DIALEKTIKA TIGA
PILAR PEMIKIRAN ISLAM: FILSAFAT, TEOLOGI (ILMU KALAM), DAN TASAWUF
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Pemakalah:
ASTRIFIDA RAHMA AMALIA
(16771014)
(16771014)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A.
Pendahuluan
Islam pernah
mengalami zaman kejayaan yang disebut Golden Age pada masa kerajaan
Abbasiyah yang awalnya dicikalbakali oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada
era Umayyah yang kemudian mampu melahirkan tokoh-tokoh intelektual Islam
masyhur di dunia pendidikan saat ini[1].
Perkembangan intelektual masa Abbasiyah terlihat jelas dengan terbentuknya
jaringan keilmuan yang kuat terutama yang berhubungan dengan 2 sumber agama, Al
Qur’an dan Hadits[2].
Menurut aspek
historisnya, Harun Al Rasyid yang menjadi khalifah kerajaan Abassiyah sekitar
tahun 786 M, sebelumnya ia telah belajar di Persia tentang ilmu pengetahuan dan
falsafat[3].
Dalam masa pemerintahannya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke
dalam bahasa Arab dimulai, yang awalnya hanya fokus pada buku-buku kedokteran
saja namun kemudian merambah pada buku-buku ilmu pengetahuan dan falsafat.
Dalam proses penerjemahan ini[4],
karangan-karangan Aristoteles, Plato dan tokoh-tokoh lainnya mengenai ilmu
pengetahuan Yunani dapat dibaca oleh alim ulama Islam.
Pemikir-pemikir
Islam mulai muncul pada masa ini, antara lain al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina
(980-1037 M), al-Kindi (801-873 M) yang dikenal sebagai filosof muslim selain mereka
ahli di bidangnya yang lain. Karangan-karangan tentang filsafat banyak menarik
perhatian kaum Mu’tazilah sehingga pemikiran mereka dipengaruhi oleh dominansi
daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. Dalam pembahasan teologi, kaum
Mu’tazilah juga cenderung menggunakan logika sehingga mengarah ke liberal. Dari
karya-karya filsafat tersebut kemudian memuculkan beberapa pemikiran-pemikiran
tentang Teologi (Ilmu Kalam) dan Tasawuf.
Filsafat,
teologi (ilmu kalam), dan tasawuf dalam perkembangannya menjadi sebuah
perbincangan di kalangan pemikir yang nanti pembahasannya mengarah pada
hubungan antar ketiganya serta persamaan maupun perbedaan. Namun sebelum ke
pembahasan tersebut, maka dalam kesempatan ini pemakalah bermaksud untuk
memaparkan tentang pengertian filsafat, teologi (ilmu kalam), dan
tasawuf itu sendiri.
B. Pengertian
Filsafat, Teologi dan Tasawuf
1. Filsafat
Istilah
filsafat[5]
sudah seringkali dibahas dalam perkuliahan mengingat mata kuliah yang sedang
ditempuh adalah filsafat ilmu. Filsafat identik dengan pencarian kebenaran yang
berdimensi aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Kebenaran yang
diperoleh bersifat spekulatif yang artinya kebenaran itu harus dicari
sebab-sebabnya secara mendalam[6]
atau yang disebut dengan السبب
الاول (hingga ke akar-akarnya) by think
deeply. Seperti yang telah disampaikan oleh Aristoteles[7]
(382 SM-322 SM) bahwasannya filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika (yang menyelidiki sebab dan asas segala
benda).
Para penulis sejarah filsafat berasumsi bahwa orang yang pertama
menggunakan kata filsafat adalah Pythagoras[8]
kemudian disusul ilmuwan- ilmuwan lain yang sangat populer seperti halnya Plato[9]
dan Socrates. Dari sinilah kemudian muncul berbagai definisi tentang filsafat
menurut masing-masing tokoh baik dari Yunani maupun Islam seperti Ibnu Sina,
Ibnu Rusyd, ataupun al-Farabi, namun tetap pada hakikat untuk mencari sebuah
kebenaran dengan dicari sebab-sebabnya secara mendalam.
Orang-orang dapat mendefinisikan filsafat dengan cara berbeda satu
dengan yang lain sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dr. Ilyas Supena,
M.Ag dalam bukunya “Pengantar Filsafat Islam” menyebutkan bebrapa definisi
filsafat antara lain[10]:
(1). Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan
alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. (2). Filsafat adalah sebuah
proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita
junjung tinggi, (3). Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran
keseluruhan dimana filsafat berusaha memadukan temuan sains dengan pengalaman
kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam semesta dan
isinya, dan (4). Filsafat adalah usaha menafsirkan segala sesuatu berdasarkan
akal pikiran (rasionalisme) dan seluruh alam semesta (empirisme) secara
sistematis, mendalam, radikal, dan komprehensif.
Dalam Islam, filsafat bertujuan untuk mencari kebenaran yang hakiki[11] yang
kemudian diartikan bahwa Al-Haqq (kebenaran) itulah Allah SWT. Jika kita
berbicara tentang filsafat Islam maka tidak beda jauh dengan filsafat Yunani
yang dalam mencari kebenaran akan sesuatu tertumpu pada akal dan logika namun
filsafat Islam mempunyai ciri khas yakni religius-spiritual. Walaupun filsafat
Islam lebih menggunakan akal dalam memecahkan problematika ketuhanan, manusia, dan
alam akan tetapi mereka masih berpegang pada Al Qur’an dan Hadis[12].
Filsafat sebagai proses berpikir rasional berarti bagian-bagian
dari pemikiran saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain secara
logis. Berfilsafat berarti juga berpikir secara sistematis yaitu berpikir
berdasarkan aturan-aturan penalaran/ logika dan berusaha untuk menyusun suatu
sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu. Ruang
lingkup berpikir filsafat adalah universal artinya tidak boleh ada satu sisi
pun yang tertinggal tetapi harus tercakup didalamnya secara keseluruhan. Selain
itu berfilasat disebut juga berpikir radikal, berpikir sampai ke akar-akarnya[13]. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa karakteristik filsafat adalah berpikir secara rasional,
sistematis, universal, dan radikal.
Kebenaran yang dihasilkan dalam berfilsafat adalah kebenaran yang
bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset,
dan eksperimental)[14].
Jujun S Suriasumantri pun menambahkan spekulatif sebagai salah satu
karakteristik dari filsafat. Spekulatif sebagai dasar bagi ilmu hanya bersifat
sementara, yang kemudian harus dibuktikan secara empiris dengan menggunakan
merode ilmu. Kendatipun filsafat mempunyai kebenaran yang spekulatif namun
bukan berarti ia berpikir hanya menebak-nebak atau menerka-nerka tanpa aturan.
Dalam filsafat Islam ada tiga hal yang menjadi karakteristik yaitu Pertama,
filsafat Islam membahas masalah ketuhanan, alam, dan roh sebagaimana telah
dibahas oleh filsafat Yunani namun cara penyelesaian filosof Muslim adalah
menambahkan pemikiran-pemikiran mereka ke dalamnya. Kedua, filsafat
Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas filsafat sebelumnya seperti
filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat). Ketiga, dalam
filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan
hikmah, antara wahyu dan akal[15]. Karena
para filosof berpikir tentang sebuah hakikat secara mendalam sebagian besar
dari mereka memiliki ilmu all around seperti al Khindi yang juga ahli
astronomi, ilmu pasti, musik, tabib dan lainnya. Begitu juga al-Farabi yang
ahli dalam ilmu logika, politik, kimia, ilmu alam, astronom, dan lainnya.
Filsafat mulai muncul saat orang-orang di dunia mulai memikirkan
dan mendiskusikan soal keadaan alam, dunia, serta soal lingkungan di sekitar.
Herbert mengatakan jika filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari
pemikiran. Menurut Aristotels, sumber filsafat (episteme) atau pengetahuan
rasional dapat dibedakan menjadi tiga bagian[16]:
(1). Pengetahuan praktis, (2). Pengetahuan produktif, dan (3) Pengetahuan
teoritis[17].
Menurut Aristoteles pula sumber filsafat terbagi menjadi 3 bagian yaitu logika,
metafisika, dan estetika.
Sumber filsafat
ilmu merupakan aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu filsafat yang
berkembang dan muncul dalam kehidupan manusia. Menurut Sumarna, sumber ilmu
pengetahuan terdapat perbedaan antara filosof Barat dengan Muslim. Menurut
filosof Muslim, sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu yang termanifestasikan
dalam Al Qur’an dan as Sunnah, selain empiris dan rasional. Sedangkan menurut
filosof Barat, sumber ilmu pengetahuan hanya dibatasi pada sumber utama yaitu
pengetahuan yang lahir dari pertimbangan rasio dan pengetahuan yang dihasilkan
melalui pengalaman[18].
2. Teologi/ Ilmu
Kalam
Istilah teologi (theology)[19]
berasal dari bahasa Yunani yang kemudian sering digunakan oleh penulis Kristen.
Karena itu, penggunaan kata ini khususnya di Barat mempunyai latar belakang
Kristen. Namun pada masa kini, istilah tersebut dapat digunakan untuk wacana
yang berkaitan dengan keyakinan beragama[20]. Dalam
Encyclopedia of Religion and Religions menyebutkan bahwa teologi adalah
ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta,
namun seringkali diperluas mencakup keseluruhan bidang agama[21].
Teologi dalam Islam disebut dengan ilmu kalam[22] yaitu
ilmu yang membicarakan tentang wujudNya Tuhan (Allah) , sifat-sifat yang mesti
ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin
ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan untuk menetapkan
kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat
yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya[23].
Secara etimologi kalam berarti pembicaraan yaitu pembicaraan yang
bernalar menggunakan logika. Jadi ciri utama ilmu kalam adalah
rasionalitas dan logis.
Ilmu kalam dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri
sendiri yakni pada masa khalifah Al-Makmun (813-833 M) dari Bani Abbasiyah.
Para ulama-ulama Mu’tazilah yang mempelajari buku-buku filsafat pada masa
pemerintahan ini mempertemukan sistem ilmu kalam dan menjadikannya ilmu
yang berdiri sendiri. Adapun yang dibahas adalah perbedaan pendapat masalah al-Kalam
(firman Allah)[24].
Dasar ilmu kalam adalah dalil-dalil fikiran dan pembicaraan-pembicaraan Mutakallimin[25].
Mereka jarang-jarang kembali kepada dalil naqli Qur’an dan Hadits), kecuali
sudah menetapkan benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
Ilmu kalam dikenal dengan ilmu tauhid karena
tujuannya ialah menetapkan keesaan Allah dalam zat dan perbuatanNya dalam menjadikan
alam semesta dan hanya Allah lah yang menjadi tempat tujuan terakhir alam ini. Ilmu
kalam pun juga disebut dengan ilmu ‘aqaid atau ilmu ushulluddin.
Hal ini dikarenakan persoalan yang menjadi pokok pembicaraan adalah persoalan
kepercayaan yang merupakan pokok dalam ajaran beragama. Ilmu kalam juga
disebut dengan ilmu teologi dikarenakan mereka menggunakan akal pikiran mereka
dalam memahami nash-nash agama dalam mempertahankan kepercayaan mereka[26].
Tujuan ilmu kalam adalah memantapkan kepercayaan-kepercayaan
agama dengan jalan akal pikiran disamping kemantapan hati orang-orang yang
percaya kepadanya dan membela kepercayaan-kepercayaan tersebut dengan
menghilangkan bermacam-macam keraguan yang boleh jadi masih kelihatan melekat
atau sengaja dilekatkan oleh lawan-lawan kepercayaan-kepercayaan itu[27].
Menurut al-Ghazali, ilmu kalam hanya bisa digunakan untuk menghadapi
tantangan terhadap akidah yang sudah dianut oleh umat, tetapi tidak untuk
menanamkan akidah yang benar kepada umat yang menganutnya, apalagi untuk
menuntut orang bisa menghayatinya[28].
Ilmu kalam belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW dan
sahabat-sahabatnya, melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah
ilmu-ilmu keislaman satu persatu mulai muncul dan setelah banyak orang yang
suka membicarakan soal-soal alam gaib atau metafisika[29].
Dalam ilmu ini terdapat berbagai golongan dan aliran, kurang lebih 3 abad
lamanya kaum muslim melakukan berbagai perdebatan baik sesama pemeluk Islam
maupun dengan pemeluk agama lain, akhirnya kaum muslim mencapai ilmu yang
membicarakan dasar-dasar akidah dan rinciannya; baik oleh faktor dari dalam
Islam sendiri maupun karena faktor dari luar Islam karena berbagai persoalan kalam
yang muncul, timbullah bermacam-macam aliran[30] kalam[31].
Sumber utama ilmu kalam ialah Al Qur’an dan as Sunnah yang
menerangkan wujudnya Allah SWT, sifat-sifatNya dan persoalan akidah Islam
lainnya.Ulama-ulama Islam dengan tekun dan teliti memahami nash-nash yang
bertalian dengan akidah ini, menguraikan dan menganalisisnya dan amsing-masing
golongan memperkuat pendapatnya dengan nash-nash tersebut. Pembahasan ilmu kalam
selalu berdasarkan dua hal yaitu dalil naqli (Al Qur;an dan Sunnah) dan
dalil aqli (akal pikiran)[32].
Para ulama sepakat bahwa dalil akal pikiran yang betul
pendahuluan-pendahuluan (premis-premisnya)
dan betul dalam hukum-hukum (konklusi-konklusinya) berdasarkan panca
indra atau kepastian dapat menghasilkan keyakinan serta penciptaan keimanan
yang dibutuhkan. Adapun dalil-dalil naqli, maka kebanyakan ulam
berpendapat bahwa ia tidak menghasilkan keyakinan dan tidak pula mendatangkan
keimanan yang diperlukan dan tidak dapat ditetapkan adanya suatu akidah
dengannya semata-mata kebanyakan ulama itu berpendapat bahwa ialah karena
dalil-dalil naqli itu merupakan suatu gelanggang yang luas, mencakup
kemungkinan-kemungkinan yang banyak sekali, yang dapat menghambat penetapan
akidah tersebut.
Adapun yang berpendapat bahwa dalil naqli dapat menghasilkan
keyakinan dan dapat pula menetapkan pemantapan akidah, mereka itu mensyaratkab
bahwa dalil itu harus qath’i dalam cara datangnya (qath’iyuul wurud)
dan dalam pembuktian-pembuktiannya (qath’iyyul dilalah)[33].
Ahmad Amin menerangkan bahwa ilmu kalam muncul didorong oleh
dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, antara lain[34]:
a) Sebagian orang musyrik ada yang menuhankan bintang-bintang di langit sebagai
sekutu Allah SWT, b) Ada orang-orang yang menuhankan Nabi Isa, c) Oarang-orang
yang menyembah berhala, d) Golongan yang tidak percaya akan kerasulan Nabi
Muhammad SAW dan tidak percaya akan kehidupan kembali di alam akhirat, e)
Golongan orang-orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia adalah dari
perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia serta masih
banyak faktor yang lain seperti masalah politik.
Adapun faktor ekstern diantaranya adalah sebagian orang yang
dulunya beragama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana Sabiah, Atheisme
dan lain-lain yang kemudian masuk Islam mulai memikirkan ajaran-ajaran
terdahulu dan membangkitkan persoalan agamanya dengan corak baju ke-Islaman. Faktor
lain yaitu semakin banyaknya perbedaan pendapat diantara kaum Muslimin apalagi
setelah masuknya filsafat Yunani ke dalam golongan Mu’tazilah dan aliran-aliran
golongan lainnya. Ilmu kalam telah terpengaruh oleh filsafat dan
agama-agama yang lain serta nash-nash yang dijadikan dalil. Sahilun Nasir
mengatakan bahwa ilmu kalam merupakan puncak filsafat Islam.
3. Tasawuf
Tasawuf secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu tashawwafa
- yatashawwafu – tashawwufan. Selain dari kata tersebut ada yang mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari kata shuf (صوف) yang berarti bulu domba,
maksudnya adalah bahwa para penganut tasawuf ini hidupnya sederhana, tetapi
berhati mulia serta menjauhi pakaian sutra dan memakai kain dari bulu domba
yang kasar atau yang disebut dengan kain wol kasar. Yang mana pada waktu itu
memakai wol kasar adalah simbol kesederhanaan[35].
Tasawuf juga dikonotasikan dengan “ahlu suffah” (أهل الصفة) yang berarti sekelompok
orang pada masa Rasulullah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam di
serambi-serambi masjid dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada
Allah[36].
Ada pula yang mengatakan bahwa istilah tasawuf[37]
berasal dari kata shaf (صف) yaitu barisan dalam
sholat. makna shaff dinisbahkan kepada para jamaah yang selalu berada di
barisan terdepan ketika sholat sebagaimana sholat yang berada di barisan
pertama maka akan mendapatkan kemuliaan dan pahala. Maka dari itu, orang yang
ketika sholat berada di barisan depan akan mendapatkan kemuliaan serta pahala
dari Allah SWT[38].
Sedangkan pengertian tasawuf secara terminologi telah banyak
diformulasikan oleh para ahli sesuai seleranya masing-masing, namun pemakalah
hanya akan mengambil beberapa pendapat dari pendapat-pendapat para ahli tasawuf
yang ada, yaitu sebagai berikut: Syaikh Abdul Qadir al Jailani misalnya
berpendapat bahwa tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari
pangkalnya dengan khalwat, riyadhoh, taubah, dan ikhlas[39].
Tasawuf dikatakan lebih
menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek karena para ahli tasawuf lebih
mempercayai keutamaan spirit dibandingkan keutamaan jasad, yaitu lebih
mempercayai dunia spiritual dibandingkan dunia material, dunia spiritual lebih
hakiki dan lebih nyata dibandingkan dengan dunia jasmani, hingga segala yang
menjadi tujuan akhir atau yang kita sebut Tuhan juga berdimensi spiritual.
Sehingga para kaum sufi mengatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas
sejati dan hanya pada Tuhan mereka mengorientasikan seluruh jiwa mereka, karena
Tuhanlah buah kerinduan mereka dan kepada Tuhanlah mereka akan kembali
selamanya[40].
Adapun dalam sejarah perkembangannya, tasawuf terbagi dalam tiga
bagian yaitu tasawuf akhlaqi[41], amali[42],
dan falsafi[43]. Ada
tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan ada pula yang mengarah pada
teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Dari
beberapa aliran tasawuf ini memunculkan sejumlah tokoh sufi yang sering dibahas
dalam khazanah keislaman seperti: Hasan al-Bashri, al-Ghazali, Ibnu Arabi,
Rabi’ah al-Adawiah, Abu Mansur al-Halaj, dan masih banyak lagi yang lain. Sebenarnya,
benih-benih tasawuf sudah mulai muncul sejak abad ke-1 Hijriah yang banyak
ditemui pada sifat dan perilaku Rasulullah yang kemudian diikuti sahabatnya.
Gambaran sufi yang dapat dilihat dari diri Rasulullah adalah ketika beliau berkhalwat
di Gua Hira’ dan mulai menjauhi kemewahan duniawi.
Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran
agama Islam itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan tasawuf
Islam itu timbul sebab adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri
tidak disebutkan atau diterangkan dalam Al Qur’an dan al Hadis. Namun apabila
kita mencari dan menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al Qur’an dan al
Hadis itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf[44].
Dalam Islam, Al Qur’an adalah hukum tertinggi yang harus ditaati,
mengingat bahwa Al Qur’an merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan
untuk umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab Samawi sebelumnya.
Kemudian sumber tasawuf lainnya adalah kehidupan Rasulullah baik
kesederhanaannya hingga cara ibadah sekaligus kehidupan sahabat dan khulafaur
Rasyidin sekaligus kehidupan para as-Suffah dan Tabi’in[45].
Tasawuf sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah
kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya yang selanjutnya
mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan
tersebut dipahami sebagai spiritual manusia dengan Tuhan, yang kemudian
memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala
eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang
Absolut[46].
Ciri umum yang dirumuskan oleh salah seorang peneliti tasawuf yaitu
Abu al-Wafa al-Ganimi at-Taftazani dalam bukunya yang berjudul Makdzal ila
at-Tasawuf al-Islam yang dikutip oleh Permadi menyebutkan bahwa tasawuf memiliki ciri-ciri:
memiliki nilai-nilai moral dan perasaan, pemenuhan fana (sirna) dalam realisasi
mutlak, pengetahuan intuitif langsung, timbulnya rasa kebahagiaan sebagai
karunia Allah SWT dalam diri sufi karena tercapainya maqamat atau yang
biasa disebut maqam-maqam/ tingkatan, dan penggunaan simbol-simbol
pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat[47].
Amin Syukur mengkalisifikasikan ada dua aliran dalam tasawuf. Pertama,
aliran tasawuf Sunni yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al
Qur’an dan al Hadis secara ketat serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat
(tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut[48]. Kedua,
aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat
kompromi, dalam pemakaian tema-tema filsafat yang maknanya disesuaikan dengan
tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya
dikatakan tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.
a.
Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf Akhlaqi menekankan agar manusia mampu mengendalikan hwa
nafsu yang menghalangi manusia dari kebaikan, sehingga tasawuf ini memiliki
dimensi psiko-moral, berupa pengetahuan tentang psikologis manusia yang
diarahkan untuk mencapai moralitas yang tinggi sesuai dengan tuntutan Tuhan[49].
Tasawuf Akhlaqi berkonsentrasi pada perbaikan akhlaq dengan metode-metode
tertentu yang telah dirumuskan dan juga berkonsentrasi pada upaya-upaya
menghindarkan diri dari akhlaq tercela (madzmumah) sekaligus mewujudkan
akhlaq yang terpuji (mahmudah) didalam diri para sufi.
Dalam pandangan para sufiberpendapat bahwa untuk merehabilitasi
sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek
lahiriyah. Oleh karena itu, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf,
seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanianyang cukup berat
tujuannya yaitu menguasai hawa nafsu sampai ke titik serendah-rendahnya dan
bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Untuk itu, dalam tasawuf
akhlaqi sistem pembinaan akhlaq tersusun
sebagai berikut[50]:
1.
Takhalli
Takhalli
berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran dan penyakit hati
yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan
menyadari betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotoran-kotoran hati tersebut
sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya[51]. Takhalli
juga merupakan usaha mengosongkan diri dari akhlak tercela seperti: hasud (iri/dengki),
hirshu (suatu keinginan yang berlebihan terhadap masalah-masalah
keduniaan, melebihi batas kewajaran yang diperbolehkan agama), ujub
(mengagumi diri sendiri atas kebaikan yang dilakukan atau dimilikinya), takabbur
(sombong), riya’ (pamer yang termasuk dalam syirik kecil), ghadab
(marah), ghibah (mengumpat), namimah (megadu domba), khiyanah
(ingkar janji), dan masih banyak lagi yang lain[52].
Dalam
menanamkan rasa benci terhadap keduniaan serta mematikan hawa nafsu, para sufi
berbeda pendapat. Sekelompok sufi moderat berpendapat bahwa rasa kebencian
terhadap kehidupan duniawi cukup sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya dan
tidak meninggalkan dunia sama sekali. Berbeda dengan kelompok sufi ekstrem yang
memandang bahwa kehidupan duniawi adalah racun pembunuh kelangsungan cita-cita
sufi yang mana pesoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karenanya nafsu
yang berdimensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju
tujuan yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.
2.
Tahalli
Tahalli
adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, perilaku, dan akhlaq terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah jiwa dikosongkan dari akhlaq-akhlaq jelek. Pada tahap tahalli, para
sufi berusaha agar dalam setiap perilaku selalu berjalan di atas ketentuan
agama.
Langkah-langkah
yang diperlukan dalam tahalli adalah membina pribadi agar memiliki akhlaqul
karimah dan senantiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya dalam
takhalli dengan latihan-latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan diri
dalam perbuatan baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan kepribadian dalam
rangka terwujudnya manusia sempurna (insan kamil).
Langkah
ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan
sifat-sifat mahmudah. Dari sekian banyak sifat-sifat terpuji, maka yang
perlu mendapat perhatian antara lain adalah sebagaimana dalam tingkatan maqam[53]
yang dalam tasawuf berarti tempat atau kedudukan kualitas spiritual seorang
hamba dalam wushul kepadaNya dengan macam upaya yang diwujudkan dengan
suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas[54].
Maqam-maqam tersebut meliputi[55]: 1)
Taubat, 2) Khauf dan Raja’ (cemas dan harap), 3) Zuhud,
4) Al Faqr (tidak menuntut lebih
banyak dan merasa puas terhadap apa yang dimilikinya), 5) Sabar, 6) Rida yaitu
menerima dengan lapang dada, dan 7) Muraqabah (sikap mawas diri).
3.
Tajalli
Untuk
pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahlili, maka
rangkaian pendidikan mental disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti
penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang terbatas.
Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla yang artinya
menyatakan diri. Dengan kata lain setelah seseorang bisa melalui dua tahap
takhalli dan tahalli (mengosongkan hati nurani dari sifat tercela dan mengisi
atau menghiasi diri dengan sifat baik), maka dia akan mencapai tahap ketiga
yakni tajalli yang berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah)
atau terangnya atau terungkapnya nur ghaib/ tersembunyi, atau fana segala
sesuatu selain Allah ketika nampak wajah Allah.
Konsep tajalli
bertitik tolak dari pandangan bahwa Allah SWT dalam kesendiriannya sebelum ada
alam semesta ingin melihat dirir-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu
dijadikanNya alam ini. Maka dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi
Allah. Ketika ia ingin melihat diri-Nya. Ia melihat pada alam. Dalam versi lain
diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka ia pun menampakkan
diri-Nya dalam bentuk tajalli[56].
Tokoh-tokoh yang tergolong dalam tasawuf akhlaqi antara lain adalah
Hasan Al Bashri[57]
(21-110H), Al Muhasibi[58]
(165-243 H), Al Qusyairi[59]
(376-465 H), al Ghazali[60]
(450-505 H). Masing-masing tokoh memiliki ciri kekhasan tersendiri dalam menyebarkan
ajaran-ajaran tasawufnya namun tetap berpedoman pada tiga tahap (takhalli,
tahalli, dan tajalli).
b.
Tasawuf Irfani
Epistemologi sufi atau yang dikenal sebagai epistemologi irfan
adalah salah satu model penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam,
disamping bayani dan burhani. Epistemologi ini dikembangkan dan digunakan dalam
masyarakat sufi, berbeda dengan epistemologi burhani yang dikemabangkan oleh
para filosof atau epistemologi bayani yang dikembangkan dan digunakan dalam
keilmuan-keilmuan Islam pada umumnya[61].
Istilah irfan sendiri dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa
adalah semakna dengan makrifat berarti pengetahuan tetapi berbeda dengan ilmu.
Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung
dari Tuhan (kasyf) lewat olah rohani (riyadlah) yang dilakukan
atas dasar cinta (hub) atau kemauan yang kuat (iradah), sedangkan
ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql)
atau rasionalitas (aql). Dalam perspektif Mehdi Hairi Yazdi, pengetahuan
irfani inilah yang disebut sebagai pengetahuan yang dihadirkan (ilmu hudhuri)
yang berbeda dengan pengetahuan rasional yang disebut dengan pengetahuan yang
dicari (ilmu muktasab)[62].
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga
tidak atas kekuatan rasional seperti burhani, tetapi pada kasyf,
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks atau keruntutan logika, tetapi
berdasarkan atas terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika qalb
(hati) sevagai sarana pencapaian pengetahuan irfan siap menerimanya. Untuk itu,
diperlukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seseorang mampu menerima
limpahan pengetahuan secara langsung tersebut. Persiapan yang dimaksud adalah
bahwa seseorang harus menempuh perjalanan spiritual lewat tahapan-tahapan
tertentu (maqam) dan mengalami kondisi-kondisi batin tertentu (hal)[63].
Ketika seseorang mencapai tingkatan spiritual tertentu, ia akan
mengalami kesadaran diri (kasyf) sedemikian rupa sehingga mampu melihat dan
memahami relaitas diri dan hakikat yang ada sedemikian jelas dan gamblang (musyahadah).
Ini adalah puncak kesadaran dan limpahan pengetahuan yang didapat dari proses
panjang epistemologi irfani. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk
tatanan konsepsi dan represenasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks
kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiri diri dalam Tuhan, maka tidak semua
pengalaman dan pengetahuan yang begitu jelas gamblang tersebut dapat
diungkapkan. Beberapa pengkaji masalah irfan membagi pengetahuan dalam 2
tingkatan[64].
Irfan memiliki dua aspek yakni praktis dan teoritis. Aspek
praksisnya menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap
dirinya, dunia dan Tuhan. Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh
rohani yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan yaitu tauhid harus
mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan perjalanannya secara berurutan
dan keadaan jiwa yang bakal dialaminya sepanjang perjalanan tersebut. Sementara
itu aspek teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud, mendiskusikan
manusia, Tuhan serta alam semesta. Irfan mendasarkan diri pada ketersibakan
mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahsa rasional untuk menjelaskannya[65].
Menurut Solihin dan Rosihon Anwar, tokoh-tokoh aliran tasawuf
Irfani antara lain: Rabi’ah al Adawiyah[66]
(95-185 ), Dzun-nun Al Mishri[67]
(180-246H), Abu Yazid Al Bustami[68]
(874-947 M), dan Abu Mansur al-Hallaj[69]
(855-922 M) yang sangat populer dengan konsepnya yaitu hulul.
c.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf
akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran
filsafat yang telah mempengaruhi tokoh-tokohnya[70].
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang dipengaruhi oleh
renungan-renungan falsafi dan ide-ide spekulatif dan kebanyakan aliran ini
memiliki pengetahuan yang cukup tetang filsafat dan mereka lebih terbuka sesuai
dengan nama yang dinisbatkan kepada aliran mereka yakni tasawuf falsafi. Tidak
hanya terpaku pada makna-makna lahirnya saja, tetapi juga berupaya menembus
makna batinnya yang terdalam dan dilengkapi dengan pengalaman metafisis
transedentalnya, dengan ini para penganutnya berusaha untuk memutuskan jarak
yang terbentang antara hamba dengan Tuhan. Sehingga, dia merasa menyatu dengan
Tuhannya.
Sebagai yang bercampur dengan pemafahaman filsafat, tasawuf falsafi
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Adapun
karakteristik tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran akibat banyaknya
ungkapan dan peristilahan khusus yang
hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.
Selanjutnya tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena
ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula
dikategorikan tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering
diungkapkan dalam bahasa dan terminologi-terminologi filsafat dan berkecenderungan
mendalam pada pantheisme[71].
Dalam hal ini Ibnu Khaldun sebagaimana pyang dikutip oleh
At-Taftazani dalam karyanya Al Muqaddimah menyimpulkan bahwa ada empat objek
utama yang menjadi perhatian para sufi filosof antara lain sebagai berikut[72]: Pertama,
latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
darinya. Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dlam alam ghaib seperti
sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat
realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak dan susunan kosmos
terutama tentang Penciptanya serta penciptannya. Mengenai iluminasi ini, para
sufi yang juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan
kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikr.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. Keempat, penciptaan
ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar, yang dalam hal ini
telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, ataupun
menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda. Diantara
tokoh-tokoh tassawuf falsafi adalah Ibnu Arabi[73]
(560 -638 H), Al Jili[74]
(1365-1417 M), Ibn dan Sabi’in[75]
(614-669 H).
C. Sumber-Sumber
Pengetahuan
Menurut
Suriasumantri terdapat empat cara pokok dalam mendapatkan pengetahuan, pertama
adalah pengetahuan yang berdasarkan rasio yang dikembangkan oleh kaum
rasionalis yang dikenal dengan rasionalisme. Kedua, pengetahuan yang
berdasarkan pengalaman yang dikenal dengan paham empirisme. Ketiga,
pengetahuan yang didapatkan tanpa
melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusatkan
pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan
tersebut. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan sehingga intuisi
tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan yang teratur.
Sumber pengetahuan yang keempat adalah wahyu yang merupakan pengetahuan yang
disampaikan Tuhan kepada manusia[76].
Sedangkan Amsal Bachtiar mengungkapkan ada beberapa pendapat tentang sumber
pengetahuan antara lain[77]:
empirisisme, rasionalisme, dan iluminasionisme[78].
Jika dianalisis
menurut pendapat Amsal Bachtiar, maka sumber pengetahuan filsafat termasuk
kategori empirisisme dan untuk sumber pengetahuan teologi (ilmu kalam)
masuk pada golongan rasionalisme yang mengandalkan akalnya. Sedangkan tasawuf,
sumber pengetahuannya berasal dari Tuhan yang dikategorikan pada sumber
pengetahuan iluminasionisme.
Masalahnya
kemudian adalah semua bentuk pengetahuan itu baik empirisisme, rasionalisme,
dan iluminasionisme bersumber dari manusia yang bersifat relatif. Relativitas
itu tidak saja dari pemikiran tetapi juga perangkat yang dimiliki manusia dalam
memperoleh pengetahuan seperti: daya panca indera, akal, dan hati. Karena itu,
tidak mustahil ada Zat yang lebih memiliki pengetahuan yang hakiki daripada
manusia, dan Dia merupakan hakikat sekaligus sumber pengetahuan.
D. Ruang Lingkup
Filsafat, Teologi dan Tasawuf
1. Ruang Lingkup Filsafat
Sebagai the
mother of science, filsafat diartikan proses berpikir yang sistematis dan
radikal juga memilki objek material[79]
dan objek formal[80].
Objek material filsafat adalah segala yang ada baik yang tampak maupun yang tak
tampak. Sebagian filosof membagi objek material atas tiga bagian, yaitu: yang
ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan.
Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang menyeluruh, rasional, bebas,
dan objektif tentang yang ada agar dapat mencapai hakikatnya[81].
Objek-objek tersebut kemudian terbagi menjadi tiga bahasan pokok dimana ada al-wujud
(ontologi), al-ma’rifat (epistemologi), dan al-qayyim
(aksiologi).
Cakupan objek
filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu karena ilmu hanya terbatas pada
persoalan empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan
non-empiris. Will Duratnt mengibaratkan filsafat bagaikan pasukan marinir yang
merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah
sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang menyediakan
tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmu berkembang sesuai
dengan spesialisasi masing-masing sehingga, ilmulah secara praktis memebelah
gunung dan merambah hutan. Setelah itu, filsafat kembali ke laut lepas untuk
berspekulasi dan melakukan eksplorasi lebih jauh.
Awalnya
filsafat terbagi menjadi teoritis dan praktis. Filsafat teoritis mencakup
metafisika, matematika, dan logika sedangkan filsafat praktis adalah ekonomi,
politik, hukum dan etika yang kemudian setiap bidang ilmu ini berkembang dan
menspesialisasi ke beberapa bagian. Bahkan dalam perkembangan berikutnya,
filsafat tidak hanya dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah
dikategorikan ilmu itu sendiri. Contohnya: filsafat agama, filsafat hukum, dan
filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat.
2. Ruang Lingkup Teologi/
Ilmu Kalam
Ruang lingkup Teologi sebagai sebuah disiplin ilmu mempunyai objek
sendiri yang membedakannya dari bidang ilmu lainnya. Objek kajiannya yaitu
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Berkenaan dengan itu,
maka teologi Islam membicarakan keyakinan kebenaran terhadap pengakuan
eksistensi Tuhan beserta sifat-sifatNya dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan-Nya, bukan mencari kebenaran terhadap agama Islam.
Aspek pokok dalam kajian ilmu teologi Islam adalah keyakinan akan
eksistensi Allah yang Maha Sempurna, Maha Kuasa, dan memiliki sifat-sifat
kesempurnaan lainnya. Karena itu pula ruang lingkup pembehasan yang pokok
adalah[82] :
1.
Hal-hal yang
berhubungan dengan Allah SWT atau yang sering disebut dengan istilah Mabda.
Dalam bagian ini termasuk Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan
manusia.
2.
Hal-hal yang
berhubungan dengan utusan Allah, sebagai perantara antara manusia dan Allah
atau disebut juga dengan washilah meliputi: malaikat, nabi/ rasul, dan
kitab-kitab suci.
3.
Hal-hal yang
berhubungan dengan sam’iyyat (sesuatu yang diperoleh melalui sumber yang
meyakinkan yakni Al Qur’an dan Hadits, misalnya tentang alam kubur, alam
akhirat, arsy, lauhul mahfud, dll).
Wilayah pembahasan teologi Islam secara ilmiah dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, teologi islam klasik
teoritik. Disiplin ilmu ini, hanya membahas secara teoritik aspek-aspek
ketuhanan dan berbagai kaitanNya. Kedua, teologi Islam kontemporer praktik.
Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-ayat Tuhan dan sunnah-sunnah
RasulNya yang nilai doktrinnya mengadvokasiberbagai ketimpangan sosial. Teologi
kedua ini dapat dikembangkan menjadi tiga kategori yaitu teologi lingkungan,
teologi pembebasan, dan teologi sosial[83].
3. Ruang Lingkup Tasawuf
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung
dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa
manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak
komunikasi dan dialog anatara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara
bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan
akan berbentuk ittihad (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti
persoalan sufisme baik pada agama Islam maupun diluarnya.
Dengan pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa tasawuf adalah
suatu ilmu yang memepelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada
di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan kejiwaan penuh dirasakan guna
memikirkan betul suatu hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari
Tuhannya.
Tasawuf atau mistisisme dalam Islam beresendi pada hidup dan
berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” yang berupa perbuatan menjauhi
kemewahan duniawi. Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan.
Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal
belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu
tasawuf itu adalah hal-hal yang berhubungan dan berkenaan dengan upaya-upaya/
cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh
suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan[84].
Tujuan tasawuf adalah ma’rifatullah (mengenal Allah secara
mutlak dan lebih jelas). Tasawuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan
diri dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawuf tidak boleh melanggar
apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al Qur’an dan As-Sunnah baik dalam
aqidah, pemahaman, ataupun tatacara yang dilakukan. Dan semua itu
diorientasikan pada keselamatan di akhirat, keridhaan Allah dan kebahagiaan
abadi di surga.
E. Metode Ilmu
dalam Filsafat, Teologi dan Tasawuf
1. Metode Filsafat
Jumlah metode
filsafat hampir sama banyaknya dengan definisi dari para ahli dan filosof
sendiri. Hal ini disebabkan karena metode ini merupakan suatu pendekatan
untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangam filosof itu sendiri.
Setidaknya dalam sejarah tercatat paling penting yang dapat disusun menurut
garis historis sedikitnya sepuluh metode, yang digunakan dalam filsafat
termasuk dalam filsafat ilmu, yaitu[85]:
Pertama, metode kritis yang dikembangkan oleh Socrates dan Plato. Metode
ini bersifat analisis terhadap istilah dan pendapat. Metode ini juga dikenal
sebagai metode pertentangan, dengan jalan bertanya dan berdialog, membedakan,
membersihkan, menyisihkan, dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat. Kedua,
metode intuitif yang dikembangkan oleh Plotinos dan Bergson, dengan jalan introspeksi
(bersama dengan persucian moral), sehingga tercapai suatu penerangan atau
pencerahan pikiran. Bergson lebih khusus memberikan jalan pembauran antara
kesadaran dan proses perubahan agar tercapai pemahaman langsung mengenai
kenyataan.
Ketiga, metode skolatik yang dikembangkan oleh Aristoteles, Thomas
Aquinas, dan termasuk aliran filsafat Abad Pertengahan yang bersifat sintesis
deduktif. Karakter filsafat Abad Pertengahan ini yaitu dengan bertitik tolak
dari definisi atau prinsip yang jelas kemudian ditarik kesimpulan. Keempat,
metode filsafat Rene Descartes dan pengikutnya yang dikenal metode yang
bertolak dari analisis mengenai hal-hal kompleks kemudian dicapai intuisi dari
analisis akan hakikat yang sederhana dan lebih terang. Hakikat itu dideduksikan
secara matematis dan segala pengertian yang ada kemudian ditarik secara parsial
sehingga diketahui secara jelas.
Kelima, metode geometri yang dikreasikan Rene Descartes dan pengikutnya.
Menurutnya, hanya pengalamanlah yang menyajikan pengertian benar, maka semua
pengertian atau ide dalam introspeksi kemudian dibandingkan dengan
cerapan-cerapan atau impresi dan kemudian disusun bersama secara
geometris. Keenam, metode transendental yang dikreasikan Immanuel Kant.
Metode ini dikenal juga dengan metode neo-skolastik, yang bertitik tolak dari
tepatnya pengertian tertentu, yaitu dengan jalan analisis yang diselidiki
syarat-syarat apriori bagi pengertian yang sedemikian rumit dan
kompleks.
Ketujuh, metode fenomenologis dari Husserl, eksistensialisme yakni metode dengan
jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atas fenomena dalam
kesadaran sehingga mencapai penglihatan hakikat yang murni. Kedelapan,
metode dialektis dari Hegel dan Marx, yakni metode yang digunakan dengan jalan
mengikuti dinamika pikiran sendiri, menurut triade tesis, antitesis
dan sintesis sebagai suatu hakikat kenyataan dicapai.
Kesembilan, metode neopositivistis. Menurut metode ini bahwa kenyataan
dipahami menurut hakikatnya dengan jalan menggunakan aturan-aturan seperti
berlaku dalam ilmu pengetahuan positif (eksakta). Kesepuluh,
metode analitika bahasa sebagaimana yang dikreasikan Wittgenstein. Metode ini
digunakan dengan jalan analisis pemakaian bahasa sehari-hari yang menentukan
sah atau tidaknya ucapan filosofis.
Metode yang
telah disebutkan diatas menunjukkan bahwa filsafat adalah sebagai ilmu
rasional. Cara berpikir yang dikembangkan oleh filosof adalah burhani. Burhani atau yang disebut dengan
metode demonstrative adalah suatu cara berpikir yang dilakukan melalui prosedur
logika Aristoteles yakni melalui penentuan premis yang kokoh demi suatu
pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis.
2. Metode Teologi/
Ilmu Kalam
Metode yang
digunakan teologi atau ilmu kalam untuk memahami agama ada tiga[86]:
1) Metode teologis normatif ialah upaya untuk memahami agama dengan menggunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik
dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila dibandingkan
dengan yang lainnya, 2) Metode Teologis-Dialogis yaitu mengkaji agama tertentu
dengan menggunakan perspektif agama lain. Model ini banyak digunakan oleh orientalis
dalam mengkaji Islam, dan 3) Metode Teologis-Konvergensi yang merupakan metode
pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari
masing-masing agama atau aliran. Agama dan penganutnya dapat disatukan dalam
satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Metode berfikir
kaum teolog dikenal dengan car berpikir jadali (dialektik). Para teolog bekerja
untuk teks-teks keagamaan sementara peran akal di dalamnya hanya bersifat alat
bantu saja. Maka dalam klasifikasi al-Jabari, teologi dimasukkan ke dalam tradisi
epistemologi bayani.
3. Metode Tasawuf
Metode-metode
tasawuf terbagi menjadi tiga macam yaitu[87]: 1)
Tasawuf aqidah yang menekankan masalah-masalah metafisis yang unsur-unsurnya
adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya malaikat, surga, neraka, dan sebagainy,
2) Tasawuf ibadah yang arah pembicarannya dalam masalah rahasia ibadah, dan 3)
Tasawuf akhlaqi yang menekankan pada budi pekerti yang akan mengantarkan
manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun metode
berpikir dalam tasawuf lebih menekankan pada dzauq (perasaan) dan riyadlah
(latihan kejiawaan) dengan memperbanyak amal ibadah. Selain itu juga ada yang
disebut dengan metode irfani yang mana pengetahuan yang diperoleh bersifat huduri
yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam subjek itu sendiri karena
pengalaman akan rasa itu sulit untuk dibahas.
F. Persamaan dan
Perbedaan Filsafat, Ilmu Kalam, dan Tasawuf
1. Persamaan
Filsafat, ilmu kalam,
dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian filsafat adalah
masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala yang ada. Objek
kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dari segala sesuatu yang berkaitan
dengan-Nya. Sedangkan objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya
pendekatan terhadapNya[88].
Jadi, dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu ini membahas masalah yang
berkaitan dengan ketuhanan.
Aspek subjek
dan objek filsafat dan ilmu kalam ternyata terdapat kesamaan. Dimana
subjek yang membahas filsafat dan ilmu kalam adalah manusia dan objek
pembahasan filsafat dan ilmu kalam adalah ketuhanan[89].
Filsafat, ilmu kalam
maupun tasawuf telah berupaya untuk satu tujuan yaitu kebenaran. Filsafat
berusaha menghampiri kebenaran baik tentang alam maupun manusia (yang belum
atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar
jangkauannya) atau tentang Tuhan. Ilmu kalam berusaha mencari kebenaran
tentang Tuhan dan berkaitan dengan-Nya. Sementara tasawuf berusaha untuk
menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.
2. Perbedaan
Jika ditinjau
dari karakteristik sifatnya maka, filsafat mempunyai ciri rasional, sistematik,
universal dan radikal, sedangkan ilmu kalam bersifat rasional dan logis.
Sementara, tasawuf bercirikan pada nilai-nilai moral dan perasaan (dzauq)
daripada rasio. Kemudian dari segi metodenya, filsafat menggunakan metode rasional
intelektual, maka nash agama dijadikan sebagai bukti untuk membenarkan akal.
Ilmu kalam menggunakan metode argumentasi, maka filsafat dijadikan alat
untuk membenarkan nash agama. Sedangkan tasawuf bisa saja menggunakan metode
irfani, intuisi/ ilham (inspirasi yang datang dari Tuhan) yaitu lingkup
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan yang berlaku di kalangan
sufi secara rasa[90].
Ukuran
kebenaran filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf juga berbeda. Kebenaran
filsafat bersifat spekulatif, kebenaran yang bersifat dugaan atau perkiraan
yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental. Sedangkan
ilmu kalam, kebenaranya bersifat logis/ rasional dan dapat diterima oleh
akal yang kemudian berimplikasi pada iman/ kafir seseorang dan juga halal/haram[91].
Sedangkan kebenaran yang diperoleh dalam tasawuf bersifat subjektif atau
dikenal dengan istilah huduri yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang
dari dalam subjek itu sendiri karena pengalaman akan rasa itu sulit untuk
dibahas.
G. Hubungan
Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawuf
1. Hubungan Filsafat
dan Ilmu Kalam
Dalam ilmu
kebahasaan, kalam adalah kata-kata yang tersusun dalam suatu kalimat yang mempunyai
arti. Sementara dalam ilmu agama yang dimaksud dengan kalam adalah firman Allah
SWT. Kemudian kata ini menunjukkan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Persoalan
penting yang menjadi pembicaraan di abad-abad permulaan hijrah adalah firman
Allah, kalam Allah berupa Al Qur’an sebagai salah satu sifat-Nya “apakah qadim,
tidak diciptakan, ataukah hadis (baharu), diciptakan?.
Perbincangan-perbincangan seperti ini dibahas oleh mutakallimin dengan
banyak menggunakan dalil-dalil akal (rasio).
Kaum teolog
menetapkan pokok persoalan dengan mengemukakan dalil-dalil akal terlebih dahulu
setelah tuntas, baru mereka kembali pada dalil naqli (Al Qur’an dan as
Sunnah). Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai ilmu logika
dan filsafat[92].
Dengan demikian, ilmu kalam merupakan salah satu ilmu keislaman yang
timbul dari hasil diskusi umat Islam dalam merumuskan akidah Islam dengan
menggunakan dalil akal dan filsafat. Ibnu Khaldun[93]
dalam Muqaddimah-nya telah memasukkan ilmu kalam dalam ruang
lingkup filsafat[94].
Ilmu kalam sebagaimana halnya filsafat Islam terpengaruh dengan filsafat
Yunani, namun demikian sumber pokok yang mereka manfaatkan adalah nash-nash
agama. Ilmu kalam memang lahir dari masalah dalam Islam sendiri,
sedangkan pemecahannya terpengaruh dari filsafat.
Ilmu retorika
(cara berdebat) mendapat perhatian tersendiri oleh kaum Muslim. Hal ini
dimanfaatkan oleh para mutakallimin sebagai alat untuk menguatkan
dalil-dalil kepercayaan Islam dalam menghadapi lawan-lawannya. Mutakallimin mengambil
filsafat Yunani dan mempertemukannya dengan ajaran-ajaran Islam yang lahirnya
seperti bertentangan[95].
2. Hubungan
Filsafat dan Tasawuf
Ilmu tasawuf
yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan sebagai sumbangan
pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya dalam kajian-kajian tasawuf
berbicara tentang jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan
roh itu merupakan terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran
filsafat. Sederetan intelektual muslim yang mengkaji roh dan jiwa diantaranya
adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali.
Kajian-kajian
mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata banyak memberikan
sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia
Islam. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak
dikembangkan dalam tasawuf[96]. Menurut
al-‘Iraqy, tasawuf dalam Islam termasuk dalam ruang lingkup filsafat Islam
secara umum, Menurutnya hal ini disebabkan kaum sufi mempergunakan logika dalam
mempelajari al-hulul, wahdat al-wujud, al-baqa’ dan al-fana.
Baik filsafat
maupun tasawuf keduanya berupaya untuk mengantarkan manusia memahami keberadaan
Allah, namun filsafat ini lebih bersifat teoritis sementara tasawuf bersifat
praktis. Artinya, antara filsafat Islam dan tasawuf sama-sama berupaya untuk
mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah. Filsafat sebagai sarana
teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan
praktis inilah yang menjadi wilayah tasawuf[97].
3. Hubungan Ilmu
Kalam dan Tasawuf
Ilmu kalam itu
berlandaskan nash-nash agama, dipertemukan dengan dalil-dalil pikiran
dalam membahas akidah dan ibadah sedangkan tasawuf lebih banyak menggunakan dzauq
(perasaan) dan riyadhoh (latihan kejiwaan) dengan memperbanyak amal
ibadah. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam
terkesan tidak menyentuh dzauq. Seperti contoh: Allah bersifat Sama’
(Maha Mendengar) dan Bashar (Maha Melihat), disini ilmu kalam
tidak menjelaskan “bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa
Allah mendengar dan melihatnya”.
Pertanyaan-pertanyaan
seperti yang diajukan tadi sulit terjawab dengan hanya melandaskan diri pada
ilmu kalam saja. Biasanya yang membicarakan penghayatan sampai pada
penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf[98].
Ilmu tasawuf memberikan wawasan spiritual dalam pemahaman kalam atau bisa
dikatakan bahwa ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam. Selain
itu ilmu tasawuf juga berfungsi memberikan kesadaran rohaniah dalam
perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaiman disebutkan bahwa ilmu kalam
cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah.
Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal[99].
Sebaliknya,
ilmu kalam dapat berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Maksudnya,
jika ada teori-teori dalam ilmu tasawuf yang tidak sesuai dengan kajian ilmu kalam
tentang Tuhan yang didasarkan pada Al Qur’an dan as Sunnah, hal ini mesti
dibetulkan[100].
Demikian terlihat hubungan timbal balik antara ilmu kalam dan ilmu
tasawuf.
4. Hubungan
Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawuf
Sebenarnya
ketiga ilmu tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu mencari sebuah kebenaran.
Walaupun nantinya, sifat kebenaran antar tiga ilmu tersebut berbeda karena
menurut sumber pengetahuannya, kebenaran filsafat bersifat empirisme (perlu
pembuktian), kebenaran ilmu kalam bersifat rasionalisme sebab berasal dari akal
manusia, sedangkan kebenaran tasawuf bersifat iluminasionisme (intuisi).
Dari penjelasan
diatas maka kita perlu melihat konsep tasawuf falsafi wahdatul wujud yang
diusung oleh Ibnu Arabi. Gabungan antara filsafat, teologi (ilmu kalam), dan
tasawuf terdapat pada konsep ini. Karena wahdatul wujud merupakan salah
satu contoh tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat
kompromi yang didalamnya membahas tentang wujud Tuhan yang merupakan ruang
lingkup sebagaimana yang telah dibahas dalam ilmu kalam.
H. Kesimpulan
Dari pemaparan
di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya dialektika pemikiran antara
filsafat, teologi (ilmu kalam), dan tasawuf adalah sebuah pembahasan
yang cukup luas untuk dijadikan diskusi bersama para intelektual. Mengingat
bahwasannya filsafat, teologi (ilmu kalam), dan tasawuf sudah lahir
sejak masa lampau.
Filsafat
memilki karakteristik yang rasional, sistematik, universal dan radikal. Kebenaran
yang dihasilkan dalam berfilsafat adalah kebenaran yang bersifat spekulatif
(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental).
Teologi dalam
Islam disebut dengan ilmu kalam yaitu ilmu yang membicarakan tentang
wujudNya Tuhan (Allah) , sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang
tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan
tentang Rasul-Rasul Tuhan untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui
sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya
dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya. Ilmu kalam bersifat
rasional dan logis.
Tasawuf
dikatakan lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek karena para ahli
tasawuf lebih mempercayai keutamaan spirit dibandingkan keutamaan jasad, yaitu
lebih mempercayai dunia spiritual dibandingkan dunia material, dunia spiritual
lebih hakiki dan lebih nyata dibandingkan dengan dunia jasmani, hingga segala
yang menjadi tujuan akhir atau yang kita sebut Tuhan juga berdimensi spiritual.
Sifat kebenaran
antar tiga ilmu tersebut berbeda karena menurut sumber pengetahuannya,
kebenaran filsafat bersifat empirisme (perlu pembuktian), kebenaran ilmu kalam
bersifat rasionalisme sebab berasal dari akal manusia, sedangkan kebenaran
tasawuf bersifat iluminasionisme (intuisi). Konsep wahdatul wujud merupakan
salah satu contoh tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran
filsafat kompromi yang didalamnya membahas tentang wujud Tuhan yang merupakan
ruang lingkup sebagaimana yang telah dibahas dalam ilmu kalam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar,
Istianah. 2008. Sejarah Peradaban Islam, Malang: UIN Malang Press
Nasution
,Harun. 2006. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: PT. Bulan
Bintang
Bachtiar,
Amsal. 2012. Filsafat Agama. Jakarta: Rajawali Press
Poedjawijatna,
1980. Pembimbing ke Arah Filsafat, Jakarta: Pembangunan
Mustofa A.
1999. Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia
Zar, Sirajuddin
.2007. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada
Madkour,
Ibrahim. 2004. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Lasio dkk.
1985. Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta: Liber
Kusnidingrat.
E. 1999. Teologi dan Pembebasan Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Jakarta:
Logos
Hanafi, Ahmad,
1991. Theology Islam (ilmu kalam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991)
Nasir, Sahilun
A. 2012. Pemikiran (Teologi Islam)
Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Hanafi, A.
1995. Pengantar Theologi Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra
Ensiklopedi
Islam, 2001. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve
Samsul Munir
Amin. 2012. Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah
Sholihin dkk,
2008. Ilmu Tasawuf, Bandung: Penerbit Pustaka Setia
Alba, Cecep,
2012. Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Kartanegara,
Mulyadi, 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Penerbit Erlangga
Permadi, 2004. Pengantar
Ilmu Tasawuf, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.2
Anwar, Rosihon.
2003. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia
Rozak, Abdul,
2010. Filsafat Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
Mz.Labib .
2000.Memahami Ajaran Tasawuf. Surabaya:
CV Cahaya Agency
Hajjaj,
Muhammad Fauqi, 2011. Tasawuf Islam dan Akhlak Jakarta: Amzah, Cet. I
Syukur, Amin.
1994. Rasionalisme dalam Tasawuf . Semarang : IAIN Walisongo
M. Amin Syukur
dkk 2002. Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bizawie, Zainul
Milal, 2002. Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Pemahaman
Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, Yogyakarta:
Yayasan KERiS Kajian Epistemologi dan Antropologi, Agama dan Budaya
Zehdi, Mehdi.
1994. Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin M. Bandung: Mizan
Murtadha
Muthahhari. 2002. Mengenal Irfan terj. C. Ramli Bihar Anwar. Jakarta
:Penerbit IIMAN dan Penerbit Hikmah
At-Taftazani,
Abu Al-Wafa Al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad
Rafi’i Utsmani. Bandung: Pustaka
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teologi
https://putianngraini.wordpress.com/tag/kebenaran-ilmu-maupun-kebenaran-filsafat-bersifat-nisbi-relatif
http://syafieh.blogspot.co.id/2013/02/hubungan-ilmu-kalam-dengan-ilmu-ilmu.html?m=1
http://zumardi.blogspot.co.id/2009/09./tasawuf-irfani.html?m=1
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/14jtptain-gdl-s1-2004-mastur3199-678-BAB2_319-9.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/8697/7/bab-04.pdf
https://matakedip1315.wordpress.com/2013/06/01/teologi-islam/#more-355
http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-studi.html
http://jefriirawansusianto.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-ruang-lingkup-dan-hubungan_24.html
https://awnurul.wordpress.com/2016/12/03/metode-filsafat-ilmu/
http://amvanalion.blogspot.co.id/p/pendekatan-teologiilmu-kalam.html
[1] Dalam bidang
ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan. Pada masa inilah
muncul pemikir-pemikir besar seperti Al Farabi (870-950M), Ibnu Sina (980-1037
M), Al Biruni (973-1048), Ibnu Maskawaih (932-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan
al Safa. Lihat Jurnal Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah VIII. hlm. 4
[2] Lihat Istianah
Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN Malang Press), 2008.
hlm.82. Semuanya itu juga tidak luput dari adanya gesekan dengan peradaban
lainnya seperti Yunani, India, dan Mesir.
[3] Ia belajar di
bawah asuhan Yahya ibn Khalid ibn Barmak yang pengajarannya berdasar pada ilmu
pengetahuan dan falsafat. Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme
dalam Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang), 2006, hlm 4
[4] Tokoh-tokoh
penerjemahnya antara lain: Hunain ibn Ishaq, Sabit ibn Qurra, Qusta ibn Luqa,
dll. Ibid.
[5] Istilah
filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata: philo
dan shopia. Philo berarti cinta dalam arti luas, yakni keinginan
dan sophia berarti hikmat (kebijakan) atau kebenaran (love of wisdom).
Lihat Prof. Dr. Amsal Bachtiar, M.A. Filsafat Agama. (Jakarta: Rajawali
Press), 2012. hlm. 6
[6] Lihat
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Filsafat, (Jakarta: Pembangunan 1980),
hlm 10.
[7] Lihat Drs. H.A
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 1999 hlm. 10
[8] Menurut
Pythagoras bahwa manusia tidak akan mampu mencapai pengetahuan secara
keseluruhan walaupun akan menghabiskan semua umurnya. Lihat Prof. Dr. H.
Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta:
PT. Raja GrafindoPersada, 2007, hlm.3
[9] Menurut Plato
(427 SM- 347 SM) yag merupakan seorang filosof Yunani yang termahsyur murid
Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan
tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang
asli) Lihat Drs. H.A Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia), 1997, hlm 10
[10] Lihat Dr.
Ilyas Supena, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Semarang: Walisongo Press,
2010) hlm 2-3
[11] Seperti yang
telah disampaikan Al Farabi (w.950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina
mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan alam maujud dan bertujuan untuk
menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Lihat Ibid.
[12] Lihat Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 2004,
hlm. 247
[13] Lihat Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, opcit. (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada,
2007, hlm.4-5
[14] https://putianngraini.wordpress.com/tag/kebenaran-ilmu-maupun-kebenaran-filsafat-bersifat-nisbi-relatif
Akses 2 April 2017 pkl: 09.00
[15] Lihat Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, opcit. (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada,
2007, hlm.14
[16] Lihat https://www.satujam.com/sumber-filsafat/
akses 27-05-2017 21:46
[17] Pengetahuan
teoritis dibedakan menjadi 3 oleh Aristoteles yaitu pengetahuan matematika,
pengetahuan fisika, dan filsafat pertama. Lihat Ibid.
[18] Lihat Susanto A. Filsafat Ilmu, (Bumi Aksara:
Jakarta, 2011) hlm 186
[19] Secara
etimologis, teologi berasal dari kata theos dan logos. Theos berarti Tuhan, sedangkan logos berarti
ilmu, wacana. Dengan kata lain, bahwa teologi merupakan ilmu yang membahas
tentang Tuhan atau ilmu tentang ketuhanan atau ilmu yang membicarakan tentang
zat Tuhan dari segala seginya dan hubungan-Nya dengan alam. Atau juga bisa
diartikan sebagai doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Tuhan (atau
para dewa) dari kelompok tertentu dari para pemikir perorangan. Lihat Lorens
Bagus, Kamus Filsafat…, 1090.
[20] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teologi
Akses 2 April 2017 09:15
[21] Lihat E.
Kusnidingrat, Teologi dan Pembebasan Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi,
(Jakarta: Logos, 1999), hlm 21-23
[22] Ibnu Khaldun
mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil
fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari
kepercayaan aliran golongan Salaf dan Ahli Sunnah, Lihat Ibid.
[23] Lihat Risalah
at-Tauhid, Lihat Ahmad Hanafi, M.A, Theology Islam (ilmu kalam),
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), hlm 3
[24] Lihat Prof.
Dr. K.H Sahilun A. Nasir, Pemikiran
(Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.3
[25] Ahli ilmu kalam
[26] Lihat Ahmad
Hanafi, M.A, opcit, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), hlm 5
[27] Lihat A.
Hanafi, M.A. Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra,
1995) hlm. 16
[28] Lihat Fadjar
Nugraha Syumhoedim, Tasawuf Kehidupan Al-Ghazali, (Jakarta: CV. Putra
Harapan, 1999), hlm. 81
[29] Lihat A.
Hanafi, M.A. opcit , (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995) hlm. 18
[30] Aliran-aliran
ilmu kalam terdiri dari aliran Mu’tazilah, alirah Asy’ariyah,
Maturidiyah, dll termasuk juga Jabariyah, Qadariyah, dan Murji’ah. Lihat A.
Hanafi, M.A. opcit . (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995) hlm. 63
[31] Lihat Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 346
[32] Lihat Prof.
Dr. K.H Sahilun A. Nasir, Pemikiran
opcit. hlm.22
[33] Lihat Ibid.
hlm 24-25
[34] Lihat Ibid
.hlm 30-40
[35] Lihat Samsul
Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 4
[36] Lihat Prof Dr.
M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf,
(Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008) hlm. 11
[37] Ada pula yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shafa (صفاء) yaitu bersih,
jernih, atau suci. Makna tersebut sebagaimana dari mereka yang memiliki hati
yang bersih dan suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya di
hadapan Allah SWT melalui latihan kerohanian yang amat dalam yaitu dengan
melatih dirinya untuk menjauhi segala sifat dan sikap yang kotor sehingga
mencapai pada kebersihan dan kesucian pada hatinya. Lihat Samsul Munir Amin, opcit
(Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 3
[38] Ibid
[39] Lihat Cecep
Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) hlm. 11
[40] Lihat Mulyadi
Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006)
hlm. 2
[41] Tasawuf akhlaqi
adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang
ketat guna mencapai kebahagiaan yang optimum, manusia harus terlebih dahulu
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
pensucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral dan
berakhlak mulia dikenal dengan istilah takhalli (pengosongan diri dari
sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji), dan tajalli
(terungkapnya nur gaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap
cahaya ketuhanan) Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag, opcit , (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008) hlm. 64-68
[42] Tasawuf amali
adalah suatu ajaran dalam tasawuf yang lebih menekankan amalan-amalan rohaniah
dibandingkan teori. Yang mana dalam tasawuf amali tersebut mempunyai
tujuan yang sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menghapus segala
sifat tercela serta menghadap sepenuhnya kepada Allah dengan berbagai amaliah
yang dilakukan seperti memperbanyak wirid. Dalam tasawuf amali ini lebih
identik dengan thariqah. Ibid. Thariqah muncul sebagai sebuah
implikasi dari tasawuf yang merupakan sebuah jalan oleh para sufi mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
[43] Tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional sebagai
penggagasnya. Tasawuf falsafi ini mulai muncul dengan jelas dalam Islam
sejak abad keenam Hijriah, meskipun para tokohnya baru dikenal dan berkembang
terutama di kalangan para sufi yang juga filosof akhir-akhir ini. Pemaduan
antara tasawuf dan filsafat menyebabkan mereka mempunyai pemahaman di bidang
ilmu-ilmu agama seperti fiqh, kalam, hadis, dan tafsir.
Ibid
[44] Lihat Ust.
Labib Mz. Memahami Ajaran Tasawuf, (Surabaya: Cv Cahaya Agency, 2000)
hlm. 33
[45] Lihat Muhammad
Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011) Cet. I
hal 27-53
[46] Lihat Solihin,
Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,
2001), hlm.1
[47] Lihat Permadi,
Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet.2, 2004), hlm.34
[48] Lihat Amin
Syukur. Rasionalisme dalam Tasawuf . (Semarang : IAIN Walisongo, 1994)
hlm 22
[49] Lihat http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/14jtptain-gdl-s1-2004-mastur3199-678-BAB2_319-9.pdf
Akses tgl 29 Mei 2017 pkl 11:39
[50] Lihat Prof Dr.
M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm. 113
[51] Lihat M. Amin
Syukur dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme
Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 45
[52] M. Amin Syukur
dan Masyharuddin. opcit. hlm 156-161
[53] Maqam dalam
bentuk jamaknya maqamat, berarti kedudukan atau tempat.
[54] Lihat Imam
Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf. Terj.
Luqman Hakim), (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) hlm 23
[55] Lihat Prof Dr.
M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm1115-119
[56]
Lihat Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat : Pemikiran dan
Pemahaman Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, (Yogyakarta:
Kerjasama SAMHA (Institut Studi Agama dan Hak Asasi Manusia) dengan Yayasan
KERiS (Kajian Epistemologi dan Antropologi, Agama dan Budaya), 2002),
hlm.184-185.
[57] Bernama
lengkap Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar. Beliau terkenal dengan keilmuannya yang
sangat dalam. Menurut Hamka tasawuf Hasan al Bishri mengandunga ajaran:
perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa
tenteram yang menimbulkan perasaan takut, dunia adalah negeri tempat beramal
(Barangsiapa bertemu dunia dengan perasann benci dan zuhud, ia akan berbahagia
dan memeperoleh faidahnya), tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha
mengerjakannya, orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore
hari karena berada diantara dua perasaan takut (takut dosa dan takut memikirkan
ajal), hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya,
dan banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh. Lihat Prof Dr.
M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm 124
[58] Bernama
lengkap Abu Abdillah al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Al
Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang
dihadapinya. Ajaran-ajaran tasawufnya terdiri dari makrifat
(tahapan-tahapannya: taat, aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh
cahaya yang memenuhi hati, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan, fana
dan baqa) dan Khauf serta Raja’. Lihat Ibid, hlm 127-128
[59] Bernama
lengkap Abdul Karim bin Hawazim. Merupakan seorang tokoh sufi utama dari abad
kelima Hijriyah. Ajaran-ajaran tasawufnya adalah mengembalikan tasawuf ke
landasan ahlussunnah, kesehatan batin, dan penyimpangan para sufi. Lihat Ibid,
hlm. 131-133
[60] Bernama
lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy Syafi’i
Al-Ghazali. Menjadi tokoh termahsyur sejak zaman kerajaan Seljuk hingga kini.
Ajaran-ajaran tasawufnya meliputi makrifat dan as-sa’adah. Makrifat sufi dibangun atas dasar dzauq
ruhani dan kasyf ilahi yang
dapat dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara langsung
dari Allah. Sementara as-Sa’adah
yaitu suatu kebahagiaan atau kenikmatan ketika melihat Allah. Lihat Ibid.
hlm 142-143
[62] Lihat Ibid
[63] Dalam
pandangan Suhrawardi, pengetahuan ini melalui empat tahapan yakni persiapan,
penerimaan, pembentukan konsep dalam pikiran dan penaungan dalam bentuk
tuliasan. Lihat Parvis Morewedge, Islamic Philosophyand Mysticism, (New
York:Caravan Books, 1981) hlm 177.
[64]Pengetahuan
irfani terbagi atas dua tingkatan yaitu: 1) Pengetahuan tak terkatan 2)
Pengetahuan yang terkatakan. Pengetahuan yang terkatakan terbagi kedalam 3
kelompok yaitu: pengetahuan irfan yang disampaikan oleh pelaku sendiri,
pengetahuan irfan yang disampaikan oleh orang ketiga tetapi masih dalam satu
tradisi dengan yang bersangkutan (orang Islam menjelaskan pengalaman dan
pengetahuan irfan orang Islam yang lain, dan pengetahuan irfan yang disampaikan
orang ketiga tapi dari tradisi yang berbeda (orang Islam menyampaikan
pengelaman dan pengetahuan irfan tokoh non-muslim atau sebaliknya). Lihat Mehdi Zehdi, Ilmu Hudhuri, terj.
Ahsin M (Bandung: Mizan, 1994) hlm 245-268
[65] Lihat Murtadha
Muthahhari, Mengenal Irfan terj. C. Ramli Bihar Anwar, Penerbit IIMAN
dan Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002, hlm 3
[66] Bernama
lengkap Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah. Setelah sempat dimerdekakan tuannya,
Rabi’ah hidup sebgai seorang zahidah dan sufiah. Ajaran-ajaran
tasawufnya yaitu konsep mahabbah (cinta). Rabi’ah al adawiyah tercatat
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Rabi’ah
menunjukkan kosep hubb yaitu hubb al hawa dan hub anta ahl lahu. Hubb al-hawa
adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat yang diberikan Allah (hubb
yang bersifat material tidak spiritual. Hubb anta ahl lahu adalah cinta
yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicinta
(cinta yang tidak mengharapkan balasan apa-apa). Lihat Prof Dr. M. Sholihin,
M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm 148-149
[67] Bernama
lengkap Abu al Faidh Tsauban bin Ibrahim. Merupakan seorang sufi yang dalam
perjalan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat lain seperti Mesir,
Baitul Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Anthokiah,
dan Lembah Kan’an. Ajaran-ajaran tasawufnya meliputi makrifat, maqamat
dan ahwal. Salah satu pandangannya tentang hakikat makrifat
adalah sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan
Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu
burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah, tetapi makrifatterhadap
keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang
yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang
tidak dibukakan untuk hamba-hambaNya yang lain. Sedangkan pandangannya tentang maqamat
dikemukakan beberapa hal saja, yaitu at-taubat, ash-shabr, at-tawakal,
dan ar-ridha. Berkenaan dengan ahwal, Misri menjadikan mahabbah
(cinta pada Tuhan) sebagai urutan pertama dalam ruang lingkup pembahasan
tentang tasawuf. Lihat Ibid, hlm 151-158
[68] Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan al Bustami. Perjalanan
Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi membutuhkan waktu puluhan tahun, ia
belajar dahulu pada seorang fakih dari madzhab Hanafi yaitu abu Ali As Sindi.
Ajaran-ajaran tasawufnya meliputi fana’, baqa’ dan ittihad.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala
keinginan selain keinginan kepada Allah yang kemudian baqa’ juga telah ia jalani. Kedua paham ini (fana’
dan baqa’) tidak dapat dipisahkan. Tehapan selanjutnya yaitu ittihad,
suatu tingkatan dimana seorang sufi bersatu dengan Tuhan antara yang mencintai
dan dicintai menyatu baik substansi maupun perbuatannya. Lihat Ibid ,
hlm 159-162
[69] Bernama
lengkap Abu Al-Mughist Al-Hussain bin Mansur bin Muhammad Al-Baidhowi. Al
Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan
selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi.
Ajaran tasawufnya yaitu Hulul dan Wahdat Asy Syuhud. Al Hallaj
berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Pada
hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi,
sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan demikian juga tindakannya.
Namun sebenarnya Al Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama
dengan Tuhan seperti yang terlihat pada syairnya “Aku adalah rahasia yang
Maha Benar dan bukanlah yang Maha Besar itu aku, aku hanya satu dari yang benar
maka bedakanlah antara kami”. Lihat, Ibid, hlm 164-169
[70] Lihat Abu
Al-Wafa Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman , terj. Ahmad
Rafi’i Utsmani. (Bandung: Pustaka, 1985) hlm.187
[71] Panteisme
adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek
modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan
sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam). Tuhan adalah
semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang
diantaranya mempunya pula unsur-unsur atestik, politeistik, dan teistik. Lihat http://digilib.uinsby.ac.id/8697/7/bab-04.pdf
Akses 30 Mei 2017 pkl 4:30
[72] Lihat Prof Dr.
M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm 173
[73] Bernama
lengkap Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Ath Tha’I Al-Haitami.
Setelah berusia 30 tahun, beliau berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan
kawasan Islam bagian barat. Dikabarkan pernah berjumpa dengan Ibnu Rusyd yang
merupakan seorang filosof muslim dan tabib istana. Ajaran-ajaran tasawufnya
meliputi Wahdatul Wujud, Haqiqah Muhammadiyyah, dan Wahadtul Adyan.
Wahdatul Wujud merupakan ajaran sentral Ibnu Arabi yang mana wujud semua yang ada ini hanya satu
dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khaliq pula. Adapun kalau
ada yang mengira bahwa wujud Khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu
dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya
dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya. Selain itu, Ibnu Arabi
menjelaskna bahwa terjadinya alam tidak bisa dipisahkan dari ajaran Nur
Muhammadiyyah. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam
: Pertama, Wujud Tuhan sebagai wujud mutlaq yaitu Dzat yang mandiri dan tidak
berhajat kepada suatu apapun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammdiyyah sebagai
emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang
wujud dengan proses tahapan-tahapannya. Sehingga konsekuensinya adalah Wahdatul
Adyan (kesamaan agama) yang mana Ibnu Arabi memandang bahwa sumber agama
adalah satu sehingga semua agama adalah tunggal dan kesemuannya itu milik
Allah. Lihat, Ibid, hlm 174-183
[74] Bernama
lengkap Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Merupakan seorang sufi yang terkenal
di Baghdad dan pernah berguru pada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Ajaran-ajaran
tasawufnya adalah Insan Kamil dan Maqamat (Al-Martabah). Menurutnya,
Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan. Al Jili berkata bahwa
duplikasi Al-Kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin
yang berhadapan. Yang kemudian untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seorang
sufi harus menempuh jalan panjang pada maqamat. Maqamat itu
terdiri dari Islam, Iman, Shalah, Ihsan, Syahadah, Shiddiqiyah, dan
Qurbah. Lihat Ibid, hlm 184-189
[75] Nama
lengkapnya adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr seotrang sufi
sekaligus filosof dari Andalusia. Ibn Sabiin dibesarkan dalam keluarga
bangsawan. Ia mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan Tarekat
As-Sab’iniyyah. Ajaran-ajaran tasawufnya terdiri dari kesatuan mutlak dan
penolakan terhadap logika Aristotelian. Gagasan esensial pahamnya adalah wujud
adalah satu alias Wujud Allah semata. Karena paham kesatuan mutlaknya, ia
menolak gagasan Aristotelian, ia menyususn suatu logika baru yang bercorak
iluminatif, sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsepsi
jamak.Logika yang dimaksudnya bukanlah kategori yang bisa dicapai dengan
penalaran, tetapi termasuk embusan Ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang
belum pernah ia melihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengarnya.
Dengan demikian, logika tersebut bercorak intuitif. Lihat Ibid, hlm
192-199
[76] Lihat https://syafrudinmtop.blogspot.co.id/2015/03/makalah-filsafat-ilmu-sumber-sumber-ilmu.html
akses 27-05-2017 pkl 12:24
[77] Lihat Prof.
Dr. Amsal Bachtiar, M.A. opcit. hlm. 41
[78] Menurut
Empirisisme, sumber pengetahuan diperoleh dengan perantara panca indera.
Menurut Rasionalisme, sumber pengetahuan terletak pada akal. Iluminasionisme
memandang bahwa sumber pengetahuan berasal dari Tuhan melalui pencerahan dan
penyinaran, Ibid. hlm 41-50
[79] Objek material
adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia
adalah objek material ilmu kedokteran.
Lihat Prof. Dr. Amsal Bachtiar, M.A. opcit, 2012. hlm. 1
[80] Objek formal
adalah cara pandang tertentu tentang objek material, seperti pendekatan empiris
dan induktif dalam kedokteran. Ibid.
[81] Lihat Lasio
dan Yuwono, Pengantar Ilmu Filsafat. (Yogyakarta: Liber, 1985), hlm 6
[82] Lihat https://matakedip1315.wordpress.com/2013/06/01/teologi-islam/#more-355
Akses 30 Mei 2017 pkl 8:38
[83] Lihat http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-studi.html
Akses 30 Mei 2017 pkl 11:44
[84] Lihat http://jefriirawansusianto.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-ruang-lingkup-dan-hubungan_24.html
Akses 30-5-2017 pkl 12:05
[85] Lihat https://awnurul.wordpress.com/2016/12/03/metode-filsafat-ilmu/
Akses 30 Mei 2017 pkl 12:31
[86] Lihat http://amvanalion.blogspot.co.id/p/pendekatan-teologiilmu-kalam.html Akses 30 Mei 2017 pkl 12:43
[87] Lihat http://mynewkuliah.blogspot.co.id/2015/08/metodologi-studi-tasawuf.html
Akses 30 Mei 2017 pkl 12:4
[88] Lihat Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hlm. 39
[89] Lihat Prof.
Dr. Amsal Bachtiar, M.A. opcit.. hlm. 19
[90] http://zumardi.blogspot.co.id/2009/09./tasawuf-irfani.html?m=1
Akses tgl 3 April 2017 16:23
[91] http://syafieh.blogspot.co.id/2013/02/hubungan-ilmu-kalam-dengan-ilmu-ilmu.html?m=1
Akses tgl 3 April 2017 16:45
[92] Lihat Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, opcit . (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada,
2007, hlm 24
[93] Ibnu Khaldun
mengatakan bahwa persoalan-persoalan teologi Islam sudah bercampur dengan
persoalan-persoalan filsafat, sehingga sukar dibedakan satu dari yang lain.
Lihat A. Hanafi, M.A. opcit. hlm. 29
[94] Lihat Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, opcit .hlm 25
[95] Lihat Prof.
Dr. K.H Sahilun A. Nasir, opcit., hlm.44
[96] Lihat Prof Dr.
M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, opcit. hlm. 104
[97] Lihat Abdul
Rozak, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 57
[98] Lihat Prof Dr.
M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, opcit. hlm. 96-97
[99] Ibid, hlm
99-100
[100] Lihat Abdul
Rozak, opcit. (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), hlm. 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar