Kamis, 09 November 2017

MAKALAH HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN AGAMA DALAM ISLAM (Karakteristik Hubungan Ilmu, Filsafat, dan Agama dalam Islam)

HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN AGAMA DALAM ISLAM
(Karakteristik Hubungan Ilmu, Filsafat, dan Agama dalam Islam)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag




Pemakalah:
ANIS JAMIL MAHDI
(16771008)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017




ABSTRAK
Islam merupakan satu-satunya agama yang mampu menggabungkan antara urusan dunia dan akhirat, menggabungkan antara semangat spiritual dan intelektual, serta satu-satunya agama yang mampu menggabungkan antara nilai-nilai moral dan sosial dalam satu aspek keimanan. Sehingga tidak mustahil, baru-baru ini islam dengan nilai-nilai ajarannya yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah digadang-gadang merupakan sumber yang melahirkan produk ilmiah dan melahirkan teori ilmiah. Kenyataan ini tidak sejalan dengan fakta sejarah yang menyatakan bahwa sumber atau induk ilmu adalah filsafat. Persoaalan inilah yang menarik perhatian intelektual muslim untuk mencoba menggabungkan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama berdasarkan perspektif nilai-nilai Islam. Disini Islam akan menjelaskan, berdasarkan perspektif dan karakteristiknya tentang hubungan antara Filsafat, Ilmu, dan Agama.

     Kata kunci: Filsafat, Ilmu, Agama, dan Islam

     A.    Dasar Pemikiran
Islam merupakan Agama yang nilai-nilai ajarannya bukan hanya membicarakan tentang ibadah kepada Tuhan, tentang halal dan haram, tentang sifat-sifat Tuhan atau lain sebagainya yang berhubungan dengan dunia spirituall. Tapi, disamping islam membicarakan tentang sesuatu yang bersifat ubudiah dan uluhiah, ajaran agama ini juga membicarakan tentang masalah keduniaan, sosial, politik, kultur, dan lain sebagainya. Disamping itu juga nilai-nilai ajaran Islam ini berbicara tentang ilmu pengetahuan atau yang dikenal dengan istilah sains.
Menurut catatan sejarah, sejak kelahirannya pada kurang lebih 14 abad yang lalu islam sudah memperkenalkan dirinya sebagai agama yang memberi perhatian yang khusus terhadap ilmu. Hal ini bisa dilihat dari bukti nyata dengan adanya ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad s.a.w, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
bacalah dengan menyebut Tuhanmu yang telah menciptan. Dialah yang telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang mulia. Dialah yang mengajarkan dengan qalam (pena). Dialah yang telah mengajarkan manusia tentang sesuatu yang tidak diketahui

Bukan tanpa alasan Allah menurunkan surat al-‘Alaq ayat 1-5 ini kepada Nabi Muhammad, yang ayat-ayatnya ini di mulai dengan kata iqra’ “bacalah” bahkan kalimat ini oleh Allah dalam surat tersebut di ulang sebanyak dua kali. Ayat diatas menggunakan kata kerja Amr (perintah) yang berupa lafadz iqra’ yang merupakan derivasi kata qaraa – yaqriu-qiraatan – iqra’ yang berdasarkan ilmu gramatika arab disebut dengan fi’il mut’addy (kata kerja yang memiliki objek dari pada pekerjaan). Tapi anehnya dalam ayat diaatas Allah tidak menyebutkan objek pekerjaannya atau apa yang harus dibaca. Dari sinilah muncul beranekaragan interpretasi apa sebenarnya bacaan yang harus dibaca yang dikehendaki Allah.

Prof. Dr. Quraish Shihab dalam karyanya tafsir al-Misbah[1] menjelaskan:
“apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang bisa dijangkau”

Dari penjelasan tersebut,  penulis bisa menarik kesimpulan, karena kata iqra’ yang disebutkan oleh ayat diatas tidak menyebutkan objeknya maka yang diperintahkan oleh Allah melalui firman tersebut adalah semua hal yang bersifat general dan dapat dijangkau oleh analisa logika manusia, baik hal itu berupa sesuatu yang tersurat dalam teks, ataupun sesuatu yang tersirat. Baik itu merupakan hasil karya orang islam ataupun orang yang tidak beragama islam.
Namun yang perlu diperhatikan adalah lanjutan dari lafadz iqra’ diatas yang berbunyi bis mirabbik al-ladzy khalaq yang artinya “dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan” hal ini memberikan penegasan, sekalipun Allah tidak memberikan batasan terhadap apa yang kita baca, tapi seyogyanya bacaan tersebut hendaknya didasari dengan niat yang tulus, yaitu niat karena Allah semata. Sehingga pada akhirnya apa yang kita baca berorientasi pada nilai-nilai spiritual dan nantinya menghasilkan produk pemikiran dan produk ilmiah yang bisa memberi kemaslahatan pada seluruh ummat manusia.
Dari sini bisa dilihat oleh kia bagaimana terdapat korelasi yang sangat erat antara aktivitas intelektual dengan aktivitas spiritual. yang artinya Islam menyatakan dengan tegas adanya hubungan secara horizontal antara nilai-nilai ajaran Agama dengan Ilmu pengetahuan. Sehingga dalam Islam tidak mengenal istilah dikotomi ilmu pengetahuan,yang menyebabkan ilmu itu terklasifikasi menjadi ilmu yang agamis atau ilmu non agamis, atau dengan kata lain ilmu yang religius dan ilmu yang bersifat sekuler.
selanjutnya dalam pembahasan ilmu ini. Ilmu itu tidak dapat dipisahkan dengan adanya aktivitas intelektual yang merupakan proses berfikir logis. Melalui proses berfikir inilah pada akhirnya akan melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu tentang ketuhanan yang disebut dengan ilmu teologi, ilmu tentang alam, seperti; fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya, ilmu yang membahas tentang manusia, seperti; psikologi, sosiologi dan lain sebagainya. Semua cabang ilmu pengetahuan yang disebutkan ini pada dasarnya lahir dari aktivitas intelektual melalui proses pemikiran yang mendalam, yang mana dalam dunia keilmuan, hal ini disebut dengan “Filsafat”. Jadi pada dasanya Filsafat merupakan induk dari berbagai macam cabang Ilmu pengetahuan.[2]
Aktivitas intelektual atau proses pemikiran dan penalaran secara logis tersebut juga dibahas dalam dunia islam, sebab banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan supaya ummat manusia menggunakan potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka yang berupa akal supaya digunakan untuk berfikir, sebab dengan berfikir ini manusia akan mampu mencapai kebijaksanaan yang sejati, dengan proses pemikiran ini manusia akan mengetahui siapa sebenarnya mereka dan apa yang harus dilakukan mereka di muka bumi ini[3].
Namun yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana hubungan Filsafat yang merupakan aktivitas intelektual, dan ilmu, yang merupakan sesuatu yang lahir melalui aktivitas intelektual tersebut dengan ajaran Agama yang berdasarkan perspektif Islam?  Islam merupakan satu-satunya agama yang  tegas memberi perhatian yang khusus pada ilmu pengetahuan. Oleh karena latar belakang inilah, maka penulis akan mencoba untuk mengulas karakteristik atau ciri-ciri hubungan antara filsafat, ilmu, dan agama dalam perspektif Islam dalam tulisan yang sederhana ini.

     B.     Karakteristik Filsafat
     1.      Pengertian Filsafat
istilah filsafat itu berasal dari bahsa yunani yang terdiri atas dua kata philo dan shopia. Philo berarti cinta dalam arti luas, yakni keinginan dan shopia berarti hikmat (kebijakan) atau kebenaran. Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijakan atau kebenaran (love of wisdom).[4] Istilah filsafat jika dilihat dari aspek historis pertama kali tokoh atau filusuf yang menggunakan istilah filsafat atau philosophia adalah Pythagoras.[5]
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Bahkan , Moh. Hatta dan Lageveld bahwa definisi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam definisinya. Oleh, karena itu, biarkan filsafat diteliti terlebih dahulu kemudian baru disimpulkan[6].
Pendapat ini ada benarnya, sebab intisari berfilsafat itu terdapat dalam pembahasannya. Namun definisi filsafat untuk dijadikan patokan awal diperlukan. Karena itu, disini dikemukakan beberapa definisi dari para filosof terkemuka yang cukup representatif, baik dari segi zaman maupun kualitas pemikiran.[7]
Plato mengatakan, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Adapun menurut Aristoteles filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Karena itu , Aristoteles menamakan filsafat dengan “teologi” atau “filsafat pertama”. Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa setiap gerak di alam digerakkan pleh yang lain. Karena itu, perlu menetapkan satu penggerak pertama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya sendiri tidak bergerak. Penggerak yang pertama ini sama sekali terlepas dari materi; sebab kalau ia bermateri, maka ia juga memiliki potensi untuk bergerak. Allah, demikian Aristoteles, sebagai penggerak pertama adalah aktus murni.[8]
Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.[9]
Prof. Dr. Fu’ad Hasan berpendapat bahwasannya f ilsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal; radikal dalam arti mulai dari radix-nya sesuatu gejala, dari akarnya sesuatu yang hendak dipermasalahkan. Dan dengan jalan penjajagan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan yang universal.[10]
Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, logika dan dogma) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai kedasar-dasar persoalan[11].
Jika dilihat dari teks secara literal, narasi yang digunakan oleh para tokoh diatas memang berbeda satu sama lain, hal ini wajar-wajar saja. Sebab perbedaan itu timbul dari perbedaan pandangan terhadap fungsi filsafat. Dan lagian pemikiran intelektual mereka itutumbuh dalam berbagai macam kondisi keilmuan dan berbagai macam latar belakang. Namun jika kita melihat secara kontekstual dan melihat aspek subtansialnya ternyata istilah-istilah yang ditawarkan oleh para tokoh tersebut mengandung aspek persamaan, sebab dari macam-macam definisi yang diungkapkan para tokoh diatas memiliki titik tekan yang sama. Yaitu: berpikir secara radikal, rasional, sistematis, bebas, kritis, dan universal.[12]

2.      Karakteristik Filsafat
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan karakter adalah ciri-ciri sesuatu yang membedakan antara satu benda dengan benda yang lain, maka yang dimaksud disini adalah ciri-ciri filsafat atau ciri-ciri berpikir filsafat. Ciri-ciri berpikir filsafat sebenarnya sudah tercakup pada pengertian filsafat itu sendiri yaitu: (1). Berpikir Radikal, (2). Mencari Asas, (3). Memburu kebenaran, (4). Mencari kejelasan, dan (5). Berpikir Rasional.[13]
Sedangkan menurut Sudarto yang dikutip oleh Uhar Suharshaputra[14] ciri-ciri berpikir filsafat adalah:
      a.       Metodis : menggunakan metode, cara yang lazim digunakan oleh Filusuf (ahli filsafat) dalam               proses berpikir
      b.      Sistematis : berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga         tersusun suatu pola pemikira filusuf
      c.      Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikir tidak terjadi suatu yang bertentangan dan tersusun            secara logis
      d.      Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah logika)
      e.       Komprehensif : berfikir tentangsesuatu dari berbagai sudut pandang (multidimensi)
      f.       Radikal : berfikir secara mendalam sampai keakar-akarnya atau sampai pada tingkatan esensi               yang sedalam-dalamnya
      g.      Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan manusia           secara keseluruhan.

Sebenarnya karakteristik berpikir filsafat itu sangatlah banyak dan sangat beragam bentuknya yang disebut dan diulas oleh para tokoh filsafat. Namun, disini penulis memang sengaja tidak mencantumkan semuanya sebab diantara beberapa ulasan para tokoh yang ditelaah oleh penulis sendiri memiliki titik tekan yang sama, yang mana titik tekan daripada karakteristik berpikir filsafat itu tercakup pada tiga hal yang sangat esensial yaitu; (1). Berpikir secara logis, (2). Berpikir secara sistematis, (3). Berpikir secara radikal, (4). Berpikir secara universal.

      C.    Karakteristik Ilmu (Sains)
      1.      Pengertian Ilmu
Secara eksplisit Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ilmu dengan (1) “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu; (2) pengetahuan atau kepandaian.”[15] Sedangkan secara definitif  kamus al-ʻAsri mengartikan kata al-ʻilmu sebagai sebuah pengetahuan.[16]
Al-Qurʻān sendiri dalam berbagai ayatnya menyebutkan kata īlmu sebanyak 105 kali (dalam bentuk maṣdār) sedangkan dalam berbagai perubahan bentuk lafaẓnya, Al-Qurʻān menyebut kata īlmu tidak kurang dari 744 kali dengan perincian sebagai berikut: (1) ʻalima dalam bentuk kata kerja aktif berzaman lampau (fiʻil maḍi ṡulāṡi mujarrad mabnī lil fāʻil, pasten) sebanyak 35 kali, (2) yaʻlamu dalam bentuk kata kerja aktif berzaman sekarang dan akan datang (fiʻil muḍāriʻ mabnī lil fāʻil, present dan kontinyus) sebanyak 215 kali, (3) iʻlam dalam bentuk kata kerja perintah (fiʻil amar) sebanyak 31 kali, (4) yuʻlamu dalam bentuk kata kerja pasif berzaman sekarang dan akan datang (fiʻil muḍāriʻ mabnī lil mafʻūl, present dan kontinyus) sebanyak 1 kali, (5) īlmu dalam bentuk kata benda (maṣdār, noun) sebanyak 105 kali, (6) ʻālīm dalam bentuk kata benda berfungsi sebagai subjek bermakna kesungguhan (amtsilatul mubālagah) sebanyak 18 kali, (7) maʻlūm dalam bentuk objek dari sebuah pekerjaan mengetahui (isim mafʻūl) sebanyak 13 kali, (8) ʻālamīn dalam bentuk isim jenis bermakna plural (jamaʻ) sebanyak 73 kali, (9) ʻālam dalam bentuk isim jenis bermakna singular (mufrad) sebanyak 3 kali, (10) aʻlam dalam bentuk kata benda tidak beraturan (isim jamid) sebanyak 49 kali, (11) ʻālim dalam bentuk subjek berdimensi singular (isim fāʻil lil mufrad) atau ʻulamāʼ dalam bentuk subjek berdimensi plural (jamaʻ taksīr) sebanyak 163 kali, (12) ʻallām dalam bentuk kata benda berfungsi sebagai subjek bermakna kesungguhan (amtsilatul mubālagah) sebanyak 4 kali, (13) aʻlama dalam bentuk kata kerja aktif berzaman sekarang atau akan datang (fiʻil muḍāriʻ ṡulāṡi mazīd mabnī lil fāʻil,) sebanyak 12 kali, (14) yuʻlimu dalam bentuk kata kerja aktif berzaman sekarang atau akan datang (fiʻil muḍāriʻ ṡulāṡi mazīd mabnī lil fāʻil, present dan kontinyus) sebanyak 16 kali, (15) ʻulima dalam bentuk kata kerja pasif berzaman lampau (fiʻil maḍi ṡulāṡi mujarrad mabnī lil mafʻūl, pasten) sebanyak 3 kali, (16) muʻallam dalam bentuk objek dari kata kerja mengetahui (isim mafʻūl ṡulāṡi mazīd) sebanyak 1 kali, dan (17) taʻallama dalam bentuk kata kerja aktif berzaman lampau (fiʻil maḍi ṡulāṡi mazīd mabnī lil fāʻil, pasten) sebanyak 2 kali. Dari berbagai perubahan bentuk kalimat di atas muncul berbagai ragam arti seperti mengetahui, pengetahuan, orang yang berpengetahuan, yang tahu, terpelajar, paling mengetahui, mamahami, mengetahui segala sesutau, lebih tahu, sangat mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang menerima pelajaran, mempelajari sebagaimana juga muncul pengertian tentang tanda, alamat, batas, tanda peringatan, dunia, segala yang ada, dan segala yang dapat diketahui.[17]
Secara mendalam kata ʻilmu selaras dengan kata ʻarafa, yaʻrifu, maʻrifatan yang berarti mengetahui bahkan dalam Bahasa Indonesia kata ilmu dengan pengetahuan telah menjadi kata gabungan yang artinya saling menyempurnakan menjadi ilmu pengetahuan.[18] Namun dalam al-Qurʻān kata ʻilmu memiliki arti yang lebih dalam dari hanya sebuah pengetahuan. Karena menurut al-Qurʻān kata ʻilmu di samping adalah sebuah pengetahuan, dia adalah sebuah pengetahuan yang membutuhkan olah nalar sebagaimana tertera dalam QS. Al-Anʻām: 143-145
ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ قُلْ آَلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ نَبِّئُونِي بِعِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (143) وَمِنَ الْإِبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ آَلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَذَا فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ [الأنعام/143، 144[
Delapan binatang yang berpasangan, sepasang dari domba dan sepasang dari kambing. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?" Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar.
Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya. Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.

Secara garis besar pengertian ilmu dalam al-Qurʻān dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) ilmu Allah yang meliputi semua yang maujud, baik yang dapat dilihat, ditangkap, dan dirasakan oleh indera manusia atau yang sama sekali tidak bisa dilihat, ditangkap, dan dirasakan oleh indera manusia (ilmul gaib); (2) ilmu manusia yang melingkupi berbagai ilmu yang dapat dilihat, ditangkap, dan dirasakan oleh indera atau hati manusia.[19]

Menurut Raji Abdul Hamid, terma ilmu memiliki kandungan makna, yaitu: (1) pengertian (al-maʻrifah), (2) perasaan (as-Syu’ūr), (3) persepsi (al-idrāk), (4) daya tangkap (at-taṣawwūr), (5) pemeliharaan, penjagaan, dan pengingat (al-hifẓi), (6) pengingat (at-tażakur), (7) pengertian dan pemahaman (al-fahmun, al-fiqhu), (8) intelektual (al-‘aqlu), (9) perkenalan, pengetahuan, dan narasi (ad-diroyah dan ar-riwāyah), (10) kearifan (al-hikmah), (11) intuisi (al-badīhah), (12) kecerdasan (al-firāsah), (13) pengalaman (al-khibrah), (14) pemikiran atau opini (ar-ra’yu), (15) pengamatan (an-naẓar), (16) lambang (al-ʻalamah), dan (17) tanda (as-simah).[20]
Dari kandungan makna ilmu sebagaimana di atas, maka tidak aneh jika Roshental sebagaimana dikutip M. Hadi Masruri menyederhanakan delapan ratus definisi ilmu yang dihasilkan para pemikir muslim menjadi dua belas kategori paling mendasar dari kesemua definisi tersebut, yaitu (1) pengetahuan adalah proses untuk mengetahui yang menjadikan orang tahu menjadi mengetahui karena adanya hubungan simbolik antara subjek dan objek ilmu; (2) pengetahuan adalah kognisi; (3) pengetahuan adalah proses menemukan melalaui persepsi mental; (4) pengetahuan adalah proses klarifikasi, asersi, dan penetapan, (5) pengetahuan adalah gabungan dari oprasional bentuk suatu konsep, proses mental dan imajinasi, dan verikasi mental; (6) pengetahuan adalah kepercayaan; (7) pengetahuan adalah ingatan, imajinasi, gambaran, pandangan, dan opini; (8) pengetahuan adalah aksi; (9) pengetahuan adalah istilah yang relatif; (10) pengetahuan dapat didefinisikan jika sudah berhubungan dengan gerak; (11) pengetahuan didefinisikan sebagai hilangnya ketidaktahuan; dan (12) Pengetahuan adalah hasil dari intuisi yang datang dari faktor eksternal manusia.[21]
Secara implisit definisi ilmu dari poin satu sampai sebelas memberikan pengertian bahwa (1) sumber ilmu adalah manusia; (2) saluran ilmu adalah indra dan rasio; (3) objek ilmu adalah fisik dan empiris. Sedangkan definisi poin kedua belas secara implisit memberikan pengertian bahwa (1) sumber ilmu adalah Allah SWT dan manusia; (2) saluran ilmu adalah wahyu, rasio, indra, intuisi, dan ilham; dan (3) objek ilmu adalah fisik-metafisik dan empiris meta-empiris.[22] Dengan kata lain, ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang bisa diaktifikasikan dari ide, pengalaman, observasi, intuisi, dan wahyu dalam ajaran agama tertentu.[23]
Sedangkan menurut The Liang Gie, dalam memahami ilmu seseorang harus memahami ilmu sebagai trilogi yang tidak bisa dipisah-pisahkan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Sebuah kesatuan yang terdiri dari tiga unsur, yaitu (1) ilmu sebagai proses yang tercermin dalam aktifitas penelitian, (2) ilmu sebagai prosedur yang tercermin dalam metode ilmiah, dan (3) ilmu sebagai produk yang lahir dari rangkaian kegiatan yang terdapat dalam pengertian ilmu sebagai proses dan prosedural-metodik.[24]
Pertama, ilmu sebagai proses yang tercermin dalam aktifitas penelitian atau pemikiran manusia memiliki tiga dimensi yang saling berkomunikasi antara satu dengan lainnya,[25] yaitu (1) dimensi rasional. Artinya ilmu adalah sebuah proses yan menggunakan pola pemikiran yang beroprasi berdasarkan kaidah-kaidah logika, bukan persaan atau naluri; [26] (2) dimensi kognitif. Artinya ilmu adalah sebuah proses kognitif yang bertalian erat dengan proses mengetahui dan pengetahuan itu sendiri seperti aktivitas pengenalan, pencerapan, pengonsepsian, dan penalaran; dan (3) dimensi teleologis. Artinya ilmu adalah sebuah tujuan tertentu yang ingin dicapai berdasarkan proses yang rasional dan kognitif.
Kedua, ilmu sebagai sebuah prosedur yang tercermin dalam metode ilmiah. Kedudukan ilmu sebagai sebuah metode ilmiah mengharuskannya memiliki empat hal, yakni (1) pola prosedural seperti pengamatan, percobaan, pengukuran, survai, deduksi, induksi, analisis, dan lainnya; (2) tata langkah seperti urutan langkah berikut ini, yaitu penentuan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil; (3) tehnik seperti daftar wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lain-lain; dan (4) aneka alat seperti timbangan, meteran, perapian, dan lain-lain.[27]
Ketiga, ilmu sebagai sebuah produk -bernama pengetahuan yang lahir dari rangkaian kegiatan yang terdapat dalam pengertian ilmu sebagai proses dan prosedural-metodik - adalah pengertian yang paling mudah dipahami dan disetujui oleh para ilmuwan dan filsuf.[28] Pengertian ilmu ketiga ini selaras dengan definisi ilmu Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyatakan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[29]
Berdasarka ketiga dimensi cakupan pengertia ilmu di atas, The Liang Gie mengartikan ilmu sebagaimana di bawah ini:
Ilmu adalah rangkaian aktifitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala, gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan.[30]

2.      Karakteristik Ilmu
Sebagaimana filsafat, ilmu juga memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang membedakan antara ilmu dengan sesuatu yang lain, ciri-ciri inilah yang akan bisa membedakan antara ilmu dan pengetahuan, bahkan karakteristik inilah yang juga akan menjadi pembeda antara ilmu dengan filsafat.
Secara umum dari pengertian ilmu dapat diketahui apa sebenarnya yang menjadi karakteristik ilmu itu sendiri. Meskipun untuk tiap definisi memberikan titik berat yang berlainan. Kemudian secara khusus memang ada ciri-ciri atau karakteristik ilmu itu sendiri[31] sebagai berikut :
      a.       Empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan)
      b.      Sistematis (tersusun secara logis serta mempunyai hubungan saling bergantung dan teratur)
      c.       Objektif (terbebas dari parasangka dan kesukaan pribadi)
      d.      Analitis (menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian yang terinci)
      e.       Verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya)

Sementara itu Beerling menyebutkan karakteristik ilmu (pengetahuan ilmiah) sebagai berikut:
      a.       Mempunyai dasar pembenaran
      b.      Bersifat sistematik
      c.       Bersifat intersubjektif

Dari karakteristik yang telah diulas diatas maka kita dapat membedakan antara mana pengetahuan yang bersifat ilmiah dengan pengetahuan yang tidak ilmiah. Sebenarnya perbedaan itu telah tampak pada segi arti kata keduanya secara etimologi yang keduanya sama-sama berasal dari bahasa inggris. Jika ilmu berarti sains tapi kalau pengetahuan berarti knowledge. Hal senada juga terjadi dalam nahasa arab jika ilmu menggunakan kata ‘ilm tapi kalau pengetahuan menggunakan term ma’rifah. Namun pada akhirnya kedua istilah tersebut (ilmu dan pengetahuan) disandingkan menjadi satu kesatuan dalam istilah indonesia yaitu ilmu pengetahuan yang berarti science.

      D.    Pengertian Agama
Agama merupakan sesuatu yang sangat esensial didalam kehidupan manusia dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, dari era primitif sampai era modern saat ini. Kebutuhan manusia terhadap agama tidak bisa dilepaskan, sebab manusia tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama yang melingkupinya, alasannya, sebab agama merupakan fitrah atau mudahnya semua manusia memiliki naluri sifat kebutuhan terhadap agama itu sendiri.[32]
Agama berasal dari bahasa Sankrist. Ada yang berpendapat bahwa kata itu terdiri atas dua kata, a berarti tidak dan gam berarti pergi, jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi turun temurun. Agama memang mempunyai sifat demikian. Pendapat lain menyatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Selanjutnya bahwa gam berarti tuntunan. Agama juga mempunyai tuntunan yaitu kitab suci, istilah agama dalam bahasa asing bermacam-macam, antara lain: religion, religio, religie, godsdienst, dan al-diin.[33]
Pengertian agam secara istilah sebagaimana yang diubgkapkan beberapa ahli sebagai berikut ini, sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar[34]:
      a.       J.G. Frazer berpendapat agama adalah penyembahan kepada kekuatan yang lebih agung dari pada manusia, yang dianggap mengatur dan menguasai jalannya alam semesta.
     b.      Freud berpendapat bahwa yang dimaksud agama adalah bayangan dari rasa takut atau gagasan yang khayali (the projection of fear or wishful thinking)
     c.       Prof. Musthafa Abd Raziq mengatakan bahwa agama adalah terjemahan dari kata  din yang berarti peraturan-peraturan yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan dengan keadaan-keadaan yang suci.
      d.      Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa agama adalah: suatu sistem kelakuan dan hubungan manusia yang berpokok pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuatan dan kegaiban yang tiada berhingga luas, dalam, dan mesranya disekitarnya, sehingga memberi arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinginya.
     e.       A.M Saifuddin mengatakan bahwa agama merupakan kebutuhan paling esensial manusia yang bersifat universal. Karena, itu, agama menurutnya, adalah kesadaran spiritual yang didalamnya da satu kenyataan di luar kenyataan yang tampak ini , yaitu bahwa manusia selalu mengharap belas kasih-Nya, bimbingan tangan-Nya, serta belain-Nya, yang secara ontologis tidak bisa di ingkari, walaupun oleh manusia yang paling komunis sekalipun.

Dari penjelasn yang diungkapkan para tokoh diatas sekalipan ada perbedaan yang bersifat konotatif namun secara subtansial ada pokok persamaan. Mungkin perbedaan itu muncul karena penggunaan teks dan narasi yang berbeda-beda. Aspek subtansial yang penulis maksud ada persamaan disini adalah, semua definisi yang ditawarkan oleh para ahli tersebut berorientasi pada aspek ke ghaiban sesuatu yang metafisika, sesuatu yang tidak tampak dan tidak empiris.
Jika kita melihat dari aspek subtansial yang ditawarkan oleh penulis tersebut agaknya antara agama, ilmu dan filsafat sangatlah berbeda, oleh karena itu sngatlah sulit untuk mengawinkan dn menggabungkan antara ketiga hal tersebut. Namun disini penulis akan mencoba untuk mengawinkannya, karena ketiga aspek tersebu ada unsur-unsur kesamaannya. Yang hal ini akan diulas pada poin selanjutnya.

      E.     Hubungan antara Agama, Filsafat dan Ilmu dalam Islam
      1.      Hubungan antara Filsafat, Ilmu, dan Agama
Sebelum kita membahas tentang pandangan islam dalam masalah hubungan antara Agama, Filsafat, dan Ilmu. Atau hubungan ketiganya dalam Islam, ada baiknya kalau kita melihat hubungan ketiga hal ini secara mendalam, baik dari aspek sosio-histori nya, ataupun dalam aspek yang lainnya, yang tentunya melingkupi hubungan ketiganya.
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan melalui proses perjalanan filsafat yang amat panjang. Memang, ada gejolak dan ketegangan yang sangat mencolok antara Agama, ilmu pengetahuan, serta filsafat itu sendiri. Mungkin, jika ilmu dan filsafat tidak ada masalah sebab keduanya pada dasarnya merupakan satu kesatuan, ilmu lahir dari rahim filsafat sehingga bisa dikatakan ilmu adalah anak kandung dari filsafat. Akan tetapi yang menjadi perhatian disini adalah ketegangan serta pertikain antara agama dan ilmu, peperangan antara filsafat dan kepercayaan agama[35]
Bahkan lebihparah lagi sampai-sampai Agama yang seharusnya nilai-nilai ajaran Agama itu memeluk mesra pemeluknya melindungi pemeluknya malah menjelma menjadi sosok yang menakutkan yang mengintimidasi para ilmuan.  Hal ini terjadi para ilmuan eropa, bagaimana sejarah mencatat bagaimana gereja yang merupakan simbol Agama menindas para ilmuan akibat penemuan mereka yang dianggap bertentangan dengan kitab suci, sehingga pada akhirnya para ilmuan itu menjauh dari agama bahkan meninggalkannya.[36]
Itu merupakan catatan kelam tentang sejarah yang mencatat bagaimana disana ada konfrontasi antara Ilmu dan Agama. Sehingga para intelektual dari kalangan orientalis menyatkan bahwa antara Agama dan Ilmu pengetahuan jelas tidak bisa dikawinkan karena hubungan yang sangat amat tidak harmonis diantara keduanya. Namun Islam sebagai agama pemungkas hadir dengan gagahnya dengan doktrin-doktrinnya yang malah memberi perhatian kepada Ilmu Pengetahuan. Hal ini dapat kita lacak dari kitab sucinya dimana sangat banyak menyinggung masalah ilmu, bahkan perintah yang diturunkan pertama kali, sebelum perintah ibadah yang lainnya di perintahkan adalah perintah membaca, yang mana membaca merupakan aktivitas yang sangat sentral kedudukannya dalam mencari dan mencapai pengetahuan yang ilmiah.

2.      Pandangan Islam tentang hubungan Ilmu , Filsafat, dan Agama
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya satu-satunya agama yang memiliki hubungan yang harmonis dengan Ilmu pengetahuan adalah Agama Islam. Hal ini dapat dilacak dalam sumber nilai-nilai ajarannya.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapain pengetahuan dan objek pengetahuan.[37] Jadi dari sini Islam sangat mnjunjung nilai-nilai keilmuan, sebab dengan ilmu dan proses berfikir itulah manusia dapat mencapai hakikat yang sejati.
Sebagaimana yang telah penulis ulas di atas, sejak kehadirannya, filsafat ditolak oleh kaum agamis sebab bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diyakini pada waktu itu. Tapi hal semacam itu tidak berlaku di dunia Islam. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Amsal Bakhtiar[38] sebagaimana berikut:
Benturan yang semacam ini bukan hanya terjadi di Yunani, tetapi juga dikawasan lain yang mengalami penemuan-penemuan baru, terutama dalam bidang sains. Namun ada juga benturan yang tidak terlalu tajam, seperti pada masa awal-awal Islam (abad kedua dan ketiga hijriah). Kedatangan filsafat dan yunani di dunia Islam tidak mengalami gejolak yang besar sekali dalam masyarakatnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat Islam pada waktu itu belum terlalu mengkristal dalam satu pola hidup tertentu. Mereka masih bebas untuk melakukan ijtihad dalam berbagai lapangan, baik, teologi, fikih, filsafat, maupun ilmu. Jarak yang begitu dekat dengan sumber pertama , yakni Nabi mendorong mereka lebih berani untuk mengadakan pembaharuan dalam bidang tersebut. Kedua, al-Quran dan Hadis Nabi mendorong untuk melakukan penelitian ilmiahdan mengobservasi kejadian-kejadian di alam untuk dijadikan i’tibar bagi orang-orang yang beraqal. Ketiga, para Khalifah waktu itu sangat menyokong kegiatan ilmiah. Masa Khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Amin, buku filsafat dan ilmu diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Para ilmuan diberi insentif oleh kerajaan untuk mengembangkan disiplin ilmu, tidak heran kemudian muncul ulama’ yang tidak hanya ahli dibidang Agama, tetapi juga ahli dalam bidang fisika, kimia, matematika, dan kedokteran.

Dari urain diatas tampak jelas bagaimana Islam menerima pembaharuan melalui aktifitas intelek tual dan proses berfikir logis yang nantinya menghasilkan berbagaimacam ilmu pengetahuan yang tentunya ilmu itu pada akhirnya bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Selanjutnya penulis berkesimpulan setelah menganalisis tentang beberapa data bahwa Islam mengakui hubungan antara filsafat, ilmu dan agama. Karakteristik hubungan antara ketiganya adalah sebagai berikut; menurut penulis karakteristik hubungan antara ketiga hal itu (Filsafat, Ilmu, dan Agama) dalam Islam memiliki dua aspek hubungan; pertama, hubungan horizontal; yaitu, penggunaan proses pemikiran rasional dan logis atau penggunaan filsafat dalam menginterpretasikan isi kandungan kaidah nilai-nilai fundamental ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an sehingga dari penafsiran itu menghasilkan ilmu pengetahuan[39]. Yang kedua, yaiitu; al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan nilai-nilai ajaran yang bersifat fundamental tersebut, memberi motivasi dan inspirasi kepada manusia supaya menggunakan potensi yang dianegerahkan oleh Allah yang berupa aqal untuk melakukan proses pemikiran rasional atau untuk berfilsafat, sehingga dari aktivitas intelektual tersebut menghasilkan karya-karya ilmiah atau ilmu pengetahuan[40]



Dari kedua gambar di atas  tampak jelas bagaiman hubungan antara Islam, filsafat dan ilmu, bahkan jika kita mau mencerna Agama seharusnya yang didalamnya terdapat nilai-nilai ajaran yang berorientasi pada perbaikan moral dan sosial dan bertujuan untu menjadikan manusia menjadi baik, tidak menjadi penindas para ilmuan atau menceraikan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dan seharusnya yang terjadi adalah sebaliknya bagaimana nilai-nilai luhur agama tersebut memberi motivasi dan inspirasi kepada manusia agar berfikir yang nantinya dari proses pemikiran itu melahirkan ilmu pengetahuan, atau agama memberikan kebebasan kepada manusia untuk menginterpretasikan nilai-nilai agama itu dengan pemikiran yang rasional yang pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan yang tentunya berorientasi pada kemaslahatan ummat manusia. Sehingga peran Agama dalam perkembangan ilmu pengetahuan itu memiliki posisi yang sangat strategis[41]

      F.     Kesimpulan Akhir
Dari pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:
     1.  Filsafat dan ilmu pada dasarnya memiliki hubungan yang sangat erat, mulai dari masa klasik sampai masa modern saat ini. Sebab berbagai macam ilmu pengetahuan itu lahir dari rahim filsafat. Sehinnga bukan sesuatu yang mengada-ada jika dikatakan kalau filsafat adalah induk dari berbagai macam ilmu pengetahuan. Dengan artian antra ilmu dan filsafat sangat erat hubungannya.
        2.    Jika filsafat dan ilmu memiliki hubungan yang sangat erat, sekalipun memiliki karakteristik yang berbeda. Lain halnya dengan agama, yang mana agama, jika dilihat dari aspek historinya dengan filsafat serta ilmu pengetahuan selalu bertikai. Namun kehadiran islam sebagai agama pamungkas mampu merajut hubungan yang harmonis dengan filsafat dan ilmu.
        3.   Karakeristik hubungan filsafat, ilmu, dan agama dalam islam bisa dilihat dari dua aspek korelasi. Yang pertama, korelasi secara horisontal. Yang kedua, korelasi yang bersifat vertikal.



DAFTAR PUSTAKA



Ahmad, Abu, Filsafat Islam, Bandung: Toha Putra
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddiin, Surabaya: Al-Haramain, 2003
Atabik Ali & Ahamd Zuhdi Muhdor, , Kamus al-Asri (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Cet IX,   Yogyakarta: Multi Karya Grafika
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Keyakinan Manusia, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Hasan, Fu’ad, Berkenalan dengan Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989
M. Hadi Masruri & Imron Rosidi, Filsafat Sains Dalam Al-Qurʼān  (Malang: UIN Malang Press, 2007)
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Raharjo, Dawan, Ensiklopedi AL-Qurʻān Jakarta Selatan: Paramadina, 2002
Rosidin, Epistemologi Pendidikan Islam Yogyakarta: Diandra Kreatif
Suharsaputra, Uhar, pengentar Filsafat ilmu, (buku ajar Universitas Kuningan Jakarta,
2016
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan. Dan Keserasian Dalam al-Qur’an, Jakarta: Lenter ahati, 2012
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet. V Yogyakarta: Liberty: Yogyakarta, 2000




[1] Quraish Shihab, Tafsir AL-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an , (Jakarta: Lentera Hati, Cetakan ke- V, 2012), hlm. 455
[2] Cara berfikir filsafat telah mendobrak pintu dan tembok-tembok tradisi dan kebiasaan, bahkan telah menguak mitos dan mite serta kemudian meninggalkan cara berpikir mistis. Pada saat yang sama, filsafat juga telah berhasil mengembangkan cara berpikir rasional, luas dan mendalam, teratur dan terang, integral dan koheren, metodis dan sistematis, logis, kritis, dan analitis, karena itu ilmu pengetahuan pun semakin bertumbuh subur dan menjadi dewasa. Untuk selanjutnya, berbagai ilmu pengetahuan yang telah mencapai tingkat kedewasaan penuh, satu demi satu mulai mandiri dan meninggalkan filsafat yang telah mendewasakan mereka. Itulah sebabnya filsafat disebut sebagai mater scientiarum atau induk segala ilmu pengetahuan. Lihat, Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Yogyakarta: Ar- Ruz Media, cetakan. I, 2016), hlm. 24
[3] من عرف نفسه فقد عرف ربه ومن عرف ربه فقد جهل نفسه  yang artinya adalah barang siapa yang mengatahui dirinya maka akan mengetahui tuhannya dan sipa yang mengetahui tuhannya maka dia akan bodoh akan dirinya. Hal ini dapat diperoleh melalui proses pemikiran tentang siapa dirinya sehingga dia mampu mengetahui bahwa dia pada hakikatnya adalah ciptahan Tuhan. Lihat, Muhammad ibnu Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, iya’ Ulumuddin (Surabaya: Penerbit al- Haramain, Juz I), hlm.32
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 242
[5] Menurut sejarah, istilah philoshophia pertama kali digunakan oleh Pythagoras (sekitar abad ke-6 SM). Ketika diajukan pertanyaan kepadanya , “apakah anda termasuk orang yang bijaksana ?.” dengan rendah hati Pytahagoras menjawab, saya hanya seseorang philoshophos, pencinta  kebijaksanaan , (love of Wisdom). Lihat , Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari masa klasik Hingga Postmodernisme, (Jakarta: Ar-Ruzz- Media), hlm. 11
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990), hlm.8
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), cet. 3, halm. 7
[8] K. Bartens, sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), hlm. 155
[9] Abu Ahmad, Filsafat Islam, (Semarang: Toha Putra, 1988), hlm.8
[10] Fuad Hasan, Berkenalan dengan Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm.10
[11] Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm 4
[12] Perbedaan definisi yang diberikan para tokoh diatas karena perbedaan pandangan mengenai fungsi filsafat pada setiap tokoh. Namun, dari sekian definisi terdapat persamaan yang cukup pokok dan sekaligus merupakan unsur-unsur dasar filsafat. Dari penjelasan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pokok dalam filsafat adalah pembahasan tentang segala yang ada secara radikal, rasional, sistematis, bebas, kritis, dan universal. Lihat, Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.35
[13] Lebih jelasnya coba lihat Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm 21-23.
[14] Uhar Suharshaputra, pengentar Filsafat ilmu, (buku ajar Universitas Kuningan Jakarta, 2016), hlm23
[15] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 423.
[16] Atabik Ali & Ahamd Zuhdi Muhdor, tt, Kamus al-Asri (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Cet IX,   Yogyakarta: Multi Karya Grafika, hlm. 1314.
[17] Dawam Raharjo, Ensiklopedi AL-Qurʻān (Jakarta Selatan: Paramadina, 2002), hlm. 531-532.
[18] Dawam Raharjo, Ensiklopedi AL-Qurʻān, hlm. 532.
[19] Dawam Raharjo, Ensiklopedi AL-Qurʻān, hlm. 549.
[20]Raji Abdul Hamid, Naẓāriyah Maʻrifat Bainal Qurān wal Falsafah,   hlm. 33.
[21]M. Hadi Masruri & Imron Rosidi, Filsafat Sains Dalam Al-Qurʼān  (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 53-54.
[22]Rosidin, Epistemologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Diandra Kreatif), hlm. 28-29.
[23]  Beni Ahmad dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 21.
[24] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet. V (Yogyakarta: Liberty: Yogyakarta, 2000), hlm. 90.
[25] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 108.
[26] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 96.
[27] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 118.
[28] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 119.
[29] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  hlm. 423.
[30] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 130.
[31] Lebih jelasnya lihat The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet. V (Yogyakarta: Liberty: Yogyakarta, 2000), hlm. 90.
[32] Dalam pandangan islam, keberagamaan adalah fitrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya), sebagaimana firman Allah: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا (fitrah Allah yang menciptakan dengan fitrah itu(Q.S. Al-Ruum: 30)). Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian. Karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Lihat, Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan ummat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2009), hlm. 375
[33]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Kepercayaan (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 12
[34] Amsal Bakhtiar, hlm.13 -14
[35] Dalam sejarah Yunani, kehadiran pemikiran filsafat sebagai induk dari ilmu dan sains modern telah menimbulkan gejolak dalam masyarakat, karena penemuan filsafat bertentangan dengan sistem kepercayaan dan mitos mereka. Masyarakat waktu itu mempercayai bahwa kejadian alam dan peristiwa yang terjadi didalamnya tidak lepas dari aktivitas para dewa. Gerhana, Pelangi, atau gempa bumi dianggap sebagai aktualisasi fungsi para dewa. Lihat, Amsal Bakhtiar, filsafat Agama; Wisata pemikiran dan kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 225
[36] Jelasnya lihat, Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan ummat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2009), hlm.375
[37] Quraish Shihab, hlm. 434
[38] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Keyakinan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm.  227 -228
[39] Lebih jelasnya lihat pada gambar 1.1
[40] Lebih jelasnya lihat gambar 1.2
[41] Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia tetap ingin jadi manusia. Lihat , Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an;Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan Ummat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2009), hlm.377 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar