DIMENSI
EPISTEMOLOGI TRADISI PEMIKIRAN ISLAM
"EPISTEMOLOGI IRFANI"
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Pemakalah:
ARINA MAFTUKHATI
(16771027)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
DIMENSI
EPISTEMOLOGI TRADISI PEMIKIRAN ISLAM
"EPISTEMOLOGI IRFANI"
"EPISTEMOLOGI IRFANI"
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
(16771027)
2017
A. Pendahuluan
Epistemologi lazimnya disebut teori
pengetahuan yang secara umum membicarakan mengenai sumber-sumber,
karakteristik, dan kebenaran pengetahuan.[1]
Epistemologi atau teori tentang ilmu menjadi perhatian utama para cendekiawan
muslim di masa silam. Mereka sepenuhnya menyadari tentang pentingnya mendefinisikan
ilmu untuk mencari klarifikasi, menjelaskan sumber-sumber, menerangkan metode-metodenya,
serta mengklarifikasikannya ke dalam berbagai disiplin, menjelaskan hierarki
dan interelasinya. Berbagai upaya yang terus menerus dalam mengetengahkan
eksposisi ilmu terinspirasi oleh keyakinan yang kuat terhadap doktrin ajaran Islam
yang paling fundamental, yaitu tauhid.
Filsafat
Ilmu meliputi pembahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya
merupakan tiga cabang besar dari filsafat. Ontologi atau
teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa
sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara
memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan.
Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai membicarakan apa manfaat
atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara
memperolehnya.[2]
Aspek
kedua dari ketiga cabang filsafat tersebut, yakni Epistemologi dalam rumusan
lain disebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan,
batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika
epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran, metode-metode
ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan.[3]
Sejarah tentang peerkembangan Ilmu
merupakan sebuah prestasi pencapaian sebuah kesuksesan. Karena dengan itu
manusia mulai terlepas dari belenggu-belenggu pemikirab yang berasaskan pada
pemikiran kebodohan dan takhayul. Asal usul permulaan munculnya ilmu
pengetahuan sangat erat kaitanya dengan sifat asli fitrah manusia
yang memiliki sifat selalu ingin tahu dan berfikir untuk menemukan sebuah
kebenaran namun tetap berpegang pada nilai-nilai kebijaksanaan, atau yang
sering dusebut dengan berfikit filosofi.
Perjalanan ilmu pengetahuan dari
masa ke masa sehingga sampai pada tahap ilmu modern seperti sekarang ini
ternyata tidak semulus yang kita kira. Banyak perdebatan, perbedaan pendapat
serta penyelisihan yang diakibatkan paham filosof masing-masing yang dianut
oleh para ilmuan pada masa itu. Khusunya di abad ke-19 terdapat tentang adanya
pembedaan-pembedaan antara ilmu, industri dan filsafat, dan tiga atau empat
abad sebelumya. Para sejarahwan menemukan bahwa study terhadap alam dilaksanakan
dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia atau berdasarkan pada
kepercayaan dan tahayul. Namun seiring dengan munculnya sifat berfikir filosofi
pemikran tersebut lambat lain semakin ditinggalkan dan diganti dengan sikap
ilmiah denga hasil yang faktual serta didukung dengan data-data yang empiris.
Dalam kajian Epistemologi
terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang
kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah
Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu
filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan
berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani
juga mempunyai andil di dalamnya. Mungkin
Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat
keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik
yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya. Di sini pemakalah
akan membahas tentang hal-hal yang mencakup tentang epistemologi irfani
(pengertian epistemologi irfani, perkembangan epistemologi dan metode yang
digunakan dalam epistemologi irfani).
B.
Pengertian Epistemologi Irfani
Secara
etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar (infinitif)
dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).[4]
Dalam
kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham.
Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah
sebuah sistem pengetahuan di mana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh
pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang
menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi
irfani.
- Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
- Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan dengan mengandalkan pengalaman batin. Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual.
Tahapan
untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan. Berangkat dari pengertian di atas dapat
diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada
intuisi dan bukannya teks. Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir
dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman).
Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran
yang tidak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi, al-dzauq atau perasaan. Dan berpikir Irfani ini kebanyakan dilakukan oleh golongan kaum sufi.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi, al-dzauq atau perasaan. Dan berpikir Irfani ini kebanyakan dilakukan oleh golongan kaum sufi.
C. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfan, secara umum,
bisa dibagi dalam lima fase. Pertama, fase pembibitan, terjadi pada abad
pertama hijriyah. Pada masa ini, apa yang disebut irfan baru ada dalam bentuk
laku zuhud. Kenyataan ini, menurut Thabathabai, karena para tokoh sufisme yang
dikenal sebagai orang–orang suci tidak berbicara tentang irfan secara terbuka,
meski mengakui bahwa mereka dididik dalam spiritualisme oleh Rasul atau para
sahabat. Karakter asketisisme (zuhud) periode ini adalah:
1.
Berdasarkan ajaran Al-Quran dan sunnah, yakni
menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka.
2.
Bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk
menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan.
3.
Motivasi zuhudnya adalah rasa takut, yakni
rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
Kedua, fase kelahiran, terjadi pada
abad kedua hijrah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara
terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali
Riwayat Huquq Allah karya Hasan Basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan
pertama tentang irfan, kemudian diikuti Mishbah al Syari’ah karya Fudlail ibn
Iyadl (803 M). laku asketisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar
takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, di tangan Rabiah Adawiyah (801
M). Zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut adalah
harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model perilaku
irfan yang paling dini atau irfan periode awal.
Ketiga, fase pertumbuhan, terjadi
abad 3-4 hijriyah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh sufisme mulai menaruh
perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku,
sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini
lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intutif berikut
sarana dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau
hubungan manusia dengan-Nya.
Dengan demikian dengan fase ini,
irfan telah mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan
intuitif langsung pada tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak. Pencapaian
kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-moral, belum pada
tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum terungkap secara jelas. Karena
itu, Nicholson menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini
telah merancang suatu sistem yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena
bukan filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem metafisika.
Keempat, fase puncak, terjadi pada
abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan mencapai masa gemilang. Banyak pribadi
besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain Sai Abu Khair (w.1048
M) yang menulis ruba’iyat, Ibn Utsman Al-Hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf
Al-Mahjub, dan Abdullah Al-Anshori (w.1088 M) menulis manazil al sa’irin, salah
satu terpenting dalam irfan. Puncaknya Al-Ghazali (w. 1111 M) menulis ihya’
Ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut
Nicholson dan TJ. De Boer, ditangan Al-Ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas
karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan
kebahagiaan.
Kelima, Fase Spesikasi, terjadi
abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi Al-Gazali yang besar, lrfani memjadi
semakin dukenal dan berkembangan dalam masyarakat islam. Dengan demikian, pada
fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi) dalam
dua aliran. (1) Irfan Sunni, menurut istilah taftazani, yang cenderung pada
perilaku praktis (etika) dalam bentuk tarikat-tarikat,(2) Irfan Teoritis yang
didomlnasi pemikiran filsafat. Disampingitu, dalam pandangan jabirin, ditambah
aliran kebatinan yang didomlnasi aspek mistik. Meski demikian, menurut
Mathahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan teoris berbeda
dengan filsafat.
Keenam, Fase kemunduran, terjadi
sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan berarti,
bahkan justru mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada
pemberian komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lelih menekan bentuk
ritus dan formalisme, yang mendoring mereka menyimpang dari substansi ajarannya
sendiri. Para pengikut memang
semakin bertambah, tetapi di sana tidak muncul pribadi unggul yang mencapai
kedudukan ruhaniyah cukup terhormat seperti para pendahulunya.[5]
D. Metode Irfani
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas
teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya
burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas
oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.[6]
Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara
logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga
tahapan;[7]
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa
menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus
dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a.
Taubat, yakni, meninggalkan
segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk
kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. Perilaku
taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan. Pertama-tama, taubat dari
perbuatan-perbuatan dosa dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai
mengingat Tuhan), dan puncaknya taubat dari klaim bahwa dirinya telah melakukan
taubat. Menurut al-Qusyairi, taubat adalah landasan dan tahapan pertama bagi
perjalanan spiritual berikutnya. Jika seseorang tidak berhasil membersihkan
dirinya pada tahapan ini, ia akan sulit untuk naik pada jenjang berikutnya.
b.
Wara`, yakni, menjauhkan
diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya (syubhat). Dalam
tasawuf, wara’ ini terdiri atas dua tingkatan, lahir dan batin. Wara’ lahir
berarti tidak melakukan sesuatu kecuali untuk beribadah kepada Tuhan, sedang
wara’batin adalah tidak memasukkan sesuatu apapun dalam hati kecuali Tuhan.
c.
Zuhud yakni, tidak tamak
dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Ini lebih serius dan lebih tinggi
disbanding tingkat sebelumnya, karena di sini tidak hanya menjaga dari yang
syubhat, bahkan juga yang halal. Meski demikian, zuhud bukan berarti
meninggalkan harta sama sekali. Menurut Abu Bakar Al-Syibli, seseorang tidak
dianggap zuhud jika hal itu terjadi lantaran ia memang tidak mempunyai harta.
Zuhud adalah bahwa hati tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kecuali Tuhan
(meski di sana banyak kekayaan). Semua tidak berarti di hatinya dan tidak memberi
pengaruh dalam hubungannya dengan Tuhan.
d.
Faqir, yakni, mengosongkan
seluruh fikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa yang akan datang,
dan tidak menghendaki sesuatu apapun kecuali Tuhan SWT, sehingga ia tidak
terikat dengan apapun dan hati tidak menginginkan sesuatupun. Dengan demikian,
jika pada tingkat wara’ seseorang berusaha meninggalkan perkara subhat, pada
tingkat zuhud mulai meninggalkan segala keinginan yang bersifat duniawi, maka
pada tingkat ini sudah pada puncaknya, mengkosongkan hati dari seluruh ikatan
kecuali pada Tuhan. Tingkat faqir merupakan realisasi dari upaya pensucian hati
secara keseluruhan dari segala yang selain Tuhan (tahhir al-qalbi bi
al-kulliyah ‘anma siwa Allah).
e.
Sabar, yakni menerima
segala cobaan atau bencana dengan rela, tanpa menunjukkan rasa kesal atau
marah. Menurut Al-Junaidi Al-Baghdadi (830-910 M), sabar berarti rela
menanggung beban, kesulitan, kesempitan, dan sejenisnya semata-mata demi untuk
mendapat rida Allah SWT hingga saat-saat sulit tersebut berlalu.
f.
Tawakkal, yakni, percaya atas segala apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari
tawakkal adalah menyerahkan diri pada Tuhan laksana mayat di hadapan orang yang
memandikan. Namun, menurut Qusyairi (986-1072 M), hal ini bukan berarti
fatalisme (jabariyah), karena tawakal adalah kondisi dalam hati dan itu tidak
menghalangi seseorang untuk bekerja mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya.
Begitu pula sebaliknya, apa yang dikerjakan tidak menafikan tawakal dalam
hatinya sehingga jika mengalami kesulitan ia akan menyadari bahwa itu berarti
takdir-Nya dan jika berhasil berarti atas kemudahan-Nya.
g.
Ridla, yakni,
hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira
dan sukacita terhadap segala apa yang diberikan dan ditentukan Tuhan kepadanya.
Menurut Abu Nasr Al-Sarraj (w.988 M), rida adalah tahap terakhir dari seluruh
rangkaian maqamat.[9]
Setelah mencapai tingkat tertentu dalam spiritual, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif atau noetic yang diistilahkan dengan kasyaf sehingga dia akan dapat mencapai musyahadah dan akhirnya ittihad. Menurut Al-Qusyairi, kasyf adalah kesadaran hati akan sifat-sifat kebenaran, musyahadah adalah penyaksian hati atas realitas kebenaran, sedang ittihad adalah penyatuan hati (diri) dengan realitas kebenaran itu sendiri.
Dalam kajian
filsafat Mehdi H. Yazdi, persoalan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Ketika seseorang mencapai tingkatan spiritual tertentu, dia akan mendapatkan
realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf) sehingga dengan
kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut, karena bukan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang
berbeda melainkan merupakan eksistensi yang sama sehingga objek yang diketahui
tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya
(ittihad). Oleh karena itu, dalam perspektif epistemologis, pengetahuan
irfani ini tidak diperoleh melalui representasi data-dderaindra apa pun, bahkan
objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan gagasan umum
pengetahuan ini. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui unifikasi
eksistensial yang oleh Mehdi Heiri Yazdi disebut sebagai ilmu huduri atau
pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge), atau jika dalam teori
permainan bahasa (language game) Wittgenstein (1889-1951 M), pengetahuan
irfani ini tidak lain adalah bahasa ‘wujud’ itu sendiri.
2.
Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang
akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif
(pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu
melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang
diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut,
keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama,
sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu
sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’
atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga
diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of
Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori
Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi= divine
truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui
wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu,
akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh
umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[10]
Pengetahuan semacam ini di dunia islam
sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa
Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham
bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang
menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan
Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai
petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan”
kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan
kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan
Allah.[11]
3.
Pengungkapan
Yakni
pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat
ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan
konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran
Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan,[12]
sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa
diungkapkan.[13]
Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
“Pengetahuan tentang kebenaran
tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi.
Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan.
Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan
untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal
secara sepakat”.[14]
Kemudian
beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan
dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada
dalam teks. Kedua, diungkapkan
lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar
kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif
yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis
maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan
dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya
diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi
diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut
harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada
makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan
secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode analogi seperti di atas, menurut
al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat
esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam
analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas
dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan
tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan
berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini
merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut
untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani
yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya
kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya
hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi
apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani
islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada
kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan
hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih
bersifat positifistik.
Pengetahuan
irfani tidak didasarkan atas objek eksternal atau runtutan logis, melainkan
dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf
disebut kasyf. Sedemikian, sehingga ia tidak dapat diuji berdasarkan validitas
korespondensi maupun koheren. Lebih jauh, objeknya tidak lain hanyabersifat
immaterial dan essensial, tetapi sekaligus juga bersifat swaobjektif (self-object-kowledge),
sehingga apa yang disebut sebagai objektivitas objek tidak lain bersifat
analitis dan terwujudnya dalam tindakan mengetahui itu sendiri.[15]
Dari pemaparan di
atas penulis menyimpulkan bahwasanya
irfani tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara korespondensi dan koherensi,
karena epistemologi irfani diistilahkan sebagai pengetahuan tentang (knowledge
of) sebuah pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung, yang
berbeda dengan “pengetahuan mengenai (knowledge about) sebuah
pengetahuan diskursif yang diperoleh lewat perantara, ataupun rasio. Perbandingan
kebenaran antara epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Perbandingan Epistemologi
Bayani, Irfani, dan Burhani
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
|
Sumber
|
Teks
Keagamaan/
Nash
|
Ilham/
Intuisi
|
Rasio
|
Metode
|
Istinbat/
Istidlal
|
Kasyf
|
Tahlili
(analitik),
Diskursus
|
Pendekatan
|
Linguistik
|
Psikho-Gnostik
|
logika
|
Tema
sentral
|
Ashl – Furu’
Kata
– Makna
|
Zahir – Batin
Wilayah
– Nubuwah
|
Essensi –
Aksistensi
Bahasa
– Logika
|
Validitas
kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi
Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum Teolog,
ahli Fiqh,
ahli
Bahasa
|
Kaum
Sufi
|
Para
Filosof
|
E. Konsep Tekstual dan Kontekstual Nash dalam Epistemologi Irfani
Sesuai dengan sasaran bidik Irfani
yang esoterik, isu sentral Irfani adalah zahir & batin, bukan
sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhasibi (w.
857 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), juga para sufis yang
lain, teks keagamaan (al-Qur`an dan hadits) tidak hanya mengandung
apa yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang tersirat (batin).
Aspek zahir teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah
takwilnya.[16]
Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda
dengan lafad-makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat
dari lafat menuju makna, sedang dalam Irfani, seseorang justru berangkat dari
makna menuju lafat, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa al-Ghazali,
makna sebagai ashl, sedang lafat mengikuti makna (sebagai furu’).
Pendapat zahir-batin di atas
didasarkan, pertama, pada al-Qur’an, QS. Luqman: 20, al-An’am: 120
dan khususnya QS. al-Hadid: 3, yang sekaligus digunakan sebagai dasar pijakan
metafisisnya. Kedua, hadits Rasul, ‘Tidak ada satu ayatpun dalam
al-Qur`an kecuali di sana mengandung aspek zahir dan batin, dan setiap huruf
mempunyai had (batas) dan matla’ (tempat terbit). Ketiga,
pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib (w. 660 M). Menurut Ali ra, al-Qur`an
mengandung empat dimensi, zahir, batin, had dan matla’. Aspek zahir
al-Qur`an adalah tilawah, aspek batinnya adalah pemahaman,
aspek had-nya ketentuan halal dan haram, dan matla’nya adalah apa yang
dikehendaki Tuhan atas hamba-Nya.
Menurut Jabiri, makna batin ini, pertama,
diungkapkan dengan cara apa yang disebut sebagai i’tibar atau qiyas Irfani.
Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada
makna zahir yang ada dalam teks. Sebagai
contoh, qiyas yang dilakukan kaum Syiah yang menyakini keunggulan keluarga Imam
Ali ra. atas QS. Al-Rahman, 19-22. “Dia membiarkan dua lautan mengalir
dan bertemu; di antara keduanya ada batas yang tidak terlampaui dan dari
keduanya keluar mutiara dan marjan”. Dalam hal ini, Ali dan Fatimah
dinisbatkan pada dua lautan, Muhammad saw dinisbatkan pada batas (barzah),
sedang Hasan & Husein dinisbatkan pada mutiara dan marjan. Barzah=Muhammad,
Dua lautan = Ali/Fatimah Dua laut Ali/Fatimah Mutiara & Marjan Hasan/Husein
Contoh lain adalah qiyas yang dilakukan al-Qusyairi atas ayat yang sama.
Menurutnya, dalam hati ini ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan
raja’ (harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni ahwal
al-shufiyah dan lathaif al-mutawaliyah. Di antara keduanya ada batas yang tak
terlampaui, yakni pengawan Tuhan atas ini dan itu. Artinya, konsep sufisme
tentang khauf dan raja’ dinisbatkan pada kata ‘bahrain’ (dua lautan),
sedang ahwal dan lathaif dinisbatkan pada mutiara dan marjan. Khauf/ Raja’
via Dua lautan Ahwal/ Lathaif Mutiara/ Marjan Dengan
demikian, qiyas Irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani atau silogisme.
Qiyas Irfani di sini berusaha
menyesuaikan konsep yang telah ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf
dengan teks. Ibn Arabi menyatakan bahwa zahir al-Qur`an adalah tafsir, aspek
batinnya adalah takwil, had-nya adalah batas kemampuan pemahaman dan matla`nya
adalah puncak pendakian hamba dimana ia menyaksikan Tuhan. Namun, Jabiri
menyangsikan otensitas hadis dan tafsir ini, karena dibagian lain, Ibn Arabi
menyatakan bahwa ia memperoleh hadis tersebut lewat kasyf. Tidak mengikuti
rantai perawian sebagaimana dalam ilmu hadis.
Dengan kata lain, seperti
dikatakan al-Ghazali diatas, zahir teks dijadikan furu’ (cabang) sedang
konsep atau pengetahuan kasyf sebagai ashl (pokok). Karena itu, qiyas
Irfani atau I`tibâr tidak memerlukan persyaratan illat atau pertalian antara
lafat dan makna (qarinah lafdziyah ‘an ma’nawiyah) sebagaimana yang ada
dalam qiyas bayani, tetapi hanya berpedoman pada isyarat (petunjuk batin).
Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga
dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang
disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan
bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi
al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang
dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu,
dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat
tersebut untuk menganalisa Irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan
Irfani yang dibangun diantas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi
hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, Irfani
akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan
kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, Irfani Islam
sama sekali berbeda dengan mistik di Barat, meski dibeberapa bagian ada
kesamaan.
Irfani lebih berkaitan dengan
kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik Barat kurang
berkaitan dengan semua itu dan lebih positifistik. Karena itu, menggunakan alat
ukur mistik Barat untuk menganalisa Irfani Islam, sesungguhnya, tidak berbeda
dengan mengukur rasa kepedasan cabe dengan melihat warna kulitnya. Tidak akan
mencapai hakekat yang sebenarnya. Kedua, pengetahuan kasyf diungkapkan
lewat apa yang disebut dengan syathahât. Namun, berbeda dengan qiyas Irfani
yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks, syathahat ini sama
sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut. Syathahat lebih merupakan
ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan
langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha
Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau ‘Ana al-Haqq’ (Aku adalah
Tuhan) dari al-Hallaj (w.913 M). Ungkapan-ungkapan seperti itu, keluar
saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam,
sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis
tertentu; sehingga, karena itu pula, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang
dari ajaran Islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahat sebenarnya
diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi
diri pada aturan syareat, dengan syarat bahwa syathahat tersebut harus di
takwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna
zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan
berseberangan dengan ketentuan syareat yang ada. Persoalannya, di mana hakekat
qiyas Irfani, takwil atau syathah sufisme diatas, sebab apa yang diungkapkan
para tokoh sufis tersebut ternyata tidak sama, meski mereka sama-sama mengklaim
telah mengalami atau mendapat pengetahuan langsung dari realitas mutlak.
Mengikuti al-Jabiri, hakekat takwil dan syathah tidak terletak pada makna
umumnya atau universalitasnya melainkan justru pada makna temporal atau subjektifitasnya.
Sebab, takwil atau syathah tidak lain adalah pemaknaan atau pemahaman atas
realitas yang ditangkap saat kasyf, dan itu pasti berbeda diantara
masing-masing orang, sesuai dengan kualitas jiwa dan pengalaman sosial budaya
yang menyertainya.
F.
Kesimpulan
Epistemologi
‘irfani merupakan salah satu kekayaan khazanah Islam yang patut dibanggakan dan
tentunya harus dilestarikan, lebih lagi di era modern saat ini yang mendewakan
rasionalisme dan empirisme, sehingga kering akan nuansa spiritual. Eksistensi
keberadaan epistemology ‘irfani ini, sudah tentu diawali dengan sejarah panjang
kemunculannya yang penuh dengan dinamika pergolakan. Epistemologi ‘irfani
merupakan epistemologi yang cukup unik untuk dipahami. Tidak seperti bayani dan
burhani yang cenderung teks, ‘irfani bersumber dari pengalaman spiritual
pelakunya. Epistemologi ini banyak dianut oleh kalangan sufi.
Pencapaian
pengetahuan ‘irfani harus dilalui dengan beberapa tahapan mulai dari persiapan,
penerimaan, dan pengungkapan. Tahap persiapan ini meliputi serangkaian tazkiyah
an-nafs yang dilalui melalui maqamat dan ahwal, untuk pada
akhirnya sampai pada tahap pengungkapan yang dapat diwujudkan melalui qiyas
‘irfani, symbol-simbol maupun syathahat. Verifikasi kebenaran
epistemologi ‘irfani tidak dapat diuji baik dengan korespondensi maupun
koherensi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, 2009, Tafsir
dalam Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Damami, Mohammad, 2002, Makna Agama Dalam
Masyarakat Jawa, Lesfi, Yogyakarta.
Hairi, Yazdi, Mehdi, 1994, Ilmu Hudhuri,
terj Ahsin Muhammad, Bandung, Mizan.
Issa Othman, Ali, 1981, Manusia
Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf), (Bandung: Pustaka.
Makiah, Zulpa, Epistemologi Bayani, Burhani
dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan tentang Mashlahah.
Mudzakir, Syadali,
2004 Filsafat Umum, Bandung:
Pustaka Setia.
Nasrullah, 2012, Nalar ‘Irfani Tradisi
Pembentukan dan Karakteristiknya, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 9,
No. 2, Desember.
Noorsyam, 1984, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya.
Salam, Burhanuddin, 1997, Logika Materil,
Filsafat Ilmu Pengetahuan Rineka Cipta, Jakarta.
Soleh, A. Khudori, ”Mencermati Epistemologi
Sufi (Irfan)”, Jurnal Ulumuna, tanpa keterangan.
Soleh, A.
Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Soleh, A.
Khudori, 2016, Filsafat Islam, Jogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Sudarsono, 2008, Ilmu
Filsafat : Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta.
https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/26/epistemologi-al-irfani-2/
[2] Ahmad Tafsir dalam Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 23
[4] Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan
Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hlm
34
[6] Nasrullah, Nalar ‘Irfani Tradisi
Pembentukan dan Karakteristiknya, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 9,
No. 2, Desember 2012, hlm 177
[8] Zulpa Makiah, Epistemologi
Bayani, Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan tentang Mashlahah,
hlm. 23
[10] Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat
Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997), hlm.58
[11] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al
Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf), (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 67
[14] Ali Issa Othman, Manusia Menurut
Al-Ghazali, (terj Johan Smit, Anas, yusuf), (Bandung: Pustaka, 1981), hlm 64
[15] A. Khudori Soleh,”Mencermati Epistemologi
Sufi (Irfan)”, Jurnal Ulumuna, tanpa keterangan, hlm. 14-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar