Kamis, 09 November 2017

MAKALAH DIALEKTIKA TIGA PILAR PEMIKIRAN ISLAM: FILSAFAT, TEOLOGI (ILMU KALAM), DAN TASAWUF

DIALEKTIKA TIGA PILAR PEMIKIRAN ISLAM: FILSAFAT, TEOLOGI (ILMU KALAM), DAN TASAWUF


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag




Pemakalah:
ASTRIFIDA RAHMA AMALIA
(16771014)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017


A.      Pendahuluan
Islam pernah mengalami zaman kejayaan yang disebut Golden Age pada masa kerajaan Abbasiyah yang awalnya dicikalbakali oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada era Umayyah yang kemudian mampu melahirkan tokoh-tokoh intelektual Islam masyhur di dunia pendidikan saat ini[1]. Perkembangan intelektual masa Abbasiyah terlihat jelas dengan terbentuknya jaringan keilmuan yang kuat terutama yang berhubungan dengan 2 sumber agama, Al Qur’an dan Hadits[2].
Menurut aspek historisnya, Harun Al Rasyid yang menjadi khalifah kerajaan Abassiyah sekitar tahun 786 M, sebelumnya ia telah belajar di Persia tentang ilmu pengetahuan dan falsafat[3]. Dalam masa pemerintahannya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab dimulai, yang awalnya hanya fokus pada buku-buku kedokteran saja namun kemudian merambah pada buku-buku ilmu pengetahuan dan falsafat. Dalam proses penerjemahan ini[4], karangan-karangan Aristoteles, Plato dan tokoh-tokoh lainnya mengenai ilmu pengetahuan Yunani dapat dibaca oleh alim ulama Islam.
Pemikir-pemikir Islam mulai muncul pada masa ini, antara lain al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), al-Kindi (801-873 M) yang dikenal sebagai filosof muslim selain mereka ahli di bidangnya yang lain. Karangan-karangan tentang filsafat banyak menarik perhatian kaum Mu’tazilah sehingga pemikiran mereka dipengaruhi oleh dominansi daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. Dalam pembahasan teologi, kaum Mu’tazilah juga cenderung menggunakan logika sehingga mengarah ke liberal. Dari karya-karya filsafat tersebut kemudian memuculkan beberapa pemikiran-pemikiran tentang Teologi (Ilmu Kalam) dan Tasawuf.
Filsafat, teologi (ilmu kalam), dan tasawuf dalam perkembangannya menjadi sebuah perbincangan di kalangan pemikir yang nanti pembahasannya mengarah pada hubungan antar ketiganya serta persamaan maupun perbedaan. Namun sebelum ke pembahasan tersebut, maka dalam kesempatan ini pemakalah bermaksud untuk memaparkan tentang pengertian filsafat, teologi (ilmu kalam), dan tasawuf itu sendiri.     

B.     Pengertian Filsafat, Teologi dan Tasawuf
1.      Filsafat
Istilah filsafat[5] sudah seringkali dibahas dalam perkuliahan mengingat mata kuliah yang sedang ditempuh adalah filsafat ilmu. Filsafat identik dengan pencarian kebenaran yang berdimensi aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Kebenaran yang diperoleh bersifat spekulatif yang artinya kebenaran itu harus dicari sebab-sebabnya secara mendalam[6] atau yang disebut dengan السبب الاول (hingga ke akar-akarnya) by think deeply. Seperti yang telah disampaikan oleh Aristoteles[7] (382 SM-322 SM) bahwasannya filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (yang menyelidiki sebab dan asas segala benda).
Para penulis sejarah filsafat berasumsi bahwa orang yang pertama menggunakan kata filsafat adalah Pythagoras[8] kemudian disusul ilmuwan- ilmuwan lain yang sangat populer seperti halnya Plato[9] dan Socrates. Dari sinilah kemudian muncul berbagai definisi tentang filsafat menurut masing-masing tokoh baik dari Yunani maupun Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ataupun al-Farabi, namun tetap pada hakikat untuk mencari sebuah kebenaran dengan dicari sebab-sebabnya secara mendalam.
Orang-orang dapat mendefinisikan filsafat dengan cara berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dr. Ilyas Supena, M.Ag dalam bukunya “Pengantar Filsafat Islam” menyebutkan bebrapa definisi filsafat antara lain[10]: (1). Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. (2). Filsafat adalah sebuah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi, (3). Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan dimana filsafat berusaha memadukan temuan sains dengan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam semesta dan isinya, dan (4). Filsafat adalah usaha menafsirkan segala sesuatu berdasarkan akal pikiran (rasionalisme) dan seluruh alam semesta (empirisme) secara sistematis, mendalam, radikal, dan komprehensif.
Dalam Islam, filsafat bertujuan untuk mencari kebenaran yang hakiki[11] yang kemudian diartikan bahwa Al-Haqq (kebenaran) itulah Allah SWT. Jika kita berbicara tentang filsafat Islam maka tidak beda jauh dengan filsafat Yunani yang dalam mencari kebenaran akan sesuatu tertumpu pada akal dan logika namun filsafat Islam mempunyai ciri khas yakni religius-spiritual. Walaupun filsafat Islam lebih menggunakan akal dalam memecahkan problematika ketuhanan, manusia, dan alam akan tetapi mereka masih berpegang pada Al Qur’an dan Hadis[12].
Filsafat sebagai proses berpikir rasional berarti bagian-bagian dari pemikiran saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain secara logis. Berfilsafat berarti juga berpikir secara sistematis yaitu berpikir berdasarkan aturan-aturan penalaran/ logika dan berusaha untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu. Ruang lingkup berpikir filsafat adalah universal artinya tidak boleh ada satu sisi pun yang tertinggal tetapi harus tercakup didalamnya secara keseluruhan. Selain itu berfilasat disebut juga berpikir radikal, berpikir sampai ke akar-akarnya[13]. Jadi, dapat disimpulkan bahwa karakteristik filsafat adalah berpikir secara rasional, sistematis, universal, dan radikal.  
Kebenaran yang dihasilkan dalam berfilsafat adalah kebenaran yang bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental)[14]. Jujun S Suriasumantri pun menambahkan spekulatif sebagai salah satu karakteristik dari filsafat. Spekulatif sebagai dasar bagi ilmu hanya bersifat sementara, yang kemudian harus dibuktikan secara empiris dengan menggunakan merode ilmu. Kendatipun filsafat mempunyai kebenaran yang spekulatif namun bukan berarti ia berpikir hanya menebak-nebak atau menerka-nerka tanpa aturan.
Dalam filsafat Islam ada tiga hal yang menjadi karakteristik yaitu Pertama, filsafat Islam membahas masalah ketuhanan, alam, dan roh sebagaimana telah dibahas oleh filsafat Yunani namun cara penyelesaian filosof Muslim adalah menambahkan pemikiran-pemikiran mereka ke dalamnya. Kedua, filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas filsafat sebelumnya seperti filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat). Ketiga, dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal[15]. Karena para filosof berpikir tentang sebuah hakikat secara mendalam sebagian besar dari mereka memiliki ilmu all around seperti al Khindi yang juga ahli astronomi, ilmu pasti, musik, tabib dan lainnya. Begitu juga al-Farabi yang ahli dalam ilmu logika, politik, kimia, ilmu alam, astronom, dan lainnya.
Filsafat mulai muncul saat orang-orang di dunia mulai memikirkan dan mendiskusikan soal keadaan alam, dunia, serta soal lingkungan di sekitar. Herbert mengatakan jika filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Menurut Aristotels, sumber filsafat (episteme) atau pengetahuan rasional dapat dibedakan menjadi tiga bagian[16]: (1). Pengetahuan praktis, (2). Pengetahuan produktif, dan (3) Pengetahuan teoritis[17]. Menurut Aristoteles pula sumber filsafat terbagi menjadi 3 bagian yaitu logika, metafisika, dan estetika.
Sumber filsafat ilmu merupakan aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu filsafat yang berkembang dan muncul dalam kehidupan manusia. Menurut Sumarna, sumber ilmu pengetahuan terdapat perbedaan antara filosof Barat dengan Muslim. Menurut filosof Muslim, sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu yang termanifestasikan dalam Al Qur’an dan as Sunnah, selain empiris dan rasional. Sedangkan menurut filosof Barat, sumber ilmu pengetahuan hanya dibatasi pada sumber utama yaitu pengetahuan yang lahir dari pertimbangan rasio dan pengetahuan yang dihasilkan melalui pengalaman[18].

2.      Teologi/ Ilmu Kalam
Istilah teologi (theology)[19] berasal dari bahasa Yunani yang kemudian sering digunakan oleh penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini khususnya di Barat mempunyai latar belakang Kristen. Namun pada masa kini, istilah tersebut dapat digunakan untuk wacana yang berkaitan dengan keyakinan beragama[20]. Dalam Encyclopedia of Religion and Religions menyebutkan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup keseluruhan bidang agama[21].
Teologi dalam Islam disebut dengan ilmu kalam[22] yaitu ilmu yang membicarakan tentang wujudNya Tuhan (Allah) , sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya[23]. Secara etimologi kalam berarti pembicaraan yaitu pembicaraan yang bernalar menggunakan logika. Jadi ciri utama ilmu kalam adalah rasionalitas dan logis.  
Ilmu kalam dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri sendiri yakni pada masa khalifah Al-Makmun (813-833 M) dari Bani Abbasiyah. Para ulama-ulama Mu’tazilah yang mempelajari buku-buku filsafat pada masa pemerintahan ini mempertemukan sistem ilmu kalam dan menjadikannya ilmu yang berdiri sendiri. Adapun yang dibahas adalah perbedaan pendapat masalah al-Kalam (firman Allah)[24]. Dasar ilmu kalam adalah dalil-dalil fikiran dan pembicaraan-pembicaraan Mutakallimin[25]. Mereka jarang-jarang kembali kepada dalil naqli Qur’an dan Hadits), kecuali sudah menetapkan benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
Ilmu kalam dikenal dengan ilmu tauhid karena tujuannya ialah menetapkan keesaan Allah dalam zat dan perbuatanNya dalam menjadikan alam semesta dan hanya Allah lah yang menjadi tempat tujuan terakhir alam ini. Ilmu kalam pun juga disebut dengan ilmu ‘aqaid atau ilmu ushulluddin. Hal ini dikarenakan persoalan yang menjadi pokok pembicaraan adalah persoalan kepercayaan yang merupakan pokok dalam ajaran beragama. Ilmu kalam juga disebut dengan ilmu teologi dikarenakan mereka menggunakan akal pikiran mereka dalam memahami nash-nash agama dalam mempertahankan kepercayaan mereka[26].
Tujuan ilmu kalam adalah memantapkan kepercayaan-kepercayaan agama dengan jalan akal pikiran disamping kemantapan hati orang-orang yang percaya kepadanya dan membela kepercayaan-kepercayaan tersebut dengan menghilangkan bermacam-macam keraguan yang boleh jadi masih kelihatan melekat atau sengaja dilekatkan oleh lawan-lawan kepercayaan-kepercayaan itu[27]. Menurut al-Ghazali, ilmu kalam hanya bisa digunakan untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang sudah dianut oleh umat, tetapi tidak untuk menanamkan akidah yang benar kepada umat yang menganutnya, apalagi untuk menuntut orang bisa menghayatinya[28].
Ilmu kalam belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu mulai muncul dan setelah banyak orang yang suka membicarakan soal-soal alam gaib atau metafisika[29]. Dalam ilmu ini terdapat berbagai golongan dan aliran, kurang lebih 3 abad lamanya kaum muslim melakukan berbagai perdebatan baik sesama pemeluk Islam maupun dengan pemeluk agama lain, akhirnya kaum muslim mencapai ilmu yang membicarakan dasar-dasar akidah dan rinciannya; baik oleh faktor dari dalam Islam sendiri maupun karena faktor dari luar Islam karena berbagai persoalan kalam yang muncul, timbullah bermacam-macam aliran[30] kalam[31].
Sumber utama ilmu kalam ialah Al Qur’an dan as Sunnah yang menerangkan wujudnya Allah SWT, sifat-sifatNya dan persoalan akidah Islam lainnya.Ulama-ulama Islam dengan tekun dan teliti memahami nash-nash yang bertalian dengan akidah ini, menguraikan dan menganalisisnya dan amsing-masing golongan memperkuat pendapatnya dengan nash-nash tersebut. Pembahasan ilmu kalam selalu berdasarkan dua hal yaitu dalil naqli (Al Qur;an dan Sunnah) dan dalil aqli (akal pikiran)[32].
Para ulama sepakat bahwa dalil akal pikiran yang betul pendahuluan-pendahuluan (premis-premisnya)  dan betul dalam hukum-hukum (konklusi-konklusinya) berdasarkan panca indra atau kepastian dapat menghasilkan keyakinan serta penciptaan keimanan yang dibutuhkan. Adapun dalil-dalil naqli, maka kebanyakan ulam berpendapat bahwa ia tidak menghasilkan keyakinan dan tidak pula mendatangkan keimanan yang diperlukan dan tidak dapat ditetapkan adanya suatu akidah dengannya semata-mata kebanyakan ulama itu berpendapat bahwa ialah karena dalil-dalil naqli itu merupakan suatu gelanggang yang luas, mencakup kemungkinan-kemungkinan yang banyak sekali, yang dapat menghambat penetapan akidah tersebut.
Adapun yang berpendapat bahwa dalil naqli dapat menghasilkan keyakinan dan dapat pula menetapkan pemantapan akidah, mereka itu mensyaratkab bahwa dalil itu harus qath’i dalam cara datangnya (qath’iyuul wurud) dan dalam pembuktian-pembuktiannya (qath’iyyul dilalah)[33].
Ahmad Amin menerangkan bahwa ilmu kalam muncul didorong oleh dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, antara lain[34]: a) Sebagian orang musyrik ada yang menuhankan bintang-bintang di langit sebagai sekutu Allah SWT, b) Ada orang-orang yang menuhankan Nabi Isa, c) Oarang-orang yang menyembah berhala, d) Golongan yang tidak percaya akan kerasulan Nabi Muhammad SAW dan tidak percaya akan kehidupan kembali di alam akhirat, e) Golongan orang-orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia adalah dari perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia serta masih banyak faktor yang lain seperti masalah politik.
Adapun faktor ekstern diantaranya adalah sebagian orang yang dulunya beragama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana Sabiah, Atheisme dan lain-lain yang kemudian masuk Islam mulai memikirkan ajaran-ajaran terdahulu dan membangkitkan persoalan agamanya dengan corak baju ke-Islaman. Faktor lain yaitu semakin banyaknya perbedaan pendapat diantara kaum Muslimin apalagi setelah masuknya filsafat Yunani ke dalam golongan Mu’tazilah dan aliran-aliran golongan lainnya. Ilmu kalam telah terpengaruh oleh filsafat dan agama-agama yang lain serta nash-nash yang dijadikan dalil. Sahilun Nasir mengatakan bahwa ilmu kalam merupakan puncak filsafat Islam.  

3.      Tasawuf
Tasawuf secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu tashawwafa - yatashawwafu – tashawwufan. Selain dari kata tersebut ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuf (صوف) yang berarti bulu domba, maksudnya adalah bahwa para penganut tasawuf ini hidupnya sederhana, tetapi berhati mulia serta menjauhi pakaian sutra dan memakai kain dari bulu domba yang kasar atau yang disebut dengan kain wol kasar. Yang mana pada waktu itu memakai wol kasar adalah simbol kesederhanaan[35]. Tasawuf juga dikonotasikan dengan “ahlu suffah” (أهل الصفة) yang berarti sekelompok orang pada masa Rasulullah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah[36].
Ada pula yang mengatakan bahwa istilah tasawuf[37] berasal dari kata shaf (صف) yaitu barisan dalam sholat. makna shaff dinisbahkan kepada para jamaah yang selalu berada di barisan terdepan ketika sholat sebagaimana sholat yang berada di barisan pertama maka akan mendapatkan kemuliaan dan pahala. Maka dari itu, orang yang ketika sholat berada di barisan depan akan mendapatkan kemuliaan serta pahala dari Allah SWT[38].
Sedangkan pengertian tasawuf secara terminologi telah banyak diformulasikan oleh para ahli sesuai seleranya masing-masing, namun pemakalah hanya akan mengambil beberapa pendapat dari pendapat-pendapat para ahli tasawuf yang ada, yaitu sebagai berikut: Syaikh Abdul Qadir al Jailani misalnya berpendapat bahwa tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan khalwat, riyadhoh, taubah, dan ikhlas[39].
 Tasawuf dikatakan lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek karena para ahli tasawuf lebih mempercayai keutamaan spirit dibandingkan keutamaan jasad, yaitu lebih mempercayai dunia spiritual dibandingkan dunia material, dunia spiritual lebih hakiki dan lebih nyata dibandingkan dengan dunia jasmani, hingga segala yang menjadi tujuan akhir atau yang kita sebut Tuhan juga berdimensi spiritual. Sehingga para kaum sufi mengatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas sejati dan hanya pada Tuhan mereka mengorientasikan seluruh jiwa mereka, karena Tuhanlah buah kerinduan mereka dan kepada Tuhanlah mereka akan kembali selamanya[40].
Adapun dalam sejarah perkembangannya, tasawuf terbagi dalam tiga bagian yaitu tasawuf akhlaqi[41], amali[42], dan falsafi[43]. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan ada pula yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Dari beberapa aliran tasawuf ini memunculkan sejumlah tokoh sufi yang sering dibahas dalam khazanah keislaman seperti: Hasan al-Bashri, al-Ghazali, Ibnu Arabi, Rabi’ah al-Adawiah, Abu Mansur al-Halaj, dan masih banyak lagi yang lain. Sebenarnya, benih-benih tasawuf sudah mulai muncul sejak abad ke-1 Hijriah yang banyak ditemui pada sifat dan perilaku Rasulullah yang kemudian diikuti sahabatnya. Gambaran sufi yang dapat dilihat dari diri Rasulullah adalah ketika beliau berkhalwat di Gua Hira’ dan mulai menjauhi kemewahan duniawi.
Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama Islam itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan tasawuf Islam itu timbul sebab adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau diterangkan dalam Al Qur’an dan al Hadis. Namun apabila kita mencari dan menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al Qur’an dan al Hadis itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf[44].
Dalam Islam, Al Qur’an adalah hukum tertinggi yang harus ditaati, mengingat bahwa Al Qur’an merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan untuk umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab Samawi sebelumnya. Kemudian sumber tasawuf lainnya adalah kehidupan Rasulullah baik kesederhanaannya hingga cara ibadah sekaligus kehidupan sahabat dan khulafaur Rasyidin sekaligus kehidupan para as-Suffah dan Tabi’in[45].
Tasawuf sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai spiritual manusia dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang Absolut[46].
Ciri umum yang dirumuskan oleh salah seorang peneliti tasawuf yaitu Abu al-Wafa al-Ganimi at-Taftazani dalam bukunya yang berjudul Makdzal ila at-Tasawuf al-Islam yang dikutip oleh Permadi  menyebutkan bahwa tasawuf memiliki ciri-ciri: memiliki nilai-nilai moral dan perasaan, pemenuhan fana (sirna) dalam realisasi mutlak, pengetahuan intuitif langsung, timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT dalam diri sufi karena tercapainya maqamat atau yang biasa disebut maqam-maqam/ tingkatan, dan penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat[47].
Amin Syukur mengkalisifikasikan ada dua aliran dalam tasawuf. Pertama, aliran tasawuf Sunni yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al Qur’an dan al Hadis secara ketat serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut[48]. Kedua, aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi, dalam pemakaian tema-tema filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya dikatakan tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.

a.         Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf Akhlaqi menekankan agar manusia mampu mengendalikan hwa nafsu yang menghalangi manusia dari kebaikan, sehingga tasawuf ini memiliki dimensi psiko-moral, berupa pengetahuan tentang psikologis manusia yang diarahkan untuk mencapai moralitas yang tinggi sesuai dengan tuntutan Tuhan[49]. Tasawuf Akhlaqi berkonsentrasi pada perbaikan akhlaq dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan dan juga berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlaq tercela (madzmumah) sekaligus mewujudkan akhlaq yang terpuji (mahmudah) didalam diri para sufi.
Dalam pandangan para sufiberpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanianyang cukup berat tujuannya yaitu menguasai hawa nafsu sampai ke titik serendah-rendahnya dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Untuk itu, dalam tasawuf akhlaqi  sistem pembinaan akhlaq tersusun sebagai berikut[50]:
1.      Takhalli
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotoran-kotoran hati tersebut sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya[51]. Takhalli juga merupakan usaha mengosongkan diri dari akhlak tercela seperti: hasud (iri/dengki), hirshu (suatu keinginan yang berlebihan terhadap masalah-masalah keduniaan, melebihi batas kewajaran yang diperbolehkan agama), ujub (mengagumi diri sendiri atas kebaikan yang dilakukan atau dimilikinya), takabbur (sombong), riya’ (pamer yang termasuk dalam syirik kecil), ghadab (marah), ghibah (mengumpat), namimah (megadu domba), khiyanah (ingkar janji), dan masih banyak lagi yang lain[52].
Dalam menanamkan rasa benci terhadap keduniaan serta mematikan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat. Sekelompok sufi moderat berpendapat bahwa rasa kebencian terhadap kehidupan duniawi cukup sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya dan tidak meninggalkan dunia sama sekali. Berbeda dengan kelompok sufi ekstrem yang memandang bahwa kehidupan duniawi adalah racun pembunuh kelangsungan cita-cita sufi yang mana pesoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karenanya nafsu yang berdimensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.  
2.      Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlaq terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah jiwa dikosongkan dari akhlaq-akhlaq jelek. Pada tahap tahalli, para sufi berusaha agar dalam setiap perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama.
Langkah-langkah yang diperlukan dalam tahalli adalah membina pribadi agar memiliki akhlaqul karimah dan senantiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya dalam takhalli dengan latihan-latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan diri dalam perbuatan baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan kepribadian dalam rangka terwujudnya manusia sempurna (insan kamil).
Langkah ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat mahmudah. Dari sekian banyak sifat-sifat terpuji, maka yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah sebagaimana dalam tingkatan maqam[53] yang dalam tasawuf berarti tempat atau kedudukan kualitas spiritual seorang hamba dalam wushul kepadaNya dengan macam upaya yang diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas[54]. Maqam-maqam tersebut meliputi[55]: 1) Taubat, 2) Khauf dan Raja’ (cemas dan harap), 3) Zuhud, 4)  Al Faqr (tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas terhadap apa yang dimilikinya), 5) Sabar, 6) Rida yaitu menerima dengan lapang dada, dan 7) Muraqabah (sikap mawas diri).
3.      Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahlili, maka rangkaian pendidikan mental disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla yang artinya menyatakan diri. Dengan kata lain setelah seseorang bisa melalui dua tahap takhalli dan tahalli (mengosongkan hati nurani dari sifat tercela dan mengisi atau menghiasi diri dengan sifat baik), maka dia akan mencapai tahap ketiga yakni tajalli yang berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya atau terungkapnya nur ghaib/ tersembunyi, atau fana segala sesuatu selain Allah ketika nampak wajah Allah.
Konsep tajalli bertitik tolak dari pandangan bahwa Allah SWT dalam kesendiriannya sebelum ada alam semesta ingin melihat dirir-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu dijadikanNya alam ini. Maka dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah. Ketika ia ingin melihat diri-Nya. Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka ia pun menampakkan diri-Nya dalam bentuk tajalli[56].

Tokoh-tokoh yang tergolong dalam tasawuf akhlaqi antara lain adalah Hasan Al Bashri[57] (21-110H), Al Muhasibi[58] (165-243 H), Al Qusyairi[59] (376-465 H), al Ghazali[60] (450-505 H). Masing-masing tokoh memiliki ciri kekhasan tersendiri dalam menyebarkan ajaran-ajaran tasawufnya namun tetap berpedoman pada tiga tahap (takhalli, tahalli, dan tajalli).

b.        Tasawuf Irfani
Epistemologi sufi atau yang dikenal sebagai epistemologi irfan adalah salah satu model penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, disamping bayani dan burhani. Epistemologi ini dikembangkan dan digunakan dalam masyarakat sufi, berbeda dengan epistemologi burhani yang dikemabangkan oleh para filosof atau epistemologi bayani yang dikembangkan dan digunakan dalam keilmuan-keilmuan Islam pada umumnya[61].
Istilah irfan sendiri dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa adalah semakna dengan makrifat berarti pengetahuan tetapi berbeda dengan ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan (kasyf) lewat olah rohani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (hub) atau kemauan yang kuat (iradah), sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Dalam perspektif Mehdi Hairi Yazdi, pengetahuan irfani inilah yang disebut sebagai pengetahuan yang dihadirkan (ilmu hudhuri) yang berbeda dengan pengetahuan rasional yang disebut dengan pengetahuan yang dicari (ilmu muktasab)[62].
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas kekuatan rasional seperti burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks atau keruntutan logika, tetapi berdasarkan atas terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika qalb (hati) sevagai sarana pencapaian pengetahuan irfan siap menerimanya. Untuk itu, diperlukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seseorang mampu menerima limpahan pengetahuan secara langsung tersebut. Persiapan yang dimaksud adalah bahwa seseorang harus menempuh perjalanan spiritual lewat tahapan-tahapan tertentu (maqam) dan mengalami kondisi-kondisi batin tertentu (hal)[63].
Ketika seseorang mencapai tingkatan spiritual tertentu, ia akan mengalami kesadaran diri (kasyf) sedemikian rupa sehingga mampu melihat dan memahami relaitas diri dan hakikat yang ada sedemikian jelas dan gamblang (musyahadah). Ini adalah puncak kesadaran dan limpahan pengetahuan yang didapat dari proses panjang epistemologi irfani. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan represenasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiri diri dalam Tuhan, maka tidak semua pengalaman dan pengetahuan yang begitu jelas gamblang tersebut dapat diungkapkan. Beberapa pengkaji masalah irfan membagi pengetahuan dalam 2 tingkatan[64].
Irfan memiliki dua aspek yakni praktis dan teoritis. Aspek praksisnya menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan yaitu tauhid harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan perjalanannya secara berurutan dan keadaan jiwa yang bakal dialaminya sepanjang perjalanan tersebut. Sementara itu aspek teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahsa rasional untuk menjelaskannya[65].
Menurut Solihin dan Rosihon Anwar, tokoh-tokoh aliran tasawuf Irfani antara lain: Rabi’ah al Adawiyah[66] (95-185 ), Dzun-nun Al Mishri[67] (180-246H),  Abu Yazid Al Bustami[68] (874-947 M), dan Abu Mansur al-Hallaj[69] (855-922 M) yang sangat populer dengan konsepnya yaitu hulul.

c.         Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi tokoh-tokohnya[70].
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang dipengaruhi oleh renungan-renungan falsafi dan ide-ide spekulatif dan kebanyakan aliran ini memiliki pengetahuan yang cukup tetang filsafat dan mereka lebih terbuka sesuai dengan nama yang dinisbatkan kepada aliran mereka yakni tasawuf falsafi. Tidak hanya terpaku pada makna-makna lahirnya saja, tetapi juga berupaya menembus makna batinnya yang terdalam dan dilengkapi dengan pengalaman metafisis transedentalnya, dengan ini para penganutnya berusaha untuk memutuskan jarak yang terbentang antara hamba dengan Tuhan. Sehingga, dia merasa menyatu dengan Tuhannya.
Sebagai yang bercampur dengan pemafahaman filsafat, tasawuf falsafi memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Adapun karakteristik tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran akibat banyaknya ungkapan  dan peristilahan khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula dikategorikan tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa dan terminologi-terminologi filsafat dan berkecenderungan mendalam pada pantheisme[71].
Dalam hal ini Ibnu Khaldun sebagaimana pyang dikutip oleh At-Taftazani dalam karyanya Al Muqaddimah menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof antara lain sebagai berikut[72]: Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya. Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dlam alam ghaib seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak dan susunan kosmos terutama tentang Penciptanya serta penciptannya. Mengenai iluminasi ini, para sufi yang juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikr. Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar, yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda. Diantara tokoh-tokoh tassawuf falsafi adalah Ibnu Arabi[73] (560 -638 H), Al Jili[74] (1365-1417 M), Ibn dan Sabi’in[75] (614-669 H).

C.    Sumber-Sumber Pengetahuan
Menurut Suriasumantri terdapat empat cara pokok dalam mendapatkan pengetahuan, pertama adalah pengetahuan yang berdasarkan rasio yang dikembangkan oleh kaum rasionalis yang dikenal dengan rasionalisme. Kedua, pengetahuan yang berdasarkan pengalaman yang dikenal dengan paham empirisme. Ketiga, pengetahuan  yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusatkan pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan sehingga intuisi tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan yang teratur. Sumber pengetahuan yang keempat adalah wahyu yang merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan kepada manusia[76]. Sedangkan Amsal Bachtiar mengungkapkan ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain[77]: empirisisme, rasionalisme, dan iluminasionisme[78].
Jika dianalisis menurut pendapat Amsal Bachtiar, maka sumber pengetahuan filsafat termasuk kategori empirisisme dan untuk sumber pengetahuan teologi (ilmu kalam) masuk pada golongan rasionalisme yang mengandalkan akalnya. Sedangkan tasawuf, sumber pengetahuannya berasal dari Tuhan yang dikategorikan pada sumber pengetahuan iluminasionisme.
Masalahnya kemudian adalah semua bentuk pengetahuan itu baik empirisisme, rasionalisme, dan iluminasionisme bersumber dari manusia yang bersifat relatif. Relativitas itu tidak saja dari pemikiran tetapi juga perangkat yang dimiliki manusia dalam memperoleh pengetahuan seperti: daya panca indera, akal, dan hati. Karena itu, tidak mustahil ada Zat yang lebih memiliki pengetahuan yang hakiki daripada manusia, dan Dia merupakan hakikat sekaligus sumber pengetahuan.

D.    Ruang Lingkup Filsafat, Teologi dan Tasawuf
1.      Ruang Lingkup Filsafat
Sebagai the mother of science, filsafat diartikan proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memilki objek material[79] dan objek formal[80]. Objek material filsafat adalah segala yang ada baik yang tampak maupun yang tak tampak. Sebagian filosof membagi objek material atas tiga bagian, yaitu: yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang menyeluruh, rasional, bebas, dan objektif tentang yang ada agar dapat mencapai hakikatnya[81]. Objek-objek tersebut kemudian terbagi menjadi tiga bahasan pokok dimana ada al-wujud (ontologi), al-ma’rifat (epistemologi), dan al-qayyim (aksiologi).
Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu karena ilmu hanya terbatas pada persoalan empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan non-empiris. Will Duratnt mengibaratkan filsafat bagaikan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmu berkembang sesuai dengan spesialisasi masing-masing sehingga, ilmulah secara praktis memebelah gunung dan merambah hutan. Setelah itu, filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi dan melakukan eksplorasi lebih jauh.
Awalnya filsafat terbagi menjadi teoritis dan praktis. Filsafat teoritis mencakup metafisika, matematika, dan logika sedangkan filsafat praktis adalah ekonomi, politik, hukum dan etika yang kemudian setiap bidang ilmu ini berkembang dan menspesialisasi ke beberapa bagian. Bahkan dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak hanya dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah dikategorikan ilmu itu sendiri. Contohnya: filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat.

2.      Ruang Lingkup Teologi/ Ilmu Kalam
Ruang lingkup Teologi sebagai sebuah disiplin ilmu mempunyai objek sendiri yang membedakannya dari bidang ilmu lainnya. Objek kajiannya yaitu ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Berkenaan dengan itu, maka teologi Islam membicarakan keyakinan kebenaran terhadap pengakuan eksistensi Tuhan beserta sifat-sifatNya dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya, bukan mencari kebenaran terhadap agama Islam.
Aspek pokok dalam kajian ilmu teologi Islam adalah keyakinan akan eksistensi Allah yang Maha Sempurna, Maha Kuasa, dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Karena itu pula ruang lingkup pembehasan yang pokok adalah[82] :
1.      Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yang sering disebut dengan istilah Mabda. Dalam bagian ini termasuk Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan manusia.
2.      Hal-hal yang berhubungan dengan utusan Allah, sebagai perantara antara manusia dan Allah atau disebut juga dengan washilah meliputi: malaikat, nabi/ rasul, dan kitab-kitab suci.
3.      Hal-hal yang berhubungan dengan sam’iyyat (sesuatu yang diperoleh melalui sumber yang meyakinkan yakni Al Qur’an dan Hadits, misalnya tentang alam kubur, alam akhirat, arsy, lauhul mahfud, dll).

Wilayah pembahasan teologi Islam secara ilmiah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, teologi islam klasik teoritik. Disiplin ilmu ini, hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitanNya. Kedua, teologi Islam kontemporer praktik. Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-ayat Tuhan dan sunnah-sunnah RasulNya yang nilai doktrinnya mengadvokasiberbagai ketimpangan sosial. Teologi kedua ini dapat dikembangkan menjadi tiga kategori yaitu teologi lingkungan, teologi pembebasan, dan teologi sosial[83].  

3.      Ruang Lingkup Tasawuf
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog anatara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk ittihad (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan sufisme baik pada agama Islam maupun diluarnya.
Dengan pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang memepelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan kejiwaan penuh dirasakan guna memikirkan betul suatu hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.
Tasawuf atau mistisisme dalam Islam beresendi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” yang berupa perbuatan menjauhi kemewahan duniawi. Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang berhubungan dan berkenaan dengan upaya-upaya/ cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan[84].
Tujuan tasawuf adalah ma’rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan lebih jelas). Tasawuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al Qur’an dan As-Sunnah baik dalam aqidah, pemahaman, ataupun tatacara yang dilakukan. Dan semua itu diorientasikan pada keselamatan di akhirat, keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di surga.

E.     Metode Ilmu dalam Filsafat, Teologi dan Tasawuf
1.      Metode Filsafat
Jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan definisi dari para ahli dan filosof sendiri. Hal ini disebabkan karena metode ini merupakan suatu pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangam filosof itu sendiri. Setidaknya dalam sejarah tercatat paling penting yang dapat disusun menurut garis historis sedikitnya sepuluh metode, yang digunakan dalam filsafat termasuk dalam filsafat ilmu, yaitu[85]:
Pertama, metode kritis yang dikembangkan oleh Socrates dan Plato. Metode ini bersifat analisis terhadap istilah dan pendapat. Metode ini juga dikenal sebagai metode pertentangan, dengan jalan bertanya dan berdialog, membedakan, membersihkan, menyisihkan, dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat. Kedua, metode intuitif yang dikembangkan oleh Plotinos dan Bergson, dengan jalan introspeksi (bersama dengan persucian moral), sehingga tercapai suatu penerangan atau pencerahan pikiran. Bergson lebih khusus memberikan jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan agar tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.
Ketiga, metode skolatik yang dikembangkan oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, dan termasuk aliran filsafat Abad Pertengahan yang bersifat sintesis deduktif. Karakter filsafat Abad Pertengahan ini yaitu dengan bertitik tolak dari definisi atau prinsip yang jelas kemudian ditarik kesimpulan. Keempat, metode filsafat Rene Descartes dan pengikutnya yang dikenal metode yang bertolak dari analisis mengenai hal-hal kompleks kemudian dicapai intuisi dari analisis akan hakikat yang sederhana dan lebih terang. Hakikat itu dideduksikan secara matematis dan segala pengertian yang ada kemudian ditarik secara parsial sehingga diketahui secara jelas.
Kelima, metode geometri yang dikreasikan Rene Descartes dan pengikutnya. Menurutnya, hanya pengalamanlah yang menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian atau ide dalam introspeksi kemudian dibandingkan dengan cerapan-cerapan atau impresi dan kemudian disusun bersama secara geometris. Keenam, metode transendental yang dikreasikan Immanuel Kant. Metode ini dikenal juga dengan metode neo-skolastik, yang bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu, yaitu dengan jalan analisis yang diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian yang sedemikian rumit dan kompleks.
Ketujuh, metode fenomenologis dari Husserl, eksistensialisme yakni metode dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atas fenomena dalam kesadaran sehingga mencapai penglihatan hakikat yang murni. Kedelapan, metode dialektis dari Hegel dan Marx, yakni metode yang digunakan dengan jalan mengikuti dinamika pikiran sendiri, menurut triade tesis, antitesis dan sintesis sebagai suatu hakikat kenyataan dicapai.
Kesembilan, metode neopositivistis. Menurut metode ini bahwa kenyataan dipahami menurut hakikatnya dengan jalan menggunakan aturan-aturan seperti berlaku dalam ilmu pengetahuan positif (eksakta). Kesepuluh, metode analitika bahasa sebagaimana yang dikreasikan Wittgenstein. Metode ini digunakan dengan jalan analisis pemakaian bahasa sehari-hari yang menentukan sah atau tidaknya ucapan filosofis.
Metode yang telah disebutkan diatas menunjukkan bahwa filsafat adalah sebagai ilmu rasional. Cara berpikir yang dikembangkan oleh filosof adalah burhaniBurhani atau yang disebut dengan metode demonstrative adalah suatu cara berpikir yang dilakukan melalui prosedur logika Aristoteles yakni melalui penentuan premis yang kokoh demi suatu pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis.

2.      Metode Teologi/ Ilmu Kalam
Metode yang digunakan teologi atau ilmu kalam untuk memahami agama ada tiga[86]: 1) Metode teologis normatif ialah upaya untuk memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila dibandingkan dengan yang lainnya, 2) Metode Teologis-Dialogis yaitu mengkaji agama tertentu dengan menggunakan perspektif agama lain. Model ini banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam, dan 3) Metode Teologis-Konvergensi yang merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau aliran. Agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Metode berfikir kaum teolog dikenal dengan car berpikir jadali (dialektik). Para teolog bekerja untuk teks-teks keagamaan sementara peran akal di dalamnya hanya bersifat alat bantu saja. Maka dalam klasifikasi al-Jabari, teologi dimasukkan ke dalam tradisi epistemologi bayani.

3.      Metode Tasawuf
Metode-metode tasawuf terbagi menjadi tiga macam yaitu[87]: 1) Tasawuf aqidah yang menekankan masalah-masalah metafisis yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya malaikat, surga, neraka, dan sebagainy, 2) Tasawuf ibadah yang arah pembicarannya dalam masalah rahasia ibadah, dan 3) Tasawuf akhlaqi yang menekankan pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun metode berpikir dalam tasawuf lebih menekankan pada dzauq (perasaan) dan riyadlah (latihan kejiawaan) dengan memperbanyak amal ibadah. Selain itu juga ada yang disebut dengan metode irfani yang mana pengetahuan yang diperoleh bersifat huduri yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam subjek itu sendiri karena pengalaman akan rasa itu sulit untuk dibahas.

F.     Persamaan dan Perbedaan Filsafat, Ilmu Kalam, dan Tasawuf
1.      Persamaan
Filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala yang ada. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Sedangkan objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadapNya[88]. Jadi, dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu ini membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Aspek subjek dan objek filsafat dan ilmu kalam ternyata terdapat kesamaan. Dimana subjek yang membahas filsafat dan ilmu kalam adalah manusia dan objek pembahasan filsafat dan ilmu kalam adalah ketuhanan[89].
Filsafat, ilmu kalam maupun tasawuf telah berupaya untuk satu tujuan yaitu kebenaran. Filsafat berusaha menghampiri kebenaran baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar jangkauannya) atau tentang Tuhan. Ilmu kalam berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan berkaitan dengan-Nya. Sementara tasawuf berusaha untuk menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.

2.      Perbedaan
Jika ditinjau dari karakteristik sifatnya maka, filsafat mempunyai ciri rasional, sistematik, universal dan radikal, sedangkan ilmu kalam bersifat rasional dan logis. Sementara, tasawuf bercirikan pada nilai-nilai moral dan perasaan (dzauq) daripada rasio. Kemudian dari segi metodenya, filsafat menggunakan metode rasional intelektual, maka nash agama dijadikan sebagai bukti untuk membenarkan akal. Ilmu kalam menggunakan metode argumentasi, maka filsafat dijadikan alat untuk membenarkan nash agama. Sedangkan tasawuf bisa saja menggunakan metode irfani, intuisi/ ilham (inspirasi yang datang dari Tuhan) yaitu lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan yang berlaku di kalangan sufi secara rasa[90].
Ukuran kebenaran filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf juga berbeda. Kebenaran filsafat bersifat spekulatif, kebenaran yang bersifat dugaan atau perkiraan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental. Sedangkan ilmu kalam, kebenaranya bersifat logis/ rasional dan dapat diterima oleh akal yang kemudian berimplikasi pada iman/ kafir seseorang dan juga halal/haram[91]. Sedangkan kebenaran yang diperoleh dalam tasawuf bersifat subjektif atau dikenal dengan istilah huduri yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam subjek itu sendiri karena pengalaman akan rasa itu sulit untuk dibahas.

G.    Hubungan Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawuf
1.      Hubungan Filsafat dan Ilmu Kalam
Dalam ilmu kebahasaan, kalam adalah kata-kata yang tersusun dalam suatu kalimat yang mempunyai arti. Sementara dalam ilmu agama yang dimaksud dengan kalam adalah firman Allah SWT. Kemudian kata ini menunjukkan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Persoalan penting yang menjadi pembicaraan di abad-abad permulaan hijrah adalah firman Allah, kalam Allah berupa Al Qur’an sebagai salah satu sifat-Nya “apakah qadim, tidak diciptakan, ataukah hadis (baharu), diciptakan?. Perbincangan-perbincangan seperti ini dibahas oleh mutakallimin dengan banyak menggunakan dalil-dalil akal (rasio).
Kaum teolog menetapkan pokok persoalan dengan mengemukakan dalil-dalil akal terlebih dahulu setelah tuntas, baru mereka kembali pada dalil naqli (Al Qur’an dan as Sunnah). Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai ilmu logika dan filsafat[92]. Dengan demikian, ilmu kalam merupakan salah satu ilmu keislaman yang timbul dari hasil diskusi umat Islam dalam merumuskan akidah Islam dengan menggunakan dalil akal dan filsafat. Ibnu Khaldun[93] dalam Muqaddimah-nya telah memasukkan ilmu kalam dalam ruang lingkup filsafat[94]. Ilmu kalam sebagaimana halnya filsafat Islam terpengaruh dengan filsafat Yunani, namun demikian sumber pokok yang mereka manfaatkan adalah nash-nash agama. Ilmu kalam memang lahir dari masalah dalam Islam sendiri, sedangkan pemecahannya terpengaruh dari filsafat.
Ilmu retorika (cara berdebat) mendapat perhatian tersendiri oleh kaum Muslim. Hal ini dimanfaatkan oleh para mutakallimin sebagai alat untuk menguatkan dalil-dalil kepercayaan Islam dalam menghadapi lawan-lawannya. Mutakallimin mengambil filsafat Yunani dan mempertemukannya dengan ajaran-ajaran Islam yang lahirnya seperti bertentangan[95].

2.      Hubungan Filsafat dan Tasawuf
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan sebagai sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya dalam kajian-kajian tasawuf berbicara tentang jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu merupakan terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim yang mengkaji roh dan jiwa diantaranya adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf[96]. Menurut al-‘Iraqy, tasawuf dalam Islam termasuk dalam ruang lingkup filsafat Islam secara umum, Menurutnya hal ini disebabkan kaum sufi mempergunakan logika dalam mempelajari al-hulul, wahdat al-wujud, al-baqa’ dan al-fana.
Baik filsafat maupun tasawuf keduanya berupaya untuk mengantarkan manusia memahami keberadaan Allah, namun filsafat ini lebih bersifat teoritis sementara tasawuf bersifat praktis. Artinya, antara filsafat Islam dan tasawuf sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah. Filsafat sebagai sarana teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan praktis inilah yang menjadi wilayah tasawuf[97].

3.    Hubungan Ilmu Kalam dan Tasawuf
Ilmu kalam itu berlandaskan nash-nash agama, dipertemukan dengan dalil-dalil pikiran dalam membahas akidah dan ibadah sedangkan tasawuf lebih banyak menggunakan dzauq (perasaan) dan riyadhoh (latihan kejiwaan) dengan memperbanyak amal ibadah. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq. Seperti contoh: Allah bersifat Sama’ (Maha Mendengar) dan Bashar (Maha Melihat), disini ilmu kalam tidak menjelaskan “bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya”.
Pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan tadi sulit terjawab dengan hanya melandaskan diri pada ilmu kalam saja. Biasanya yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf[98]. Ilmu tasawuf memberikan wawasan spiritual dalam pemahaman kalam atau bisa dikatakan bahwa ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam. Selain itu ilmu tasawuf juga berfungsi memberikan kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaiman disebutkan bahwa ilmu kalam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam  dapat bergerak ke arah yang lebih liberal[99].
Sebaliknya, ilmu kalam dapat berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Maksudnya, jika ada teori-teori dalam ilmu tasawuf yang tidak sesuai dengan kajian ilmu kalam tentang Tuhan yang didasarkan pada Al Qur’an dan as Sunnah, hal ini mesti dibetulkan[100]. Demikian terlihat hubungan timbal balik antara ilmu kalam dan ilmu tasawuf.

4.      Hubungan Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawuf
Sebenarnya ketiga ilmu tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu mencari sebuah kebenaran. Walaupun nantinya, sifat kebenaran antar tiga ilmu tersebut berbeda karena menurut sumber pengetahuannya, kebenaran filsafat bersifat empirisme (perlu pembuktian), kebenaran ilmu kalam bersifat rasionalisme sebab berasal dari akal manusia, sedangkan kebenaran tasawuf bersifat iluminasionisme (intuisi).
Dari penjelasan diatas maka kita perlu melihat konsep tasawuf falsafi wahdatul wujud yang diusung oleh Ibnu Arabi. Gabungan antara filsafat, teologi (ilmu kalam), dan tasawuf terdapat pada konsep ini. Karena wahdatul wujud merupakan salah satu contoh tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi yang didalamnya membahas tentang wujud Tuhan yang merupakan ruang lingkup sebagaimana yang telah dibahas dalam ilmu kalam.

H.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya dialektika pemikiran antara filsafat, teologi (ilmu kalam), dan tasawuf adalah sebuah pembahasan yang cukup luas untuk dijadikan diskusi bersama para intelektual. Mengingat bahwasannya filsafat, teologi (ilmu kalam), dan tasawuf sudah lahir sejak masa lampau.
Filsafat memilki karakteristik yang rasional, sistematik, universal dan radikal. Kebenaran yang dihasilkan dalam berfilsafat adalah kebenaran yang bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental).
Teologi dalam Islam disebut dengan ilmu kalam yaitu ilmu yang membicarakan tentang wujudNya Tuhan (Allah) , sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya. Ilmu kalam bersifat rasional dan logis.
Tasawuf dikatakan lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek karena para ahli tasawuf lebih mempercayai keutamaan spirit dibandingkan keutamaan jasad, yaitu lebih mempercayai dunia spiritual dibandingkan dunia material, dunia spiritual lebih hakiki dan lebih nyata dibandingkan dengan dunia jasmani, hingga segala yang menjadi tujuan akhir atau yang kita sebut Tuhan juga berdimensi spiritual.
Sifat kebenaran antar tiga ilmu tersebut berbeda karena menurut sumber pengetahuannya, kebenaran filsafat bersifat empirisme (perlu pembuktian), kebenaran ilmu kalam bersifat rasionalisme sebab berasal dari akal manusia, sedangkan kebenaran tasawuf bersifat iluminasionisme (intuisi). Konsep wahdatul wujud merupakan salah satu contoh tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi yang didalamnya membahas tentang wujud Tuhan yang merupakan ruang lingkup sebagaimana yang telah dibahas dalam ilmu kalam.


DAFTAR PUSTAKA


Abu Bakar, Istianah. 2008. Sejarah Peradaban Islam, Malang: UIN Malang Press
Nasution ,Harun. 2006. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Bachtiar, Amsal. 2012. Filsafat Agama. Jakarta: Rajawali Press
Poedjawijatna, 1980. Pembimbing ke Arah Filsafat, Jakarta: Pembangunan
Mustofa A. 1999. Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia
Zar, Sirajuddin .2007. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada
Madkour, Ibrahim. 2004. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Lasio dkk. 1985. Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta: Liber
Kusnidingrat. E. 1999. Teologi dan Pembebasan Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Jakarta: Logos
Hanafi, Ahmad, 1991. Theology Islam (ilmu kalam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991)
Nasir, Sahilun A. 2012. Pemikiran  (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Hanafi, A. 1995. Pengantar Theologi Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra
Ensiklopedi Islam, 2001. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve
Samsul Munir Amin. 2012. Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah
Sholihin dkk, 2008. Ilmu Tasawuf, Bandung: Penerbit Pustaka Setia
Alba, Cecep, 2012. Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Kartanegara, Mulyadi, 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Penerbit Erlangga
Permadi, 2004. Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.2
Anwar, Rosihon. 2003. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia
Rozak, Abdul, 2010. Filsafat Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
Mz.Labib . 2000.Memahami Ajaran Tasawuf.  Surabaya: CV Cahaya Agency
Hajjaj, Muhammad Fauqi, 2011. Tasawuf Islam dan Akhlak Jakarta: Amzah, Cet. I
Syukur, Amin. 1994. Rasionalisme dalam Tasawuf . Semarang : IAIN Walisongo
M. Amin Syukur dkk 2002. Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bizawie, Zainul Milal, 2002. Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Pemahaman Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, Yogyakarta: Yayasan KERiS Kajian Epistemologi dan Antropologi, Agama dan Budaya
Zehdi, Mehdi. 1994. Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin M. Bandung: Mizan
Murtadha Muthahhari. 2002. Mengenal Irfan terj. C. Ramli Bihar Anwar. Jakarta :Penerbit IIMAN dan Penerbit Hikmah
At-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rafi’i Utsmani. Bandung: Pustaka
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teologi
https://putianngraini.wordpress.com/tag/kebenaran-ilmu-maupun-kebenaran-filsafat-bersifat-nisbi-relatif
http://syafieh.blogspot.co.id/2013/02/hubungan-ilmu-kalam-dengan-ilmu-ilmu.html?m=1
http://zumardi.blogspot.co.id/2009/09./tasawuf-irfani.html?m=1
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/14jtptain-gdl-s1-2004-mastur3199-678-BAB2_319-9.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/8697/7/bab-04.pdf
https://matakedip1315.wordpress.com/2013/06/01/teologi-islam/#more-355
http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-studi.html
http://jefriirawansusianto.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-ruang-lingkup-dan-hubungan_24.html
https://awnurul.wordpress.com/2016/12/03/metode-filsafat-ilmu/
http://amvanalion.blogspot.co.id/p/pendekatan-teologiilmu-kalam.html 




[1] Dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al Farabi (870-950M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Biruni (973-1048), Ibnu Maskawaih (932-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan al Safa. Lihat Jurnal Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah VIII. hlm. 4
[2] Lihat Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN Malang Press), 2008. hlm.82. Semuanya itu juga tidak luput dari adanya gesekan dengan peradaban lainnya seperti Yunani, India, dan Mesir.
[3] Ia belajar di bawah asuhan Yahya ibn Khalid ibn Barmak yang pengajarannya berdasar pada ilmu pengetahuan dan falsafat. Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang), 2006, hlm 4
[4] Tokoh-tokoh penerjemahnya antara lain: Hunain ibn Ishaq, Sabit ibn Qurra, Qusta ibn Luqa, dll. Ibid.
[5] Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata: philo dan shopia. Philo berarti cinta dalam arti luas, yakni keinginan dan sophia berarti hikmat (kebijakan) atau kebenaran (love of wisdom). Lihat Prof. Dr. Amsal Bachtiar, M.A. Filsafat Agama. (Jakarta: Rajawali Press), 2012. hlm. 6
[6] Lihat Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Filsafat, (Jakarta: Pembangunan 1980), hlm 10.
[7] Lihat Drs. H.A Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 1999 hlm. 10
[8] Menurut Pythagoras bahwa manusia tidak akan mampu mencapai pengetahuan secara keseluruhan walaupun akan menghabiskan semua umurnya. Lihat Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007, hlm.3
[9] Menurut Plato (427 SM- 347 SM) yag merupakan seorang filosof Yunani yang termahsyur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli) Lihat Drs. H.A Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia), 1997, hlm 10
[10] Lihat Dr. Ilyas Supena, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Semarang: Walisongo Press, 2010) hlm 2-3
[11] Seperti yang telah disampaikan Al Farabi (w.950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan alam maujud dan bertujuan untuk menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Lihat Ibid.
[12] Lihat Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 2004, hlm. 247
[13] Lihat Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, opcit. (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007, hlm.4-5
[14] https://putianngraini.wordpress.com/tag/kebenaran-ilmu-maupun-kebenaran-filsafat-bersifat-nisbi-relatif Akses 2 April 2017 pkl: 09.00
[15] Lihat Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, opcit. (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007, hlm.14
[16] Lihat https://www.satujam.com/sumber-filsafat/ akses 27-05-2017 21:46
[17] Pengetahuan teoritis dibedakan menjadi 3 oleh Aristoteles yaitu pengetahuan matematika, pengetahuan fisika, dan filsafat pertama. Lihat Ibid.
[18] Lihat Susanto A. Filsafat Ilmu, (Bumi Aksara: Jakarta, 2011) hlm 186
[19] Secara etimologis, teologi berasal dari kata theos dan logos. Theos  berarti Tuhan, sedangkan logos berarti ilmu, wacana. Dengan kata lain, bahwa teologi merupakan ilmu yang membahas tentang Tuhan atau ilmu tentang ketuhanan atau ilmu yang membicarakan tentang zat Tuhan dari segala seginya dan hubungan-Nya dengan alam. Atau juga bisa diartikan sebagai doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Tuhan (atau para dewa) dari kelompok tertentu dari para pemikir perorangan. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat…, 1090.
[20] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teologi Akses 2 April 2017 09:15
[21] Lihat E. Kusnidingrat, Teologi dan Pembebasan Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta: Logos, 1999), hlm 21-23
[22] Ibnu Khaldun mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan aliran golongan Salaf dan Ahli Sunnah, Lihat Ibid.
[23] Lihat Risalah at-Tauhid, Lihat Ahmad Hanafi, M.A, Theology Islam (ilmu kalam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), hlm 3
[24] Lihat Prof. Dr. K.H Sahilun A. Nasir, Pemikiran  (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.3
[25] Ahli ilmu kalam
[26] Lihat Ahmad Hanafi, M.A, opcit, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), hlm 5
[27] Lihat A. Hanafi, M.A. Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995) hlm. 16
[28] Lihat Fadjar Nugraha Syumhoedim, Tasawuf Kehidupan Al-Ghazali, (Jakarta: CV. Putra Harapan, 1999), hlm. 81
[29] Lihat A. Hanafi, M.A. opcit , (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995) hlm. 18
[30] Aliran-aliran ilmu kalam terdiri dari aliran Mu’tazilah, alirah Asy’ariyah, Maturidiyah, dll termasuk juga Jabariyah, Qadariyah, dan Murji’ah. Lihat A. Hanafi, M.A. opcit . (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995) hlm. 63
[31] Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 346
[32] Lihat Prof. Dr. K.H Sahilun A. Nasir, Pemikiran  opcit. hlm.22
[33] Lihat Ibid. hlm 24-25
[34] Lihat Ibid .hlm 30-40
[35] Lihat Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 4
[36] Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008) hlm. 11
[37] Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shafa (صفاء) yaitu bersih, jernih, atau suci. Makna tersebut sebagaimana dari mereka yang memiliki hati yang bersih dan suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya di hadapan Allah SWT melalui latihan kerohanian yang amat dalam yaitu dengan melatih dirinya untuk menjauhi segala sifat dan sikap yang kotor sehingga mencapai pada kebersihan dan kesucian pada hatinya. Lihat Samsul Munir Amin, opcit  (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 3
[38] Ibid
[39] Lihat Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) hlm. 11
[40] Lihat Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006) hlm. 2
[41] Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagiaan yang optimum, manusia harus terlebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral dan berakhlak mulia dikenal dengan istilah takhalli (pengosongan diri dari sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur gaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan) Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, opcit , (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008) hlm. 64-68
[42] Tasawuf amali adalah suatu ajaran dalam tasawuf yang lebih menekankan amalan-amalan rohaniah dibandingkan teori. Yang mana dalam tasawuf amali tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menghapus segala sifat tercela serta menghadap sepenuhnya kepada Allah dengan berbagai amaliah yang dilakukan seperti memperbanyak wirid. Dalam tasawuf amali ini lebih identik dengan thariqah. Ibid. Thariqah muncul sebagai sebuah implikasi dari tasawuf yang merupakan sebuah jalan oleh para sufi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
[43] Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional sebagai penggagasnya. Tasawuf falsafi ini mulai muncul dengan jelas dalam Islam sejak abad keenam Hijriah, meskipun para tokohnya baru dikenal dan berkembang terutama di kalangan para sufi yang juga filosof akhir-akhir ini. Pemaduan antara tasawuf dan filsafat menyebabkan mereka mempunyai pemahaman di bidang ilmu-ilmu agama seperti fiqh, kalam, hadis, dan tafsir. Ibid
[44] Lihat Ust. Labib Mz. Memahami Ajaran Tasawuf, (Surabaya: Cv Cahaya Agency, 2000) hlm. 33
[45] Lihat Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011) Cet. I hal 27-53
[46] Lihat Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.1
[47] Lihat Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet.2, 2004), hlm.34
[48] Lihat Amin Syukur. Rasionalisme dalam Tasawuf . (Semarang : IAIN Walisongo, 1994) hlm 22
[49] Lihat http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/14jtptain-gdl-s1-2004-mastur3199-678-BAB2_319-9.pdf Akses tgl 29 Mei 2017 pkl 11:39
[50] Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm. 113
[51] Lihat M. Amin Syukur dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 45
[52] M. Amin Syukur dan Masyharuddin. opcit. hlm 156-161
[53] Maqam dalam bentuk jamaknya maqamat, berarti kedudukan atau tempat.
[54] Lihat Imam Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf. Terj. Luqman Hakim), (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) hlm 23
[55] Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm1115-119
[56] Lihat Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat : Pemikiran dan Pemahaman Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, (Yogyakarta: Kerjasama SAMHA (Institut Studi Agama dan Hak Asasi Manusia) dengan Yayasan KERiS (Kajian Epistemologi dan Antropologi, Agama dan Budaya), 2002), hlm.184-185.
[57] Bernama lengkap Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar. Beliau terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Menurut Hamka tasawuf Hasan al Bishri mengandunga ajaran: perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut, dunia adalah negeri tempat beramal (Barangsiapa bertemu dunia dengan perasann benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memeperoleh faidahnya), tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya, orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut (takut dosa dan takut memikirkan ajal), hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh. Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm 124
[58] Bernama lengkap Abu Abdillah al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Al Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Ajaran-ajaran tasawufnya terdiri dari makrifat (tahapan-tahapannya: taat, aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan, fana dan baqa) dan Khauf serta Raja’. Lihat Ibid, hlm 127-128
[59] Bernama lengkap Abdul Karim bin Hawazim. Merupakan seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Ajaran-ajaran tasawufnya adalah mengembalikan tasawuf ke landasan ahlussunnah, kesehatan batin, dan penyimpangan para sufi. Lihat Ibid, hlm. 131-133
[60] Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy Syafi’i Al-Ghazali. Menjadi tokoh termahsyur sejak zaman kerajaan Seljuk hingga kini. Ajaran-ajaran tasawufnya meliputi makrifat dan as-sa’adah.  Makrifat sufi dibangun atas dasar dzauq ruhani  dan kasyf ilahi yang dapat dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara langsung dari Allah.  Sementara as-Sa’adah yaitu suatu kebahagiaan atau kenikmatan ketika melihat Allah. Lihat Ibid. hlm 142-143
[62] Lihat Ibid
[63] Dalam pandangan Suhrawardi, pengetahuan ini melalui empat tahapan yakni persiapan, penerimaan, pembentukan konsep dalam pikiran dan penaungan dalam bentuk tuliasan. Lihat Parvis Morewedge, Islamic Philosophyand Mysticism, (New York:Caravan Books, 1981) hlm 177.
[64]Pengetahuan irfani terbagi atas dua tingkatan yaitu: 1) Pengetahuan tak terkatan 2) Pengetahuan yang terkatakan. Pengetahuan yang terkatakan terbagi kedalam 3 kelompok yaitu: pengetahuan irfan yang disampaikan oleh pelaku sendiri, pengetahuan irfan yang disampaikan oleh orang ketiga tetapi masih dalam satu tradisi dengan yang bersangkutan (orang Islam menjelaskan pengalaman dan pengetahuan irfan orang Islam yang lain, dan pengetahuan irfan yang disampaikan orang ketiga tapi dari tradisi yang berbeda (orang Islam menyampaikan pengelaman dan pengetahuan irfan tokoh non-muslim atau sebaliknya).  Lihat Mehdi Zehdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin M (Bandung: Mizan, 1994) hlm 245-268
[65] Lihat Murtadha Muthahhari, Mengenal Irfan terj. C. Ramli Bihar Anwar, Penerbit IIMAN dan Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002, hlm 3
[66] Bernama lengkap Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah. Setelah sempat dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup sebgai seorang zahidah dan sufiah. Ajaran-ajaran tasawufnya yaitu konsep mahabbah (cinta). Rabi’ah al adawiyah tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Rabi’ah menunjukkan kosep hubb yaitu hubb al hawa  dan hub anta ahl lahu. Hubb al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat yang diberikan Allah (hubb yang bersifat material tidak spiritual. Hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicinta (cinta yang tidak mengharapkan balasan apa-apa). Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm 148-149
[67] Bernama lengkap Abu al Faidh Tsauban bin Ibrahim. Merupakan seorang sufi yang dalam perjalan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat lain seperti Mesir, Baitul Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Ajaran-ajaran tasawufnya meliputi makrifat, maqamat dan ahwal. Salah satu pandangannya tentang hakikat makrifat adalah sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah, tetapi makrifatterhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hambaNya yang lain. Sedangkan pandangannya tentang maqamat dikemukakan beberapa hal saja, yaitu ­at-taubat, ash-shabr, at-tawakal, dan ar-ridha. Berkenaan dengan ahwal, Misri menjadikan mahabbah (cinta pada Tuhan) sebagai urutan pertama dalam ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Lihat Ibid, hlm 151-158
[68] Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan al Bustami. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi membutuhkan waktu puluhan tahun, ia belajar dahulu pada seorang fakih dari madzhab Hanafi yaitu abu Ali As Sindi. Ajaran-ajaran tasawufnya meliputi fana’, baqa’ dan ittihad. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah yang kemudian baqa’  juga telah ia jalani. Kedua paham ini (fana’ dan baqa’) tidak dapat dipisahkan. Tehapan selanjutnya yaitu ittihad, suatu tingkatan dimana seorang sufi bersatu dengan Tuhan antara yang mencintai dan dicintai menyatu baik substansi maupun perbuatannya. Lihat Ibid , hlm 159-162
[69] Bernama lengkap Abu Al-Mughist Al-Hussain bin Mansur bin Muhammad Al-Baidhowi. Al Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Ajaran tasawufnya yaitu Hulul dan Wahdat Asy Syuhud. Al Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan demikian juga tindakannya. Namun sebenarnya Al Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan seperti yang terlihat pada syairnya “Aku adalah rahasia yang Maha Benar dan bukanlah yang Maha Besar itu aku, aku hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami”. Lihat, Ibid, hlm 164-169
[70] Lihat Abu Al-Wafa Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman , terj. Ahmad Rafi’i Utsmani. (Bandung: Pustaka, 1985) hlm.187
[71] Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang diantaranya mempunya pula unsur-unsur atestik, politeistik, dan teistik. Lihat http://digilib.uinsby.ac.id/8697/7/bab-04.pdf Akses 30 Mei 2017 pkl 4:30
[72] Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. opcit. hlm 173
[73] Bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Ath Tha’I Al-Haitami. Setelah berusia 30 tahun, beliau berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Dikabarkan pernah berjumpa dengan Ibnu Rusyd yang merupakan seorang filosof muslim dan tabib istana. Ajaran-ajaran tasawufnya meliputi Wahdatul Wujud, Haqiqah Muhammadiyyah, dan Wahadtul Adyan. Wahdatul Wujud merupakan ajaran sentral Ibnu Arabi  yang mana wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khaliq pula. Adapun kalau ada yang mengira bahwa wujud Khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya. Selain itu, Ibnu Arabi menjelaskna bahwa terjadinya alam tidak bisa dipisahkan dari ajaran Nur Muhammadiyyah. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam : Pertama, Wujud Tuhan sebagai wujud mutlaq yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apapun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammdiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya. Sehingga konsekuensinya adalah Wahdatul Adyan (kesamaan agama) yang mana Ibnu Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu sehingga semua agama adalah tunggal dan kesemuannya itu milik Allah. Lihat, Ibid, hlm 174-183
[74] Bernama lengkap Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Merupakan seorang sufi yang terkenal di Baghdad dan pernah berguru pada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Ajaran-ajaran tasawufnya adalah Insan Kamil dan Maqamat (Al-Martabah). Menurutnya, Insan Kamil adalah nuskhah  atau copy Tuhan. Al Jili berkata bahwa duplikasi Al-Kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang berhadapan. Yang kemudian untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang pada maqamat. Maqamat itu terdiri dari Islam, Iman, Shalah, Ihsan, Syahadah, Shiddiqiyah, dan Qurbah. Lihat Ibid, hlm 184-189
[75] Nama lengkapnya adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr seotrang sufi sekaligus filosof dari Andalusia. Ibn Sabiin dibesarkan dalam keluarga bangsawan. Ia mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan Tarekat As-Sab’iniyyah. Ajaran-ajaran tasawufnya terdiri dari kesatuan mutlak dan penolakan terhadap logika Aristotelian. Gagasan esensial pahamnya adalah wujud adalah satu alias Wujud Allah semata. Karena paham kesatuan mutlaknya, ia menolak gagasan Aristotelian, ia menyususn suatu logika baru yang bercorak iluminatif, sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsepsi jamak.Logika yang dimaksudnya bukanlah kategori yang bisa dicapai dengan penalaran, tetapi termasuk embusan Ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah ia melihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengarnya. Dengan demikian, logika tersebut bercorak intuitif. Lihat Ibid, hlm 192-199
[76] Lihat https://syafrudinmtop.blogspot.co.id/2015/03/makalah-filsafat-ilmu-sumber-sumber-ilmu.html akses 27-05-2017 pkl 12:24
[77] Lihat Prof. Dr. Amsal Bachtiar, M.A. opcit. hlm. 41
[78] Menurut Empirisisme, sumber pengetahuan diperoleh dengan perantara panca indera. Menurut Rasionalisme, sumber pengetahuan terletak pada akal. Iluminasionisme memandang bahwa sumber pengetahuan berasal dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran, Ibid. hlm 41-50
[79] Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah  objek material ilmu kedokteran. Lihat Prof. Dr. Amsal Bachtiar, M.A. opcit, 2012. hlm. 1
[80] Objek formal adalah cara pandang tertentu tentang objek material, seperti pendekatan empiris dan induktif dalam kedokteran. Ibid.
[81] Lihat Lasio dan Yuwono, Pengantar Ilmu Filsafat. (Yogyakarta: Liber, 1985), hlm 6
[82] Lihat https://matakedip1315.wordpress.com/2013/06/01/teologi-islam/#more-355 Akses 30 Mei 2017 pkl 8:38
[83] Lihat http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-studi.html Akses 30 Mei 2017 pkl 11:44
[84] Lihat http://jefriirawansusianto.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-ruang-lingkup-dan-hubungan_24.html Akses 30-5-2017 pkl 12:05
[85] Lihat https://awnurul.wordpress.com/2016/12/03/metode-filsafat-ilmu/ Akses 30 Mei 2017 pkl 12:31
[86] Lihat http://amvanalion.blogspot.co.id/p/pendekatan-teologiilmu-kalam.html  Akses 30 Mei 2017 pkl 12:43
[87] Lihat http://mynewkuliah.blogspot.co.id/2015/08/metodologi-studi-tasawuf.html Akses 30 Mei 2017 pkl 12:4
[88] Lihat Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hlm. 39
[89] Lihat Prof. Dr. Amsal Bachtiar, M.A. opcit.. hlm. 19
[90] http://zumardi.blogspot.co.id/2009/09./tasawuf-irfani.html?m=1 Akses tgl 3 April 2017 16:23
[91] http://syafieh.blogspot.co.id/2013/02/hubungan-ilmu-kalam-dengan-ilmu-ilmu.html?m=1 Akses tgl 3 April 2017 16:45
[92] Lihat Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, opcit . (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007, hlm 24
[93] Ibnu Khaldun mengatakan bahwa persoalan-persoalan teologi Islam sudah bercampur dengan persoalan-persoalan filsafat, sehingga sukar dibedakan satu dari yang lain. Lihat A. Hanafi, M.A. opcit. hlm. 29
[94] Lihat Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, opcit .hlm 25
[95] Lihat Prof. Dr. K.H Sahilun A. Nasir, opcit., hlm.44
[96] Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, opcit. hlm. 104
[97] Lihat Abdul Rozak, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 57
[98] Lihat Prof Dr. M. Sholihin, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, opcit. hlm. 96-97
[99] Ibid, hlm 99-100
[100] Lihat Abdul Rozak, opcit.  (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar