Kamis, 09 November 2017

MAKALAH HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN AGAMA DALAM ISLAM (Prinsip-prinsip Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama dalam Islam)

HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN
AGAMA DALAM ISLAM
(Prinsip-prinsip Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama dalam Islam)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag






Pemakalah :
LUCKY ANDRIYANTOKO
(16771007)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2017




A.      Dasar Pemikiran
Manusia begitu ia dilahirkan tidak tahu dan tidak mengenal dengan apa-apa yang ada disekitarnya, bahkan dengan dirinya sendiri. Ketika manusia mulai mengenal dirinya, kemudian mengenal alam sekitarnya, karena manusia adalah sesuatu yang berpikir, maka ketika itu dia mulailah ia memikirkan dari mana asal sesuatu, bagaimana sesuatu, untuk apa sesuatu, kemudian apa manfaatnya sesuatu itu. Sebenarnya pada ketika manusia telah mulai tahu dari mana asalnya, bagaimana proses terjadinya, siapa dia, untuk apa dia, pada ketika itu ia telah berfilsafat. Karena filsafat itu pada intinya adalah berusaha mencari kebenaran tentang segala sesuatu, baik yang ada maupun yang mungkin ada, dari mana asal sesuatu, bagiamana sesuatu itu muncul dan untuk apa sesuatu itu ada, dari pemikiran seperti itu, maka muncullah beraneka macam pandangan, pendapat dan pemikran serta tanggapan, yang akhirnya menjadi suatu kesepakatan untuk diketahui secara bersama-sama dan berlaku dilingkunganya. Kesepakatan tentang sesuatu itu dan berlaku untuk umum serta menjadi kebiasaan pada komunitasnya secara turun temurun hal itulah yang dinamakan tradisi, dari tradisi itulah berkembang menjadi suatu ilmu. Seperti kalau mau menanam padi di sawah harus ada air, kemudian harus dipikirkan dari mana mengambil air, bagaimana menyuplaikan air ke sawah, akhirnya memunculkan ide untuk membuat kincir air atau membuat saluran air ke sawah (irigasi), hal-hal yang seperti itulah yang akhirnya menjadi suatu ilmu.
Manakala seandainya jika disepakati dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan,[1] maka oleh karena itu setiap metode, objek, dan sistematika filsafat itu harus mempunyai arti fungsional bagi setiap pengembangan ilmu pengetahuan yang lainnya. Dengan berdasarkan atas konsep yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas, maka dengan jelas dapat dipahami bahwa setiap ilmu pengetahuan yang lain yang bersifat terapan merupakan pengembangan dari metode dan sistematika yang ada di dalam disiplin filsafat.
Berdasarkan dari pengertian dan kedudukan filsafat yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas haruslah disadari dan dipahami bahwa telah terjadi adanya hubungan yang sangat signifikan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang lainnya, demikian pula halnya terjadi adanya hubungan antara filsafat dengan agama dan hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga terjadi hubungan yang saling terkait (tasalsul) satu sama lainnya. Maka oleh karena itulah jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada (mawjud) dan yang mungkin ada (mumkin al-wujud) serta sebagai suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat pengetahuan manusia, justeru karena itu, maka dapat dikatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan itu harus mempunyai hubungan yang erat secara struktural dan fungsional dengan filsafat.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, dimana perbincangan dan pembahasan mengenai ilmu pengetahuan mulai mencari titik perbedaan antara berbagai hal, termasuk diantaranya mencari persekutuan-persekutuan di dalam penyelidikan keperbedaan tersebut. Lantas kemudian orang mulai dapat membedakan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, demikian pula halnya dapat membedakan antara filsafat dengan agama, dan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Penempatan kedudukan yang berbeda, demikian pula perbedaan pengertian fungsional dari ketiga masalah yang telah disebutkan di atas seringkali menimbulkan berbagai macam sikap yang kurang atau bahkan tidak menguntungkan bagi manusia itu sendiri, karena terjadi kesalahan pahaman tentang perbedaan itu. Bertitik tolak dari persoalan-persoalan yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas tadi, maka dalam makalah ini penulis ingin mencoba untuk membahas bagaimana hubungan (nisbah) antara filsafat dengan agama, antara agama dengan ilmu pengetahuan dan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.

B.       Pengertian Filsafat, Ilmu, dan Agama
Kata filsafat untuk pertama kali diperkenalkan oleh salah seorang filosof Yunani yang sangat terkenal, Pythagoras.[2] Dimana kata filsafat adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani (Grik), yang terdiri dari dua kata, yaitu kata philos yang berarti cinta dan kata shopos yang berarti bijaksana. Maka oleh karena itu kata filsafat kadang kala sering juga diartikan dengan cinta kebijaksanaan.[3] Filsafat juga bisa diartikan sebagai rasa ingin tahu secara mendalam tentang asal muasal sesuatu, bagaimana sesuatu dan untuk apa sesuatu.[4] Filsafat bisa juga diartikan dengan cinta kebenaran, karena inti dari filsafat itu adalah berusaha untuk mencari kebenaran dari sesuatu.
Menurut Poedjawijatna, filsafat itu juga dapat dikatakan adalah suatu ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Selanjutnya beliau mengkategorikan filasafat itu kedalam golongan ilmu, maka oleh karena itu filsafat harus bersifat ilmiah, yaitu menuntut kebenaran, memilki metode, bersistem dan harus berlaku umum.[5]
Filsafat itu objek materinya memang sama dengan ilmu, akan tetapi filsafat tidak dapat dikatakan ilmu, karena filsafat objek formanya adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya, sementara objek forma ilmu adalah mencari sebab segala sesuatu melalui pengalaman. Jadi jika ada objek di luar pengalaman itu, maka tidak lagi termasuk kedalam objek ilmu. Ilmu pada hakikatnya adalah inign tahu dengan segala sesuatu, tetapi tidak secara mendalam.
Filsafat adalah ingin mengetahui dari mana sesuatu, bagaimana sesuatu dan untuk apa sesuatu, sementara ilmu hanya ingin tahu bagaimana sesuatu itu. Lain halnya pula denganagama yaitu berupaya menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak benar tentang sesuatu itu. Kebenaraan sesuatu dalam agama adalah terletak apakah ia diwahyukan atau tidak sesuatu itu. Yang diwahyukan itu harus dipercayai dan harus dita‘ati, dengan demikian agama itu hakikatnya adalah suatu kepercayaan.
Pengertian filsafat itu juga dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi yang statis dan dari segi yang dinamis. Dikatakan dinamis karena dimana pada akhirnya orang harus mencari kebijaksanaan itu dengan beraneka macam cara dan metode yang dimiliki dan kemampuan yang ada, dan dikatakan statis karena orang dapat mencukupkan diri atau merasa cukup untuk sekedar mencintai kebijaksanaan tersebut. Akan tetapi walaupun demikian, secara terinci dan secara khusus filsafat itu dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada atau mencari hakikat segala sesuatu yang secara ringkas dapat dikatakan sebagai usaha mencari kebenaran yang hakiki.
Di dalam khazanah pemikiran keislaman dimana kata shopos itu disepadankan dengan kata himah, sehingga filsafat bisa berarti kecintaan kepada hikmah atau di dalam kata kerja ia bisa berarti cinta hikmah: mencintai himah.[6] Demikian juga halnya arti filsafat di dalam khazanah pemikiran Islam juga dapat diartikan dengan ilmu yang menyeluruh atau ilmu yang secara garis besar berbicara mengenai segala sesuatu yang wujud dan yang mungkin wujud serta juga membicara tentang hukum kausalitas, sebab akaibat, yang terjadi dari yang wujud itu sehingga mendatangkan keyakinan dan kepercayaan. Maka oleh karena itu dengan secara ringkas juga dapat dikatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan universal yang membicarakan mengenai segala seuatu yang ada dan wujud dari yang ada tersebut.[7] Yang dimaksud dengan yang ada itu adalah sesuatu yang mempunyai zat, termasuk Tuhan, karena Tuhan adalah zat yang wajib al-wujud di dalam Islam.
Selain itu perlu juga dikemukakan batasan-batasan filsafat di dalam khazanah pemikiran manusia pada umumnya. Salah seorang pemikir yang mana buku atau karyanya banyak beredar dan dibawa oleh mahasiswa filsafat yang berasal Indonesia ke Indonesia sepeti Louis misalnya, yang menyatakan bahwa filsafat adalah: suatu analisis yang sangat hati-hati terhadap alasan-alasan yang diajukan mengenai sesuatu masalah dan penyusunan secara sengaja serta sistematis dari suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan.[8] Menguraikan segala sesuatu dengan secara baik, benar dan mendalam serta lebih waspada, sehingga menghilang anggapan yang ragu untuk sementara waktu.
Filsafat, dengan demikian juga bisa diartikan dengan suatu pemikiran analisis, sistematis dan rasional tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dimana pada akhirnya menjadi dasar tindakan. Berdasarkan pengertian ini maka setiap tindakan manusia yang dilakukan secara sadar pastilah memiliki suatu landasan pemikiran yang berkualitas atau bernuansa kefilsafatan, khususnya mengenai yang berkaitan dengan tindakan tersebut. Filsafat itu bisa juga dikategori masuk kedalam golongan ilmu, karena filsafat juga menggunakan pikiran sebagaimana halnya dengan ilmu, hanya saja filsafat berdasarkan pemikiran belaka, berbeda dengan ilmu yang menggunakan pemikiran atas dasar pengalaman.
Filsafat di dalam mencari kebenarannya juga harus bersifat ilmiah, yaitu sadar menuntut kebenaran, memiliki metode, sistematis dan berlaku umum. Filsafat dan ilmu itu objek materianya adalah sama, yaitu yang ada dan yang mungkin ada, akan tetapi objek formanya berbeda, kalau ilmu objek formanya adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya.[9] Sementara itu objek forma filsafat adalah mencari keteranganketerangan tentang sesuatu dengan secara rinci dan yang sedalamdalamnya, sampai ke akar-akarnya.[10]
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dan diuraikan di atas, di mana secara otonom dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah: suatu kegiatan atau aktifitas pikir manusia yang bersifat dinamis dan mempergunakan seluruh kemampuan dan kekuatan yang ada dengan tujuan adalah untuk memahami segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada agar dengan itu diperoleh suatu inti pandangan tentang dunia dan hidupnya sebagai dasar pijakan sikap dan tindakan. Kata ilmu adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang di ambil dari akar kata ‘alima-ya‘limu-‘ilman/ilmun, yang berarti pengetahuan Pemakaian kata ilmu itu di dalam bahasa Indonesia dapat disejajarkan dengan istilah science. Science adalah kata yang berasal dari bahasa Latin: Scio, cire, yang berarti pengetahuan.[11]
Tidak semua pengetahun dapat dikatakan ilmu, sebab kalau semua pengetahuan dikatakan ilmu tentu banyak yang bisa dikatakan ilmu, karena pengetahuan itu sifatnya baru dan sebatas tahu, akan tetapi sebaliknya semua ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi yang dikatakan ilmu adalah pengetahuan yang di susun secara sistematis, memiliki metode dan berdiri sendiri, tidak memihak kepada sesuatu.
Dikalangan masyarakat umum Indonesia, dipahami bahwa ilmu itu adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu, dan yang lebih awam lagi mengartikan ilmu itu dengan pengetahuan dan kepandaian tentang sesuatu persoalan, baik itu persoalan sosial kemasyarakatan maupun persoalan ekonomi, persoalan agama dan lain-lain sebagainya, seperti soal pergaulan, soal pertukangan, soal duniawi, soal akhirat, soal lahir, soal batin, soal dagang, soal adat istiadat, soal pertanian, soal gali sumur dan lain-lain sebagainya.[12]
Ilmu itu juga dapat dikatakan dengan sekumpulan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang dilalui atau yang diterima, baik itu pengetahuan lewat pengalaman mimpi, lewat pengalaman perjalanan, lewat pengalaman spritual, lewat pengalaman bekerja dan lain-lain sebagainya, kemudian pengetahuan itu disusun secara sistematis, dengan memiliki metode, kemudian harus bersifat atau berlaku untuk umum dan tidak boleh memihak kepada sesuatu serta berdiri sendiri atau otonom. Berkaitan dengan masalah ilmu pengetahuan George Thomas White Patrick pernah mengatakan bahwa science is the complete and consistent discreptions of the facts of experience in the simples possible term (Ilmu adalah sesuatu yang bersifat menyeluruh dan mencakup semua diskripsi/penjelasan fakta-fakta yang diambil atau diterima dari suatu pengalaman dalam pengertian yang sangat simpel/sederhana).[13]
Sementara itu Ashley Montaque merumuskan ilmu pengetahuan itu adalah: Science is a systemazed knowledge derived from observation, study and experimentation carried on order to determine the nature or principles of the what being studied (Ilmu adalah suatu susunan pengetahuan yang diperoleh dari observasi atau pengamatan, studi dan percobaan yang membawa kepada untuk menentukan sifat-sifat dari prinsip-prinsip atau dasar-dasar dari apa yang sedang dipelajari).[14]
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan hal yang diketaui itu, sesuai dengan objeknya dan sesuai pula dengan kenyataannya. Sementara itu kebanaran dalam hal tahu adalah persesuaian antara tahu atau yang diketahui dengan objeknya. Maka ditemukan ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu adalah suatu objektifitas ( bersikap jujur dan mengemukakan apa adanya). Tahu itu mempunyai objek, objek tahu itu adalah segala sesuatu yang hendak diketahui oleh seseorang, baik sesuatu itu ada atau yang mungkin ada. Kalau sesuatu yang tidak mungkin ada, maka tidak akan menarik untuk mengetahuinya dan akan mengalami kesulitan, bahkan tidak mungkin untuk mencapainya.[15]
Filsafat dan keseluruhan ilmu itu bertemu pada satu titik, titik itu adalah semua yang ada dan yang mungkin ada, yang disebut dengan objek materia, akan tetapi ilmu dan filsafat tetap berbeda, tidak sama, karena berbeda pada objek formanya. Objek forma ilmu itu adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya, sedangkan objek forma filsafat adalah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya. Sementara itu agama dikategorikan masuk ke dalam bagian dari filsafat, karena agama itu termasuk kedalam golongan yang ada.[16] Agama itu tidak perlu mengetahui sebab yang sedalam-dalamnya, akan tetapi yang perlu adalah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, karena keterangan itulah yang bisa membuat orang jadi tahu, dari tahu itu pulalah orang akan mau mengerjakan apa yang diperintah oleh agama dan meninggalkan apa yang dilarang oleh agama, yang disebut dengan taat.
Ilmu ada yang memiliki objek forma dan ada yang tidak memiliki objek forma. Ilmu yang memiliki objek forma adalah berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya, ia tidak akan berhenti pada suatu batas saja. Akan tetapi terus berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk menyelami hal yang sesungguhnya sampai habis-habisan dengan cara atau metode apapun, kemampuan apapun yang ada padanya, dikarenakan kecenderungan ingin tahu itu.[17]
Berdasarkan dari beberapa pengertian ilmu pengetahuan yang telah dikemukakan di atas, suatu pertanyaan agaknya perlu diajukan, yaitu apa isi ilmu (science) itu ? Ilmu pengetahuan (science) itu mengandung tiga kategori isi, yaitu hipotesa, teori, dan dalil hukum.[18] Hipotesa terhadap sesuatu itu bisa benar dan bisa salah, karena sifatnya sementara, belum permanen. Untuk menentu benar atau salahnya sesuatu adalah melalui teori-teori yang dinagunkan untuk itu, serta hal itu harus berdasarkan dalil-dalil atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Ilmu pengetahuan itu harus bersifat sistematis yang disusun secara teratur dan berdasarkan metodologi yang berlaku dan ia juga harus senantiasa berusaha untuk mencapai yang generalisasi. Di dalam kajian ilmiah, kalau seandainya ada data yang baru terkumpul sedikit atau belum cukup. Maka ilmuan itu membina hipotesa. Hipotesa adalah dugaan pemikiran berdasarkan sejumlah data. Hipotesa adalah sesuatu usaha untuk memberikan arah kepada penelitian dalam menghimpun data.[19]
Ilmu pengetahuan itu harus memiliki instrumen, paling tidak ada lima instrumen ilmu pengetahuan yang mungkin dapat digunakan, yaitu: pertama, pengalaman yang memfungsikan inderawinya sebagai instrumen utama untuk mendapatkan gambaran atau arti dari sesuatu itu, (pengetahuan perseptual indriyawi), dengan kata lain pengalaman adalah sensoris yang menentukan kebenaran tentang sesuatu, pengalaman itu ada yang bersifat objektif, yaitu pengalaman terhadap alam di luar diri yang berada atau terjadi secara mandiri dan di luar diri dan ada pengalaman yang bersifat subjektif, yaitu pengalaman milik pribadi, berada di dalam diri seperti rasa takut, rasa bahagia, rasa enak atau rasa malu dan lain-lain sebagainya. Pengalaman hanya melalui pengamatan semata-mata, kebenaran yang dicari itu akan mengalami distorsi (penyimpangan), konsep dan konstruk akan terungkap dalam rumusan yang berbeda. Kedua, berpikir (rasio) atau menalar dimana akal atau intelek berfungsi dalam upaya mencapai kebenaran. Berpikir itu tidak bisa terlepas dari realitas, juga tidak bisa terlepas dari potensi-potensi yang ada di dalam diri manusia. Berpikir adalah suatu sistem dan proses kognitif yang kompleks, justeru kekompleksaannya inilah yang merangsang para pakar untuk terus menelitinya. Ketiga, intuisi adalah sebagai kejadian eksperensial dan di dalam kalangan ahli psikologi menggambarkan intuisi itu sebagai kejadian prilaku, yang juga bisa sampai kepada kebenaran. Keempat, fatwa yaitu pernyataan atau pendapat dari kalangan para ahli atau pakar (di dalam Islam disebut dengan alim jamaknya ulama‘) yang ahli atau pakar di bidangnya masing-masing. Kelima, wahyu yang merupakan sumber ilmu pengetahuan yang memiliki sifat kebenaran yang mutlak (absolut), akan tetapi keterungkapan kebenarannya itu sangat tergantung kepada bagaimana manusia itu menganalisis dan menafsirkan makna dan maksud dari wahyu itu.
Sebagai kesimpulan dengan rumusan lain bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil dari usaha manusia dengan kekuatan akal budinya yang berupaya untuk memahami kenyataan, struktur, pembagian bagianbagian dan hukum-hukum yang berlaku di dalam alam semesta ini, dan juga untuk memahami apa yang dimaksud dengan menggunakan metode tertentu yang sistematis.
Barangkali tidak ada yang paling sulit dan yang paling susah diberi pengertian atau definisi dan mencari arti selain dari pada kata agama. Karena hal itu cukup beralasan, paling tidak ada tiga alasan untuk masalah itu, yaitu: pertama, karena pengalaman agama itu adalah masalah bathini yang berhubungan dengan spritual dan yang bersifat subjektif, disamping itu juga sangat individualistik. Kedua, barang kali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional dari pada membicarakan agama, maka oleh karena itu apabila membahas arti agama pasti ada emosi yang sangat kuat sekali sehingga sulit untuk memberikan arti kalimat agama itu. Ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan sangat dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan pengertian agama itu sendiri.[20] Di dalam membahas masalah pengertian agama agaknya ketika membicarakan tentang agama akan berhadapan dengan apa yang disebut Problem of Ultimate Concern: adalah suatu masalah atau problem yang menyangkut dengan kepentingan mutlak yang berarti jika seandainya seseorang membicarakan soal agamanya, maka orang tersebut tentu akan involved (berbelit-belit) dalam sikap subjektifitas dan sulit mempunyai sikap yang objektif.[21]
Ada tiga istilah yang hampir sama di dalam masalah agama ini, yaitu religion adalah kata yang berasal dari Bahasa Inggris, din kata yang berasal dari Bahasa Arab dan agama kata yang berasal dari Bahasa Sanskerta, yang mana ketiga istilah tersebut masing-masing mempunyai riwayat dan sejarah sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam arti teknis terminologi ketiga istilah tersebut mempunyai inti makna yang sama, yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia lingkungannya.[22]
Akan tetapi betapa mustahilnya memberikan sebuah definisi yang paling sempurna dan lengkap, tentang religi, din dan agama, maka di dalam makalah ini penulis akan mencoba untuk merumuskan sebuah definisi tentang hal tersebut. Agama, religi dan din pada umumnya dipahami oleh masyarakat adalah salah satu sistem kredo (kepercayaan/paham) atas adanya yang mutlak, yang mempunyai kekuasaan melebihi segala-galanya di luar diri manusia atau suatu sistem ritus manusia kepada sesuatu yang dianggapnya yang mutlak yang memiliki kekuasaan luar biasa itu, serta suatu sistem normanorma (tata kaidah) yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan sang pencipta (di dalam Islam: Allah Swt, ‘Azza wa Jalla), hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lain disekitar/lingkungannya, sesuai dan sejalan dengan tata cara kaidah keimanan dan peribadatan.

C.      Relasi Filsafat, Agama, dan Ilmu
Filsafat itu kuncinya pada upaya menemukan kebijakan hidup. Orang yang tahu filsafat, sekaligus menguasai agama, dan ilmu, seharusnya hidupnya semakin lengkap. Fokus filsafat juga berusaha menemukan kebenaran, jika dikaitkan dengan agama, tentu pencarian kebenaran seharusnya ke arah kebenaran transcendental. Kebenaran yang bersifat abstrak ini, akan diraih melalui penguasaan ilmu yang mantap. [23]
Filsafat dan ilmu akan membangun pemikiran orang beragama. Beragama yang sekadar ikut-ikutan, tentu kurang tepat. Beragama yang dilandasi ilmu, akan mempermudah manusia mencapai kebenaran. Jalan untuk mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran dapat ditempuh dengan jalan yaitu: ilmu, filsafat dan agama sulit diragukan lagi. Ketiga jalan ini mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung yang satu terhadap yang lainnya. Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar? “, “mudah saja”, jawab filusuf itu, “ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu” (Suriasumantri, 2005:19).[24] Tahu dan tidak tahu itu wilayah keilmuan. Wilayah agama sering berkaitan dengan proses tahu dan tidak tahu yang sifatnya sulit dibantah. Orang yang membantah agama, dianggap lemah agamanya. Debat keagamaan dan ilmu, sering berakhir dengan jalan buntu, karena landasannya berbeda.
Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan di mulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Adapun sebagaimana dikatakan Salam (1995:5) beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu: (1) Pengetahuan biasa atau common sense, (2) Pengetahuan ilmu atau science, (3) pengetahuan filsafat, (4) Pengetahuan religi. Keragaman pengetahuan ini, sering berbenturan dengan agama. Tiap orang yang menguasai pengetahuan, sering kali melemahkan agamanya. Orang yang agamanya taat, bisa jadi juga sulit menerima kebenaran ilmu. Orang sering sulit menerima kebenaran ilmu, yang dipertaruhkan dengan agama. [25]
Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu pengindraannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental (Anshari, 1979: 157). Filsafat sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada: (a) Hakikat Tuhan; (b) Hakikat alam semesta; (c) Hakikat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi daripada pemahamannya tersebut. Filsafat memang lengkap, menyeluruh ke segala segmen kehidupan.
Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena dirangsang oleh ketakjuban, ketidak puasan, hasrat bertanya, dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam kehidupannya. Untuk itulah dalam berpikir filsafat perlu dipahami karakteristik yang menyertainya. Pertama, adalah sifat menyeluruh artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi melihat hakikat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainnya. Kedua, sifat mendasar artinya bahwa seorang yang berpikir filsafat tidak sekadar melihat ke atas, tetapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara fundamental. Ketiga, sifat spekulatif yaitu  bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi.[26] Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari perjelajahan pengetahuan. Penjelajahan ilmu pengetahuan akan mengantarkan manusia pada pemahaman alam semesta secara total. Pengetahuan sebenarnya juga mempertebal penguasaan agama seseorang. Namun, jika penguasaan pengetahua manusia itu setengah-setengah, sering merepotkan orang beragama. Akibatnya, agamanya lemah dan penguasaan pengetahuannya kurang bermanfaat.
Ilmu pengetahuan dan agama selalu ada perdebatan kritis yang tiada henti-hentinya. Agama pada umumnya merupakan kredo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak diluar manusia. Menurut Anshari (1979:158) agama berbeda dengan sains dan filsafat, karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan. Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan redaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi.
Yang unik, menurut Titus (1987:414) agama harus dapat dirasakan dan dipikirkan: ia harus diyakini, dan dijelaskan dalam tindakan. Konsep agama harus dipikirkan, menghendaki pemahaman tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan bagian filsafat ilmu yang menuntut ke arah pencapaian kebenaran. Baik ilmu, filsafat ataupun agama bertujuan sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Namun, titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat berumur pada akal, budi, rasio, (reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan agama bersumberkan dari wahyu. Persoalan asal-usul kebenaran inilah yang menyebabkan perseteruan antara ilmu dan agama.
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (1) Berseberangan atau bertentangan, ketika manusia sulit memaknai, (2) Bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (3) Tidak bertentangan satu sama lain, (4) Saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama. Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak menolak. Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileo-Galilei. Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa mataharilah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat. Pola hubungan kedua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda.[27]
Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengalaman agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dan urusan negara/masyarakat. Pola ketiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama.
Di samping itu, ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan eksplorasi akal budi secara radikal (mengakar), tidak merasa terikat oleh ikatan apapun. Kecuali, oleh ikatan tantangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan agama dan dengan jalan mempertanyakan berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci. Dasar kitab suci adalah keyakinan. Memang ada yang menemukan kebenaran dengan kontemplasi, keheningan, dan laku batin. Kebenaran yang didasari laku spiritual ini jelas dekat dengan agama.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif, berlaku sampai dengan saat ini. Kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah. Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman. Kebenaran ilmu boleh ditawar, sedangkan agama sudah solid, hanya boleh diyakini. Orang yang menolak kebenaran agama dianggap menyimpang. Variasi dalam agama dianggap keliru. Adapun kebenaran ilmu dan filsafat dilandasi dengan pemikiran dan boleh saja berbeda atau bervariasi. Jika demikian, agama dan pemikiran, senantiasa kompromi, tetapi juga sering tidak pernah bertemu.

D.      Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama, yaitu sebagai berikut :
1.  Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama terdapat titik persamaannya, yaitu mencari kebenaran.
2.    Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama disamping terdapat persamaan, akan tetapi juga ada perbedaannya, yaitu dari aspek sumber, metode dan hasil yang ingin dicapai.
3.  Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama mempunyai titik singgung atau relasi, yaitu saling isi-mengisi di dalam menjawab persoalan-persoalan yang diajukan oleh manusia. Disamping itu ketiganya merupakan satu kesatuan bangunan paramida di dalam mencarikan dan menemukan kebenaran.




DAFTAR PUSTAKA



Ali, A. Mukti, Agama, Universitas dan Pembangunan, (Bandung: Tp, 1971).
Bakar, Osman, Hirarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997). Departemen Pendidikan Nasional,
Endraswara, Suwardi, Filsafat Ilmu (Edisi Revisi), (Yogyakarta, CAPS, 2015),
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 39.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ( Jakarta: Balai Pustaka, 2001).
Gazalba, Sidi, Sistematika filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj., (Yogyakarta: Bumi Aksara, 1990).
Montaque, Ashley, The Cultured Man, (New York: Tp, 1959).
Mulkan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993),
Natsir, M., Islam dan Kristen di Indonesia, disusun dan dihimpun oleh: Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: Tp, 1969),
Patrick, George Thomas White, Introduction to Philosophy, (London: Tp, 1968),
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, ( Jakarta: Pembangunan, 1980).



[1] Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 22.

[2]   Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 22.
[3] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, ( Jakarta : Pembangunan, 1980), hlm. 46-7.

[4]   Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat.
[5]   Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Hlm : 10
[6]   Osman Bakar, Hirarki Ilmu, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 102
[7]   Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 25
[8]    Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 25
[9]    Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 10
[10]  Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 8.
[11]   Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 39.
[12] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), hlm. 423

[13] George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, (London : Tp, 1968), hlm. 20

[14]  Ashley Montaque, The Cultured Man, (New York : Tp, 1959), hlm. 289.
[15]  Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 2.
[16]   Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 8-9.
[17]   Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 7
[18]   Gazalba, Sistematika Filsafat, hlm. 40
[19]   Gazalba, Sistematika Filsafat, hlm. 40.
[20]   A. Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, (Bandung: t.p., 1971), hlm. 4.
[21]  M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, disusun dan dihimpun oleh Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: t.p., 1969), hlm. 227

[22]   Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hlm. 12.
[23]   Suwardi, Endraswara, Filsafat Ilmu (Edisi Revisi), (Yogyakarta, CAPS, 2015), hal : 249
[24]   Suwardi, Endraswara, Filsafat Ilmu (Edisi Revisi), (Yogyakarta, CAPS, 2015), hal : 249
[25] Suwardi, Endraswara, Filsafat Ilmu (Edisi Revisi), (Yogyakarta, CAPS, 2015), hal : 250
[26] Suwardi, Endraswara, Filsafat Ilmu (Edisi Revisi), (Yogyakarta, CAPS, 2015), hal : 250
[27] Suwardi, Endraswara, Filsafat Ilmu (Edisi Revisi), (Yogyakarta, CAPS, 2015), hal : 252

Tidak ada komentar:

Posting Komentar