MELACAK AKAR FORMULASI
AGAMA DI MAKKAH
“HANIFIYYAH DAN EGALITARIANISME”
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam”
Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A
Dr. M. Hadi Masruri, M.A
Pemakalah:
RIZQI MIFTAKHUDIN FAUZI
(16771047)
(16771047)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A.
Pendahuluan
Di
utusnya Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini menandakan segera berakhirnya
sejarah kegelapan zaman jahiliyah. Pelbagai persoalan; bobroknya moral,
cacatnya akhlak mewarnai zaman jahilayah. Nabi Muhammad SAW hadir bersama agama
“rahmatan lil ‘alamin” yakni tidak lain adalah agama Islam yang
memberikan nafas baru bagi peradaban jahiliyah. Sebagaimana pernyataan H.A.R
Gibb di dalam bukunya Whither Islammenyatakan, “Islam is indeed much
more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhhnya
lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna).[1]
Sedikit demi sedikit namun pasti–perjuangan, keteguhan, keikhlasan, kesabaran, al-amin
yang melebelinya serta sifat Shiddiq, Amanah, Fatonah serta Tabligh[2]–pada
ahirnya membuahkan hasil yang sungguh gemilang yakni wajah perdaban baru yang
elok dengan label akhlakul karimah.
Prioritas
pertama dan utama diutusnya nabi Muhammad SAW tidak hanya menyebarkan agama
Islam, namun juga untuk merenovasi kerangka zaman jahiliyah yang bobrokakan
moral dan akhlak pada saat itu. Sebagaimana dalam hadist:
إنما بعثت لأتم صالح الاخلق
”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
sholeh”. (HR: Bukhari dalam shahih Bukhari kitab adab, Baihaqi dalam kitab
syu’bil Iman dan Hakim).
Pada
masa awal Islam, Nabi Muhammad SAW merupkan suara otoritatif mewakili kehendak
Tuhan. Tidak ada yang berani meragukan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
SAW. Hal ini sekaligus menjadi suara nomor satu yang di jadikan panutan utama
dan pertama jika terjadi penyimpangan-penyimpangan akhlak umat Islam pada saat
itu. Seketika Nabi Muhammad SAW memberikan arahan yang benar jika melihat
akhlak yang menyimpang dari ketentuan agama Islam. Atau jika setidaknya
terdapat seorang muslim yang bingung dengan harus bagaimanakah berinteraksi
horizontal dengan masyarakat, maka hal ini dapat terjawab langsung dengan
berkonsultasi kepada Nabi Muhammad SAW.
Namun
hal yang mendasar yang penting untuk di garis bawahi, jalan medan dakwah Nabi
Muhammad SAW tidak serta mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Hisotritas
kelahiran Islam dan pergulatannya dalam menegakkan sebuah tatanan baru ditengah puing-puing warisan masyarakat
Arab yang berada pada titik nadirnya. Respon Nabi tidak lain merupakan
konsekuensi logis dari prilaku keseharian masyarakat Arabi saat itu. Kehidupan masyarakat Arab pada masa pra Islam dikenal dengan
sebutan zaman jahiliyah. Zaman jahiliyah adalah zaman kebodohan atau kegelapan
terhadap kebenaran. Tatanan sosial dan akhlak tidak berjalan semestinya, yang
kuat senantiasa menindas yang lemah, kaum wanita menjadi sasaran tindak
kejahatan dan masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada masa
itu. Mereka tidak mengenal perikemanusiaan dan hidup tanpa dasar keimanam. Kaum
wanita dipandang makhluk yang lemah dan hidup tertindas di bawah kekuasaan kaum
pria.[3]
Tak ada yang namanya kelemah-lembut-an serta kesetaran strata sosial.
Perlu adanya formulasi yang tepat dalam menata peradaban baru yang lebih
gemilang. Lantas bagaimanakah formulasi strategi yang digunakan
Nabi Muhammad SAW pada pembentukan peradaban Islam awal, sehingga hak asasi
serta egalitarianisme[4]
bisa tercapai hingga saat ini. Inilah titik koordinat fokus pada penelitian
yang akan di ungkap pada permukaan analitis kritis objektif. Dengan menggunakan
pendekatan buku-buku sirah klasik
maupun kontemporer serta melakukan kajian-kajian analisis jurnal pustaka
sejarah yang otentik.
B.
Pembahasan
1.
Historitas
Hanifiyyah dan Egalitarianisme
Melacak akar latar belakang hanifiyyah, penting kiranya mengetahui historitasnya. Perlu diketahui, sebelum Islam hadir di tanah
Arab dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, terdapat empat jenis kepercayaan yang
berpengaruh di sana, yaitu :
a) Arab
Jahiliyah
b) Yahudi
c) Kristian
d) Hanif
Perkataan
hanif bermaksud “dia yang berpaling” yaitu dari penyembahan berhala.
Orang hanif ialah orang Jahiliyah yang telah dipengaruhi oleh faham
Yahudi dan Kristen, tetapi mereka menolak amalan penyembahan berhala. Mereka
tidak berjamaah tetapi percaya pada agama yang benar ialah agama yang dipegang
bapak bangsa mereka yaitu Ibrahim. Agama Yahudi, Kristen dan Islam
masing-masing menuntut mewakili agama Ibrahim yang benar.[5]
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Ibrahim bukanlah seorang
Yahudi atau Kristen melainkan seorang hanif (orang yang memiliki
kecenderungan suci, dan pemihakan alami kepada kebenaran) dan seorang muslim
(orang yang tulus berserah diri kepada Tuhan). Oleh karena itu, demikian yang
disebutkan dalam al-Qur’an yang paling berhak atas Ibrahim adalah mereka yang
mengikuti ajarannya.[6]
Hal yang mendasar dalam historitas hanifiyyah yang mana di ungkapkan oleh
Irena Handono dalam bukunya Islam di
Hujat menyatakan karena adanya kekhawatiran makin meningkat terhadap
ketidakadilan peradaban baru yang berkembang di Mekkah, sebagian orang Arab
mulai mencari kebenaran, yang tidak puas dengan agama dominan bangsa Arab
(memuja berhala) yang berada dalam wilayah keyakinan yang lebih tinggi.[7]
Meskipun demikian, hanifiyyah dalam konteks historis Arab pra-Islam mendapati status
yang kurang melegakan, yakni hanif adalah sebuah sebutan bernada
mencemooh yang diberikan oleh kaum pagan Arab pada masa pra-Islam kepada
orang-orang Arab yang menjadi monotheis yakni mereka yang hanya
menyembah Allah, serta yang mengklaim bahwa Allah adalah Tuhan kaum Yahudi dan
Kristen, dan hanif pada masa itu diartikan dengan kaum kafir.[8]
Namun, ada yang menarik dari
keberagamaan bangsa Arab jahiliyah bahwa meskipun mereka menyembah berhala,
tetapi mereka tidak mengakui berhala sebagai Tuhan mereka. Berhala-berhala
tersebut hanya diyakini mampu mendekatkan kepada Tuhan (Allah) dan
menghubungkan mereka kepadaNya serta memberikan manfaat di sisiNya.[9]
Adapun dalam ranah pelacakan egalitarianisme, sebagai pijakan awal perlu di ketahui pada zaman pra-Islam,
perbedaan strata sosial sangat menonjol di Arab. Hubungan seseorang dengan
keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan,
dihormati, dan dijaga sekalipun harus dengan pedang terhunus dan pertumpahan
darah. Tambahan pula, mulai dari strata suku, keluarga, hingga perbedaan strata
antar gender sangat menonjol di wajah peradaban Arab jahiliyyah. Banyak fakta yang ditemukan kasus-kasus yang menciderai
strata sosial ini. Yang paling popular diantaranya kebiasaan membunuh anak
perempuan. Di samping itu, juga budaya mengawini perempuan sebanyak yang
disukai dan menceraikan mereka sesuka hati.[10]
Seperti yang di gambarkan oleh al-Mubarakfuri yang mana dalam tradisi Arab
memiliki tradisi pernikahan dimana, wanita yang akan menikah harus
sepersetujuan wali wanita, sehingga wanita tidak bebas menentukan calon
suaminya.[11]
Inilah yang menjadi keresahan Nabi Muhammad SAW dan projek besar dalam meratas
kerangka peradaban yang bobrok pada saat itu.
2.
Pembangunan
Prinsip Hanifiyyah dan
Egalitarianisme “Sebuah Ruang Lingkup dan Historisnya”
Sejauh pelacakan penulisan, kebanyakan pembahasan hanif banyak disinggung ketika membahas agama
Ibrahim (Abraham Religion) karena perintah untuk megikuti agama Ibrahim,
selalu dikaitkan dengan konsep Al-Hanifiyyah.
Temuan lain, ruang lingkup hanifiyyah merupakan agama Ibrahim yang otentik dan asli itu
disebut agama Hanifiyyah atau “kehanifan” dan Nabi Ibrahim adalah
seorang yang hanif artinya kepada
Allah Tuhan Seru Sekalian Alam.[12] Hanifiyyah
merupakan suatu bentuk kepercayaan yang juga berkembang di Arab, secara
harfiah hanif berarti menolak
penyembahan berhala.
Kepercayaan hanifiyyah merupakan
pemberontakan terhadap penyembahan berhala dan kemusyrikan, sebaliknya ia
mengajak ketauhidan. Ini sama dengan menciptakan kondisi untuk periode
perpindahan dari masa jahiliyah terakhir kepada masa Islam.[13]
Tujuan agama hanif bukan hanya memerangi
keboborokan masyarakat dan kejahatan moral saja, tetapi juga menolak untuk
menyembah berhala dan mengajak untuk menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa, yang
merupakan pengaruh dari kedua ajaran tauhid yang lebih dikenal oleh masyarakat
Arab pada waktu itu yaitu Yahudi dan Nasrani.[14]
Agama hanif memiliki keistimewaan dalam menyebarkan dan menaburkan
aqidah tauhid, menolak penyembahan berhala, dan para penyembahnya, membongkar
dari kepalsuannya, dari kekotoran pikiran menjadi keimanan terhadap hari
kebangkitan, hari penghisaban, surga, dan neraka.
Adapan dalam prespektif Nabi Muhammad SAW tentunya
agama Islam yang di sandangnya, Nabi Muhammad SAW membangun sebuah prinsip
bahwa hanifiyyah bukan sebagai agama
baru tetapi sebagai agama tertua, memang jika dilihat dari perjalanan sejarah
agama-agama semitik atau Ibrahimiah Islam adalah agama baru, namun apabila
dilihat dari esensi pesan semua Nabi (tauhid yang diwahyukan Tuhan kepada
mereka), maka esensi Islam adalah agama tertua yang telah ada sejak Nabi Adam
AS.[15]
Mengingat bahwa Islam mengidentifikasikan dirinya
dengan agama primordial (mendasar) sebagai ad-din al-hanif, agama yang
benar yaitu agama Ibrahim dan keturunannya maka dirasa perlu untuk diadakan
pengkajian tentang masalah hanif karena danya tradisi monotheistik yang
berasal dari Mesopotamia Ibrahimiah atau tradisi Ibrahimiah yang disebut
hanifiyyah itu telah digeser oleh tradisi syirik. Sehingga para hanif
menolak penyekutuan Tuhan-Tuhan lain dengan Allah SWT, menolak ikut serta
upacara-upacara keagamaan orang kafir dan mempertahankan suatu hidup kesucian
etis tanpa celaan.[16]
Nabi Muhammad SAW membangun prinsip hanif dengan tidak berbeloknya atau
tidak berkepihakan dalam pandangan orang-orang Yahudi yang mengajak umat Islam
menganut pandangan mereka dan tidak juga hidup mengarah pada agama Nasrani yang
penganut-penganutnya mengajak kaum umat Islam menganut pandangan mereka. Para
rasul diutus Allah untuk meluruskan yang miring atau bengkok dalam pandangan
manusia, yang melakukan pelurusan itu adalah Nabi Ibrahim yang dihormati oleh
penganut agama Yahudi dan Nasrani.[17]
Oleh karena itu sangat tepat bahwa Allah mengajarkan
kepada Nabi Muhammad dan umat Islam untuk menjadikan beliau sebagai titik temu.
Apalagi semua mengakui, paling tidak dengan lisan tentang ke-Esaan Allah SWT.
Sedangkan Nabi Ibrahim bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik.[18]
Atau dalam penulis singgung diatas Nabi Muhammad SAW merupakan suara paling
otoritatif mewakili kehendak Allah SWT.
Adapun dalam penataan Egalitarianisme,
Nabi Muhammad SAW sadar betul atas kondisi sosial yang tersekat-sekat. Bangsa
Arab hidup berkasta-kasta. Tiap-tiap manusia digolongkan kepada kasta yang
tidak boleh dilampauinya. Tetapi, seruan Nabi Muhammad memberikan hak sama
kepada manusia. Hak sama inilah suatu dasar yang penting dalam agama Islam,
karena itu kasta bangsawan dari kaum Quraisy enggan menganut agama Islam karena
mereka anggap akan meruntuhkan tradisi dan dasar kehidupan mereka.[19]
Nabi Muhammad SAW merubah budaya
masyarakat jahiliyyah dengan ajaran yang mengangkat dan memuliakan harkat dan
martabat perempuan. Dari posisi perempuan yang tidak dihargai sama sekali, yang
dulunya perempuan diwariskan kepada laki-laki kemudian Islam mengangkat posisi
perempuan sehingga bisa mewarisi harta setengah dari bagian laki-laki.
3.
Pengarauh
Hanifiyyah dan Egalitarianisme pada Masa Awal
Adapun perubahan-perubahan yang dialami oleh
masyarakat pra-Islam hingga gerakan hanifiyyah tersebar, bahwa kekuatan-kekuatan
produktif terus berkembang, pekerjaan pemesanan kebutuhan semakin meluas,
produksi pertanian bertambah dan produksi perindustrian diikat dengan pasar barter,
kota-kota berkembang, perkampungan kecil berubah menjadi kota-kota yang maju,
pasar musiman ditata rapi, perdagangan internal dan eksternal semakin menyimpul
sehingga orang Arab semakin dekat, aktifitas perdagangan yang semakin giat dan
proses tukar menukar barang (barter) dalam menyebarkan pertukaran
keuangan yang meluas, mempercepat perubahannya, perubahan hubungan darah dan
keturunan antar generasi suku.
Ditemukan pula, pengaruh dari inti hanifiyyah ini merupakan tema penting
dalam perkembangan dakwah Nabi Muhammad SAW. Dalam
formulasi hanifiyyah (semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa
kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa)[20]
hasil yang diperoleh Nabi Muhammad SAW tidak langsung meraup dalam
sekala besar, namun hanya beberapa saja yang tertarik oleh ajaran yang di bawa.
Nabi Muhammad SAW hanya berhasil menarik beberapa pengikut. Khadijah, istrinya,
yang berhasil di yakinkan oleh Waraqah ibn Nawfal, sepupunya yang menjadi
pelopor Hanif[21],
termasuk di antara beberapa gelintir orang yang pertama kali memenuhi
seruannya. Sepupu Muhammad, ‘Ali dan temannya sesuku.[22]
Selain pengaruh pada prespektif dakwah, perubahan
perekonomian dan kemasyarakatan, muncul agama Yahudi dan Nasrani yang membawa
kesadaran agama dengan pandangan-pandangan yang kritis terhadap problematika
kehidupan, melampaui pandangan intuitif demi terciptanya fnomena al-hunafa’
yang merupakan langkah awal bagi munculnya dakwah Islam.[23]
Adapun hanif tersebut berubah dari fenomena (zahirah)
menjadi sebuah gerakan (harakah) karena kondisi sosial, ekonomi,
politik, budaya dan aqidah yang mungkin atas perkembangan dan tegaknya agama
tersebut.
Dari sinilah dapat dikatakan bahwa agama hanif telah
turut merwarnai perkembangan masyarakat Makkah dengan segala kebutuhannya dan
bersama-sama berkembang memasuki fase baru, sebuah fase yang membentangkan atas
munculnya agama Islam.[24]
Dalam pandangan egalitarianism,
kesetaraan palin menonjol dampaknya di rasakan oleh kesetaraan perempuan, yang
mana perempuan lebih dihargai deengan adanya hokum perkawinan Islam yang
memerintahkan untuk mempergauli istri dengan baik sehingga hak-hak sebagai
perempuan telah diwujudkan, tidak lagi menjadi bahan hinaan tetapi perempuan
diakui keberadaanya sebagai manusia. Bahkan, perempuan memiliki andil dalam
berbagai sektor kehidupan sebagaimana kisah isteri-isteri nabi seperti Khadijah
yang menjadi pebisnis handal.[25]
C.
Kesimpulan
Sebagai refleksi dari catatan analisis pemaparan diatas,
menunjukkan bahwa latar belakang penataat awal hanifiyyah merupakan langkah paling terpenting dalam penataan
peradaban Islam di Makkah. Sangat tepat Allah SWT mengajarkan
kepada Nabi Muhammad dan umat Islam untuk menjadikan beliau sebagai titik temu
pehaman perihal keyakinan ke-agama-an. Apalagi semua mengakui, paling tidak
dengan lisan tentang ke-Esaan Allah SWT. Sedangkan Nabi Ibrahim bukanlah dia
dari golongan orang-orang musyrik. Nabi Muhammad SAW berhasil membangun prinsip
hanifiyyah, yang mana memiliki
keistimewaan dalam menyebarkan dan menaburkan aqidah tauhid, menolak
penyembahan berhala, dan para penyembahnya, membongkar dari kepalsuannya, dari
kekotoran pikiran menjadi keimanan terhadap hari kebangkitan, hari penghisaban,
surga, dan neraka.
Keberhasilan
Nabi Muhammad SAW dalam penataan Islam di Makkah terlihat dari egalitarianism
yang telah menghiasi wajah Makkah. Nabi Muhammad SAW berhasil mengangkat egalitarianism
yang sama sekali belum pernah di angkat ke permukaan praktis agama manapun. Pada
ahirnya egalitarianism menjdai isu pokok penting dalam membangun humanisme yang
membawa dampak kesetaraan dalam strata sosial.
---------------------
“My choice of Muhammad to lead the list of the
world's most influential persons may surprise some readers and may be
questioned by others, but he was the only man in history who was supremely
successful on both the religious and secular level.”
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Amstrong, Karen. Perang Suci: Dari Perang Salib hingga
Perang Teluk. 2003. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta
Antonio, Muhammad Syafii. Muhammad SAW The Super Leader Super Manager.
2005. Jakarta Selatan: Tazkia Publishing
Cawidu, Harifudin. Konsep Kufur dalam Al-Qur’an. 1991. Jakarta : Bulan Bintang.
Gowdy, John. Limited
Wants. Unlimited Means: A reader on Hunter-Gatherer Economics and the
Environment. 1998. St Louis: Island Press
Handono, Irena. Islam di Hujat.
Menjawab Buku The Islamic Invation. 2004.
Kudus : Penerbit Bima Rodheka.
Hitti,
Philip K. History of The Arabs. Terj.
R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. 2002. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta
Husain,
Haekal Muhammad. Sejarah Hidup Muhammad.
2003. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa
Kharim, Khalil Abdul. Hegemony
Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. 2002.
Yogyakarta : Penerbit
LKiS
Madjid, Nur Cholis. Pintu-pintu
Menuju Tuhan. 1999. Jakarta
: Penerbit Paramadina
Shadiq,
Arjun, Muhammad. Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Juz.1
Shafiyyurrahman,
Al- Mubarakfuri Syaikh. Sirah Nabawiyah.
2012. Terj. Kathur Suhardi dari judul asli, Sirah
Nabawiyyah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Shihab, M. Quraish. Tafsir
al-Misbah. 2000. Vol. I . Jakarta : Penerbit Lentera
Hati
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. 2000. Jakarta: Rajawali Press
2. Jurnal
Madjid, Nurcholis. Beberapa Renungan tentang Kehidupan
Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Jurnal ULUMUL QURAN. 1993. Vol. IV. No.
01.
Maharsi,
dkk. Hermeneutika Humanistik: Studi Pemikaran Hermeneutik M. Amin Abdullah
dan Khaled Abou el Fadl. Jurnal PENELITAN AGAMA, UIN Yogyakarta. No.
3 Vol. XVII September-Desember 2008
Mazaya, Viky. Kesetaraan Gender dalam Prespektif Sejarah Islam. Jurnal SAWWA.
Pegiat Studi Gender dan Anak Kab.
Demak. Volume 09, No. 02, April 2014
Mubasyaroh, Karakteristik dan Strategi Dakwah Rasulullah Muhammad SAW pada Periode
Makkah. Jurnal AT-TABSYIR:
Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam. STAIN Kudus. Vol. 3, No. 2
Desember 2015
3.
Web-site
Nasrah. Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan Negara. e-USU Repository
@2005 Universitas Sumatera Utara
https://ummushofi.wordpress.com/2012/07/31/makna-hanifiyyah-dan-siapakah-orang-yang-hanif-itu/ Di
posting pada 31 Juli 2012 oleh Ummu Shofiah.
Arneson Richard, "Egalitarianism", The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (2002.) Web: http://plato.stanford.edu/entries/egalitarianism
Artikel Salmah. Di publikasikan pada library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=8677.
[1]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2000),
Hlm. 2
[2]
Maharsi, dkk. Hermeneutika Humanistik: Studi Pemikaran Hermeneutik M. Amin
Abdullah dan Khaled Abou el Fadl. Jurnal PENELITAN AGAMA, UIN
Yogyakarta. No. 3 Vol. XVII September-Desember 2008, hlm. 556
[3] Mubasyaroh, Karakteristik
dan Strategi Dakwah Rasulullah Muhammad SAW pada Periode Makkah. Jurnal AT-TABSYIR:
Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam. STAIN Kudus. Vol. 3, No. 2
Desember 2015. Hlm. 384-385
[4]
Baca John Gowdy. Limited Wants, Unlimited Means: A
reader on Hunter-Gatherer Economics and the Environment. 1998. St Louis:
Island Press Hlm. 342. Egalitarianisme (berasal dari bahasa Perancis égal yang berarti
"sama"), adalah kecenderungan cara berpikir bahwa penikmatan atas
kesetaraan dari beberapa macam premis umum misalkan bahwa seseorang harus
diperlakukan dan mendapatkan perlakuan yang sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Dalam kacamata analisis kritis, Dalam pengertian doktrin
Egalitas ini mempertahankan bahwa pada hakikatnya semua orang manusia adalah
sama dalam status nilai atau moral secara fundamental (Arneson Richard,
"Egalitarianism", The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (2002.)
Web: http://plato.stanford.edu/entries/egalitarianism). Sebagian besar, pengertian ini merupakan respon
terhadap pelanggaran pembangunan statis dan memiliki dua definisi yang berbeda
dalam bahasa Inggris modern dapat didefinisikan secara baik sebagai doktrin politik yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan secara
setara dan memiliki hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan sipil yang sama atau dalam pengertian filsafat sosial
penganjurk penghapusan kesenjangan ekonomi antara orang-orang atau adanya
semacam redistribusi/desentralisasi kekuasaan. Dalam hal demikian ini dianggap
oleh beberapa pihak dianggap sebagai keadaan alami dari sebuah masyarakat.
[5] Harifudin Cawidu, Konsep Kufur dalam Al-Qur’an. 1991. Jakarta : Bulan Bintang. Hlm 5
[6] Di jelaskan dalam al-Quara Q.S
3: 66-68
[7] Irena Handono. Islam
di Hujat. Menjawab Buku The Islamic Invation. 2004. Kudus : Penerbit Bima Rodheka. hlm. 55.
[8] Karen
Amstrong. Perang Suci: Dari Perang
Salib hingga Perang Teluk. 2003. Jakarta:
Penerbit
Serambi Ilmu Semesta. Hlm. 835
[9]
Op.Cit. Mubasyaroh. Hlm. 387
[10] Viky Mazaya. Kesetaraan Gender dalam Prespektif Sejarah
Islam. Jurnal SAWWA. Pegiat Studi Gender
dan Anak Kab. Demak. Volume 09, No. 02, April 2014. Hlm. 329
[11]
Al- Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Sirah
Nabawiyah. 2012. Terj. Kathur Suhardi dari judul asli, Sirah Nabawiyyah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Hlm. 33
[12] Nur Cholis Madjid. Pintu-pintu
Menuju Tuhan. 1999. (Jakarta
: Penerbit Paramadina. hlm. 55.
[13] Taufik
Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Akar dan Awal. 2002. Jakarta : PT. Icktiar Baru Van
Hoeve. hlm. 32.
[14] Baca Artikel Salmah. Di
publikasikan pada library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=8677.
Hlm. 5
[15] Ibid. Hlm. 5
[16] Op.Cit. Taufik Abdullah, dkk. Hlm. 60
[17] Op.Cit. Salmah. Hlm. 6
[18] M. Quraish
Shihab. Tafsir al-Misbah. 2000.
Vol. I . Jakarta :
Penerbit Lentera Hati. hlm. 316.
[19] Nasrah. Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan Negara. e-USU Repository
@2005 Universitas Sumatera Utara. Hlm.3
[20] Nurcholis Madjid. Beberapa Renungan tentang Kehidupan
Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Jurnal ULUMUL QURAN. 1993. Vol. IV. No.
01. Hlm. 14
[21] Baca: Syaikhul Islam
Abu Ali, Muhammad at-Tamimi dalam karyanya Tsalatsatul
Ushul. Hal. 30-31. Al-Hanifiyyah adalah jalan dan syari’at Nabi Ibrohim dan
seluruh Nabi ‘alaihimus salam, yaitu sebagaimana yang telah disebutkan oleh
penulis : “engkau beribadah kepada Alloh dengan ikhlas kepada-Nya dalam
menjalankan agama”. Inilah hakikat agama Nabi Ibrohim, beribadah kepada
Alloh dengan ikhlas. Dan hanif adalah diambil dari kata al-hanaf, yaitu
kecondongan. Orang yang hanif adalah orang yang berpaling dari kesyirikan dan
melangkah menuju tauhid. Dan seorang yang Hanif juga bermakna: Orang yang
istiqomah dan berpegang teguh pada ajaran Islam, membenarkan Alloh dan
mengingkari semua sesembahan selain-Nya, dan orang yang hanif adalah siapa saja
yang berada di atas agama Nabi Ibrohim ‘alaihis salam. Adapun kata hanifiyyah berarti sebuah golongan Hanif.
Dikutip dari artikel https://ummushofi.wordpress.com/2012/07/31/makna-hanifiyyah-dan-siapakah-orang-yang-hanif-itu/ Di posting pada 31 Juli 2012 oleh Ummu
Shofiah.
[22]
Op.Cit. Philip K. Hitti. Hlm. 142
[23] Khalil Abdul
Kharim. Hegemony Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. 2002. Yogyakarta :
Penerbit
LKiS. Hlm. 169-170.
[24] Ibid. Hlm. 182-183
[25] Op.Cit. Viky. Hlm. 340
Tidak ada komentar:
Posting Komentar