Kamis, 09 November 2017

MAKALAH DIMENSI EPISTEMOLOGI TRADISI PEMIKIRAN ISLAM: "EPISTEMOLOGI BURHANI"

DIMENSI EPISTEMOLOGI TRADISI PEMIKIRAN ISLAM
"EPISTEMOLOGI  BURHANI"


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag




Pemakalah:
ARIF SETIAWAN
(16771025)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Membincang epistemologi (sistem pengetahuan) burrhani, mau tidak mau secara fundamental harus bersentuhan dengan nalar ( aql ). Menurut Abed al-jabiri,[1] secara global ada dua tipologi nalar, yaitu nalar pembentuk atau aktif (al-aql al-mukawwim) dan nalar terbentuk atau  dominan (al-aql al-mukawwam). Nalar aktif merupakan naluri yang dengannya manusia mampu menarik asas – asas umum dan niscaya, berdasar pemahamannya terhadap hubungan antar segala sesuatu. Sedangkan nalar dominan adalah sejumlah “asas dan kaidah yang dijadikan pegangan dalam beragumentasi ( istidlal )”. Jika yang pertama bersifat universal, hingga disebut dengan akal universal (al-Fi’lu al-kauni), maka yang kedua tidak universal sebab ia menjadi sistem kaidah yang dibakukan dan diterima dalam era tertentu.
Kendati demikian, masih menurut Jabiri, akal universal bersifat universal hanya ketika berhubungan dalam suatu budaya tertentu atau dengan kebudayaan yang menghasilkannya. Hal ini disebabkan antara nalar aktif dan  dominan ternyata saleing mempengaruhi antara keduannya. Di satu sisi, nalar dominan merupakan produk nalar aktif, sehingga sumbernya tidak lain adalah nalar itu sendiri dan bukan lainnya. Disisi lain, nalar aktif mengandaikan nalar terbentuk, dimana aktivitas nalar bisa berlangsung hanya dengan bertolak dari asas – asas  dan kaidah – kaidah, yakni dari nalar dominan. Selain itu, penalaran akal pada analisis akhirnya merupakan kumpulan kaidah yang ditarik dari objek tertentu. Jika seseorang menghadapi objek yang memiliki kekhasan, maka adalah mungkin menemukan adanya nalar spesifik pula.
Para filsuf Muslim yang berinteraksi dengan objek yang berbeda karakteristiknya dengan objek para filsuf Yunani dan Eropa berinteraksi maka konsekuensinya kaidah – kaidah yang ditarik dari aktivitas pemikiran yang berlangsung dalam kebudayaan Arab Islam akan berbeda pula dari kaidah-kaidah yang membentuk esensi nalar Yunani  dan Eropa. Dalam konteks ini, secara spesifik para filsuf Muslim Timur ( Persia, Mesir, Irak, Syiria, Khurasan ), seperti al-kindi dan farabi, misalnya, sebenarnya mereka masih diwarnai  kecenderungan normatif yang menguasai dan mengarahkan nalar Arab. Tidak demikian halnya dengan sebagaian filsuf Muslim Barat ( Maroko dan Andalusia/ Spanyol ), seperti Ibn hazm dan Ibn Rusyd yang mampu mengaplikasikan epistemologi burhani Aristoteles secara autentik tanpa dipengaruhi nalar dominan Arab yang lebih bernuansa bayani dan irfani. Kendati demikian, para filsuf Muslim Barat pun tidak sepenuhnya bersifat burhani, tapi masih terpengaruh perspektif normatif nalar Arab. Melalui kerangka tersebut, tulisan ini  berusaha memotret bagaimana akar histori epistemologi burhani dan pembaurannya dengan dunia pemikiran Arab, metode burhani Aristotetelian  serta bagaimana format aplikasinya oleh sebagaian filsuf Muslim Timur dan Barat.[2]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa definisi Epistemologi Burhani?
2.      Bagaimana Metode Epistemologi Burhani serta Perkembangannya?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Tentang Epistemologi Burhani
2.      Untuk mengetahui Metode-metode serta perkembangannya



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian dan Histori Epistemologi Burhani
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa epistemologi burhani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada pengalaman indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera.
Burhani (demonstratif), secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proporsisi (qadhiyah).
Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip logis yang digunakan dalam burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili), yaitu suatu sistem berpikir (pengambilan keputusan ) yang didasarkan atas proporsi tertentu, proporsi hamliyah (categorical proposition ), atau proporsi syarthiyah (hypothetical propsition) dengan mengambil 10 kategori sebagai objek kajiannya: kuantitas, kualitas, ruang, waktu, dan seterusnya.
Dalam operasionalnya, metode berpikir analitik atau silogisme ini terbagi dalam dua bentuk: silogisme kategoris dan silogisme hipotesis. Silogisme kategoris adalah bentuk silogisme yang presmis-premisnya didasarkan atas data-data tak terbantahkan,  mutlak, dan tidak tergantung pada suatu syarat  tertentu; sedangkan  silogisme  hipotesis adalah bentuk silogisme yang premis-premisnya tidak merupakan pernyataan mutlak melainkan  tergantung pada sesuatu syarat.[3]
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal yang mengikat pada sebab akibat. Cara berfikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh logika Aristoteles.[4]
Selanjutnya, metode berpikir analitik Aristoteles (384-322 SM) masuk  ke dalam pemikiran Islam lewat program terjemah buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258), yaitu masa khalifah Al-Makmun (811-833 M); suatu  program yang oleh Al-Jabiri (1936-2010 M) dianggap sebagai tonggak penting sejarah pertemuan pemikiran epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.[5]
Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H) melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam al-Falsafah al-Ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat dan menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran.[6] Al-Kindi telah berjasa memperkenalkan dan mewariskan persoalan-persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang: (1) Penciptaan semesta, bagaimana prosesnya, (2) keabadian jiwa, bagaimana pembuktiannya, (3) Pengetahuan Tuhan tentang yang partikular, bagaimana penjelasannya.[7] 
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Aristoteles merupakan orang pertama yang membangun epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu atas  prinsip dasarnya baik proporsi amaliyah (Categorical Proposition)  maupun shar’iyah  (Hypothetical Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (idafah), tempat atau ruang, waktu, kepemilikan, fiil (pasi), infi’al (affectif) atau ilmu pengetahuan.
 Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas  aljami` yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan demikian, burhani (al-qiyas al-‘ilmi) menekankan tiga syarat, yaitu:
a.  Pertama, mengetahui terma perantara ‘illah (causa) bagi kesimpulan (ma’rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);
b.   Kedua, keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tartib al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma’lul), antara terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan
c.   Ketiganatijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burhani.

Dari uraian tersebut, jelas bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan konstruksi pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini dapat memilah masing-masing pendekatan epistemologik: bayani dan `irfani karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burhani berada pada posisi penyempurna keserasian hubungan antara kedua epistemologi tersebut.
Antara epistemologi bayani dan `irfani, terkesan berseberangan dalam menangkap wacana masing-masing karena perbedaan episteme.Namun demikian, episteme keduanya masih dibangun atas nilai al-Qur’an dan hadits. Meskipun epistemologi Islam di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfani. Selanjutnya tingkat epistemologi Islam antara lain: (1) perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur’an al-Karim; (2) penginderaan (sensation); (3) persepsi (perception); (4) penyajian (representation); (5) konsep (concept); (6) pertimbangan (judgement);  dan  (7) penalaran(reasoning).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa epistemologi burhani dapat dipandang dari dua sisi, yaitu: sebagai aktivitas pengetahuan dan sebagai diskursus pengetahuan.
1) Epistemologi burhani sebagai aktivitas pengetahuan. Burhani adalah episteme yang beragumentasi secara deduktif.
2)   Epistemologi burhani sebagai diskursus pengetahuan. Burhani merupakan dunia pengetahuan falsafah yang masuk ke budaya Arab Islam melalui terjemahan dari karya-karya Aristoteles. Para pemikir muslim yang menerapkan episteme burhani di antaranya seperti, Ibn Rusyd, al-Syatibi, dan Ibn Khaldun. Ibn Rusyd berusaha menerapkan dasar-dasar episteme burhani dengan cara membela argumen secara kausalitas, yakni proses penelusuran terhadap akibat-akibat sesuatu ke sebab-sebabnya sebelum menuju ke sebab utamanya, yakni Allah swt. Usaha Ibn Rusyd tersebut kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi dalam disiplin ilmu ushul fiqh. Beliau mengemukakan bahwa disiplin ushul fiqh didasarkan pada prinsip “kulliyyah al-syar’iyah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “al-maqasid al-syar’i” yang befungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran burhani. Sedangkan Ibn Khaldun menerapkan episteme burhani yang dituangkan dalam karyanya berjudul “al-Muqaddimah”. Pada awalnya, Ibn Khaldun menjelaskan riwayat hidup para pendahulu, kemudian menganalisis satu peristiwa ke peristiwa berikutnya dalam setiap babnya kemudian menarik kesimpulan dan pelajaran dari setiap kasus dan peristiwa itu. Jika dilihat, dalam kitab “al-Muqaddimah” tersebut, Ibn Khaldun ingin menunjukkan pengetahuan tentang bagaimana negara-negara dari awal terbentuknya hingga proses kejatuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Khaldun berusaha menjadikan sejarah sebagai ilmu Burhani. Sejarah yang ditulisnya adalah sejarah ilmiah yang berintikan “penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu. Selain itu sejarah juga berintikan pengetahuan yang akurat tentang asal usul, perkembangan serta riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia”.

B.   Karakteristik dan Unsur-unsur Pokok Epistemologi Burhani
Sistem utama penalaran burhani adalah silogisme,[8] Silogisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan tetapi tidak setiap silogisme menunjukkan burhani. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas, atau al-qiyas al-jam’i yang mengacu pada makna asal “mengumpulkan”. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.
Selanjutnya, sebelum melakukan silogisme ada tiga tahapan yang harus dilalui, yaitu tahap pengertian (ma’qulat), (2) tahap pernyataan (ibarat), dan (3) tahap penalaran (tahlilat). Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk pada 10 kategori yang diberikan Aristoteles (384-322 SM). Tahap pernyataan adalah proses pembentukan proposisi (qadhiyah) atas pengertian-pengertian yang ada. Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek (maudhu) dan predikat (mahmul) serta adanya relasi diantara keduanya, dan dari sana hanya lahir satu pengertian serta kebenaran. Untuk mendapatkan satu pengertian yang tidak diragukan, sebuah proposisi harus mempertimbangkan lima criteria (alfazh al-khamsah), yakni spesies (naun’), genus (jins), diferensia (fashl), propium (khas), dan aksidentia (aradh). Tahap penalaran proses pengambilan kesimpulan berdasarkan atas hubungan di antara premis-premis yang ada, dan disinilah terjadi silogisme. Menurut Al-jabiri, mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar sehingga tidak mungkin menimbukan kebenaran atau kepastian lain. [9] 
Dalam memandang proses keilmuan, kaum burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat dimana hakikat sebenarnya adalah  universal. Hal ini akan menempatkan “makna” dari realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat partikular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal  ini tampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa “makna” datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab makna datang dari sebuah pengkonpsesian intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi menyuarakan  tidak ada kontradiksi antara agama dengan filsafat karena keduanya mengekspresikan satu kebenaran. Jika filsafat mengekspresikannya  secara langsung langsung, secara demonstratif,  maka agama mengekspresikannya melalui lambang-lambang imajiner dan replikasi. Filsuf memahaminya dengan akal, yakni melalui proses burhani yang hanya dengan cara ini dimungkinkan bisa berhubungan langsung dengan “akal aktif (al-aql al-fa’al), sedangkan Nabi menerima hal itu langsung dari sumbernya sendiri, melalui imajinasinya.[10]
Karena itu, premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer, dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, meyakinkan. Al-Farabi membagi materi premis-premis silogisme dalam empat bentuk, yaitu (1) pengetahuan primer, (2) pengetahuan indera (mahsusat), (3) opini-opini yang umumnya diterima (Masyhurat), dan (4) opini-opini yang diterima (maqbulat).[11] 
Oleh karena itu, ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhani bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga disinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai simbol pernyataan makna.
Tahapan penalaran; ini dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi (al-muqaddimatani)yang kemudian disebut premis mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis.
Mengikuti Aristoteles, al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis).Silogisme (al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui sebab yang menjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat pasti (dharuriyyah), sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-qiyas).Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat pasti, yang  tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu ketimbang kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah     (al-hadd al-awsath).
Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir burhani tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara keputusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara keputusan-keputusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara keputusan baru dengan keputusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya serta kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan konsistensi, kecocokan dan saling berhubungan secara sistematis. Berikut unsur-unsur pokok epistemologi Islam.

C.   Metode Burhani
Sebagai aktivitas kognitif, metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasikan konklusi yang bernilai. Metode demonstratif ini berasal dari filsuf terkenal Yunani,  Aristoteles. Dalam penuturan Aristoteles, yang dimaksud dengan metode demonstratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya silogisme adalah seperangkat metode berpikir yang dengannya seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru dari pengetahuan –pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari berbagai premis), terlepas apakah pengetahuan tersebut benar atau salah dan sesuai dengan realitas atau tidak.[12]
Metode demonstratif adalah salah satu metode rasional atau logis  yang digunakan oleh para filsuf selain empat macam metode non-demonstratif, yaitu dialektis yang berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban dialektika; sofistik yang membincang pemikiran analogis yang mengajarkan lawan dari kebenaran; retorik yang berhubungan dengan jenis persuasi dan dampaknya atas pendengar dalam pidato; poetika yang yang berkaitan dengan pemikiran analogis yang mengajarkan penciptaan perumpamaan dan kiasan.[13] Namun diantara metode-metode  rasional tersebut, metode demonstrastif dipandang paling akurat dan karena itu digunakan sebagai metode ilmiah dasar yang aplikasinya meluas tidak hanya di bidang logika dan filosofis, tetapi juga di bidang empiris dan matematika.[14]
Metode burhani pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori ilmiah dan filosofi dengan memperhatikan keabsahan dan keakurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah, ini misalnya dilakukan dengan memperhatikan validitas pernyataan-pernyataan yanag ada dalam premis-premis mayor atau minornya, serta ada atau tidaknya middle term yang sah yang mengantar kedua premis tersebut. Bentuk formal metode ini yang disebut silogisme: berupaya mengambil kesimpulan dari premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, yang disebut middle term (al-hadd al-ausath) . sebuah silogisme baru dinyatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pada kebenaran yang telah teruji atau kebenaran utama (primary truth), karena hal apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar. Namun sebaliknya, kalau premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang teruji, kesimpulannya juga akan meragukan, bahkan bisa keliru.

D.  Peran Bagi Epistemologi Berikutnya
Dalam perkembangan selanjutnya, metode burhani yang dianggap lebih unggul di banding dua epistemologi yang lainnya ternyata ditemui mengandung kekurangan bahwa ia tidak menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, meski rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu, bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya. Banyak kritik yang disampaikan untuk epistemologi rasionalisme-Burhani. Menurut Osma bakar, kritik-kritik yang ditujukan pada Burhan atau ini sesungguhnya bukan karena ia berusaha mengekspresikan segala sesuatu secara rasional, sejauh itu mungkin, tetapi karena ia berupaya untuk merangkul seluruh realitas kedalam alam rasio, seakan rasio sesuai dengan prinsip segala sesuatu, padahal kenyataannya tidak demikian.[15]
Menurut Suhrawardi, diantara kekurangan rasionalisme burhani adalah (1) bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani, (2) ada eksistensi di luar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa di jelaskan burhani, seperti soal warna, bau, rasa, atau bayangan, (3) prinsip burhani yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut  yang lain akan mengiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum, dengan begitu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. [16] jelasnya, deduksi rasional (burhani) dan demonstrasi belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.
Karena itu muncul epistemology baru yang dibangun oleh Suhrawardi yang disebut iluminasi (isyraqi) yang memadukan metode burhani yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang mengandalkan  kekuatan hati lewat kasyaf  atau intuisi. Metode ini berusaha menggapai kebenaran yang tidak dicapai rasional lewat jalan intuitif, dengan cara membersihkan hati kemudian menganalisis dan melandasinya dengan argumen-argumen rasional.[17]
Meski demikian, pada masa berikutnya, metode isyraqi ternyata dirasa juga masih mengandung kelemahan, yaitu bahwa pengetahuan iluminatif  hanya berputar  pada kalangan elite terpelajar, tidak bisa disosialisasikan sampai masyarakat bawah, dan tidak bisa diterima bahkan tidak jarang malah bertentangan dengan apa yang dipahami eksoteris (fiqh) sehingga justru menimbulkan kontroversi. Muncullah metode kelima, epistemology transenden (hikmah al-muta’aliyah), yang dicetuskan Mulla Sadra (1571-1640 M) dengan memadukan tiga epistemologi dasar sekaligus: bayani yang tekstual, burhani yang rasional, dan irfani yang intuitif.[18] Meski demikian, menurut Muthahhari hikmah al-muta’aliyah bukan merupaka sinkretisme dari epistemology sebelumnnya, tetapi sebuah epistemology filsafat yang unik dan merupakan epistemology yang berdiri sendiri.
Dengan hikmah al-muta’aliyah ini, .pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya dihasilkan dari kekuatan akal, tetapi juga lewat pencerahan ruhani, dan semua itu disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argument-argumen rasional. Bagi kaum Muta’aliyah, pengetahuan atau hikmah tidak hanya untuk memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi; mengubah  wujud penerima pencerah itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga terjadi transformasi wujud, dan semua itu tidak dapat dicapai kecuali dengan mengikuti syariat sehingga sebuah pemikiran harus melibatkan epistemologi bayani dalam sistemnya.[19] Berdasarkan konsep tersebut, maka perselisihan yang terjadi antara rasionalism dan iluminasionism, antara filsafat dan irfanim atau antara filsafat dan teologi dapat diselesaikan dengan baik.
Dibanding epistemoligi israqiyah suhrawardi yang berusaha mengintegrasikan paripatetis kedalam konsep epistemologinya, menurut Jalaluddin Rahmat, hikmah al-muta’aliyah Mulla Sadra sesungguhnya tidak berbeda dengan itu, bahkan dapat dikatakan melanjutkan upaya Suhrawardi tersebut dan menjawab lebih banyak persoalan secara lebih mendalam.[20] Perbedaan diantara keduanya terjadi pada basis ontologisnya, meliputi ashalat al-wujud (fundamental eksistensi), tasykik al-wujud (gradasi eksistensi), dan harakat al-jauhariyah (gerakan substansial).
Selanjutnya secara singkat, tokoh-tokoh dunia Islam yang telah menerapkan epistemologi burhani, adalah:[21]
1) Ibnu Rusyd (kalam dan filsafat). Ibnu Rusyd berusaha menerapkannya dengan jalan/cara membela argument secara kausalitas. Ia menolak pandangan asy’ariyah tentang prinsip tajwiz (keserbabolehan) karena dianggap mengingkari hukum kausalitas, sama saja meruntuhkan bangunan burhani pada ilmu-ilmu alam termasuk metafisika atau ilmu ketuhanan secara burhani yang dibangun atas dasar proses penelusuran terhadap sebab-akibat sesuatu sebelum menuju kepada keputusan akhir; Allah swt.
2)   Al-Syatibi (ushul fiqh). Al-Syatibi mengemukakan bahwa usul fiqh didasarkan pada prinsip kulliyyah al-syari’ah (ajaran universal agama), dan prinsip almaqasid alSyari’, serupa dengan sebab akhir sebagai pembentuk unsur penalaran burhani.
3)    Ibn Khaldun (sejarah ilmiah). Sejarah ilmiah disini terdapat: penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu, selain itu mengandung asal-usul, perkembangan, riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia.

E.  Contoh Epistemologi Burhani
Contoh klasik silogisme demonstratif adalah sebagai berikut: semua manusia akan mati (fana).
Socrates adalah manusia
Maka socrates akan mati.[22] 

Pernyataan ‘semua manusia akan mati’ disebuta premis mayor, sedangakan ‘socrates adalah manusia’ premis minor. Kata ‘manusia’ yang muncul dalam kedua premis tersebut middle term. Kalau premis mayor minor benar tanpa keragu-raguan,  bisa dipastikan bahwa kesimpulan ‘socrates akan mati’ adalah benar. Inilah sampel metode demonstratif yang ideal. [23]  Namun, dalam praktik tidak semua kebenaran premis itu jelas dan karenanya perlu kriteria yang ketat tentang kebenaran tersebut, seperti melalui verifikasi  dan falsifikasi.[24]
Jika paparan diatas disebut metode demonstratif dari sisi  logika formal, maka Aristoteles menguraikan pula metode demonstratif dari sisi pengetahuan (al-ilm). Aristoteles mendefinisikan sebagai berikut: pengetahuan mengenai sesuatu secara mutlak, tidak bersifat aksidental dengan menemukan sebab-sebabnya (illah). Dari aspek ini,  menurut Aristoteles tugas ilmu pengetahuan ialah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Ia mengemukakan bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat penyebab yang semuanya harus disebut, jika hendak mengetahui suatu kejadian. Syarat itu berlaku baik bagi kejadia alam maupun kejadian yang disebabkan oleh manusia.
Keempat penyebab kejadian tersebut, yaitu: pertama, penyebab efisien (efficient cause/ fa’il): inilah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua, penyebab final (final cause/ ghayah): inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Ketiga, penyebab material (material cause/madah): inilah bahan darimana benda dibikin. Keempat, penyebab formal (formal cause/ shurah): inilah bentuk yang menyusun bahan. Dengan keempat penyebab diatas Aristoteles ingin menjelaskan secara lengkap semua faktor yang dapat menyebabkan suatu peristiwa.[25]



BAB  III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Epistemologi Burhani adalah aktifitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi (qadhiyyah) melalui pendekatan penarikan kesimpulan (istintaj). Atau dengan kata lain, burhani adalah penalaran akal dengan memanfaatkan kaidah-kaidah logika. Pada perjalanan berikutnya, epistemologi ini hanya merujuk pada silogisme (alQiyas) atau lebih menonjolkan qiyas. Sehingga dalam tradisi nalar Arab-Islam, sebagaimana kritikan salah seorang tokoh Islam, epistemologi ini lebih akrab dengan masalah-masalah hukum Islam (masail fiqhiyah) dari pada problematika-problematika kemanusiaan yang perlu dihindari sejak dari penyebabnya.burhani, dalam tataran praktis lebih menonjolkan qiyas guna menyelesaikan masalah-masalah fikih saja.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Jabiri M. Abed, formasi nalar arab , terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Ircisod, 2003
Zaprulkhan, Filsafat islam sebuah kajian tematik , Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014
Soleh A.Khudori, Filsafat islam;  dari klasik hingga kontemporer , Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016
Uyoh Saduloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,  Bandung : Alfabeta, 2009
Al-Jabiri, M.Abed, Bunyah al-Aql al-Arabi. Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1993
Soleh, A. Khudori, Integrasi Agama dan Filsafat pemikiran Epistemologi al-Farabi, Malang: UIN Press.2011
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Bandung: Mizan, 2003
Al-Jabiri M. Abed, Tragedi Intelektual, terj. Afandi Abdillah.Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003
Osman Bakar,  tauhid  dan  Sains, Terj. Yuliani Lipito. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
Rahmat Jalaluddin, Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rusyd, Jurnal al-Hikmah al-Jamiah , Bandung: edisi 10, September 1993




[1] Mengenai pembahasan hal ini untuk lebih detailnya lihat M. Abed Al-Jabiri, formasi nalar arab , terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: Ircisod, 2003),  hlm. 31-61
[2] Zaprulkhan, Filsafat islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014),  hlm. 55-56
[3] Khudori soleh, Filsafat islam;  dari klasik hingga kontemporer , (Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016),  hlm. 217-218
[4] Uyoh Saduloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2009), hlm. 32
[5] A.Khudori soleh, Filsafat islam;  dari klasik hingga kontemporer , (Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016),  hlm. 218
[6]  Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql.., hlm. 416-417
[7] Khudori soleh, Filsafat islam;  dari klasik hingga kontemporer , (Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016),  hlm. 219
[9] A.Khudori soleh, Filsafat islam;  dari klasik hingga kontemporer , (Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016),  hlm. 221-222
[10] Zaprulkhan, Filsafat islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014),  hlm. 63-64
[11] A. Khudori soleh, integrasi Agama dan filsafat pemikiran Epistemologi al-Farabi (Malang: UIN press,2011), hlm.124
[12] Abed al-jabiri, Tragedi Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003),  hlm. 247
[13] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm.81
[14] Zaprulkhan, Filsafat islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014),  hlm.60
[15] Osman Bakar,  tauhid  dan  Sains, Terj. Yuliani Lipito (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm.43
[16] A. Khudori soleh, integrasi Agama dan filsafat pemikiran Epistemologi al-Farabi (Malang: UIN press,2011), hlm.225
[17] A. Khudori soleh, Ibid
[18] Jalaluddin Rahmat, Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rusyd, Jurnal al-HIkmah (Bandung: edisi 10, September 1993),hlm.78
[19] Jalaluddin Rahmat, Ibid
[20] Ibid
[22] Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: Al-Markaz al-tsaqafi al-arabi, 1993),hlm. 392
[23] Zaprulkhan, Filsafat islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014),  hlm.61
[24] Zaprulkhan, Filsafat islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014),  hlm.61
[25] Zaprulkhan, Filsafat islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014),  hlm.62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar