Minggu, 05 November 2017

MAKALAH PERAN KEPALA SEKOLAH DAN GURU PAI DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

PERAN KEPALA SEKOLAH DAN GURU PAI DALAM
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI



Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Pengembangan Kurikulum PAI”




Dosen Pengampu :

Dr. Marno Nurullah, M.Pd





Pemakalah :

MUHAMMAD FURQAN

(16771006)




PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017


A.       Dasar Pemikiran

Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan adalah kurikulum.[1] Kurikulum[2] merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah dan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa. Tujuan dan pola kehidupan suatu negara banyak ditentukan oleh sistem kurikulum yang digunakannya, mulai dari kurikulum taman kanak-kanak sampai dengan kurikulum perguruan tinggi. Jika terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, maka dapat berakibat pada perubahan sistem pemerintahan dan sistem pendidikan, bahkan terhadap sistem kurikulum yang berlaku.[3]
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam[4] di era globalisasi    ini dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, memperhatikan aspek pembinaan keagamaan (aqidah, ibadah, dan akhlak), penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, wawasan kebangsaan, kemanusiaan dan globalisasi yang disesuaikan dengan tingkat kejiwaan dan kecerdasan anak. Kedua, memperhatikan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, serta faktor-faktor lainnya yang memengaruhi paradigma baru seluruh komponen pendidikan, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, sarana prasarana, pengelolaan dan sebagainya.[5]
Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedangkan sifat unik, menunjukkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain. Ciri-ciri yang menempatkan sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan umat manusia.
Karena sifatnya yang kompleks dan unik, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah. Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
Pengembangan kurikulum melibatkan banyak pihak, terutama guru yang bertugas di kelas.[6] Dengan demikian, guru selalu dituntut untuk meningkatkan kemampuannya sesuai dengan perkembangan kurikulum, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, penguasaan guru terhadap kurikulum merupakan suatu hal yang mutlak dan menjadi kewajibannya.[7]
Guru merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kurikulum. Bagaimana idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan; dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru dalam mengimplementasikan kurikulum memegang posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak dalam tatanan kelas.[8] Kelas konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup.[9]
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dinilai sangat perlu dalam makalah ini untuk membahas lebih lanjut mengenai peran kepala sekolah dan guru pendidikan agama Islam dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI).

B.        Pengertian Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)

Pada dasarnya pengembangan kurikulum adalah mengarahkan kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri (internal), dengan harapan agar peserta didik dapat menghadapi dan memahami masa depannya dengan baik sebagai anak dan generasi penerus bangsa.
Definisi lain menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen situasi belajar mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber, dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum lainnya untuk memudahkan proses belajar mengajar.[10]
Pengembangan kurikulum harus mengacu pada sebuah kerangka umum, yang berisikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan keputusan, di antaranya asumsi, tujuan pengembangan kurikulum,[11] penilaian kebutuhan, konten kurikulum,[12] sumber materi kurikulum, implementasi kurikulum dan Evaluasi kurikulum.
Dalam tataran praktis, diperlukan adanya pelaksana atau Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber Daya Manusia (SDM) pengembangan kurikulum adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki oleh setiap pengembang kurikulum dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Sumber daya manusia tersebut terdiri atas berbagai pakar ilmu pendidikan, administrator pendidikan, guru, ilmuwan, orang tua, siswa, dan tokoh masyarakat.[13]
Unsur ketenagaan tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu tenaga professional dan tenaga dari masyarakat. Tenaga professional meliputi tenaga kependidikan guru, tenaga kependidikan non-guru dan organisasi professional. Adapun tenaga dari masyarakat meliputi tokoh masyarakat, orang tua, komite sekolah atau dewan sekolah, pihak industri dan bisnis, lembaga sosial masyarakat, instansi pemerintah atau departemen dan non-departemen, serta unsur-unsur masyarakat yang berkepentingan terhadap pendidikan.
Pendidikan Agama Islam adalah bagian integral daripada pendidikan Nasional sebagai suatu keseluruhan. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat 1 menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat antara lain pendidikan agama. Dalam penjelasaannya dinyatakan bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.[14]
Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat diartikan sebagai:
a.      Kegiatan menghasilkan kurikulum PAI, atau
b.     Proses yang mengkaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik; dan/ atau
c.      Kegiatan penyusunan/desain, pelaksanaaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI.[15]
Dapat dikemukakan disini bahwa pengembangan kurikulum PAI harus dan perlu diupayakan secara terus menerus guna merespon dan mengantisipasi pengembangan dan tuntutan yang ada tanpa harus menunggu pergantian Menteri Pendidikan Nasional atau Menteri Agama. Apabila saat ini masyarakat sudah memasuki era globalisasi (informasi teknologi), baik di bidang ilmu pengetahuan maupun sosial, politik, budaya dan etika. Hal ini akan berimplikasi pada banyaknya masalah pendidikan yang harus segera diatasi, tanpa harus menunggu- nunggu keputusan dari atas.
Di sinilah, Kepala Sekolah dan Guru PAI merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh kemampuan Kepala Sekolah dan Guru PAI untuk mengembangkannya, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan, dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif.
Dengan demikian peran Kepala Sekolah dan Guru PAI dalam hal ini adalah sebagai posisi kunci. Oleh karena itu, proses mendesain dan merancang suatu kurikulum mesti memerhatikan sistem nilai (value system) yang berlaku beserta perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat itu. Kurikulum berfungsi mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya yang sejalan dengan nilai-nilai relegiusitas Islam.

C.       Peran Kepala Sekolah dalam Pengembangan Kurikulum PAI

Kepala sekolah/madrasah dalam satuan pendidikan merupakan pemimpin. Ia mempunyai dua jabatan dan peran penting dalam melaksanakan proses pendidikan. Pertama, kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah, dan kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya.[16]
Selanjutnya, Soewadji Lazaruth menjelaskan kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan yang mempunyai peranan sangat besar dalam mengembangkan mutu pendidikan di sekolah. Berkembangnya semangat kerja, kerja sama yang harmonis, minat terhadap perkembangan pendidikan, suasana kerja yang menyenangkan dan perkembangan mutu profesional di antara para guru banyak ditentukan oleh kualitas kepemimpinan kepala sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan kepala sekolah harus mampu menolong stafnya untuk memahami tujuan bersama yang akan dicapai. Kepala sekolah harus memberi kesempatan kepada staf untuk saling bertukar pendapat dan gagasan sebelum menentukan tujuan.[17]
Dengan demikian, kesimpulannya bahwa kepala sekolah adalah seorang guru yang mendapat tugas tambahan di mana kepala sekolah merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap aplikasi prinsip-prinsip administrasi pendidikan yang inovatif di sekolah. Sebagai orang yang mendapat tugas tambahan berarti tugas pokok kepala sekolah tersebut adalah guru yaitu sebagai tenaga pengajar dan pendidik. Sehingga dapat dipahami bahwa kepala sekolah menduduki dua fungsi yaitu sebagai tenaga kependidikan dan sebagai pendidik.
Sejumlah pakar sepakat bahwa kepala sekolah harus mampu melaksanakan pekerjaannya sebagai edukator, manajer, administrator dan supervisor, yang disingkat EMAS. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman, kepala sekolah juga harus mampu berperan sebagai leader, inovator dan motivator di sekolahnya. Dengan demikian, dalam paradigma baru manajemen pendidikan, kepala sekolah minimal harus mampu berfungsi sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator, disingkat EMASLIM.
Perspektif ke depan mengisyaratkan bahwa kepala sekolah juga harus mampu berperan sebagai figur dan mediator bagi perkembangan masyarakat dan lingkungan. Jika mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, maka kepala sekolah juga harus berjiwa wirausaha. Dengan demikian, pekerjaan kepala sekolah semakin hari semakin meningkat dan akan selalu meningkat sesuai dengan perkembangan pendidikan yang diharapkan. Dalam hal ini pekerjaan kepala sekolah tidak hanya dalam kerangka EMASLIM, tetapi akan berkembang menjadi EMASLIM-F karena kepala sekolah juga sebagai pejabat formal. Semua itu harus dipahami oleh kepala sekolah dan yang lebih penting adalah bagaimana kepala sekolah mampu mengamalkan dan menjadikan fungsi-fungsi tersebut dalam bentuk aksi nyata di sekolah.
Pelaksanaan tugas dan fungsi kepala sekolah tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena saling terkait dan saling mempengaruhi serta menyatu dalam pribadi seorang kepala sekolah profesional. Kepala sekolah yang demikian akan mampu mendorong visi dan misi menjadi aksi dalam paradigma baru manajemen pendidikan.[18] Kepala sekolah merupakan tokoh kunci dalam manajemen sekolah. Padanyalah kebijakan dan keputusan mengenai berbagai hal.
Secara umum, peran dan fungsi kepala sekolah adalah sebagai berikut. Pertama, peran sebagai sebagai manajer. Sebagai manajer, kepala sekolah bertanggung jawab atas manajemen sekolah. Kepala sekolah harus dapat mengkoordinasikan kegiatan, merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, memimpin, dan mengendalikan segenap usaha pencapaian tujuan pendidikan. Lalu, bagaimana implementasinya dalam pengembangan kurikulum sekolah?
Dalam aspek perencanaan, kepala sekolah merupakan pelaku yang selalu terlibat dan bahkan sering menjadi tumpuan dalam kegiatan perencanaan dan pengembangan kurikulum, mulai dari konsep hingga hal-hal yang lebih teknis. Bisa jadi ia tidak terlibat secara fisik pada keseluruhan kegiatan perencanaan, namun kepala sekolah terus melakukan pemantauan dari waktu ke waktu.
Dalam aspek pengorganisasian, kepala sekolah mengorganisasikan unsur-unsur, baik unsur manusia maupun unsur nonmanusia. Unsur-unsur itu diorganisasikan untuk membangun sinergi antar unsur. Dari sinergi tersebut tercipta daya baru dengan kualitas yang lebih bernilai bagi pengembangan kurikulum sekolah.
Dalam aspek pelaksanaan, kepala sekolah juga sebagai pelaksana lapangan. Ia adalah orang yang mengkoordinasikan pengembangan kurikulum, dan sekaligus menerjadikan atau menerapkan kuirikulum. Kepala sekolah mengemban tugas memimpin. Dalam hal ini kepala sekolah mengarahkan dan memberi komando. Hal yang mendasar di sini adalah kepala sekolah harus berperan sebagai penanggung jawab atas pengembangan kurikulum sekolah.
Kedua, peran sebagai inovator. Sebagai tokoh penting di sekolah, kepala sekolah harus mampu melahirkan ide-ide baru yang kreatif. Pengembangan kurikulum sering kali bermula dari gagasan kepala sekolah. Mengingat kedudukannya sebagai pihak yang mengemban tanggung jawab atas sekolah yang dipimpinnya, maka pada diri kepala sekolah cenderung muncul dorongan-dorongan untuk terus memajukan sekolah. Karena kewenangan yang dimilikinya, ide-ide barunya menjadi lebih terbuka untuk diimplementasikan di sekolah. Begitu pula dalam konteks pengembangan kurikulum sekolah ini. Kepala sekolah harus mampu manghadirkan inspirasi dan ide pembaharuan, sehingga program sekolah (kurikulum) yang dijalankan senantiasa aktual/mutakhir.
Ketiga, peran sebagai fasilitator. Dalam pengembangan kurikulum, pelaksana teknis pengembangan biasanya tidak langsung oleh kepala sekolah, melainkan oleh tim khusus yang ditunjuk. Namun demikian, kepala sekolah terus melakukan komunikasi dengan tim itu dan memfasilitasinya untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul. Kepala sekolah harus membantu mengatasi persoalan, melayani konsultasi tim, dan sebagainya.
Kepala sekolah mempunyai kedudukan strategis dalam pengembangan kurikulum. Sebagai pemimpin professional, ia menerjemahkan perubahan masyarakat dan kebudayaan, termasuk generasi muda, ke dalam kurikulum. Dialah tokoh utama yang mendorong guru agar senantiasa melakukan upaya-upaya pengembangan, baik bagi diri guru maupun tugas keguruannya. Karena itu, kepala sekolah perlu mempunyai latar belakang yang mendalam tentang teori dan praktik kurikulum. Perubahan kurikulum hanya akan berjalan dengan dukungan dan dorongan kepala sekolah. Ia dapat membangkitkan atau mematikan perubahan kurikulum di sekolahnya.
Masih banyak pihak lain, selain kepala sekolah, yang dapat membantu pengembangan kurikulum. Namun demikian, kepala sekolah dan guru merupakan pemeran utama, yang perlu menerima, mempertimbangkan, dan memutuskan apa yang akan dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Kepala sekolah dan stafnya mesti bekerja dalam kerangka patokan yang ditetapkan oleh Depdiknas.[19]
Dalam hal ini jika dikaitkan dengan pengembangan kurikulum, maka dapat diartikan bahwa pengembangan kurikulum, terutama pengembangan kurikulum PAI yang dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan, maka dengan kekuatan yang terpusat, Kepala Sekolah memiliki wewenang untuk ikut memberikan suatu kontribusi baik berupa pemikiran, kebijakan, dan lainnya terkait dengan upaya pengembangan kurikulum PAI tersebut. Setiap dewan pelaksana dan pengembang kurikulum dalam sekolah tersebut perlu menyelaraskan segenap rancangan kurikulum tersebut dengan kebijakan yang terpusat kepada Kepala Sekolah. Sehingga di sini, terdapat adanya saling kerjasama antara dewan pengembang kurikulum dengan Kepala Sekolah yang sama-sama memiliki peranan besar atas adanya pengembangan kurikulum yang terdapat dalam sekolah tersebut.
Di samping itu, Kepala Sekolah dan Dewan pengembang kurikulum PAI harus memperhatikan segala aspek kurikulum tersebut terutama dalam hal-hal yang berdampak langsung terhadap para siswa dan juga pendidik yang nantinya secara praktis akan menerapkan kurikulum tersebut. Satu hal lagi yang menjadi peranan penting Kepala Sekolah dalam lembaga pendidikan yakni mengadakan pembinaan kurikulum di Sekolah yang bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan sekolah agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan Negara.[20]

D.       Peran Guru PAI dalam Pengembangan Kurikulum PAI

Istilah guru berbeda-beda dalam bahasa asing, antara lain: sensei (Jepang), teacher (Inggris), der Lehrer (Jerman), ustadz, mudarris,  mu’allim, dan mu-  addib (Arab). Istilah-istilah tersebut secara umum dialamatkan pada orang yang mengajar dan mendidik.[21] Dengan demikian, orang-orang yang profesinya mengajar  disebut  guru,  baik  guru  di  sekolah  maupun  di  luar  sekolah. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah.[22]
Kurikulum sebagai alat pedoman bagi guru dalam melaksanakan program pembelajaran dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan di mana guru itu mengajar. Guru sebagai pekerja profesional dituntut untuk mampu merancang, melaksanakan dan mengevaluasi hasil usahanya sendiri dengan sebaik-baiknya.[23] Guru adalah orang yang tahu persis situasi dan kondisi diterapkannya kurikulum yang berlaku. Selain itu, guru bertanggung jawab atas terciptanya hasil belajar yang diinginkan.[24] Dengan demikian, guru selalu dituntut untuk meningkatkan kemampuannya  sesuai  dengan  perkembangan  kurikulum,  perkembangan   ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, penguasaan kurikulum bagi guru merupakan suatu hal yang mutlak dan menjadi kewajibannya.[25]
Pada pembahasan ini, penulis mengacu kepada uraian Murray Print  (1993), sebagai mana dikutip oleh Wina Sanjaya, dalam konteks hubungan guru dan kurikulum, pengembangan kurikulum menjadi tugas penting yang harus dilaksanakan oleh semua pengembang kurikulum, termasuk guru, di setiap tingkat pendidikan. Setidaknya ada empat peran  yang harus dijalankan oleh guru    dalam mengembangkan kurikulum, yaitu: (1) sebagai implementer (pelaksana) kurikulum; (2) sebagai developer (pengembang) kurikulum; (3) sebagai adapter (penyelaras) kurikulum; dan (4) sebagai researcher (peneliti) kurikulum.
Tidak hanya itu, dalam tulisan ini juga dijelaskan peranan guru dalam pengembangan kurikulum ditilik dari segi pengelolaannya, sebagaimana dipaparkan oleh Nana Syaodih Sukmadinata. Dilihat dari segi pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi dan desentralisasi. Dan pada pembahasan ini, penulis paparkan pula peranan peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentral-desentral sebagai upaya pengkompromian atas keduanya.

1.                   Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum PAI Menurut Murray Printr

a.          Peran guru sebagai implementer atau pelaksana kurikulum
Sebagai implementer atau pelaksana kurikulum, guru berperan untuk menjalankan kurikulum yang sudah ada. Dalam melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum yang dirancang secara terpusat dalam bentuk Garis-garis Besar Program Pengajaran. Dalam GBPP yang berbentuk matriks telah ditentukan mulai dari tujuan yang harus dicapai, materi yang harus disampaikan, metode dan media yang harus digunakan, dan sumber belajar serta bentuk evaluasi sampai kepada penentuan waktu kapan materi pelajaran harus disampaikan semuanya telah ditentukan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan.
Kurikulum ini harus diaplikasikan oleh guru dalam setiap proses pembelajaran di sekolah, khususnya di kelas. Dengan demikian, ruang peran guru sebagai implementer kurikulum tidak sampai kepada penentuan isi dan target kurikulum, tetapi hanya terbatas pada penentuan kegiatankegiatan pembelajaran, mulai dari perencanaannya sampai kepada pelaksanaannya. Dalam peran ini, kedudukan  guru  adalah  sebagai  tenaga  teknis  yang hanya  bertanggung  jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada.[26]

Adapun peran dan tanggung jawab guru dalam pelaksanaan kurikulum PAI adalah seperti berikut:
1)     Melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran.
2)     Menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan lingkungan sekolah.
3)     Memanfaatkan media pembelajaran yang sesuai dengan materi dan kondisi sekolah.
4)     Menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
5)     Mengembangkan interaksi pembelajaran (strategi, metode dan teknik yang tepat).
6)     Mengelola kelas dengan baik dan sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.
7)     Merefleksikan pelaksanaan proses pembelajaran yang dilakukan.
8)     Berkonsultasi dengan kepala Madrasah/Pengawas untuk mengatasi kendala.
9)     Membantu kesulitan siswa dalam proses belajar.
Proses implementasi kurikulum untuk semua bidang studi atau mata pelajaran, khususnya PAI selalu menggambarkan keterkaiatan proses dengan tujuan dan konten, kejelasan teori belajar, keterkaitan dengan sosial, budaya, teknologi, ketersediaan fasilitas alat, alokasi waktu, fleksibilitas, peran guru dan peserta didik, peran evalusi dan perlunya feedback.[27]

b.         Peran guru sebagai developer atau pengembang kurikulum

Sebagai developer, guru sebagai pengembang kurikulum mempunyai kewenangan dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa, tetapi juga dapat menentukan metode dan strategi apa yang akan dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah.
Dalam kaitannya posisi guru sebagai developer atau pengembang kurikulum. Guru dituntut aktif, kreatif, dan komitmen tinggi dalam penyusunan dokumen kurikulum PAI, seperti:
1)     Mengikuti in house training tentang konsep dasar dan pengembangan kurikulum.
2)     Berperan aktif dalam tim perekayasa dan pengembang kurikulum sesuai dengan kelompok bidang studi.
3)     Berperan aktif dalam penyusunan standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
4)     Berperan aktif dalam menyusun Standar Kompetensi (SK) dan Kopetensi Dasar (KD) serta pemetaannya.
5)     Mengembangkan silabus pembelajaran.
6)     Menyusun RPP dan perangkat operasional yang mendukung RPP, seperti Lembar Kerja Siswa dan bahan ajar (seperti modul pembelajaran).

c.           Peran guru sebagai adapter atau penyelaras kurikulum

Sebagai adapter, guru memiliki kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal (kebutuhan siswa  dan daerah). Dalam fase ini, tugas pertama seorang guru adalah memahami dengan baik karakteristik sekolahnya, tugas kedua adalah mengakomodir kebutuhankebutuhan masyarakat dan daerahnya, dan tugas ketiga adalah membuat desain kurikulum sekolah sesuai kebutuhan madrasah dan masyarakat lokal.
Berikut ini adalah langkah-langkah memahami karakteristik dan kebutuhan masyarakat di sekitar madrasah atau sekolah, yaitu:
1)     Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap madrasah atau sekolah. Kegiatan ini dilakukan untuk menelaah dan mendata berbagai keadaan dan kebutuhan sekitar madrasah yang bersangkutan. Data tersebut dapat diperoleh dari berbagai pihak yang terkait di daerah sekitar madrasah yang bersangkutan seperti masyarakat sekitar madrasah, Pemda/Bappeda, Instansi vertikal terkait, Perguruan Tinggi, dunia usaha/industri, dan potensi daerah yang bersangkutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kekayaan alam.
2)     Menentukan fungsi dan susunan atau komponen muatan yang sesuai dengan kebutuhan madrasah dan masyarakat sekitar.
3)     Berdasarkan fungsi muatan dan kebutuhan lembaga tersebut dapat ditentukan kajian kebutuhan lokal. Kegiatan ini pada dasarnya untuk mendata dan mengkaji berbagai kemungkinan muatan lokal yang dapat diangkat sebagai bahan kajian sesuai dengan dengan keadaan dan kebutuhan madrasah.
4)     Menentukan Mata Pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan madrasah dan masyarakat. Berdasarkan bahan kajian kebutuhan lembaga tersebut dapat ditentukan mata pelajaran dan kegiatan pembelajarannya. Kegiatan pembelajaran ini pada dasarnya dirancang agar bahan kajian kebutuhan  lokal dapat memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap perilaku yang sesuai dengan harapan lembaga dan masyarakat sekitar sesuai dengan nilai-nilai atauaturan yang berlaku di lingkungan madrasah danmendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
5)     Mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta  silabus.[28]
Korelasinya dengan pendidik atau guru sebagai adapter atau penyelaras kurikulum PAI, seorang guru dituntut untuk memahami situasi, kondisi dan momentum karakteristik yang ada di sekolahnya, sehingga dapat melaksanakan tugas guru sebagai adapter dalam penerapan kurikulum PAI di institusinya sendiri.
d.         Peran guru sebagai researcher atau peneliti kurikulum
Sebagai researcher, sebagai fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum. Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam peran sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji  efektivitas  program,  menguji  strategi  dan  model  pembelajaran, dan termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang disarankan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yaitu metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Dengan penelitian ini, guru dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan keilmuwan guru, tetapi guru juga dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.[29]
Pada era globalisasi seperti ini, madrasah dengan melibatkan guru, harus melakukan reformasi dan inovasi dalam proses belajar mengajar dan kurikulum secara terus menerus. Untuk dapat melakukan reformasi dan inovasi pendidikan, diperlukan dukungan empirik yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian. Jika tidak, guru akan terisolasi dari pengetahuan dan informasi mutakhir. Tanpa ada dukungan penelitian, proses pendidikan akan mandek dan reformasi serta inovasi mustahil dapat dilakukan. Hasil penelitian dapat membantu guru untuk mengambil keputusan yang tepat dan akurat untuk kepentingan proses belajar mengajar dan pembenahan kurikulum. Jika keputusan tersebut dibantu dengan hasil penelitian, proses belajar mengajar dan kurikulum dapat dicapai dengan optimal dan efektif. Pembelajaran yang efektif merupakan hal yang kompleks dan rumit untuk dapat dikonsepsikan dan dibentuk paradigmanya secara tunggal dan universal.[30]
Peserta didik adalah insan manusia yang unik. Mereka tidak dapat diperlakukan seperti  benda  mati  yang  dapat  dikendalikan  semaunya  oleh semua pihak. Mereka memiliki minat, bakat, keinginan, motivasi, dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda. Perbedaan ini membuat sulitnya merumuskan proses belajar dan mengajar serta penyusunan kurikulum yang ideal. Tanpa dukungan hasil penelitian, guru dapat terjebak pada praktik pembelajaran dan perumusan kurikulum yang menyesatkan dan menjerumuskan peserta didik dan mematikan kreativitas mereka. Tanpa dukungan penelitian, guru bisa jadi menggunakan cara pembelajaran dan mengajarkan hal yang sama dari tahun ke tahun.  Sementara itu, zaman di mana peserta didik dibesarkan telah berubah amat cepat sehingga pada gilirannya akan berpengaruh pada sikap dan reaksi terhadap berbagaituntutan zaman. Di sinilah peran vital guru PAI untuk selalu terus haus sebagai peneliti kurikulum (PAI) yang mampu memahami kondisi zaman.

2.                   Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum PAI Dilihat dari Segi Pengelolaan Kurikulum

Di lihat dari segi pengelolaannya, menurut Nana Syaodih Sukmadinata, pengembangan kurikulum dapat dibedakan, yaitu yang besifat sentralisasi dan desentralisasi. Untuk mengkompromikan antara keduanya di sini penulis paparkan pula peranan peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentral- desentral.

a.          Peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi

Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi merupakan kurikulum yang disusun oleh tim khusus di tingkat pusat yang terdiri atas para ahli. Dalam kurikulum ini, guru tidak mempunyai peranan dalam perancangan, dan evaluasi kurikulum yang bersifat makro, mereka lebih berperan dalam kurikulum   mikro.   Penyusunan   kurikulum   mikro   dijabarkan   dari kurikulum makro.[31]
Dengan demikian jelaslah bahwa yang menjadi tugas guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi adalah untuk menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, dan tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media pembelajaran yang bervariasi, serta menyusun program dan  alat evaluasi yang tepat. Suatu kurikulum yang tersusun secara sistematis dan rinci akan memudahkan guru dalam mengimplementasikannya. Walaupun    kurikulum sudah tersusun rapi, tetapi guru masih mempunyai tugas untuk mengadakan penyempurnaan dan penyesuaian-penyesuaian.[32]
Pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan-kelebihannya, yaitu mendukung terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, tercapainya standar minimal penguasaan atau perkembangan anak, dan model pengembangan kurikulum seperti ini mudah untuk dikelola, dimonitor dan dievaluasi, serta lebih hemat biaya, waktu, dan fasilitas. Sedangkan kelemahannya, pertama, menyeragamkan kondisi yang berbeda-beda keadaan dan tahap perkembangan intelek, alam dan sosial budayanya sangat sulit sekali. Penyeragaman bisa menghambat kreatifitas, dapat memperlambat kemajuan sekolah yang sudah mapan dan menyeret sekolah yang masih terbelakang. Kedua, dalam penilaian hasil kurang objektif. Dalam kurikulum yang seragam, penilaian sering dilakukan secara seragam pula. Yang dimaksud dengan seragam dalam penilaian yaitu kesamaan di dalam segi yang dinilai, prosedur, dan alat penilaian serta standar penilaian. Ketiga, memberikan gambaran hasil yang beragam dan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrim. Bagi sekolah-sekolah yang kebetulan baik dapat menimbulkan sikap sombong, sedangkan bagi sekolah yang hasilnya jelek akan mengakibatkan rasa rendah diri serta adanya cemohan dari berbagai  pihak,  dalam  situasi  seperti  ini  bukan  tidak  mungkin  akan     terjadi
pembocoran soal, ketidakjujuran dalam penilaian, dan sebagainya.[33]

b.         Peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi

Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah atau kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam  ini didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah atau sekolah-sekolah tersebut.[34] Bentuk pengembangan kurikulum seperti ini juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan-kelebihannya meliputi:
1)     Kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
2)     Kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah baik kemampuan profesional, finansial maupun manajerial.
3)     Disusun oleh guru-guru sendiri yang memang mengerti kondisi dan perkembangan anak didik sehingga mudah dalam implementasinya
4)     Memotivasi guru untuk mengembangkan diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam pengembangan kurikulum.
Kelemahan-kelemahannya meliputi:
1)     Tidak adanya keseragaman, untuk situasi yang membutuhkan keseragaman demi persatuan dan kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat.
2)     Tidak adanya standar penilaian yang sama, jadi sulit untuk dibandingkan dengan sekolah atau wilayah lain.
3)     Adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa ke sekolah atau ke wilayah lain.
4)     Sulit untuk mengadakan pengelolaan dan penilaian secara nasional.
5)     Tidak semua sekolah atau daerah memiliki kesiapan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri.[35]

c.           Peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentral- desentral

Pengembangan kurikulum ini bertujuan untuk mengatasi kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk campuran antara keduanya bisa digunakan, yaitu bentuk sentral-desentral. Beberapa waktu yang lampau di perguruan tinggi di Indonesia memakai model pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi. Tiap universitas, institut, atau akademi memiliki otonomi untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri, satu berbeda dengan yang lainnya. Dewasa  ini kadar desentralisasinya mulai berkurang, dengan adanya usaha-usaha ke arah penyeragaman. Untuk beberapa perguruan tinggi sejenis dikembangkan kerangka kurikulum dan kelompok-kelompok mata kuliah program inti yang seragam.
Dalam kurikulum yang dikelola secara desentralisasi dan juga yang sentral-desentral, peranan guru dalam pengembangan kurikulum ini jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara sentralisasi. Guru-guru juga turut berpartisipasi, bukan hanya menjabarkan kurikulum induk ke dalam program tahunan, program semester, catur wulan maupun ke dalam satuan pelajaran, tetapi juga di dalam menyusun kurikulum secara keseluruhan untuk sekolahnya. Guru- guru juga ikut andil dalam merumuskan setiap komponen dan unsur dari kurikulum itu sendiri sehingga mereka mempunyai perasaan turut memiliki kurikulun dan terdorong untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya dalam pengembangan kurikulum.[36]
Karena itulah guru-guru sejak awal penyusunan kurikulum telah diikutsertakan, mereka akan memahami dan betul-betul menguasai kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kelas akan lebih tepat dan lancar. Guru bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi sebagai perencana, pemikir, penyusun, pengembang, pelaksana, dan evaluator kurikulum.[37]
Dari dua pendapat di atas, menurut penulis, secara substansi tidak ada perbedaan, seperti halnya peran guru sebagai pelaksana kurikulum (implementer) seperti yang dikemukakan oleh Murray Printr itu sama dengan peran guru dalam Syaodih Sukmadinata, di mana peran guru dalam pengembangan kurikulum hanya sebagai pelakasana dari kurikulum yang telah disusun oleh tim khusus di tingkat pusat. Guru tidak mempunyai ruang untuk menentukan isi kurikulum maupun target dari kurikulum itu sendiri. Begitu juga dengan peran guru sebagai penyelaras (adapter) itu juga sama dengan peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi, di mana dalam pengembangan ini guru diberikan wewenang untuk menyusun dan menyesuaikan kurikulum yang sudah ada sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan daerah serta kemampuan sekolah tersebut.
Dalam konteks pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam, merupakan tuntutan peran yang harus diperankan oleh guru adalah untuk menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah yang selaras dengan nilai-nilai Islam terhadap mental peserta didik, nilai Ilahiyah tersebut berkaitan dengan konsep tentang ke- Tuhan-an dan segala sesuatu bersumber dari Tuhan. Nilai Ilahiyah berkaitan dengan nilai Imaniyah, Ubudiyah dan Muamalah, dalam hal ini guru harus berusaha sekuat tenaga untuk mengembangkan diri peserta didik terhadap nilai- nilai tersebut.
Peran guru dalam menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah akan lebih meningkat apabila disertai dengan berbagai perubahan, penghayatan, dan penerapan strategi dengan perkembangan jiwa peserta didik yang disesuaikan dengan jiwa peserta didik. Dengan demikian, guru PAI haruslah melakukan berbagai upaya dalam pengembangan kurikulum PAI dengan berbagai cara yang bersifat adoptif, adaptif, kreatif, dan inovatif.

E.        Penutup

Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting, yaitu sebagai berikut:
1.  Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen situasi belajar-mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar-mengajar
2.  Adapun peran kepala sekolah dalam pengembangan kurikulum PAI, dapat diklasifikasikan berdasarkan Permendikbud Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah bahwa kepala sekolah harus mampu melaksanakan pekerjaannya sebagai sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator.
3.  Adapun peran vital guru atau pendidik dalam pengembangan kurikulum PAI, dapat diklasifikasikan menjadi dua segmentasi. Pertama mengacu pada tipologi Murray Print dan kedua mengacu pada tipologi Nana Syaodih Sukmadinata.  Menurut Murray, setidaknya ada empat peran yang harus dijalankan oleh guru dalam mengembangkan kurikulum, yaitu sebagai implementer (pelaksana), developer (pengembang), adapter (penyelaras) dan sebagai researcher (peneliti) kurikulum. Sedangkan ditilik dari segi pengelolaannya, sebagaimana dipaparkan oleh Nana S. Sukmadinata dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi dan desentralisasi, ditambahkan pula yang bersifat sentral-desentral.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Akhyar, Pengembangan Kurikulum PAI Madrasah Aliyah Berwawasan Multikultural, dalam Jurnal Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari-Juni 2013.

Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Bahan Ajar Dalam Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Ara Hidayat, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam mengelola Sekolah/Madrasah, Bandung: Kaukaba, 2012.

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2013. Lise Chamisijatin, dkk., Bahan Ajar Cetak: Pengembangan Kurikulum SD, dalam Unit 5, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, 2008.

M. Frances Klien, Politik Pengambilan Keputusan tentang Kurikulum, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.

Mohammad Kosim, Pendidikan Guru Agama Pergumulan dan Problema Kebijakan 1948-2011, Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012.

Najib Sulhan, Karakter Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat, Surabaya: JePe Press Media Utama, 2011.

Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.

Permendikbud Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

Saiful  Arif,  Pengembangan  Kurikulum,  Pamekasan:  STAIN  Pamekasan Press, 2009.

Sholeh Hidayat, Pengembangan Kurikulum Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

Siswanto, Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan, Yogyakarta: SUKA- Press, 2012.
Soewadji Lazaruth, Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Suyanto dan Djihad Hisyam, Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Jakarta: Adicita Karya Nusa, 2000.

Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, Bandung: Alfabeta, 2009.

Syamsul Bahri, Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Volume XI, No. 1, Agustus 2011, hlm. 31.

Tim MEDP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2008.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) Nomor 20 Tahun 2003.

Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Yatim Riyanto, Pengembangan Kurikulum dan Seputar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Surabaya: Unesa University Press, 2006.

Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

https://miftah19.wordpress.com




[1] Siswanto, Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012), hlm. 55.
[2] Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin, yaitu curriculum, yang artinya a running course atau race course, especially a chariot race course. Dalam bahasa Prancis, courier, artinya berlari (to run). Kemudian istilah tersebut digunakan untuk sejumlah courses atau mata kuliah yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Lihat Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 167.
[3] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 1.
[4] Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah salah satu kurikulum dalam system pendidikan nasional di Indonesia yang wajib diberikan pada semua jenjang pendidikan, mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Di dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang   Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 Ayat 1, dinyatakan bahwa pendidikan agama bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Lihat Akhyar, Pengembangan Kurikulum PAI Madrasah Aliyah Berwawasan Multikultural, dalam Jurnal Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari-Juni 2013, hlm. 45.
[5] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 132-133.
[6] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 52.
[7] Sholeh Hidayat, Pengembangan Kurikulum Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 26.
[8] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 28.
[9] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 150.
[10] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, hlm. 183-184.
[11] Tujuan pengembangan kurikulum juga harus memperhatikan tujuan institusional (tujuan lembaga/satuan pendidikan), tujuan kurikuler (tujuan bidang studi), dan tujuan instruksional (tujuan pembelajaran). Semuanya perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan kurikulum. Di sisi lain dapat ditegaskan bahwa tujuan pengembangan kurikulum tidak dapat lepas dari tujuan pendidikan itu sendiri, sebab kurikulum merupakan ujung tombak ideal dari visi, misi dan tujuan pendidikan sebuah bangsa. Lihat Syamsul Bahri, Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Volume XI, No. 1, Agustus 2011, hlm. 31.
[12] Isi kurikulum bukan hanya terdiri atas sekumpulan pengetahuan atau kumpulan informasi, tetapi harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilih dan dibutuhkan bagi pengetahuan, baik bagi pengetahuan itu sendiri, siswa maupun lingkungannya. Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, hlm. 127.
[13] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, hlm. 228-229.
[14] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 37 Ayat 1.
[15] Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Lihat Yatim Riyanto, Pengembangan Kurikulum dan Seputar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Surabaya: Unesa University Press, 2006), hlm. 5.
[16] Ara Hidayat, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam mengelola Sekolah/Madrasah, (Bandung: Kaukaba, 2012), hlm. 106.
[17] Soewadji Lazaruth, Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 60.
[18] Miftah, Peranan Kepala Sekolah Sebagai Supervisor (BAB II), dikutip melalui laman website https://miftah19.wordpress.com, diakses pada tanggal 20 Maret 2017.
[19] Lise Chamisijatin, dkk., Bahan Ajar Cetak: Pengembangan Kurikulum SD, dalam Unit 5, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, 2008), hlm. 7-8.
[20] Agatha Ayulinda, Fungsi dan Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Pendidikan,dikutip melalui laman website http://agathaayulinda.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 20 Maret 2017.
[21] Mohammad Kosim, Pendidikan Guru Agama Pergumulan dan Problema Kebijakan 1948-2011, (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012), hlm. 11.
 [22] Najib Sulhan, Karakter Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat, (Surabaya: JePe Press Media Utama, 2011), hlm. 1-2.
[23] Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Bahan Ajar Dalam Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 5.
[24] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 287.
[25] Sholeh Hidayat, Pengembangan Kurikulum Baru, hlm. 26.
[26] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, hlm. 28.
[27] Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 156.
[28] Lihat Tim MEDP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2008).
[29] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, hlm. 28-30.
[30] Suyanto dan Djihad Hisyam, Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Jakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 17.
[31] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hlm. 200.
[32] Saiful Arif, Pengembangan Kurikulum, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009), hlm. 143-144.
[33] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hlm. 198-199. Lihat juga M. Frances Klien, Politik Pengambilan Keputusan tentang Kurikulum, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 305-306.
[34] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hlm. 201.
[35] Saiful Arif, Pengembangan Kurikulum, hlm. 146.
[36] Saiful Arif, Pengembangan Kurikulum, hlm. 147.
[37] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hlm. 201.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar