Kamis, 09 November 2017

MAKALAH STRATEGI DAN METODE PENGEMBNGAN ILMU: Lompatan Pradigmatik (Thomas S. Kuhn) dan Progam Riset Ilmiah (Imre Lakatos)

STRATEGI DAN METODE PENGEMBNGAN ILMU

Lompatan Pradigmatik (Thomas S. Kuhn) dan Progam Riset Ilmiah (Imre Lakatos)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag






Pemakalah :
SELVI BUDI RAHAYU
(16771005)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



A. Pendahuluan
Pada mulanya apa yang disebut ilmiah adalah filsafat, sebab filsafat adalah bentuk awal dari semua ilmu. Keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatsan mendorong manusia untuk berpikir. Berpikir untuk menjawab segala persoalan dari rasa heran, sangsi, dan serba terbatasnya. Pemikiran itu segera menjadi “metodis”. Manusia cenderung unutk menggunakan jalan tertentu untuk berpikir, dari hal-hal yang kongkret ke prinsip-prinsip induk yang abstrak. Dalam berpikir manusia melakukan “abstraksi”[1]. Setiap jenis abstraksi menghasilkan salah satu jenis ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, pengetahuan matematis, dan pengetahuan teologis. Semua jenis pengetahuan itu menurut Aristoteles disebut filsafat.[2]
Berfilsafat bagi manusia berarti mengatur hidupnya senetral mungkin dengan perasaan tanggung jawab terhadap Tuhan, alam, ataupun kebenaran[3]. Fisafat sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia untuk kesehariannya. Filsafat juga tidak cukup hanya diketahui dan dipelajari saja tetapi juga harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.(1) Fisafat juga merupakan induk dari segala ilmu.
Pada zaman Yunani Kuno sulit untuk membedakan antara filsafat ilmu dan filsafat. Pembuktian empirik kurang mendapatkan perhatian dan metode ilmiah tampaknya kurang begitu berkembang. Kemudian sedikkit demi sedikit dengan makin berkembanganya penalaran dan metode ilmiah, dengan makin kuatnya pembuktian empirik, dan sseiring itu makin meluasnya penggunaan instrument penelitian, satu persatu cabang ilmu mulai melepaskan diri dari filsafat.[4]
Masalah ilmu pengetahuan mungkin menjadi masalah terpenting bagi kehidupan manusia. Hal inimenjadi cirimanusia karena manusia senantiasa bereksistensi, tidak hanya seperti batu dan rumput di tengah lapangan yang ada tetapi dianggap tidak ada. Tetapi manusia disini selalu ingin diakui keberadaanya.
Filsafat juga memberikan pendasaran dalam cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan dan pengembangannya, terutama dasar ontologi , epistemologi, dan aksiologi. Berperan juga juga dalam menjelaskan dan menghilangan rintangan-rintangan yang dihadapi ilmu pengetahuan serta menjadi wasit terakhir dalam membedakan antara pengetahuan dan kepercayaan atau antara keyakinan dan keraguan.[5]
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan,paradigma epistemlogi psitivtik telah merajai bidang ini, dan bercokol selama berpuluh-puluh tahun. Tetapi, sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, terlihat perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan ini sebenrnya merupakan upaya pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan psitivistik yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Thomas S. Kuhn, Pau Feyeraband, N.R. Hanson, Robert Palter, Stephen Toulmin, serta imre Lakatos. [6]
Telah lahir banyak ilmuan yang membicarakan tentang filsafat dengan backgrund pendidikan ilmu pengetahuan, hal ini membuat filsafat lebih berkembang dan dapat menyatukan antara teori ilmu pngetahuan dengan imu fisafat sendiri.

B. Pembahasan
1. Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio dan meninggal pada 17 Juni 1996 di Cambridge, Massachusetts USA. Kuhn menyelesaikan study doktornya dalam ilmu pasti-alam di Harvards dan Universitas Princeton, dan dari tahun 1979-1991 ia bertugas di Massachusetts Institute of Technologi. Karyanya yang aling terkenal adaah The Structure of scientific revolutions (1962) dan The Essential Tension; Selected Studies in Scientific Tradition and Change (1977).[7]
Kuhn mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada tahun 1946 dan mulai mengajar pada tahun 1949 setelah mendapatkan gelar Ph.D dari Harvard University Kuhm meneruskan belajarnya di Universitas Barkeley  di California dan menjadi profesor sejarah Ilmu pada tahun 1961. Kuhn menulis karyanya yang sangat terkenal dan menjadi rujukan dimana-mana dengan judul The Structure of Scientific Revolution pada saat berada di Universitas Barkeley pada tahun 1992.
Kuhn sempat menelaah bidang-bidang yang jauh dari spesialisnya seperti mempelajari psikologi, serta pengaruh bahasa terhadap pernyataan ilmiah. Dan dari hasil menelaah bidang-bidang ilmu ini, kuhn menekankan pentingnya pemahaman akan sejarah ilmu pengetahuan sebagai titik tolak bagi semua riset dan pemahaman ilmiah. Kuhn lebih mengutamakan sejarah ilmu drbagai titik awal dalam segala penyelidikan. Karena ke antusiasannya tersebut, Kuhn sampai mengklaim bahwa filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah ilmu.[8]
Menurut Kuhn sejarah ilmu merupakan starting point dan kacamata utamanya dalam menyoroti permasalahan-permasalahan fundamental dalam epistemologi yang selama ini masih menjadi teka-teki. Menurut Kuhn sains pada dasarnya juga lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya.

2. Paradigma Kuhn
Konsep sentral Kuhn adalah paradigma, kata paradigama menururt KBBI adalah (1) model dalam teori ilmu pengetahuan (2) kerangka berpikir.[9] Secara umum Kuhn mengartikan paradigma sebagai beberapa contoh praktik ilmiah aktual yang diterima seperti hukum, teori, aplikasi dan instrumen yang diterima bersama sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber dan tradisi-tradisi yang mantap dalam riset ilmiah khusus.[10]
Kuhn tidak puas dengan anggapan bahwa seharah filsafat selalu kontinu atau berkesinambungan untuk menekati kebenrana. Kuhn berargumen bahwa periode yang berbeda dari filsafat justrui memiliki sidat ke tidak sinambungan. Jadi masing-masing era filsafat memiliki bahssan yang berbeda-beda.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, menurut Kuhn terjadi revolusi intelektal yang membalikkan perjalanan panjang jalur filsafat konservatif. Periode “normal” ditandai dengan tingkat independensi dan objektivitas rendah, dan lebih banyak menyetujui asumsi dan hasil yang sudah diharapkan. Selama priode “normal” ini jika terjadi anomali hasil penelitian atau hasil di luaryang diharapkan, hasil ini akan dikesampingkan dan dianggap tidak relevan atau sevbagai masalah yang akan diselesaikan lain waktu.
Yang dimaksud sains normal disini adalah riset yang dengan teguh berdasarkan atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatuketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek selanjutnya.[11]
Penelitian orisinil yang mempertanyakan asumsi yang berlaku saat itu akan dianggap sebagai spekulasi liar yang tidak berguna. Kondisi seperti inilah yang ditemui kuhn yang disebutnya sebuah Paradigma. Paradigma saat ini mirip sebuah jaring yang saling berkaitan antara satu asumsi dan kepercayaan bersama oleh sekelompok komunitas yang mendasari dan menyusun agenda saat ini. Kuhn berpendapat bahwa kondisi seperti ini akan memiliki kecenderungan untuk memperkuat paradigma lama dan pardigma baru yangdijungkir balikkan oleh sebuah revolusi intelektualketika sebuah paradigma gagal menyajikan model yang sesuai dengan sebuah fenomena yang teramati.
Paradigma itu akan bergeser dan revolusipun terjadi. Contoh sebuah revolusi seperti ini adalah pergeseran paradigma geosentrising ptolemi ke arah paradigma heliosentrisnya copernicus. Cotoh lain adalah pergeseran paradigma fisika mekanika Newton ke arah fisika modern an relativitasnya einstein.
Kuhn juga mempopulerkan istilah incommensurability (ketidak proposionalan) yang menolak bahwa ilmu pengetahuan bergerak maju ke arah kebenaran hakiki. Menururt Kuhn, kejadian penolakan paradigma lama untuk menerima hal baru justru meniadakan kemungkinan perbandingan. Kuhn berargumen bahwa oandangangan ilmuwan terhadap dunia benar-benar berubah dengan munculnya paradigma baru sehingga tidak dapat dibandingkan secarakuantitatif dan kualitatif dengan paradigma lama. Perbedaan zaman yang dialami oleh ilmuwan membawa perbedaan psikologi, seperti yang dikatakan Kuhn  “Setelah Copernicus para astronom hidup di dunia yang berbeda”. Perbedaan yang dimaksud oleh Kuhn adalah dunia sebelum Copernicus adalah dunia yang dikelilingi matahri, tetapi setelah Copernicus dunia menjadi bergerak mengelilingi matahri.
Subjektivisme dalam ilmu pengetahuan ini menimbulkan ide bahwa kebenaran hakiki dapat dipertanyakan dan hidup dapat dijalani tanpa mengetahui kebenaran hakiki. Karena tidak mungkin didapatkan sebuah kebenaran tanpa beroperasi dalam sebuah paradigma yang berlaku. Kuhn memandang ilmu pengetahuan sebagai sebuah evolusidalam rangka menjawab tantangan dunia.
Dengan nada pesimis tentang kemampuan ambisi ilmu pengetahuan untuk mencapai kebenaran hakiki, Kuhn memberi analogi bahwa jika evolusi ilmu pengetahuan dipercayaakan mencapai kebenaran hakiki, evolusi organisme termasuk manusia di dalamnya juga dipercaya akan berevolusi ke arah organisme hakiki.[12]
Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa adanya hambatan. Tetapi disini adakalanya ilmuwan-ilmuwan serta masyarkat sains tidak bisa menerima adnaya paradogma baru yang telah ada tersebut. Dalam pemilihan paradigma disini tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan dari masyarakat yang bersangkutan. Sehingga paradigma tersebut dapat diterima untuk menggantikan paradigma lama.olehkarena itu permasalhan paradigma atau munculnya paradigma yanng baru sebagai akibat dari revolusi sains tidak lain hanyalah sebuah kesepakatan yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademis atau masyarakat sains, maka revolusi sains dapat terwujud.
Jika ada beberapa ilmuwan yang tidak dapat menerima akan adnya paradigmabaru yang telah mematahkan paradigma yang lama dan tetap bertumpu pada paradigma yang lama untuk landasan risetnya, maka aktivitas-aktivitas risetnya tidak akan bermanfaat sama sekali.[13]
Menurut Lubis, Kuhn menggunakan pengertian paradigma dengan dua puluh satu pengertian yang berbeda-beda, tetapi Masterman membagi hal itu menjadi tiga tipe paradigmatik, yaitu paradigma metafisik, paradigma sosiologis dan paradigma konstruk.
a.       Paradigma Metafisik
Paradigma metafisik merupakan consensus terluas dalam bidang ilmu yang membantu mengatasi bidang (scope) dari satu bidang ilmu,sehingga mmbantu mengarahkan komunitas ilmuwan dalam melakukan penelitiannya.
Menurut Ritzer, paradigma metafisik memerankan beberapa fungsi.diantaranya adalah sebagai berikut[14] :
1)      Untuk menentukan ontology (realitas, objek) yang menjadi fokus atas objek akajian ilmiah dari komunitas ilmuwan tertentu.
2)      Unutk membantu komunitas ilmuwan tertentu bagaimana mereka menemukan realitas atau objek yang menjadi pusat perhatiannya.
3)      Untuk membantu ilmuwan guna menemukan teori dan penjelasan tentang objek yang diteliti sesuai dengan pandagan 1 dan 2.

b.      Paradigma Sosiologi
Paradigma sosiologi ini sangat mirip dengan konsep exemplare dari Thomas S. Kuhn. Kuhn mendiskusikan keanekaragaman fenomena yang mencangkup dalam pengertian seperti kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan nyata, keputusan-keputusan hukum yang diterima, hasil-hasil nyata perkembangan ilmu pengetahuan, serta hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum.

c.       Pardigma Konstruk
Suatu pandangan mendasar dari suatu disiplinj ikmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang senestinya di pelajari.

3. Biografi Singkat Imre Lakatos
Tidak ada banyak literatur yang menjelaskan secara rinci mengenai riwayat hidup Imre Lakatos. Imre Lakatos lahir di Hungaria pada tahun 1992 dan meninggal pada tahun 1974. Dia menyelesaikan studi doktornya di Cambridge University dengan sebuah disertasi yang berjudul “Proofs and Refatuation”.
Karya-karya dari Imre Lakatos diantaranya adalah “Criticism and Methodology of Scientific Research Pragmammes”, yang kemudian dikembangkan menjadi “Falsifiction and the Methodology of Scientific Research Progannes (MRSP)”. Di samping karyanya yang terkenal ini, dia juga menulis arya-karya lainnya yaitu Mathematics, Scienc and Epistemology. Sebuah karya yang belum terselesaikan karena faktor usia yang tidak memungkinkan yang berjudul “The Cahnging Logic ofScience Discovery” merupakan pembaharuan terhadap karya Pooper yang berjudul “The Logic Science Discovery”.
Selain menulis, Lakatos juga aktif dalam berbagai symponi dan kegiatan ilmiah lainnya. Pada tahun 1965,dia memprakarsai suatu symposiun yang bertujuan untuk mempertemukan gagasan Kuhn terhadap Popper yang lebih disebabkan karena Kuhntidak memahami falsifikasionisme yang dikemukakan.[15]

4. Program Riset Ilmiah Imre Lakatos
Pada masa sebelum Lakatos, Ilmu Pengetahuan adalah ilmu yang berdiri sendiri. Bagi para penyokong induktivisme dan falsifikasionisme yang memandang ilmu pengetahuan hanyalah teori-teori yang berdiri sendiri. Jadi jika sebuah teori telah dibuktikan secara empiris, maka kebenran dianggap abadi. Sedangkan penyokong falsifikasionisme memandang bahwa sebuah teori harus terbuka dan memungkinkan adanya refutasi-refutasi, karenanya pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan dengan merontokkan teori yang sudah ada untuk mendapatkan teori baru.
Menurut Lakatos ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset. Berbeda dengan Kuhn yang memberikan kemungkinan terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Lakatos menepiskan sama sekali terjadinya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas. Bahkan jika sebuah program riset terfasifiksikan, program tersebut tidak lantas terpuruk, tetapi ia masih memiliki kekuatan untuk bangkit kembali guna meraih kemampuan.
Jika Kuhn yang sering menggunakan pandangan bahwa paradigmatik dapat diperbandingkan dan tidak terbuka bagi perbandingan pemikiran, Lakatos bertahan dahwa kita dapat membandingkan secara objektif terhadap realitivitas kemajuan dari tradisi penelitian yang penting.
Upaya perluasan pemikiran Lakatos akan pemikiran akan pemikiran Popper tampak ketika dia menyatakan bahwa tugas utama tidak dijadikan teori sendiri-sendiri, namun menjadi program yang masing-masing meliputi teori berganda. Teori berganda disini terjadi dari inti (core) yang tersusun dari prinsip dasar,dan ikat pinggang (belt) yang terdiri dari pendapat atau prinsip jadian atau hipotesis pembantu. The belt adalah yang secara langsung diuji, sehingga membuat the core selamat. Namun, the belt yang dimaksudan untuk melindungi core hanya untuk sementara waktu. Jika the belt lewat beberapa cara tidak dapat menyelesaikan beberapa tantangan yang dijumpai, maka program uji falsibilitas keseluruhan harus dijalankan.
Menururt Lakatos, yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tida ilmah adalah rangkaian teori-teori, dan bukannya teori tungga yang berdiri sendiri. Teori-teori yang dihubungkan dengan kontinuitas yang menyatukannya. Kontinuitas ini dikembangkan dari suatu program riset yang bisa dibayangkan sejak awal. Menururt Lakatos juga masalah-masalah logika penemuan tidak bisa dibahas secara memuaskan, kecuali dalam kerangka metodologi program-program riset. Dalam metodologi program riset ilmiah dibedakan menjadi dua:
a.       Hereustik Negatif
Semua program riset ilmiah senantiasa diwarnai oleh gardcore (inti pokok).inti pokok merupakan teori umum yang akanmenjadi program dasaruntuk dikembangkan. Semisalnya adalah inti pokok pada astronom Copernicus, hardcorenya adalah asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa bumi dan planet berputarmengelilingi matahri dan bumi berputas pada porosnya.
Dalam heuristik negative ini peneliti tidak boleh diarahkan langsung kepada hardcore ini. Tetapi peneliti harus diarahkan pada hipotesis bantu di sekeliling atau yang disebut sebagai protektif belt.

b.      Heuristik positif
Kalau heuristik negatif menetapkan hardcore program yang tidak bisa ditolak berdasarkan metodologi pendukungnya, maka heuristic positif terdiri dari seperangkat saran atau isyarat yang digunakan secara terpisah untuk mengubah, mengembangkan dan memodifikasi variasi-variasi yang bertolak dalam program riset. Kesulitan yang dialami dalam heuristik positif ini lebih banyak bersifat matematis daripada bersifat empiris.[16]

C. Kesimpulan
Pada mulanya apa yang disebut ilmiah adalah filsafat, sebab filsafat adalah bentuk awal dari semua ilmu. Berfilsafat bagi manusia berarti mengatur hidupnya senetral mungkin dengan perasaan tanggung jawab terhadap Tuhan, alam, ataupun kebenaran. Pada zaman Yunani Kuno sulit untuk membedakan antara filsafat ilmu dan filsafat.
Konsep sentral Kuhn adalah paradigma, kata paradigama menururt KBBI adalah (1) model dalam teori ilmu pengetahuan (2) kerangka berpikir. Secara umum Kuhn mengartikan paradigma sebagai beberapa contoh praktik ilmiah aktual yang diterima seperti hukum, teori, aplikasi dan instrumen yang diterima bersama sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber dan tradisi-tradisi yang mantap dalam riset ilmiah khusus.
Menurut Lakatos ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset. Berbeda dengan Kuhn yang memberikan kemungkinan terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Lakatos menepiskan sama sekali terjadinya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas. Bahkan jika sebuah program riset terfasifiksikan, program tersebut tidak lantas terpuruk, tetapi ia masih memiliki kekuatan untuk bangkit kembali guna meraih kemampuan.
Jika Kuhn yang sering menggunakan pandangan bahwa paradigmatik dapat diperbandingkan dan tidak terbuka bagi perbandingan pemikiran, Lakatos bertahan bahwa kita dapat membandingkan secara objektif terhadap realitivitas kemajuan dari tradisi penelitian yang penting.



DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo. 2005. Sejarah Pemikiran Barat dari yang Klasik Sampai yang Modern. Yogyakarta: Universitas Sanata Darma.
Ari Yuana, Kumara. 2010.The Greeat Philosophec (100 Tokoh Filsuf barat dari abad 6 SM –Abad 21 yang menginspirasi Dunia Bisnis”. Yogyakarta: Andi Offset.
Departemen Pendidikan Nasional.2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (EdisiKeempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2016. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Thomas. S. Kuhn. 1970. The Structure of Scientific revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains). Bandung: PT Rosdakarya.
Wiramihardja., Sutardjo. A. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.
Zubaedi, dkk. 2007.Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar ruz Media.


[1] Menjauhkan diri, mengambil jarak
[2] Sutarjo Adisusilo. Sejarah Pemikiran Barat dari yang Klasik Sampai yang Modern. Yogyakarta: Universitas Sanata Darma. 2005. Hal 191
[3] Zubaedi, dkk. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar ruz Media. 2007. Hal 12
[4] Wiramihardja., Sutardjo. A. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama. 2007. Hal 79.
[5] Zubaedi, dkk. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar ruz Media. 2007. Hal 178
[6] Zubaedi, dkk. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar ruz Media. 2007. Hal 198
[7] Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2016. Hal. 161
[8] Zubaedi, dkk. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar ruz Media. 2007. Hal 200.
[9] Departemen Pendidikan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2011. Jilid  4. Hal 325
[10] Thomas. S. Kuhn. The Structure of Scientific revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains). Bandung: PT Rosdakarya. 1970 Hal. 10
[11] Thomas. S. Kuhn. The Structure of Scientific revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains). Bandung: PT Rosdakarya. 2000 Hal. 12
[12] Kumara Ari Yuana. The Greeat Philosophec (100 Tokoh Filsuf barat dari abad 6 SM –Abad 21 yang menginspirasi Dunia Bisnis”. Yogyakarta: Andi Offset. 2010. Hal 375.
[13] Zubaedi, dkk. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar ruz Media. 2007. Hal 206.
[14] Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2016. Hal. 167
[15] Zubaedi, dkk. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar ruz Media. 2007. Hal 182.
[16] Zubaedi, dkk. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar ruz Media. 2007. Hal 183. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar