DIMENSI
EPISTEMOLOGI TRADISI PEMIKIRAN ISLAM
“EPISTEMOLOGI
BAYANI”
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Pemakalah :
LULUK SUSANTI
(16771021)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A.
Pendahuluan
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu
yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan nerupakan titik ideal
dalam kehidupan manusia, ia ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan
bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi, bukan asal bertindak
sebagaimana yang biasa dilakukan manusia. Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai
dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah tertentu.[1]
Proses helenisme (pertemuan antara budaya Yunani-Roma dengan
Arab-Islam, menurut Watt),[2]
terjadi dalam dua gelombang. Pertama, pertemuan dalam bentuk pemikiran,
yakni pemikiran filsafat Yunani masuk dan berpengaruh pada pemikiran Arab-Islam
yang dimulai lewat proses penterjemahan-penterjemahan yang terjadi selama dua
abad antara tahun 750-950 M. Kedua, pertemuan dalam bentuk kontak
senjata, yakni dalam perang Salib yang disusul oleh serbuan tentara Hulagu Khan
ke Baghdad yang menutup sejarah panjang Dinasti Bani Abbas, terjadi antara
tahun 1095-1258 M.
Dalam helenisme gelombang pertama, banyak sesuatu yang baru yang
diperoleh dan mengubah pemikiran pemikiran Arab-Islam. Akan tetapi, hal itu
bukan berarti bahwa pemikiran Rasional Arab-Islam bersumber pada filsafat
Yunani. Menurut beberapa penulis, seperti Oliver Leaman, Louis Gardet, Qadir,
dan Al-Jabiri,[3]
pemikiran Rasional Arab-Islam (filsafat) tidak bersumber atau diimport
dari filsafat Yunani tetapi benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran pokok Islam
sendiri yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Meski demikian, diakui bahwa
rasionalosme tersebut kemudian menjadi lebih berkembang pesat setelah bertemu
dengan logika-logika Yunani lewat penterjemahan-penterjemahan yang dilakukan.
Menurut Al-Jabiri,[4]
ada tiga perbedaan mendasar antara pola piker Arab-Islam dengan pola piker
Yunani. Dalam tradisi Arab, apa yang dimaksud (aql) adalah lebih
merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang harus berbuat, yang
dalam epistimologi Islam disebut “bayani”. Kamus istilah Arab sendiri
mengartikan “akal” sebagai “suluk” dan “akhlak”, yakni jalan dan perilaku.
Sementara itu, dalam tradisi Yunani, akal lebih merupakan pemikiran yang berkaitan
dengan upaya mencari sebab dari sesuatu yang dalam epistemology Islam dikenal
sebagai “burhani”.[5]
Perbedaan pola piker diatas disebabkan adanya perbedaan pijakan yang
digunakan. Dalam pola pikir Arab-Islam, pijakan utama adalah kata dan bahasa,
sementara pikir Yunani berpijak pada
makna dan logika. Dalam perdebatan yang terkenal antara Abu Sa’id al-Syirafi
(893-979 M) yang ahli bahasa dan penganut metode bayani Arab dengan Abu Bisyr
Matta (870-940 M) yang ahli logika Yunani dan penganut burhani,[6]
terlihat jelas perbedaan tersebut. Menurut al-Syirafi, kata atau bahasa muncul
lebih dahulu dari pada makna, setidaknya secara bersamaan,[7]
dan setiap kata atau bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat
masing-masing. Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, prinsip-prinsip logika ada
lebih dahulu dala pikiran kemudia keluar dan menyatu dalam bahasa, karena itu
sistem logika berlaku umum terhadap seluruh bahasa yang ada, tidak hanya bahasa
tertentu.[8]
Lebih jelas tentang
perbedaan kedua faham diatas bisa digambarkan dalam konsepsi berikut. Dalam
bayani Arab-Islam, prinsip kerja intelektual dimulai dari (1) kata-kata atau
penyebutan yang merupakan lambang sesuatu, (2) adanya makna yang menjelaskan
maksud kata dan lambang-lambang penyebutan, (3) adanya benda-benda alam yang
diberi nama atau sesuatu yang harus dilakukan berdasarkan kata dan lambang yang
disebutkan. Jelasnya, dalam prinsip pemikiran Arab-Islam benda-benda atau
perilaku merupakan objek dan perwujudan dari makna yang ada dalam pikiran, dan
makna dalam pikiran tidak lain adalah perwujudan atau penjelasan dari kata-kata
atau kalimat yang diucapkan. Sebaliknya, burhani Yunani didasarkan pada
benda-benda eksternal yang ditangkap oleh indera. Prinsip kerjanya adalah (1)
adanya benda-benda alam yang diindera, (2) terjadinya gambaran atau persepsi
dalam pikiran, (3) pengungkapan atas gambaran yang ada dalam pikiran tersebut
lewat bahasa atau kata.[9]
Dengan begitu, dalam burhani, kata atau bahasa pada hakikatnya tidak adalah
copian dari susunan makna yang ada dalam pikiran, dan susunan makna yang ada
dalam pikiran tidak lain adalah copian dari benda-benda yang ada dalam alam
semesta.
Dengan adanya perbedaan yang
tajam antara pola pikir Yunani dengan Arab Islam seperti diatas, maka bisa
dipastikan bahwa masuknya pemikiran yunani kedalam alam pikir Arab-Islam
menimbulkan reaksi yang cukup keras. Masuknya sistem berfikir logis atau
burhani : tasawuf dan tashdiq,[10]
menjadi persoalan tersendiri bagi para sarjana muslim periode awal masih
dihadapkan pada persoalan kata dan makna secara anomali.
Dalam khazanah filsafat islam,
dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran yaitu bayani, irfani dan burhani.
Bayani adalah sebuah model metodolgi berfikir yang didasarkan atas teks.
Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti
kebenaran, sedang rasio hanya berfungsi sebagai pengawal bagi teramankannya
teks tersebut. Irfani adalah adalah model metodologi berfikir yang didasarkan
atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct experience) atas
realitas spiritual keagamaan. Karena itu, berbeda dengan sasarn bidik bayani
yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric atau bagian
batin teks, dan karena itu, rasio digunakan untuk menjelaskan
pengalaman-pengalaman spiritual tersebut. Burhani adalah model metodologi
berfikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas
keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan pengalaman
spiritual bahkan hanya diterima jika sesuai dengan aturan logis.
Ketiga model epistimologi dalam
filsafat islam, dalam sejarahnya telah menunjukkan keberhasilannya
masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh (hukum) dan
teologi, irfani telah menghasilkan teori-teori besar dalam sufisme disamping
kelebihannya untuk dapat memahami orang lain, dan burhani telah menyampaikan
filsafat islam dalam puncak pencapaian.
Bayani adalah metode pemikiran khas
Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau
tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat
inferensi (istidlal). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan
jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung
berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bias bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam
bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan
pada teks.[11]
B.
Perkembangan Epistimologi Bayani
Epistimologi berasal dari bahasa
yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu episteme dan logos. Episteme yang
berarti pengetahuan dan logos yang berarti pikiran, teori atau ilmu. Jadi,
epistemology berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan yaitu teori pengetahuan atau
filsafat pengetahuan.[12]
Kajian filsafat untuk menjawab
hubungan, sebab akibat, bagaimana, dan mengapa sesuatu itu bisa terjadi.
Bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar. Aspek epistimologi adalah
kebenaran fakta atau kebenaran dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta
itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya. Basis
atau landasan bagi estimologi ilmu adalah “metode ilmiah” dengan hasil
kajian berupa teori, prinsip, hokum ilmu pengetahuan.[13]
Epistimologi juga disebut teori
pengetahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran pengetahuan. Epistimologi
pengetahuan berisi teori, struktur ilmu dan metode ilmu.
Kajian pokok epistemology adalah
sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan: bidang, batas jangkauan
pengetahuan.[14] Dengan
kata lain, kajian tentang epistemology sangat erat kaitannya dengan bagaimana
cara memperoleh ilmu pengetahuan, mengolah, menganalisis, dan membentuk suatu
teori, postulat, dan paradigm tertentu.[15]
Dari kata-kata bahasa Arab, bayan
berarti penjelasan (eksplanasi). Al-jabiri, berdasarkan beberapa makna yang
diberikan kamus lisanul arab , suatu kamus karya Ibnu Mandzur dan
dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengertian lain, tentang
kata kata ini memberikan arti sebagai al-fashl wa infishal (memisahkan
dan terpisah) dan ad-dhuhur wa
al-idzhar (jelas dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idzhar dalam
kaitannya dengan metodologi, sedangkan infishal wa dzuhur berkaitan
dengan visi (ru’y) dari metode bayani.
Sementara, secara terminology,
bayan mempunyai dua arti: (1) sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin
tafsir al-khithabi), (2) syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj
al-khithab)/ berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak peradaban
islam, makna-makna terminologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa
kodifikasi (tadwin). Antara lain ditandai dengan lahirnya al-asybah
wa al-nazhair fi al-Qur’an al-Karim karya Muqatil ibn Sulaiman (w. 767 M)
dan Ma’ani al-Qur’an Ibn Ziyad al-Fara’ (w. 823 M) yang keduanya
sama-sama berusaha menjelaskan makna atas kata-kata dan ibarat-ibarat yang ada
dalam al-Qur’an.
Pengertian tentang bayani tersebut
kemudian berkembang sejalan dengan dengan perkembangan pemikiran islam. Begitu
pula aturan-aturan metode yang ada didalamnya. Pada masa Syafi’I (767-820 M)
yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama
yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan pokok (ushul) dan
yang berkembang hingga ke cabang (furu’). Sedang dari metodologi, Imam Syafi’I
membagi bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan:
1. Bayan yang tidak butuh penjelasan, berkenaan dengan
sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi
makhluk-Nya.
2.
Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga
butuh penjelasan sunnah.
3.
Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh
penjelasan sunnah,
4.
Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak
terdapat dala al-Qur’an.
5. Bayan Ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan
tersebut Imam Syafi’I kemudian mengatakan bahwa yang pokok (ushul) ada
tiga yakni al-Qur’an, Sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma’.
Al-Jahizh (w. 868 M) yang datang
berikutnya mengkritik konsep bayan Imam syafi’I diatas. Menurutnya, apa yang
dilakukan Syafi’I baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap
bagaimana memberikan pemahaman pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang
diperoleh. Padahal, menurutnya inilah yang terpenting dari proses bayani.
Karena itu, sesuai dengan asumsinya bahwa bayan adalah syarat-syarat untuk
memproduksi wacana (syurut intaj al-khitab) dan bukan sekedar
aturan-aturan penasiran wacana (qawanin tafsir al-khithabi), Jahiz
menetapkan syarat-syarat bagi bayani:
1.
Syarat kefashihan ucapan.
2.
Seleksi huruf dan lafadz, sehingga apa yang disampaikan
bias menjadi tepat guna.
3. Adanya keterbukaan makna, yakni bahwa makna harus bias
diungkap dengan salah satu dari lima penjelas, yakni lafadz, isyarat, tulisan,
keyakinan dan nisbah.
4.
Adanya kesesuaian antara kata dan makna.
5. Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui
kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya
sendiri.[16]
Sampai disini, bayani telah
berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekedar penjelas atas kata-kata sulit
dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks (nash),
membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian secara
sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar, bahkan telah ditarik
sebagai alat untuk memenangkan
perdebatan. Namun, apa yang ditetapkan al-Jahizh dalam rangka memberikan uraian
pada pendengar tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan
sistematis. Menurut Ibn Wahab, bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar
tetapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ashul-furu’ caranya
dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).[17]
Paduan antara metode fiqh yang
eksplanatoris dan teologi yang dialektik dalam rangka membangun epistemology
bayani baru ini sangat penting, akrena menurutnya apa yang perlu penjelasan (bayan)
tidak hanya teks suci tetapi mecakup empat hal: (1) Wajud materi yang
mengandung aksiden dan substansi, (2) Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa
sesuatu itu benar-salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan, (3) Teks
suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi teks-teks yang mengandung banyak
dimensi, (4) Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep. Dari
empat macam objek ini, Ibn Wahab menawarkan empat macam bayani, (1) bayan
al-I’tibar untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan materi, (2) bayan
al-I’tiqad berkaitan dengan hati (qalb), (3) bayan al-ibarah berkaitan
dengan teks dan bahasa arab, (4) bayan al-kitab berkaitan dengan
konsep-konsep tertulis. [18]
Pada periode terakhir muncul
al-Syatibi (w.1388 M). sampai sejauh ini, menurutnya bayani belum bisa mmeberikan
pengetahuan yang pasti (Qath’i) tapi baru derajat dugaan (dzan),
sehingga tidak bias dipertanggung jawabkan secara rasional. Dua teori dalam
bayani, istinbat dan qiyas, yang dikembangkan bayani hanya
berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hokum
tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan.[19]
Karena itu Syatibi lantas
menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani yaitu: al-istintaj,
al-istiqra’ dan maqashid al-syari’. Al-istintaj sama dengan
silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului, berbeda
dengan qiyas bayani yang dilakukan
dengan cara menyandarkan furu pada ashal, yang oleh Syatibi dianggap tidak
menghasilkan pengetahuan baru. Pengetahuan bayani harus dihasilkan melalui
proses silogisme ini, sebab menurut al-Syatibi, semua dalil syara’ telah
mengandung dua premis, Nadzariyah (teoritis) dan Naqliyah(transmisif).
Nadzariyah berbasis pada indera, rasio, penelitian dan penalaran,
sementara naqliyah berbasis pada proses transmisif (naql/khabar). Nadzariyah
merujuk pada tahqiq al-manath al-hukm (uji empiris suatu sebab
hukum) dalam setiap kasus, sedang Naqliyah merujuk pada hokum itu
sendiri dan mencakup pada semua kasus yang sejenis, sehingga ia merupakan
kelaziman yang tidak terbantahkan dan suatu yang mesti diterima. Nadzariyah
merupakan premis minor sedang naqliyah menjadi premis mayor.[20]
Istiqra’ adalah penelitian
terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan
thematic induction, sedang maqashid al-syar’iyah berarti bahwa
diturunkannya syari’ah ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang menurut
al-Syatibi terbagi menjadi tiga macam: (1) dlaruriyah atau primer, (2) hajiyah
atau sekunder, (3) tahsiniyah atau tersier.[21]
Pada tahap ini, metode telah
lebih sempurna dan sistematis, dimana proses pengambilan hokum atau pengetahuan
tidak sekedar meng-qiyas-kan fuur’ pada ashl tetapi juga
lewat proses silogisme seperti dalam filsafat.
C.
Sumber Pengetahuan
Meski menggunakan metode rasional
filsafat seperti digagas Syatibi, epistimologi bayani tetap berpijak pada teks
(nash). Dalam ushul fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber
pengetahuan bayani adalah al-Qur’an dan hadist.[22]
Artinya: al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh
manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa (QS. Ali
Imran: 138).
Ini berbeda dari dengan pengetahuan
burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani yang pada intuisi. Karena
itu, epistimologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses
transmisi teks dari generasi ke generasi.[23]
Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya
tranmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hokum yang diambil. Jika
transmisi teks bis dipertanggung jawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa
dijadikan dasar hokum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran
teks tidak bias dipertanggung jawabkan dan itu berarti ia tidak bias dijadikan
landasan hukum.
Karena itu, mengapa pada masa tadwin
(kodifikasi), khususnya kodifikasi hadist, para ilmuwan begitu ketat dalam
menyeleksi sebuah teks yang diterima. Bukhori misalnya, menggaris syarat yang
tegas bagi diterimanya senuah teks sebuah teks hadist: (1) perawi harus
memenuhi tingkat criteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuwan
dan standart akademis, (2) harus ada informasi positif tentang para perawi yang
menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka dan para murid belajar langsung
pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu
tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks, seperti al-jarh wa
ta’dil, mustholah al-hadist, rijal al-hadist dan seterusnya.[24]
Selanjutnya, tentang nash al-Qur’an,
meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti.
Dari segi penunjukan hukumnya (dilalah al-hukum), nash al-Qur’an terbagi
menjadi dua bagian yaitu qath’I dan dzanni. Nash yang Qath’I
dilalah adalah nash-nash yang
menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu, atau
nash yang tidak mungkin menerima tafsir atau takwil, atau sebuah teks yang
tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu itu. Dalam konsep Imam Syafi’I,
ini yang disebut bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang dzanni
dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih
memungkinkan adanya takwil, atau diubah dari makna asalnya menjadi makna yang
lain.[25]
Kenyataan tersebut juga terjadi
pada al-Sunnah bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur’an konsep qath’I dan
dzanni hanya berkaitan dengan dilalah-nya, dalam a-Sunnah berlaku
pada riwayat dan dilalah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks
hadist tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahkan, atau
bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadist, yang
dari sana kemudian muncul berbagai macam kualitas hadist, seperti: mutawatir,
ahad, shahih hasn, gharib, ma’ruf, maqtu’ dan seterusnya. Dari sinilah dilalah
berarti bahwa makna teks hadist tersebut telah memebrikan makna yang pasti
atau masih bias ditakwil.
D.
Lafadz dan Makna, Ushul dan Furu’
Berdasarkan kenyataan bahwa bayani
berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan realitas, maka persoalan pokok
yang ada didalamnya adalah sekitar masalah lafadz makna, dan ushul furu’. Menurut
al-Jabiri sebagaimana dikutib oleh Khudori Sholeh, persoalan lafadz makna
mengandung dua aspek yaitu teoritis dan praktis. Dari sisi teori muncul tiga
persoalan: (1) tentang makna suatu kata, apakah didasarkan atas konteksnya atau
makna aslinya (tauqif), (2) tentang analogi bahasa, (3) soal pemaknaan al-asma’
al-syari’ah, seperti kata shalat, shiyam, zakat dan lainnya.[26]
Pada masalah pertama, pemberian
makna atas sebuah kata muncul akibat adanya perbedaan antara kaum rasionalis
dengan ahli hadist, antara muktazilah dengan Ahli Sunnah. Menurut Muktazilah
yang rasionalis, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks dan
istilahnya, sementara Ahli Sunnah suatu kata harus dimaknai sesuai dengan makna
asalnya. Sebab menurut Ahlu Sunnah, bahasa atau kata pada awalnya berasal dari
Tuhan yang diberikan kepada Rasul-Nya untuk disebarkan kepada umatnya, sedang
bagu Muktazilah, suatu lafadz pada dasarnya mutlak. Karena itu bagi Ahlu
Sunnah, kata perkata dari sebuah teks harus tetap dijaga seperti aslinya, sebab
perubahan redaksi teks berarti perubahan makna.[27]
Ini sesuai dengan asumsi dasar
pengetahuan Arab bahwa makna dan system berpikir lahir dari kata (teks) bukan
teks yang lahir dari makna dan system berpikir. Ilmu nahwu (gramatika Arab)
yang lahir dari asumsi ini bertugas menjaga teks dari kemungkinan terjadinya
penimpangan makna. Pada perkembngan selanjutnya, diskursus nahwu bukan lagi
sekedar berisi kaidah-kaidah bahasa yang mengatur ucapan dan tulisan secara
benar tetapi sekaligus berisi aturan-aturan berpikir, yang kemudian melahirkan
pengetahuan yang bayani.
Masalah kedua, tentang analogi
bahasa, seperti kata nabitz (perasan gandum) dengan khamr (perasan
anggur), sariq (pencuri benda) dengan nabasy (pencuri mayat di
kubur). Disini Ulama sepakat bahwa analogi diperbolehkan tapi hanya
dari sisi logika bahasanya, bukan lafadz atau redaksinya. Sebab
masing-masing bahasa mempunyai istilah sendiri yang mempunyai kedalaman makna
yang berbeda, sehingga jika dianalogikan akan bias merusak bahasa yang ada
diantaranya.
Masalah ketiga, pemaknaan atas asma’
al-syari’ah. Menurut al-Baqilani sebagaimana yang dikutib oleh Khudori
Soleh, karena al-Qur’an diturunkan dalam tradisi dan bahasa arab, maka ia harus
dimaknai sesuai dengan kebudayaan arab, tidak bias didekati dengan budaya dan
bahasa lain. Sebaliknya, menurut Muktazilah pada beberapa hal tertentu, ia bisa
dimaknai dengan pengertian lain, sebab al-Qur’an sendiri tidak jarang
menggunakan istilah arab tetapi dengan makna tersendiri yang berbeda dengan
makna asalnya.[28]
Adapun tentang hubugan kata-makna
dalam tataran praktis, ia berkaitan dengan penafsiran atas wacana (khithab)
syara’. Ulama fiqh banyak mengembangkan masalah ini, baik dari aspek
kedudukan sebuah kata, penggunaan,
tingkat kejelasan maupun metodenya.
Selanjutnya menurut Jabir mengenai Ushul-Furu’,
disini tidak menunjukkan pada dasar-dasar hokum fiqh, seperti al-Qur’an, Sunnah,
ijma’ dan qiyas, tetapi pada pengertian umum bahwa ia adalah pangkal (asas)
dari proses pengalian pengetahuan. Ushul adalah ujung rantai dari hubungan
timbal baik dengan furu’. Dari sini Jabiri kemudian melihat tiga macam posisi
dan peran ashul dalam hubungannya dengan furu’. Pertama, Ushul sebagai
sumber pengetahuan yang cara mendapatkannya dengan Istinbat. Berbeda
dengan Istintaj (deduksi) yang dilakukan berdasarkan proposisi yang ada,
istinbat menggali untuk mendapat sesuatu yang sama sekali baru, sehingga nash
berkedudukan sebagai sumber pengetahuan, sebagaimana bumi yang mengeluarkan air
dari perutnya. Kedua, Ushul sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain,
yang cara penggunaannya dengan qiyas, baik dengan qiyas illat seperti
yang dipakai ahli fiqh atau qiyas dalalah seperti yang digunakan kaum
teolog. Ketiga, Ushul sebagai pangkal dari proses pembentukan
pengetahuan yang caranya dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh.
E.
Cara Mendapatkan Pengetahuan
Untuk mendapat pengetahuan,
epistimologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi
(lafadz) teks dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, seperti nahwu
dan sharaf sebagai analisa. Kedua, menggunakan metode qiyas
(analogi) dan inilah prinsip utama epistimologi bayani. Dalam kajian ushul
al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hokum suatu masalah
berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena
adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan
melakukan qiyas: (1) adanya al-ashl, yakni nash suci yang
memberikan hokum dan dipakai sebagai hokum, (2) al-far, sesuatu yang
tidak ada hukumnya dalam nash, (3) hokum ashl, ketetapan hokum yang
diberikan oleh ashl, (4) illah, keadaan tertentu yang dipakai
sebagai dasar penetapan hokum ashl.
Contoh qiyas adalah soal hokum
meminum arak dari kurma. Arak dari perasaan kurma disebut far (cabang)
karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamr.
Khamr adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash)
dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak
adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama-sama
memabukkan.
Menurut jabiri, metode qiyas
sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistimologi bayani tersebut
digunakan dalam tiga aspek:
1. Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat
hokum yang ada pada ashl maupun furu’, Bagian ini mencakup tiga hal; (a) qiyas
jali yaitu dimana far mempunyai persoalan hokum yang kuat dibanding ashl,
(b) qiyas fi makna al-nash yaitu dimana ashl dan far mempunyai
derajat hokum yang sama, (c) qiyas al-khafi yaitu dimana illat ashl tidak
diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Contoh qiyas
jali adalah seperti hokum memukul orang tua (far). Masalah ini tidak
ada hukumnya dalam nash, sedangkan yang ada adalah larangan berkata “Ah” (ashl).
Perbuatan memukul lebih berat hukumnya disbanding berkata “Ah”[29]
2.
Yang berkaitan dengan illat yang ada pada ashl
dan far, atau yang menunjukkan kearah situ (qiyas bi I’tibar bina
al-hukm ala dzikr al-illah au bi I’tibar dzikr ma yadull alaiha). Bagian ini meliputi dua hal yaitu:
(a) qiyas al-illat yakni menetapka illat yang ada ashl kepada far,
(b) qiyas al-dilalah yakni menetapkan petunjuk (dilalah) yang
ada pada ashl kepada far, bukan illah-nya.
3.
Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk
menyatukan antara ashl dan far (qiyas bi I’tibar quwwah “al-jami”
bain ashl wa al-far fayumkin tashnifuh) yang oleh al-Ghazali dibagi dalam
empat tingkatan: (1) adanya perubahan hokum baru, (2) keserasian, (3)
keserupaan (syibh), (4) manjauhkan (thard).
Menurut Abd Jabbar, seorang pemikir aliran Muktazilah, metode qiyas
bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bias
dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoaln-persoalan non fisik (ghaib).
Disini ada empat cara:
1.
Berdasarkan kesamaan petunjuk (dilalah) yang ada
(al-istidlal bi al-syahid ala al-ghaib li isytirakihima fi al-dilalah).
Contohnya untuk mengetahui bahwa Tuhan Maha Berkehendak. Kehendak Tuhan (ghaib)
diqiyaskan pada kondisi empiric manusia (syahid). Hasilnya ketika dalam
realitas empiric manusia mempunyai kehendak dan tindakan berarti Tuhan juga
demikian.
2. Berdasarkan kesamaan illah (istidlal bi al-syahid
ala al-ghaib li isytirakihima fi al-illah). Contohnya, Tuhan tidak mungkin
berlaku jahat karena pengetahuan-Nya tentang hal tersebut. Ini didasarkan atas
kenyataan yang terjadi pada manusia, yaitu ketika manusia tidak akan berbuat
jahat karena mengetahui tentang kejelekan sikap tersebut, berarti Tuhan juga
demikian.
3.
Berdasarkan kesamaan yang berlaku pada tempat illah (istidlal
bi al-syahid ala al-ghaib li isytirakihima fima yajri majra al-illah).
4. Berdasarkan pemahaman bahwa yang ghaib mempunyai
derajat yang lebih disbanding yang empiric (istidlal bi al-syahid ala
al-ghaib li kaun al- hukm fi al-ghaib ablagh minh fi al-syahid). Contohnya.
Ketika mengetahui nahwa kita (syahid) harus berlaku baik karena hal tersebut
adalah kebaikan, maka apalagi Tuhan Yang Maha Mengetahui bahwa sesuatu adalah
baik.
F.
Penutup
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa:
1. Dalam
khazanah filsafat islam, dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran yaitu bayani,
irfani dan burhani. Epistimologi Bayani adalah sebuah model
metodolgi berfikir yang didasarkan atas teks.
2. Meski
menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syatibi, epistimologi
bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushul fiqh, yang
dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur’an dan hadist
3. Bahwa
bayani berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan realitas, maka persoalan
pokok yang ada didalamnya adalah sekitar masalah lafadz makna, dan ushul
furu’.
4. Untuk
mendapat pengetahuan, epistimologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang
pada redaksi (lafadz) teks dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab,
seperti nahwu dan sharaf sebagai analisa. Kedua, menggunakan
metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistimologi bayani.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhammad Abed. 2014. Takwin al-Aql al-Arabi, ter. Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCHISOD
Al-Jabiri, Muhammad Abed. 1991. Bunyah al-aql al-arabi. Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-arabi
Azami, M. Mustafa. 1996. Metodologi Kritik Hadist, ter. Yamin.
Bandung: Pustaka Hidayah,
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Islam.Ciputat: PT Logos Wacana
Ilmu
Bakker. 1986. Sejarah Filsafat Dalam Islam. Yogyakarta: Kanisius
Hendrik Rapar, Jan. 2002.
pengantar filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Idri. 2015. Epistemologi, Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadist, dan Ilmu
Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group
In’am Esha, Muhammad. 2016. Menuju Pemikiran Filsafat. Malang:
UIN-Maliki Press
Leaman, Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam, ter.
HM. Amin Abdullah . Jakarta:
Rajawali Press
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. 2015. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. 2015. Filsafat ilmu.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soleh, Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Supriyanto, Stefanus. 2003. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT Bumi Aksara
Wahab Khallaf, Abdul. 1996. Ilmu Ushul Fqh, ter. Masdar Helmi.
Bandung: Pustaka Hidayah
Watt, W. Montgomery. 1987. Pmikiran Teologi dan Filsafat Islam, ter. Umar Basalim. Jakarta: P3M
[1]
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), h. 1
[2] W. Montgomery Watt, Pmikiran Teologi
dan Filsafat Islam, ter. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 54 & 114
[3] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat
Islam, ter. HM. Amin Abdullah (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 8.
Muhammad Abed Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, ter. Imam Khoiri,
(Yogyakarta: IRCHISOD, 2014), h. 54
[7] Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah al-aql al-arabi, (Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-arabi, 1991), h. 421
[8]
Muhammad Abed
Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, ter. Imam Khoiri. (Yogyakarta:
IRCHISOD, 2014), h. 29-39
[9] Muhammad Abed
Al-Jabiri, Bunyah al-aql al-arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi
al-arabi, 1991), h. 421
[12]
Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h. 136
[13]
Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2013), h. 31-32
[14]
Jan Hendrik Rapar, pengantar filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h.
38
[15]
Idri, Epistemologi: ilmu pengetahuan, ilmu hadist dan ilmu hokum islam, (Jakarta:
PrenadaMedia Group, 2015), h. 3
[16]
Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Mazrkaz al-Tsaqafi al- Arabi,
1991), 20-30
[17]
Ibid 32. Ibnu Wahab, nama lengkapnya Abu Husain Ishaq Ibn Ibrahim Ibn Sulaiman
Ibn Wahhab al-Katib. Identitas lainnya tidak diketahui. Namun yang pasti kitab Al-Burhan
fi Wujuh al-Bayan, karya Ibnu Wahab yang digunakan sebagai referensi dalam
tulisan ini, selesai ditulis tahun 946 M. artinya ia seankatan dengan filosof
terkenal muslim, Al-Farabi. Karena itu gagasannya bahwa metode bayan harus
dilakukan dengan menggunakan paduan antara pola fiqih dan teologi ini, menurut al-jabiri
dipengaruhi oleh adanya usaha untuk meredam ketegangan antara fiqh dan dan
filsafat yang terjadi saat itu.
[18]
Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Mazrkaz al-Tsaqafi al- Arabi,
1991), h. 34. Dengan konsep paduan antara metode teologi dan fiqh ini berarti
metode pemikiran filsafat telah masuk dalam system bayani. Bahkan juga
persoalan yang mestinya menjadi garapan metode irfani (gnostik) yakni soal
hati.
[19] Al-Jabiri,
Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Mazrkaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), h. 538
[20] Al-Jabiri,
Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Mazrkaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), h. 539
[21]
Ibid 540
[22]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fqh, ter. Masdar Helmi, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), h. 143
[23]
Muhammad In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat, (Malang: UIN Maliki
Press, 2016), h. 107
[24]
M. Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadist, ter. Yamin, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 143
[25]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fqh, ter. Masdar Helmi, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), h. 62-63
[26]
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 183-184
[27]
Ibid, 184
[28]
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 185
[29]
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh,ter. Masdar Helmi, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), h.
127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar