]
Menurut penulis, sebagian besar umat Muslim sangat anti terhadap
kajian orientalis. Hal ini bisa dimaklumi, melihat beberapa karya orientalis
yang dengan sengaja bertujuan untuk menjatuhkan Islam atau hanya mencari-cari
sisi negatif bangsa Timur dan selalu menilai segala hal yang berkaitan denga
keTimuran adalah rendah. Meskipun segala usaha untuk mencari-cari sisi negatif
bangsa Timur tidak pernah tercapai dan selalu terkendala. Terlepas dari semua
itu penulis mencoba untuk berpikir positif dan menemukan sisi positif dari
kajian para orientalis dan bersikap ilmiah terhadap karya-karyanya.
Cukup banyak karya tulis kaum orientalis yang berisi informasi dan
analisis obyektif tentang Islam dan ummatnya. Karena memang tidak semua
karya-karya mereka bertujuan untuk negatif, justru bisa dijadikan koreksi dan
penguat serta menggali hal-hal yang belum terpikirkan sebelumnya, bahkan oleh
bangsa Barat (baca: Islam) sendiri. Contohnya adalah karya dalam bidang
penyusunan berbagai indeks, kamus/leksikon, dan ensiklopedia. Umat Islam tidak
perlu phobia dengan kajian-kajian
orientalis selama kajian-kajian yang mereka lakukan ilmiah dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Para orientalis dari Inggris
seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J. Arberry berhasil menulis karya
penting berupa penerjemahan karya- karya Islam klasik sehingga
terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji oleh para pembaca
di Eropa. Pada umumnya para orientalis itu benar- benar menekuni pekerjaan
penerjemahan ini. Mereka yang cenderung membatasi cakupan pengkajiannya hanya
pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat
bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Tidak semua karya
orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka
terdapat orientalis yang jujur (fair-minded
orientalist), demikian menurut penulis.
F.
Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis
akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan
orientalisme dan Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1.
Secara bahasa orientalisme
berasal dari kata orient yang
artinya Timur. Secara etnologis orientalisme
bermakna bangsa-bangsa di Timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang
bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia
keTimuran ini disebut orientalis.
Orientalisme adalah gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang
negara-negara Timur Islam. Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni,
sastera, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan
yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam.
2.
Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Qur’an tidak
sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal
pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi
kandungan Al-Qur’an (theories of
borrowing and influence).
3.
Di antara tokoh-tokoh orientalis adalah orientalis dari
Perancis, De Sacy (wafat 1838 M), Cantremere (wafat 1857), De Parceval, Carra De
Foux, Massignon; dari Inggris
Edward lane, William wright , Sir Thomas
Arnold, Margoliouth, Nicholson, Gibb. Dari Jerman, Flugel (wafat 1780 M), Freitag
(wafat 1861 M), Wustenfield. Dari
Belanda Dozy (wafat 1883), De Goeje (wafat 1909). Dari Rusia, Kratchovskki (1883-1951). Dari Hongaria
Goldziher (wafat 1929), Baron Kemer dan
Dr. Muller dari Austria, Van
Dijk, D.B. Mc. Donald dan Charles Adams dari Amerika, Karimaki dari Polandia, dan Paul Kraus dari Cekoslavia.
4.
Adapun pendekatan yang digunakan orientalis terhadap
Al-Qur’an adalah pendekatan filologi, sastra dan fenomenologi. Sedangkan
metodologi yang digunakan orientalis dalam menafsirkan Al-Qur’an adalan metode literary critisism (kritik sastra) yang
digabungkan dengan historical critisism (kritik
sejarah), pembahasan sejarah dan
kronologi-kronologi Al-Qur’an.
5.
Sikap kritis pada setiap karya orientalis sangat
diperlukan dalam dunia akademis. Dengan kata lain, kritik yang sebaiknya
diarahkan pada mereka itu bukan didasarkan atas satu alasan, bahwa mereka tidak
beragama Islam, akan tetapi didorong semangat untuk mencari kebenaran ilmiah.
Dengan demikian, kritik yang dihasilkan tidak bersifat emosional, tapi bersifat
akademis. Demikian tulisan ini dibuat, tentulah kekurangan masih terdapat dalam
tulisan ini, tegur sapa dari pembaca untuk perbaikan tulisan ini sangat penulis
harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, Pemikiran Orientalis terhadap Kajian Tafsir,
Jurnal Online, ADDIN, Volume 7, Nomor 2,
Agustus 2013.
Edward W. Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat,
Bandung: Pustaka, 1996.
Edward W. Said, Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan
Timur sebagai Subjek, Terj. Achmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Hasan Abdul Rauf
M. El-Badawiy dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme
dan Misionarisme, Terj. Andi Subarkah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Hasan Hanafi,
dkk, Orientalisme vis a vis
Oksidentalisme, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
M. Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
M. John Echols
dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia: An English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Gramedia, 2002.
M. Mansyur,
dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an
dan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2007.
M. Nur Kholis
Setiawan, Sahiron Syamsuddin, dkk., Orientalisme
Al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Nawesa Press, 2007.
Mariasusai Dhavamony, Fenomonologi Agama, Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Mustafa Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai
Kompilasi, Jakarta, Gema Insani, 2005.
Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya,
Yogyakarta: Islamika, 2003.
Sulkan Yasin dan
Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia,
Surabaya: Mekar, 2008.
Syamsudin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press,
2008.
U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual:
Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Umar A. Muin, Orientalisme dan Studi Tentang Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Quraish Shihab, Orientalisme
(Jurnal Studi Al-Qur’an), Vol. I, Ciputat: Pusat Studi Al-Qur’an, 2006.
Yusuf Rahman, “Tren Kajian Al-Qur’an di Dunia Barat”,
Jurnal Studia Insania. Vol. 1, No. 1, April 2013.
Zuhriyah, Luluk
Fikri. “Metode dan Pendekatan dalam Studi
Islam: Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”, ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman. Vol. 2, No. 1, September 2007.
https://blogdanang.wordpress.com
[1] M.
Nur Kholis Setiawan, Sahiron Syamsuddin, dkk., Orientalisme Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Nawesa Press, 2007),
hlm. v.
[2]
Edward W. Said, Orientalisme; Menggugat
Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, Terj. Achmad Fawaid,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
[3] Edward
W. Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm.
10.
[4] Sahiron
Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an
Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 79.
[5] Alfi
Kamaliah, Makalahnya yang berjudul “Arah
Baru Kajian Al-Qur’an di Barat”, pada diskusi Mata Kuliah Al-Qur‟an dan
Orientalisme di Jurusan Tafsir Hadits Program Khusus Ulama Fakultas Ushuluddin
dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2014.
[6] Yusuf
Rahman, “Tren Kajian Al-Qur’an di Dunia
Barat”, Jurnal Studia Insania. Vol. 1, No. 1, April 2013.
[7] Ibid.
[8]
Umar A. Muin, Orientalisme dan Studi
Tentang Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 7.
[9] Definisi
dikutip oleh Muin Salim dari The New
Webster Ensyclopedic Dictionary of The English Language, Vol. I, (Grolier Incorporated New York),
1970.
[10] Umar
A. Muin, Orientalisme dan Studi Tentang
Islam, hlm. 7-8. Muin menukil dari buku aslinya Abdul Haq Adnan Aviar, “Turkish account of Orientalism”, Moslem World, Vol. 43 (1953), hlm. 276.
[11] Hasan
Abdul Rauf M. El-Badawiy dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Terj. Andi Subarkah, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 3.
[12] Ibid., hlm. 4.
[13] Mustafa
Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu
Sampai Kompilasi, (Jakarta, Gema Insani, 2005), hlm. 337.
[14] Syamsudin
Arief, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 10.
[15] Syamsudin
Arief, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran, hlm. 11-12.
[16] Syamsudin
Arief, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran, hlm. 6.
[17] Quraish
Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi Al-Qur’an), Vol. I,
(Ciputat: Pusat Studi Al- Qur‟an, 2006), hlm. 42.
[18] Quraish
Shihab, Orientalisme (Jurnal Studi Al-Qur’an), hlm. 36
[19] Mustafa
Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu
Sampai Kompilasi, hlm. 344.
[20] Mustafa
Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu
Sampai Kompilasi, hlm. 347.
[21] Sulkan
Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa
Indonesia, (Surabaya: Mekar, 2008), hlm. 151.
[22] M.
Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 348.
[23] Zuhriyah,
Luluk Fikri. “Metode dan Pendekatan dalam
Studi Islam: Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”, ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman. Vol. 2,
No. 1, September 2007.
[24] M.
John Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia,
2002), hlm. 564.
[25] Sulkan
Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa
Indonesia, hlm. 441.
[26] U.
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan
Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 22.
[27] Dzikri
Nirwana, Pendekatan dalam Pengkajian
Islam: Telaah Artikel Islamic Religious Tradition Karya Charles J. Adams,
Koleksi Makalah Program S3 IAIN Sunan Ampel oleh Dzikri Nirwana, hlm. 15.
[28] Dzikri
Nirwana, Pendekatan dalam Pengkajian
Islam, hlm. 15.
[29] Zuhriyah,
Luluk Fikri, “Metode dan Pendekatan dalam
Studi Islam: Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams”, ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman. Vol. 2,
No. 1, September 2007.
[30]
M. Mansyur, dkk., Metodologi Penelitian
Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 5.
[31] Alfi
Kamaliah, Makalahnya yang berjudul “Arah
Baru Kajian Al-Qur’an di Barat”, pada diskusi Mata Kuliah Al-Qur‟an dan
Orientalisme di Jurusan Tafsir Hadits Program Khusus Ulama Fakultas Ushuluddin
dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2014.
[32] Menurut
pendekatan historisme, dalam mempelajari suatu aspek dari organisasi sosial
atau kebudayaan dari suatu bangsa pada
kurun waktu tertentu, sejarawan harus melacak sejarahnya untuk memperlihatkan
bagaimana bentuk khusus itu berkembang dan untuk menghubungkannya dengan
aspek-aspek lain dari sistem sosio-kultural dalam mana aspek itu berada. Lihat,
Mariasusai Dhavamony, Fenomonologi Agama,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 39.
[33] Abdul
Karim, Pemikiran Orientalis terhadap
Kajian Tafsir, (Jurnal Online, ADDIN, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2013), diakses pada tanggal 01 Mei
2017.
[34]
Para orientalis mengkaji Islam dengan membawa misi lain; misi imperealisme,
baik agama, budaya atau pun kepentingan politik. “Sebab Islam merupakan
‘kekuatan lain’ (the other) yang mengkhawatirkan bagi Barat”. Dr. Mohammad Imarah
mengatakan dalam kolomnya di Azhar Megazine Edisi Bulan Maret 2005. Lihat,
Hasan Hanafi, dkk, Orientalisme vis a vis
Oksidentalisme, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 114.
[35] Ibid.
[36] Frydan,
Mengetahui Kelemahan Pandangan Orientalisme
terhadap Al-Qur’an, dikutip melalui laman https://blogdanang.wordpress.com/2010/02/25/mengetahui-kelemahan-pandangan-
orientalisme-terhadap-al-qur%E2%80%99an/, pada tanggal 01 Mei 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar