MASA KEJAYAAN BANI ABBASIYAH
DALAM BIDANG INTELEKTUAL
(AGAMA DAN SAINS)
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam”
Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A
Dr. M. Hadi Masruri, M.A
Pemakalah:
ARINA MAFTUKHATI
(16771027)
(16771027)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A. Pendahuluan
Popularitas
Daulah Abbasiyah, mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun Ar-Rasyid dan
putranya Al-Ma’mun.[1]
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Namun
puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah atau boleh dikatakan zaman paling
gemilang dalam sejarah Islam adalah pada kekhalifahan Harun Ar-Rasyid.
Pemerintahan ketika itu menikmati segala bentuk kebesaran kekuasaan dan
keagungan ilmu pengetahuan.[2]
Ia
amat disegani dan dihormati oleh negara-negara lain. Di dalam negeri kedudukan
Harun Ar-Rasyid lebih lebat daripada peristiwa-peristiwa dan kekacauan yang
timbul di beberapa tempat. Harun-Ar-Rasyid, dikenal di seluruh jagad sebagai
penguasa terbesar di dunia. Pada masanyalah terdapat pemerintahan muslim yang
paling cemerlang di Asia.
Kisah
Seribu Satu Malam telah menunjukkan kekaguman kepada khalifah yang
sering turun ke jalan-jalan di Baghdad untuk memperbaiki ketidakadilan dan
membantu kaum tertindas. Ia taat menjalankan ajaran agama, tidak menyentuh
minuman keras, saleh dan dermawan, namun ia gemar sekali hidup dalam penuh
kemegahan sebagai lambang keagungannya. Agaknya karena karena fenomena inilah
sehingga Abu Yusuf berkata bahwa pada diri Harun Ar-Rasyid sebagai seorang
khalifah, telah terkumpul padanya berbagai sikap dan watak yang saling berbeda,
dalam waktu yang bersamaan, ia seorang tentara yang memiliki watak keras,
seorang raja yang hidup bermewah-mewah, dan seorang yang berpegang teguh kepada
agama dan takut kepada Allah.[3]
Kepribadian Harun Ar-Rasyid telah menyebabkan munculnya dongeng-dongeng rakyat
dan menyebarkan pengaruh besar karena wataknya yang luhur terhadap masyarakat.
Memang
benar peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan
naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian
pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya madzab ilmu
pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti
Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban
Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan
dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Kekuasaan
Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah
keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah Ibn MuhammadIbn Ali Abdullah Ibn al-Abbas. Dia dilahirkan di
Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul
awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-12.
Pada
abad ketujuh terjadi pemberontakan di seluruh negeri. Pemberontakan yang paling
dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan Ibn Muhamnmad (Dinasti Bani Umayyah)
yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abdul Abbas. Dengan jatuhnya negeri
Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu
bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Pada
masa inilah masa kejayaan Islam yang mengalami puncak keemasan pada masa itu berbagai kemajuan dalam segala
bidang mengalami peningkatan seperti bidang
pendidikan, ekonomi politik dan sisten pemerintahannya.
B. Pembahasan
1. Sejarah
Berdirinya Bani Abbasiyah
Sebelum berdirinya Daulah Abbasiyah terdapat tiga poros yang
merupakan pusat kegiatan, antar satu dengan yang lain mempunyai kedudukan
tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar
paman Nabi SAW, Abbas Ibn Abdul Muthalib, dari namanya dinasti itu disandarkan.
Tiga tempat itu ialah Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat
yang tenteram, bermukim di kota kecil itu keluarga Bani Hasyim baik dari
kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Kufah adalah wilayah
yang penduduknya menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali ibn Abi Thalib, yang
selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umaiyah, sehingga mudah untuk
dipengaruhi agar memberontak terhadap Umaiyah. Khurrasan mempunyai warga yang
bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian, tidak
mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang
menyimpang, di sanalah diharapkan dakwah kaum Abbasiyah mendapat dukungan.[4]
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka dengan peran
penting yang dimainkan oleh Khalifah Abu al-Abbas (750-754). Irak menjadi
panggung drama besar itu. Dalam khutbah penobatannya, yang disampaikan setahun
sebelumnya di masjid Kufah, khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya al-saffah,
penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan
pertanda buruk, karena dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka
lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah Islam, di sisi singgasana khalifah tergelar karpet yang
digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam
ketiga setelah Khulafa al-Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang sangat besar
dan berusia lama. Dari 750 M hingga 1258 M, penerus Abu al-Abbas memegang
pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa.[5]
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulah Umayyah kepada daulah
Abbasiyah bermula ketika adanya pihak oposan yakni Bani Hasyim yang menuntut
kepemimpinan Islam berada di tangan mereka karena mereka adalah keluarga Nabi
SAW yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi baru
menjelma menjadi gerakan ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mengalahkan Ali
bin Abi Thalib dan bersikap keras terhadap Bani Hasyim. Alasan lainnya kenapa
mereka bersikap oposan adalah karena menurut mereka pemerintahan Umayyah telah
banyak menyimpang jauh dari nilai-nilai Islam.
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz (717-720)
menjadi khalifah Daulah Umayyah. Umar memimpin dengan adil. Ketentraman dan
stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun
dan merencanakan gerakannya yang berpusat di al-Humayyah. Pimpinannya waktu itu
adalah Ali bin Abdullah bin Abbas, seorang zahid. Dia kemudian digantikan oleh
anaknya, Muhammad, yang memperluas gerakannya. Dia menetapkan tiga kota sebagai
pusat gerakan yaitu kota al-Humayyah sebagi pusat perencanaan dan organisasi,
kota Kuffah sebagai kota penghubung dan kota Khurasan sebagai pusat gerakan
praktis. Muhammad wafat pada tahun 125 H/743 M dan digantikan oleh anaknya
Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya berasal dari Khurasan dan kemudian menyusul
kemenangan demi kemenangan. Pada awal tahun 132 Bh/749 M Ibrahim al-Imam
tertangkap oleh pemerintah Daulah Umayyah dan dipenjara sampai ia meninggal.
Setelah Ibrahim al-Imam meninggal pada akhirnya ia digantikan oleh saudaranya
Abu Abbas. Tidak lama setelah itu, dua bala tentara Abbasiyah dan Umayyah
bertempur di dekat sungai Zab bagian hulu. Dalam perempuran itu Bani Abbas
mendapatkan kemenangan dan bala tentaranya terus menuju ke negeri Syam (Suriah)
dan di sinilah pada akhirnya kota demi kota dikuasainya.[6]
Kekuasaan bani Abassiyah berlangsung
dalam kurun waktu yang sangat panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H
(750 M-1258 M) yang dibagi menjadi 5 periode:
1.
Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut
periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M). Di
sebut masa pengaruh Turki pertama.
3.
Periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055 M).
Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua.
4.
Periode ke empat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M).
Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh Turki
dua.
5.
Periode ke lima (590 H/1194 M – 565 H/1258 M).[7]
Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban Islam.
2. Perkembangan
Intelektual (Agama dan Sains) pada Masa Bani Abbasiyah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata intelektual adalah
cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Selain itu
juga memiliki arti totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yg menyangkut
pemikiran dan pemahaman.[8]
Dalam makalah ini akan dibahas keemasan intelektual dalam makna umum, bukan
hanya berarti ilmu pengetahuan aqli dan naqli saja.
Kemajuan intelektual pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal,
yaitu:
a.
Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan
Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk lslam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia
sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu Bangsa Persia banyak berjasa
dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam
bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani
masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.
b.
Gerakan
penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah
al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak diterjemahkan
adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fasekedua berlangsung mulai
masa khalifah al-makmun hingga tahun 922 M. buku-buku yang banyak diterjemahkan
adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung
setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya
bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[9]
Profesor Nicholson memberikan sebuah gambaran tentang aktivitas
intelektual yang berkembang selama masa Dinasti Abbasiyyah.[10]
Beliau menggambarkan pada masa itu ilmuwan muslim mengembara ke berbagai
belahan dunia untuk mencari ilmu pengetahuan baru. Negara yang pernah mereka
datangi antara lain, Yunani, Romawi, India, Cina, dan masih banyak lagi. Mereka
kembali dengan membawa khazanah ilmu baru, kemudian mengembangkan serta
membukukannya.
Dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Kebudayaan Islam 3,
Prof. Dr. A. Syalabi membagi zaman keemasan intelektual ini dalam tiga masa,[11]
yaitu:
a.
Masa Kodifikasi
buku-buku ilmiah
Pada
masa ini cara berpikir masyarakat arab berubah drastis. Ketika Dinasti Umayyah
masih berkuasa tradisi hafalan yang berasal dai masa jahiliyyah masih tetap
dipertahankan dan diagungkan. Namun setelah Dinasti Abbasiyyah berkuasa tradisi
tersebut perlahan terkikis, umat Islam memulai era baru dengan melakukan
kodifikasi pada setiap ilmu yang mereka ketahui. Kegiatan kodifikasi terbagi
dalam tiga tingkatan, masing-masing memilki keistimewaannya tersendiri. Pertama,
tingkat awal merupakan tingkatan yang paling mudah. Pada tingkatan ini seorang
penulis mencatat kemudian menyalin suatu ide, percakapan atau hal lain yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan. Pada tahap ini seorang penulis hanya menulis ulang,
dan tidak menambahkan gagasan-gagasannya dalam tulisan tersebut.
Kedua, tingkat
pertengahan yang bertugas membukukan ide-ide yang serupa dengan hadis nabi.
Pada tingkatan inilah hukum fiqih, hadis nabi, dan sirah nabawiyyah
dihimpun dalam satu buku.[12]
Ketiga, tingkat
tertinggi yang bertugas menyusun dan memilih ilmu pengetahuan yang ditulis
sebelumnya. Sebelum masa ini para cendikiawan telah menuliskan hafalan dari
para sahabat maupun thabi’in, namun sistematikanya masih belum jelas. Maka dari
itu para cendikiawan tingkat tertinggi ini menyusun kembali tulisan-tulisan
tersebut dalam satu urutan yang jelas. Serta melakukan pengurangan dan
penambahan menyesuaikan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat pada masa itu.
Ilmu
yang bersumber dari naqli, seperti ilmu tafsir dan hadis mengalami banyak
perkembangan. Sebelum masa ini ilmu tafsir al-Qur’an dan hadis masih bercampur
satu sama lain. Al-qu’ran hanya ditafsirkan sebagian saja, tidak secara
keseluruhan, melainkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu saja. Dalam
penafsiran tersebut terkadang disebutkan hadis sebagai penguat, namun tidak
dijelaskan secara rinci jalur periwayatanya.
Pada
masa Bani Abbasiyyah terjadi perombakan secara besar-besaran dalam ilmu naqli,
khususnya ilmu tafsir dan hadis. Atas perintah Umar bin Bukair, al-Fara’
menyusun sebuah kitab tafsir yang menafsirkan ayat al-Qur’an secara
keseluruhan. Tafsir al-Fara’ merupakan kitab tafsir pertama yang melakuka hal
itu, dan menginspirasi ulama-ulama lain untuk melakukan hal serupa. Sejak itu
kita tafsir adalah sebuah kitab yang berisi penafsiran seorang mufassir
terhadap ayat al-Qur’an. Bukan nukilan hadis yang disesuaikan denga ayat
al-Qur’an. Sehingga antara ilmu tafsir dan hadis tidak lagi bercampur,
masing-masing memiliki wilayah otonomi tersendiri.
c.
Masa penerjemahan
buku-buku berbahasa asing
Kebangkitan
intelektual kaum muslim pada masa Dinasti Abbasiyyah sangat bergantung pada
penerjemahan buku-buku berbahasa asing. Pada tahun 762 M Khalifah al-Manshur
mengumpulkan para cendikiawan, untuk menerjemahkan buku berbahasa Sansekerta,
Yunani, dan Suriyani ke dalam Bahasa Arab. Banyak kalangan yang mendukung
gerakan ini, terutama para ilmuwan muslim. Akibatnya geliat penerjemahan buku
berbahasa asing semakin berkembang, untuk mengetahui ilmu yang belum mereka
ketahui, kenudian mengembangkannya.
Untuk
menunjang penerjemahan tersebut, pada tahun 832 M Khalifah al-Ma’mun membangun
sebuah lembaga bernama Baitul Hikmah di Baghdad. Lembaga tersebut merupakan
sebuah perpustakaan terbesar yang dimiliki kaum muslim saat itu, dan juga
berfungsi sebagai observatorium.[14]
3. Masa Keemasan Bani Abbasiyah
Dinamakan khalifah Abbasiyah karena
para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi
Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Suffah Ibn Muhammad
Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang, dari tahun 132-565 H (750-1258 M). Selama dinasti ini berkuasa,
pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan, para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi tiga periode[15]
yaitu:
a.
Periode pertama
(132 H/750 M – 232 H/847 M). Kekuasaan pada periode ini berada di tangan para
khalifah.
b.
Periode kedua
(232 H/847 M – 590 H/1194 M). Pada periode ini kekuasaan hilang dari tangan
para khalifah berpindah kepada kaum Turki (232-234 H), golongan Bani Buwaim
(334-447 H), dan golongan Bani Saljuq (447-590 H).
c.
Periode ketiga
(590 H/1194 M – 656 H/1258 M), pada periode ini kekuasaan berada kembali di
tangan para khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya
Pada periode pertama, pemerintahan
Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode ini berakhir, pemerintahan
Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan berkembang.[16]
Perkembangan intelektual masa
Abbasiyah terlihat jelas dengan terbentuknya jaringan keilmuan yang kuat
terutama yang berhubungan dengan 2 sumber agama, al-Quran dan Hadits, dan
semuanya itu juga tidak luput dari adanya gesekan dengan peradaban lainnya
seperti Yunani, India, dan Mesir. Dinamika intelektual setidaknya dapat
dipahami dari periodesasi pemerintahan Abbasiyah sehingga akan terlihat jelas
kontinuitas keintelektualannya. Sehingga meskipun intensitas politiknya sangat
tinggi, namun kajian-kajian ilmiah tetap stabil.
Periode ke-3, yaitu masa Buwaihiyah
misalnya banyak tokoh-tokoh intelektual yang bermunculan, yaitu:
No.
|
Bidang
|
Tokoh
|
Keterangan
|
1.
|
Arsitektur
|
Adanya Rumah
sakit
Adhudud
Daulah
|
|
Filsafat
|
Al-Farabi
|
||
Kedokteran
|
Ibnu Sina/Avicena
Ikhwanus Shafa’
Muhammad bin Zakaria ar-Razi
Ali bin Abbas al-Majusi
|
Lembaga kesayangan bani Buwaihiyah
Dokter pribadi Adhudud Daulah
|
|
Matematika
|
Al-Khawarizmi
|
||
Sastra
|
a.
Mutanabii
b.
Abul A’la
al-Maariy (973-1057)
c.
Shabi
(925-994)
d.
Shahib Ibnu
Ubbad (938-995 M)
e.
Badi’uz Zaman
(969-1007)
f.
Ibnul Amied
(948-977 M)
|
||
Hukum dan Politik
|
Imam Mawardi
|
Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyahh
|
Sedangkan dinamika intelektual lainnya dapat dilihat di bawah ini:
No
|
Keilmuan
|
Tokoh dan Kitab
|
Tafsir
|
a.
Al-Tabari-kitab
al-Jami’ al-Bayan
b.
Az-Zamakhsari-al-Kasyaf
c.
Fakhruddin
ar-Razi-Mafatih al-Ghaib
|
|
2.
|
Hadits
|
a.
Bukhari (masa
Mutawakkil)
b.
Muslim
|
3.
|
Sastra dan Sejarah
|
a.
Muhammad ibn
Ishaq-Sirah
b.
Ibn
Hisayam-Sirah ibn Hisyam
c.
Ibn
Sa’ad-Tabaqat al-Kubra
d.
Abu Raihan
al-Biruni-Tahqiq ma Lil Hind
|
4.
|
Tasawuf
|
a.
Munculnya
al-Qusyairi (1072-Risalah al-Qusyairiyah)
b.
Al-Ghazali
(1108)-Ihya Ulumuddin
c.
Syahabudin
(w=1234)-Awarif al-Maarif
d.
Dzun Nun
al-Misri (mutawakkil)
|
5.
|
Fiqih
|
a.
Abu Hanifah
(699-767)
b.
Malik bin
Anas (715-795)
c.
Syafii (820)
d.
Ahmad bin
Hanbal (855)
|
6.
|
Filsafat
|
a.
Al-Kindi
(masa Mutawakkil)
b.
Abu Bakar
ar-Razi (864-926)
c.
Al-Farabi(870-950)
d.
Ibn Sina
(980-1037)
|
7.
|
Sains
|
a.
Khawarizmi
(masa Mutawakkil)-ahli matematika
b.
Al-Fazari,
ahli astronomi
c.
Al-Haitami-ahli
optik
|
8.
|
Teologi
|
a.
Murjiah
b.
Mu’tazilah
c.
Khawarij
|
Adanya tokoh-tokoh intelektual di
atas secara tidak langsung membuktikan adanya dinamika intelektual yang terjadi
masa itu yang sekaligus menjadi bukti kongkret adanya kemajuan Islam yang
identik dengan The Golden Age nya.[17]
Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani
Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur,
maka puncak keemasannya dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya,
yaitu:
a.
Al-Mahdi
(775-785 M)[18]
b.
Al-Hadi
(775-786 M)
c.
Harun al-Rasyid (785-809 M)
d.
Al-Ma’mun
(813-833 M)
e.
Al-Mu’tashim
(833-842 M)
f.
Al-Wasiq (842-847 M)
g.
Al-Mutawakkil
(847-861 M)
Pada masa al-Mahdi, perekonomian
mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan
peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.[19]
Popularitas Daulah Bani Abbasiyah
mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid[20]
dan putranya al-Makmun. Ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi
pula dengan lembaga untuk penerjemahan. Adapun kemajuan yang dapat dicapai
adalah sebagai berikut:[21]
a.
Lembaga dan
kegiatan ilmu pengetahuan
Sebelum dinasti Bani Abbasiyah,
pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan center
of education. Pada dinasti Bani Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan
keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had. Lembaga ini kita kenal ada
dua tingkatan, yaitu:
1)
Maktab/kuttab
dan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak remaja belajar
dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama.
2)
Tingkat
pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam Islam pergi ke luar daerah atau
ke masjid-masjid, bahkan ke rumah gurunya. Pada tahap berikutnya, mulailah
dibuka madrasah-madrasah yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada
tahun 456-485 H. Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa dinasti Bani
Abbasiyah.
b.
Corak gerakan
keilmuan
Gerakan keilmuan pada dinasti
Abbasiyah lebih bersifat spesifik, kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat
keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, di samping kajian yang bersifat pada
al-Qur’an dan al-Hadits, sedang astronomi, mantiq dan sastra baru dikembangkan
dengan penerjemahan dari Yunani.
c.
Kemajuan dalam
bidang agama
Pada
masa dinasti Bani Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama
dua metode, yaitu tafsir bil al-ma’tsur (interpretasi tradisional dengan
mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat), dan tafsir bil al-ra’yi
(metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran
daripada hadits dan pendapat sahabat).[22]
Dalam
bidang hadits, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan, pembukuan dari
catatan dan hafalan dari para sahabat. Pada zaman ini juga mulai
diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Dalam
bidang fiqh, pada masa ini lahir fuqaha legendaris, seperti Imam Hanifah
(700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad
ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu
lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab yang semakin
dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
d. Ilmu
pengetahuan sains dan teknologi, kemajuan tersebut antara lain:
1)
Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind, kemudian diterjemahkan
Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi.[23]
Di samping itu, masih ada ilmuwan Islam lainnya, seperti al-Battani (850–923), Umar al-Khayyam[24]
dan Al Tusi atau Nasir al-Din Tusi (1274).
2)
Kedokteran, dokter pertama yang terkenal adalah Ali ibn Rabban al-Tabari. Tokoh
lainnya al-Razi (w.313 H/925), al-Farabi (w.946-974 M), dan Ibnu Sina (980-1037).
3)
Kimia, tokohnya adalah Jabir ibn Hayyan (721-815 M). Tokoh lainnya al-Razi,
al-Tuqrai yang hidup di abad ke-12 M.
4)
Sejarah dan geografi, tokohnya Ahmad ibn al-Yakubi (w 895 M). Kemudian ahli ilmu bumi yang terkenal adalah Ibnu
Khurdazabah (820-913 M). Ilmu bumi memudahkan perjalanan kaum muslimin ke
penjuru dunia, antara lain ke India, Srilangka, dan Melayu.[25]
e. Perkembangan politik, ekonomi dan
administrasi
Pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
1)
Memindahkan ibu
kota negara dari Damaskus ke Baghdad
2)
Memusnahkan
keturunan Bani Umayyah
3)
Merangkul
orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi
peluang dan kesempatan besar kepada kaum Mawali.
4)
Menumpas pemnberontakan-pemberontakan
5)
Menghapus
politik kasta
6)
Para khalifah
tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, gubernur dan para
pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan Mawali.
7)
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang
sangat penting dan mulia
8)
Kebebasan
berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
9)
Para menteri
turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam
pemerintah.
Selain kemajuan di atas, pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan maju dan
menunjukkan angka vertikal. Devisa negara penuh dan melimpah ruah. Khalifah
al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang mampu meletakkan dasar-dasar
yang kuat dalam ekonomi dan keuangan negara. Di sektor perdaganganpun merupakan
yang terbesar di dunia saat itu dan Baghdad sebagai kota pusat perdagangan.[26]
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang
sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama,
tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil
interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu
metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada
hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi
al-ra’yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqih dan
terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat
memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat
hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah
(700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan
yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang
hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi.
Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada
hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat
di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah
(713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah.
Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i Rahimahullah
(767-820 M), Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang
mengembalikan sistem mazhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta
memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman
para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran
Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. di samping 4
pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para
mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan
madzhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran
dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada
pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah pun ada. Akan
tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah
muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang
lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani
Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang
membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus
pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235
H/752-849 M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835 M). Asy’ariyah, aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari
(873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh
oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy’ari sebelumnya adalah pengikut
Mu’tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits,
juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan
oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari
dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama
al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe.
Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan
ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan
Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu
Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles.3 Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga
seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di
antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi
kedokteran paling besar dalam sejarah.
2. Faktor-faktor Pendukung Masa Keemasan
Bani Abbasiyah mencapai puncak keemasannya karena
terdapat beberapa faktor di antaranya adalah :
1.
Islam makin meluas di Baghdad.
4.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat
mulia dan berharga. Para khalifah membuka kesempatan pengembangan pengetahuan seluas-luasnya.
5.
Rakyat bebas berpikir serta memperoleh hak asasinya dalam
segala bidang.
6. Para khalifah banyak mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan sehingga banyak buku-buku yang dikarang dalam berbagai ilmu
pengatahuan, serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[29]
Adanya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa
lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan ilmu pengetahuan, asimilasi itu
berlangsung efektif dan bangsa-bangsa tersebut memberi saham pengetahuan yang
bermanfaat.
Selain itu ada faktor yang turut
mempengaruhi masa keemasan Bani Abbasiyah, khususnya dalam bidang bahasa,[30]
adalah:
a.
Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Asimilasi berlangsung
secara efektif dan bernilai guna. Bangsa itu memberi saham-saham tertentu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
b.
Gerakan
terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
1)
Fase pertama,
pada masa khalifah al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.
2)
Fase kedua,
berlangsung mulai khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H.
3)
Fase ketiga,
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Bidang-bidang yang diterjemahkan semakin luas.
Dengan gerakan terjemahan, bukan
saja membawa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu
pengetahuan agama. Akan tetapi, secara garis besar ada dua faktor penyebab
tumbuh dan kejayaan Bani Abbasiyah,[31]
yaitu:
a.
Faktor
internal: faktor yang berasal dari dalam ajaran Islam yang mampu memberikan
motivasi bagi para pemeluk untuk mengembangkan peradabannya.
b.
Faktor
eksternal, ada 4 pengaruh, yaitu: semangat Islam, perkembangan organisasi
Negara, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perluasan daerah Islam.
Adapun penyebab keberhasilan kaum
penganjur berdirinya khilafah Bani Abbasiyah adalah karena mereka berhasil
menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani Abbas adalah keluarga yang
dekat kepada Nabi dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah
Rasul serta menegakkan syariat Islam.[32]
3. Lahirnya tokoh-tokoh Intelektual Muslim
Pada masa daulah Bani Abbasiyah,
telah banyak tokoh-tokoh intelektual muslim yang berhasil menemukan berbagai
bidang ilmu pengetahuan, antara lain yaitu:[33]
a.
Filsafat
Setelah kitab-kitab filsafat Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kaum muslimin sibuk mempelajari ilmu
filsafat, sehingga lahir filosof dunia yang terkenal, yaitu :
1)
Abu Nashr
al-Faroby (karyanya sebanyak 12 buah)[34]
2)
Ibnu Sina
(karyanya al-Qanun fil al-Thib)[35]
3)
Al-Ghazali
(terkenal dengan karyanya Ihya’ Ulumuddin)[36]
b.
Kedokteran
Daulah Bani Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter kenamaan,
yaitu:
2)
Abu Zakaria
al-Razi[38]
3)
Ibnu Sina[39]
c.
Matematika
Di antara ahli matematika Islam
terkenal adalah beliau (al-Khawarizmi) pengarang
kitab Al-Gebra (al-Jabar), ahli matematika yang berhasil menemukan angka nol
(0).
d.
Farmasi dan
Kimia
Di masa para ahli farmasi dan kimia
pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar (karyanya
yang terkenal adalah al-Mughni).
e.
Perbintangan
Tokoh ilmu perbintangan antara lain:
2)
Abu Manshur
al-Falaky
3)
Jabir al-Batany
(pencipta teropong bintang)
4)
Raihan
al-Bairleny
5)
Abu Ali al-Hasan ibn al-Hitami (terkenal
dengan al-Hazen dalam bidang optik).[40]
f.
Tafsir dan
Hadits
Ilmu tafsir yang berkembang pesat
adalah tafsir al-Ma’tsur dan al-Ra’yi di antara tokoh-tokohnya adalah :
1)
Ibnu Jarir
al-Thabari (ahli tafsir al-Ma’tsur)
2)
Ibnu Athiyah
al-Andalusy (ahli tafsir al-Ma’tsur)
3)
Abu Bakar Asam
(ahli tafsir al-Ra’yi)
4)
Abu Muslim
Muhammad (ahli tafsir al-Ra’yi)
Sedangkan tokoh ilmu hadits yang terkenal antara lain: Imam
Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Al-Nasa’i.
g.
Kalam dan
Bahasa
Perdebatan para ahli mengenai dosa,
pahala, surga, dan neraka serta pembicaraan mereka mengenai ilmu ketuhanan atau
tauhid menghasilkan ilmu, yaitu ilmu tauhid dan ilmu kalam. Para pelopornya
adalah Jaham ibnu Shafwan. Sedangkan ilmu bahasa yang berkembang pada waktu itu
adalah nahwu, bayan, badi’ dan arudl. Di antara ilmuwan bahasa yang terkenal,
adalah:
1)
Imam Sibawih
(karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman)
2)
Abu Zakaria
al-Farra (kitab nahwunya terdiri dari 6.000 halaman)
C.
Kesimpulan
Peradaban Islam mengalami puncak
kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju
yang diawali dengan penerjemahan naskah naskah asing terutama yang berbahasa
Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan
dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari
kebebasan berfikir. Dari segi politik Dinasti abbasiyah berkuasa sejak tahun
132 H sampai tahun 656 H. Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Disebut
periode pengaruh Persia pertama. Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M).
Disebut masa pengaruh Turki pertama. Periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055
M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua.Periode keempat
(447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam
pemerintahan atau pengaruh Turki dua. Periode ke lima (590 H/1194 M – 565
H/1258 M). Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban islam4
Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang pada masa dinasti abbasiyah
yaitu filsafat, ilmu kalam, ilmu kedokteran, ilmu kimia, ilmu hisab, sejarah,
ilmu bumi dan astronom. Bidang-bidang ilmu pengetahuan keagamaan berkembang
pada masa ini yaitu: ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih, tasawuf.
Daftar
Pustaka
Abu Bakar, Istianah, (2008), Sejarah Peradaban Islam, Malang:
UIN-Malang Press.
A. Syalabi, (2003), Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta:
PT. Al Husna Baru.
A’la
al-Maududi, Abul, (2006), Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan.
Al-Maududi, (1996), Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan.
Asnawi,
Muhammad, (2009), Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: CV.Aneka Ilmu.
K. Hitti,
Philip, (2006), History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kamus Pustaka Bahasa, (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa.
Mufrodi, Ali, (1997), Islam di Kawasan Kebudayaan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Muhamad Hakiki,
Kiki, (2012), Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti Abbasiyah,
Jurnal TAPIs, Vol. 8 No.1, Januari-Juni.
Murodi, (2003),
Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Thoha Putra.
Riyadi, Fuad, (2014), PERPUSTAKAAN BAYT AL HIKMAH ”THE GOLDEN
AGE OF ISLAM”, Jurnal Dosen STAIN Kudus, Vol. 2 No. 1, Januari-Juni.
Sanusi, Ja`far, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Aliyah III, Semarang: CV. Wicaksana.
Syalabi, Ahmad, (1993), Sejarah dan Kebudayaan 3, Jakarta:
Pustaka Al-Husna.
Syukur, Fatah,
(2009), Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki.
Thohir,
Ajid, (2004), Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Yatim, Badri, (1994), Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
[3] Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 360
[4]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Islam, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, hlm. 87
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep
Lukman Yasin dan Dedi Slamet, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), Cet. 1,
hlm. 358
[6] Kiki Muhamad Hakiki, Mengkaji Ulang Sejarah Politik
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Jurnal TAPIs, Vol. 8 No.1, Januari-Juni 2012,
hlm. 114)
[7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam 3, (Jakarta: PT. Al Husna Baru , 2003), hlm. 19
[9] Fuad Riyadi, PERPUSTAKAAN BAYT AL HIKMAH
”THE GOLDEN AGE OF ISLAM”, Jurnal Dosen STAIN Kudus, Vol. 2 No. 1,
Januari-Juni 2014, hlm 12-13
[14] A. Syalabi, Sejarah dan …., hlm. 198. Observatorium
adalah gedung yg dilengkapi alat-alat
(teleskop, teropong bintang, dan sebagainya) untuk keperluan pengamatan dan
penelitian ilmiah tentang bintang dan sebagainya.
[15] A. Syalaby, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997, hlm. 2
[17] Istianah Abu
Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),Cet. 1,
hlm. 82-84
[18]
Muhammad bin Mansur al-Mahdi (berkuasa 775–785) adalah khalifah ketiga Bani Abbasiyah. Ia menggantikan
ayahnya al-Mansur. Al-Mahdi, yang
namanya berarti "Pemimpin yang Baik" atau "Penebus",
diangkat sebagai kholifah saat ayahnya di akhir hidupnya. Masa pemerintahannya
yang damai melanjutkan kebijakan para pendahulunya.
[20]Harun Ar-Rasyid, dilahirkan pada bulan Februari
tahun 763 M di Rayy. Ayahnya bernama Al-Mahdi bin Abu Ja’far Al-Mansyur,
khalifah ketiga dari Bani Abbasiyah. Ibunya bernama Khizuran, seorang wanita
sahaya dari Yaman yang dimerdekakan oleh Al-Mahdi.
Harun Ar-Rasyid memperoleh pendidikan di istana, baik
pendidikan agama maupun ilmu pemerintah. Ia dididik oleh keluarga Barmaki,
Yahya bin Khalid salah seorang anggota keluarga Barmak yang berperan dalam
pemerintahan Bani Abbas, sehingga ia menjadi terpelajar, cerdas, dan
berkepribadian yang kuat.
Karena kecerdasannya, walaupun
usianya masih muda, ia sudah terlibat dalam urusan pemerintahan ayahnya. Ia
mendapatkan pendidikan ketentaraan. Pada masa pemerintahan ayahnya, Harun Ar-Rasyid dipercayakan dua kali
memimpin ekspedisi militer untuk menyerang Bizantium (779-780) dan (781-782)
sampai ke pantai Bosporus. Ia didampingi oleh para pejabat tinggi dan jenderal
veteran.
Sebelum menjadi khalifah, ia pernah memegang jabatan
gubernur selama dua kali, di as-Saifah pada tahun 163 H/779 M dan di
Magribi pada tahun 780 M. Setelah sempat dua kali menjadi gubernur, pada tahun
166 H/782 M khalifah Al-Mahdi mengukuhkan menjadi putra Mahkota untuk menjadi
khalifah sesudah saudaranya, Al-Hadi, dan setelah pengukuhannya empat tahun
kemudian yakni tepatnya pada tanggal 14 September 786 M Harun Ar-Rasyid
memproklamirkan diri menjadi khalifah, untuk menggantikan saudaranya yang telah
wafat.
Setelah menduduki tahta kekhalifahan, ia pun mengangkat
Yahya bin Khalid sebagai wazir (perdana menteri) untuk menjalankan roda
pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas. Ia berkata kepada Yahya:
“Sesungguhnya Aku serahkan kepadamu urusan rakyat, tetapkanlah segala sesuatu
menurut pendapatmu, pecat orang yang patut dipecat, pekerjakanlah orang yang
pantas menurut kamu dan jalankan segala urusan menurut pendapatmu.”. (lihat di
jurnal Kasmiati, Harun Ar-Rasyid, Jurnal STAIN Datokarama Palu, Jurusan
Tarbiyah, Vol. 3, No. 1, Maret 2006, hlm. 92-93)
[21] Ajid Thohir,
Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 50
[23] Abu abdallah Muhammad bin Ibrahim al-Fazari (meninggal 796 atau 806) adalah seorang filsuf,
matematikawan dan astronom Muslim. Ia banyak menterjemahkan buku-buku
sains ke dalam bahasa Arab dan Persia. Ia juga merupakan astronom muslim
pertama yang membuat astrolobe, alat untuk mengukur tinggi bintang. Ia pernah
mendapat tugas untuk menterjemahkan ilmu angka dan ilmu hitung, serta ilmu
astronomi India yang bernama Sind Hind, oleh khalifah Al Mansyur dari
Abbasiyah.
[24] Seorang penyair, ahli matematik, dan
ahli astronomi. Kahyyam yang lahir: 18 Mei 1048 di Nishapur, Iran (Parsi) dan
meninggal 4 Desember 1131 itu mempunyai nama asli Ghiyatuddin Abu al-Fatah Omar
ibni Ibrahim Al-Nisaburi Khayami. Khayam adalah perkataan pinjaman bahasa Arab
yang bermakna “pembuat khemah.” Beliau paling dikenali kerana himpunan
puisinya, Rubaiyat Omar Khayyam. Beliau memecahkan persamaan pangkat tiga dan
empat melalui kerucut-kerucut yang merupakan ilmu aljabar tertinggi dalam
matematika modern.
[25] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, hlm 103
[27] Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh terhadap
kejaayaan di masa Bani Abbasiyah adalah Harus Ar-Rasyid, beliau sangat berperan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kebudayaan dan
peradaban Islam maju dan berkembang pesat. Langkah yang dilakukan oleh Harun
Ar-Rasyid dalam pengembangan ilmu pengetahuan salah satunya yaitu mendirikan
lembaga pendidikan yang disebut “Baitul Hikmah” sebagai pusat penelitian
berbagai ilmu pengetahuan.
[29] Ja`far Sanusi, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah
Aliyah III, Semarang: CV. Wicaksana, hlm.32-33
[34] Al-Farabi (870-950 M)/Abu Nashr Muhammad bin Muhammad
Tarkhan Al-Farabi, nama filsuf
al-Farabi menjadi terkenal setelah masa al-Khindi.Beliau lahir di Farab pada
tahun 870 M dan wafat di Damaskus pada tahun 95 M. Di antara karyanya yaitu Tahsilus
Sa`adah, Assiyasatul Madaniyah, Tanbih ala Sabilis Sa`adah dan
lain-lain.
[35] Ibnu Sina (980-1037 M)/Ar-Rais Abu Ali Husain bin Abdullah
yang lebih terkenal dengan Ibnu Sina. Beliau lahir di Afsyanah, Bukhara pada tahun 980 M, dan wafat di Hamdan pada tahun 1037 M. Beliau adalah seorang
dokter dan filsuf ternama. Ibnu Sina meninggalkan karyanya sebanyak kurang lebih 200
buah. Di antara karya buku filsafatnya adalah
Al Isyarat wa At Tanbihat, Mantiq Al Masyriqiyyin dan lain-lain. (lihat di bukunya Muh. Asnawi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV.Aneka Ilmu, 2009), hlm. 28)
[36] Al-Ghazali
(1058-1111 M)/Abu Hamid bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M
dan wafat pada tahun 1111 M.Diantara karyanya adalah Tahafutul Falasifah,
Ar-Risalatul Qudsiyah dan Ilya Ulumuddin.
[37] Ibnu Baytsar (810-878 M), beliau adalah ahli farmasi dan kimia.
Karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni, Mizanut Thabib dan Jami` Mufradtil
Adwiyah wa Aghniyah.
[38] Ar-Razi (194-264 H)/Abu Bakar bin Zakaria ar-Razi,beliau
adalah seorang dokter yang paling masyhur di zamannya, beliau menjadi ketua
dokter di Baghdad. Di antara kitab karangannya
adalah Al Hawi dan Fi Al Judari Wa Al Hasbat.
[39] Ibnu Sina (980-1037 M), selain sebagai filsuf beliau juga
terkenal sebagai seorang dokter. Di antara kitabnya adalah Asy Syifa` dan Al Qonun Fitthibb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar