Senin, 06 November 2017

MAKALAH MASA KEJAYAAN BANI ABBASIYAH DALAM BIDANG INTELEKTUAL (AGAMA DAN SAINS)

MASA KEJAYAAN BANI ABBASIYAH  DALAM BIDANG INTELEKTUAL
(AGAMA DAN SAINS)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam


Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A






Pemakalah:
ARINA MAFTUKHATI
(16771027)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017


A.      Pendahuluan

Popularitas Daulah Abbasiyah, mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya Al-Ma’mun.[1] Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Namun puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah atau boleh dikatakan zaman paling gemilang dalam sejarah Islam adalah pada kekhalifahan Harun Ar-Rasyid. Pemerintahan ketika itu menikmati segala bentuk kebesaran kekuasaan dan keagungan ilmu pengetahuan.[2]
Ia amat disegani dan dihormati oleh negara-negara lain. Di dalam negeri kedudukan Harun Ar-Rasyid lebih lebat daripada peristiwa-peristiwa dan kekacauan yang timbul di beberapa tempat. Harun-Ar-Rasyid, dikenal di seluruh jagad sebagai penguasa terbesar di dunia. Pada masanyalah terdapat pemerintahan muslim yang paling cemerlang di Asia.
Kisah Seribu Satu Malam telah menunjukkan kekaguman kepada khalifah yang sering turun ke jalan-jalan di Baghdad untuk memperbaiki ketidakadilan dan membantu kaum tertindas. Ia taat menjalankan ajaran agama, tidak menyentuh minuman keras, saleh dan dermawan, namun ia gemar sekali hidup dalam penuh kemegahan sebagai lambang keagungannya. Agaknya karena karena fenomena inilah sehingga Abu Yusuf berkata bahwa pada diri Harun Ar-Rasyid sebagai seorang khalifah, telah terkumpul padanya berbagai sikap dan watak yang saling berbeda, dalam waktu yang bersamaan, ia seorang tentara yang memiliki watak keras, seorang raja yang hidup bermewah-mewah, dan seorang yang berpegang teguh kepada agama dan takut kepada Allah.[3] Kepribadian Harun Ar-Rasyid telah menyebabkan munculnya dongeng-dongeng rakyat dan menyebarkan pengaruh besar karena wataknya yang luhur terhadap masyarakat.
Memang benar peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya madzab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibn MuhammadIbn Ali Abdullah Ibn al-Abbas. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-12.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan di seluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan Ibn Muhamnmad (Dinasti Bani Umayyah) yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abdul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Pada masa inilah masa kejayaan Islam yang mengalami puncak keemasan  pada masa itu berbagai kemajuan dalam segala bidang mengalami peningkatan seperti bidang  pendidikan, ekonomi politik dan sisten pemerintahannya.

B.       Pembahasan

1.      Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah

Sebelum berdirinya Daulah Abbasiyah terdapat tiga poros yang merupakan pusat kegiatan, antar satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Nabi SAW, Abbas Ibn Abdul Muthalib, dari namanya dinasti itu disandarkan. Tiga tempat itu ialah Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat yang tenteram, bermukim di kota kecil itu keluarga Bani Hasyim baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Kufah adalah wilayah yang penduduknya menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali ibn Abi Thalib, yang selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umaiyah, sehingga mudah untuk dipengaruhi agar memberontak terhadap Umaiyah. Khurrasan mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, di sanalah diharapkan dakwah kaum Abbasiyah mendapat dukungan.[4]  
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka dengan peran penting yang dimainkan oleh Khalifah Abu al-Abbas (750-754). Irak menjadi panggung drama besar itu. Dalam khutbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah, khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya al-saffah, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk, karena dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, di sisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga setelah Khulafa al-Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M hingga 1258 M, penerus Abu al-Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa.[5]
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulah Umayyah kepada daulah Abbasiyah bermula ketika adanya pihak oposan yakni Bani Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka karena mereka adalah keluarga Nabi SAW yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi baru menjelma menjadi gerakan ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mengalahkan Ali bin Abi Thalib dan bersikap keras terhadap Bani Hasyim. Alasan lainnya kenapa mereka bersikap oposan adalah karena menurut mereka pemerintahan Umayyah telah banyak menyimpang jauh dari nilai-nilai Islam. 
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz (717-720) menjadi khalifah Daulah Umayyah. Umar memimpin dengan adil. Ketentraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di al-Humayyah. Pimpinannya waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas, seorang zahid. Dia kemudian digantikan oleh anaknya, Muhammad, yang memperluas gerakannya. Dia menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan yaitu kota al-Humayyah sebagi pusat perencanaan dan organisasi, kota Kuffah sebagai kota penghubung dan kota Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad wafat pada tahun 125 H/743 M dan digantikan oleh anaknya Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya berasal dari Khurasan dan kemudian menyusul kemenangan demi kemenangan. Pada awal tahun 132 Bh/749 M Ibrahim al-Imam tertangkap oleh pemerintah Daulah Umayyah dan dipenjara sampai ia meninggal. Setelah Ibrahim al-Imam meninggal pada akhirnya ia digantikan oleh saudaranya Abu Abbas. Tidak lama setelah itu, dua bala tentara Abbasiyah dan Umayyah bertempur di dekat sungai Zab bagian hulu. Dalam perempuran itu Bani Abbas mendapatkan kemenangan dan bala tentaranya terus menuju ke negeri Syam (Suriah) dan di sinilah pada akhirnya kota demi kota dikuasainya.[6]
Kekuasaan bani Abassiyah berlangsung dalam  kurun waktu yang sangat panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H (750 M-1258 M) yang dibagi menjadi 5 periode:
1.      Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut periode pengaruh Persia pertama.
2.      Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M). Di sebut masa pengaruh Turki pertama.
3.      Periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua.
4.      Periode ke empat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh Turki dua.
5.      Periode ke lima (590 H/1194 M – 565 H/1258 M).[7] Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban Islam.

2.      Perkembangan Intelektual (Agama dan Sains) pada Masa Bani Abbasiyah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata intelektual adalah cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Selain itu juga memiliki arti totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yg menyangkut pemikiran dan pemahaman.[8] Dalam makalah ini akan dibahas keemasan intelektual dalam makna umum, bukan hanya berarti ilmu pengetahuan aqli dan naqli saja.
Kemajuan intelektual pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu:
a.         Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk lslam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu Bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.
b.         Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fasekedua berlangsung mulai masa khalifah al-makmun hingga tahun 922 M. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[9]
Profesor Nicholson memberikan sebuah gambaran tentang aktivitas intelektual yang berkembang selama masa Dinasti Abbasiyyah.[10] Beliau menggambarkan pada masa itu ilmuwan muslim mengembara ke berbagai belahan dunia untuk mencari ilmu pengetahuan baru. Negara yang pernah mereka datangi antara lain, Yunani, Romawi, India, Cina, dan masih banyak lagi. Mereka kembali dengan membawa khazanah ilmu baru, kemudian mengembangkan serta membukukannya.
Dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Prof. Dr. A. Syalabi membagi zaman keemasan intelektual ini dalam tiga masa,[11] yaitu:
a.         Masa Kodifikasi buku-buku ilmiah
Pada masa ini cara berpikir masyarakat arab berubah drastis. Ketika Dinasti Umayyah masih berkuasa tradisi hafalan yang berasal dai masa jahiliyyah masih tetap dipertahankan dan diagungkan. Namun setelah Dinasti Abbasiyyah berkuasa tradisi tersebut perlahan terkikis, umat Islam memulai era baru dengan melakukan kodifikasi pada setiap ilmu yang mereka ketahui. Kegiatan kodifikasi terbagi dalam tiga tingkatan, masing-masing memilki keistimewaannya tersendiri. Pertama, tingkat awal merupakan tingkatan yang paling mudah. Pada tingkatan ini seorang penulis mencatat kemudian menyalin suatu ide, percakapan atau hal lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Pada tahap ini seorang penulis hanya menulis ulang, dan tidak menambahkan gagasan-gagasannya dalam tulisan tersebut.
Kedua, tingkat pertengahan yang bertugas membukukan ide-ide yang serupa dengan hadis nabi. Pada tingkatan inilah hukum fiqih, hadis nabi, dan sirah nabawiyyah dihimpun dalam satu buku.[12]
Ketiga, tingkat tertinggi yang bertugas menyusun dan memilih ilmu pengetahuan yang ditulis sebelumnya. Sebelum masa ini para cendikiawan telah menuliskan hafalan dari para sahabat maupun thabi’in, namun sistematikanya masih belum jelas. Maka dari itu para cendikiawan tingkat tertinggi ini menyusun kembali tulisan-tulisan tersebut dalam satu urutan yang jelas. Serta melakukan pengurangan dan penambahan menyesuaikan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat pada masa itu.

b.        Masa pengaturan ilmu-ilmu yang bersumber dari naqli[13]
Ilmu yang bersumber dari naqli, seperti ilmu tafsir dan hadis mengalami banyak perkembangan. Sebelum masa ini ilmu tafsir al-Qur’an dan hadis masih bercampur satu sama lain. Al-qu’ran hanya ditafsirkan sebagian saja, tidak secara keseluruhan, melainkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu saja. Dalam penafsiran tersebut terkadang disebutkan hadis sebagai penguat, namun tidak dijelaskan secara rinci jalur periwayatanya.
Pada masa Bani Abbasiyyah terjadi perombakan secara besar-besaran dalam ilmu naqli, khususnya ilmu tafsir dan hadis. Atas perintah Umar bin Bukair, al-Fara’ menyusun sebuah kitab tafsir yang menafsirkan ayat al-Qur’an secara keseluruhan. Tafsir al-Fara’ merupakan kitab tafsir pertama yang melakuka hal itu, dan menginspirasi ulama-ulama lain untuk melakukan hal serupa. Sejak itu kita tafsir adalah sebuah kitab yang berisi penafsiran seorang mufassir terhadap ayat al-Qur’an. Bukan nukilan hadis yang disesuaikan denga ayat al-Qur’an. Sehingga antara ilmu tafsir dan hadis tidak lagi bercampur, masing-masing memiliki wilayah otonomi tersendiri.

c.         Masa penerjemahan buku-buku berbahasa asing
Kebangkitan intelektual kaum muslim pada masa Dinasti Abbasiyyah sangat bergantung pada penerjemahan buku-buku berbahasa asing. Pada tahun 762 M Khalifah al-Manshur mengumpulkan para cendikiawan, untuk menerjemahkan buku berbahasa Sansekerta, Yunani, dan Suriyani ke dalam Bahasa Arab. Banyak kalangan yang mendukung gerakan ini, terutama para ilmuwan muslim. Akibatnya geliat penerjemahan buku berbahasa asing semakin berkembang, untuk mengetahui ilmu yang belum mereka ketahui, kenudian mengembangkannya.
Untuk menunjang penerjemahan tersebut, pada tahun 832 M Khalifah al-Ma’mun membangun sebuah lembaga bernama Baitul Hikmah di Baghdad. Lembaga tersebut merupakan sebuah perpustakaan terbesar yang dimiliki kaum muslim saat itu, dan juga berfungsi sebagai observatorium.[14]

3.      Masa Keemasan Bani Abbasiyah

Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Suffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132-565 H (750-1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi tiga periode[15] yaitu:
a.       Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M). Kekuasaan pada periode ini berada di tangan para khalifah.
b.      Periode kedua (232 H/847 M – 590 H/1194 M). Pada periode ini kekuasaan hilang dari tangan para khalifah berpindah kepada kaum Turki (232-234 H), golongan Bani Buwaim (334-447 H), dan golongan Bani Saljuq (447-590 H).
c.       Periode ketiga (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), pada periode ini kekuasaan berada kembali di tangan para khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang.[16]
Perkembangan intelektual masa Abbasiyah terlihat jelas dengan terbentuknya jaringan keilmuan yang kuat terutama yang berhubungan dengan 2 sumber agama, al-Quran dan Hadits, dan semuanya itu juga tidak luput dari adanya gesekan dengan peradaban lainnya seperti Yunani, India, dan Mesir. Dinamika intelektual setidaknya dapat dipahami dari periodesasi pemerintahan Abbasiyah sehingga akan terlihat jelas kontinuitas keintelektualannya. Sehingga meskipun intensitas politiknya sangat tinggi, namun kajian-kajian ilmiah tetap stabil.
Periode ke-3, yaitu masa Buwaihiyah misalnya banyak tokoh-tokoh intelektual yang bermunculan, yaitu:
No.
Bidang
Tokoh
Keterangan
1.
Arsitektur

Adanya Rumah sakit
Adhudud Daulah

Filsafat
Al-Farabi


Kedokteran
Ibnu Sina/Avicena
Ikhwanus Shafa’
Muhammad bin Zakaria ar-Razi
Ali bin Abbas al-Majusi

Lembaga kesayangan bani Buwaihiyah

Dokter pribadi Adhudud Daulah

Matematika
Al-Khawarizmi


Sastra
a.       Mutanabii
b.       Abul A’la al-Maariy (973-1057)
c.       Shabi (925-994)
d.      Shahib Ibnu Ubbad (938-995 M)
e.       Badi’uz Zaman (969-1007)
f.        Ibnul Amied (948-977 M)


Hukum dan Politik
Imam Mawardi
Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyahh

Sedangkan dinamika intelektual lainnya dapat dilihat di bawah ini:
No
Keilmuan
Tokoh dan Kitab

Tafsir
a.         Al-Tabari-kitab al-Jami’ al-Bayan
b.        Az-Zamakhsari-al-Kasyaf
c.         Fakhruddin ar-Razi-Mafatih al-Ghaib
2.
Hadits
a.         Bukhari (masa Mutawakkil)
b.        Muslim
3.
Sastra dan Sejarah
a.         Muhammad ibn Ishaq-Sirah
b.        Ibn Hisayam-Sirah ibn Hisyam
c.         Ibn Sa’ad-Tabaqat al-Kubra
d.        Abu Raihan al-Biruni-Tahqiq ma Lil Hind
4.
Tasawuf
a.       Munculnya al-Qusyairi (1072-Risalah al-Qusyairiyah)
b.      Al-Ghazali (1108)-Ihya Ulumuddin
c.       Syahabudin (w=1234)-Awarif al-Maarif
d.      Dzun Nun al-Misri (mutawakkil)
5.
Fiqih
a.         Abu Hanifah (699-767)
b.        Malik bin Anas (715-795)
c.         Syafii (820)
d.        Ahmad bin Hanbal (855)
6.
Filsafat
a.         Al-Kindi (masa Mutawakkil)
b.        Abu Bakar ar-Razi (864-926)
c.         Al-Farabi(870-950)
d.        Ibn Sina (980-1037)
7.
Sains
a.         Khawarizmi (masa Mutawakkil)-ahli matematika
b.        Al-Fazari, ahli astronomi
c.         Al-Haitami-ahli optik
8.
Teologi
a.         Murjiah
b.        Mu’tazilah
c.         Khawarij

Adanya tokoh-tokoh intelektual di atas secara tidak langsung membuktikan adanya dinamika intelektual yang terjadi masa itu yang sekaligus menjadi bukti kongkret adanya kemajuan Islam yang identik dengan The Golden Age nya.[17]
Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasannya dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu:
a.         Al-Mahdi (775-785 M)[18]
b.         Al-Hadi (775-786 M)
c.          Harun al-Rasyid (785-809 M)
d.        Al-Ma’mun (813-833 M)
e.         Al-Mu’tashim (833-842 M)
f.           Al-Wasiq (842-847 M)
g.         Al-Mutawakkil (847-861 M)
Pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.[19]
Popularitas Daulah Bani Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid[20] dan putranya al-Makmun. Ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan. Adapun kemajuan yang dapat dicapai adalah sebagai berikut:[21]
a.         Lembaga dan kegiatan ilmu pengetahuan
Sebelum dinasti Bani Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan center of education. Pada dinasti Bani Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan, yaitu:
1)      Maktab/kuttab dan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak remaja belajar dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama.
2)      Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam Islam pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid, bahkan ke rumah gurunya. Pada tahap berikutnya, mulailah dibuka madrasah-madrasah yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H. Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa dinasti Bani Abbasiyah.
b.         Corak gerakan keilmuan
Gerakan keilmuan pada dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik, kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, di samping kajian yang bersifat pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedang astronomi, mantiq dan sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
c.         Kemajuan dalam bidang agama
Pada masa dinasti Bani Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua metode, yaitu tafsir bil al-ma’tsur (interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat), dan tafsir bil al-ra’yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat).[22]
Dalam bidang hadits, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan dari para sahabat. Pada zaman ini juga mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Dalam bidang fiqh, pada masa ini lahir fuqaha legendaris, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
            d.    Ilmu pengetahuan sains dan teknologi, kemajuan tersebut antara lain:
1) Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind, kemudian diterjemahkan Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi.[23] Di samping itu, masih ada ilmuwan Islam lainnya, seperti al-Battani (850–923), Umar al-Khayyam[24] dan Al Tusi atau Nasir al-Din Tusi (1274).
2) Kedokteran, dokter pertama yang terkenal adalah Ali ibn Rabban al-Tabari. Tokoh lainnya al-Razi (w.313 H/925), al-Farabi (w.946-974 M), dan Ibnu Sina (980-1037).
3) Kimia, tokohnya adalah Jabir ibn Hayyan (721-815 M). Tokoh lainnya al-Razi, al-Tuqrai yang hidup di abad ke-12 M.
4) Sejarah dan geografi, tokohnya Ahmad ibn al-Yakubi (w 895 M). Kemudian ahli ilmu bumi yang terkenal adalah Ibnu Khurdazabah (820-913 M). Ilmu bumi memudahkan perjalanan kaum muslimin ke penjuru dunia, antara lain ke India, Srilangka, dan Melayu.[25]
e.     Perkembangan politik, ekonomi dan administrasi
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
1)      Memindahkan ibu kota negara dari Damaskus ke Baghdad
2)      Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
3)      Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan besar kepada kaum Mawali.
4)       Menumpas pemnberontakan-pemberontakan
5)      Menghapus politik kasta
6)      Para khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan Mawali.
7)       Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia
8)      Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
9)      Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah.
Selain kemajuan di atas, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan maju dan menunjukkan angka vertikal. Devisa negara penuh dan melimpah ruah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam ekonomi dan keuangan negara. Di sektor perdaganganpun merupakan yang terbesar di dunia saat itu dan Baghdad sebagai kota pusat perdagangan.[26]
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqih dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i Rahimahullah (767-820 M), Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem mazhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. di samping 4 pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849 M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835 M). Asy’ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy’ari sebelumnya adalah pengikut Mu’tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles.3 Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.

2.  Faktor-faktor Pendukung Masa Keemasan

Bani Abbasiyah mencapai puncak keemasannya karena terdapat beberapa faktor di antaranya adalah :
      1.      Islam makin meluas di Baghdad.
      2.      Adanya perkembangan ilmu pengetahuan.[27]
     3.      Dalam penyelenggaraan negara pada masa Bani Abbasiyah ada jabatan wazir (perdana menteri)[28] 
      4.      Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah                membuka kesempatan pengembangan pengetahuan seluas-luasnya.
      5.      Rakyat bebas berpikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang.
      6.     Para khalifah banyak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan sehingga banyak buku-buku         yang dikarang dalam berbagai ilmu pengatahuan, serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing          diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[29]

Adanya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan ilmu pengetahuan, asimilasi itu berlangsung efektif dan bangsa-bangsa tersebut memberi saham pengetahuan yang bermanfaat.
Selain itu ada faktor yang turut mempengaruhi masa keemasan Bani Abbasiyah, khususnya dalam bidang bahasa,[30] adalah:
a.       Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa itu memberi saham-saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
b.      Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
1)      Fase pertama, pada masa khalifah al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.
2)      Fase kedua, berlangsung mulai khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H.
3)      Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang yang diterjemahkan semakin luas.
Dengan gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Akan tetapi, secara garis besar ada dua faktor penyebab tumbuh dan kejayaan Bani Abbasiyah,[31] yaitu:
a.       Faktor internal: faktor yang berasal dari dalam ajaran Islam yang mampu memberikan motivasi bagi para pemeluk untuk mengembangkan peradabannya.
b.      Faktor eksternal, ada 4 pengaruh, yaitu: semangat Islam, perkembangan organisasi Negara, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perluasan daerah Islam.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya khilafah Bani Abbasiyah adalah karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani Abbas adalah keluarga yang dekat kepada Nabi dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta menegakkan syariat Islam.[32]

3.  Lahirnya tokoh-tokoh Intelektual Muslim

Pada masa daulah Bani Abbasiyah, telah banyak tokoh-tokoh intelektual muslim yang berhasil menemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan, antara lain yaitu:[33]
a.       Filsafat
Setelah kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kaum muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat, sehingga lahir filosof dunia yang terkenal, yaitu :
1)    Abu Nashr al-Faroby (karyanya sebanyak 12 buah)[34]
2)    Ibnu Sina (karyanya al-Qanun fil al-Thib)[35]
3)    Al-Ghazali (terkenal dengan karyanya Ihya’ Ulumuddin)[36]
b.      Kedokteran
Daulah Bani Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter kenamaan, yaitu:
1)    Ibnu Baytsar[37]
2)    Abu Zakaria al-Razi[38]
3)    Ibnu Sina[39]
c.       Matematika
Di antara ahli matematika Islam terkenal adalah beliau (al-Khawarizmi) pengarang kitab Al-Gebra (al-Jabar), ahli matematika yang berhasil menemukan angka nol (0).
d.      Farmasi dan Kimia
Di masa para ahli farmasi dan kimia pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar (karyanya yang terkenal adalah al-Mughni).
e.       Perbintangan
Tokoh ilmu perbintangan antara lain:
2)    Abu Manshur al-Falaky
3)    Jabir al-Batany (pencipta teropong bintang)
4)    Raihan al-Bairleny
5)    Abu Ali al-Hasan ibn al-Hitami (terkenal dengan al-Hazen dalam bidang optik).[40]
f.       Tafsir dan Hadits
Ilmu tafsir yang berkembang pesat adalah tafsir al-Ma’tsur dan al-Ra’yi di antara tokoh-tokohnya adalah :
1)    Ibnu Jarir al-Thabari (ahli tafsir al-Ma’tsur)
2)    Ibnu Athiyah al-Andalusy (ahli tafsir al-Ma’tsur)
3)    Abu Bakar Asam (ahli tafsir al-Ra’yi)
4)    Abu Muslim Muhammad (ahli tafsir al-Ra’yi)
Sedangkan tokoh ilmu hadits yang terkenal antara lain: Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Al-Nasa’i.
g.      Kalam dan Bahasa
Perdebatan para ahli mengenai dosa, pahala, surga, dan neraka serta pembicaraan mereka mengenai ilmu ketuhanan atau tauhid menghasilkan ilmu, yaitu ilmu tauhid dan ilmu kalam. Para pelopornya adalah Jaham ibnu Shafwan. Sedangkan ilmu bahasa yang berkembang pada waktu itu adalah nahwu, bayan, badi’ dan arudl. Di antara ilmuwan bahasa yang terkenal, adalah:
1)    Imam Sibawih (karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman)
2)    Abu Zakaria al-Farra (kitab nahwunya terdiri dari 6.000 halaman)

C.      Kesimpulan

Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dari segi politik Dinasti abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H sampai tahun 656 H. Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Disebut periode pengaruh Persia pertama. Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M). Disebut masa pengaruh Turki pertama. Periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh Persia kedua.Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh Turki dua. Periode ke lima (590 H/1194 M – 565 H/1258 M). Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban islam4 Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang pada masa dinasti abbasiyah yaitu filsafat, ilmu kalam, ilmu kedokteran, ilmu kimia, ilmu hisab, sejarah, ilmu bumi dan astronom. Bidang-bidang ilmu pengetahuan keagamaan berkembang pada masa ini yaitu: ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih, tasawuf.


Daftar Pustaka

Abu Bakar, Istianah, (2008), Sejarah Peradaban Islam, Malang: UIN-Malang Press.
A. Syalabi, (2003), Sejarah dan Kebudayaan  Islam 3, Jakarta: PT. Al Husna Baru.
A’la al-Maududi, Abul, (2006), Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan.
Al-Maududi, (1996), Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan.
Asnawi, Muhammad, (2009), Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: CV.Aneka Ilmu.
K. Hitti, Philip, (2006), History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kamus Pustaka Bahasa, (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa.
Mufrodi, Ali, (1997), Islam di Kawasan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Muhamad Hakiki, Kiki, (2012), Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Jurnal TAPIs, Vol. 8 No.1, Januari-Juni.
Murodi, (2003), Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Thoha Putra.
Riyadi, Fuad, (2014), PERPUSTAKAAN BAYT AL HIKMAH ”THE GOLDEN AGE OF ISLAM”, Jurnal Dosen STAIN Kudus, Vol. 2 No. 1, Januari-Juni.
Sanusi, Ja`far, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Aliyah III, Semarang: CV. Wicaksana.
Syalabi, Ahmad, (1993), Sejarah dan Kebudayaan 3, Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Syukur, Fatah, (2009), Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki.
Thohir, Ajid, (2004), Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yatim, Badri, (1994), Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.




[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 52
[2] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan 3, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), Cet. 3, hlm. 107
[3] Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1996),  hlm. 360
[4]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, hlm. 87
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), Cet. 1, hlm.  358
[6] Kiki Muhamad Hakiki, Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Jurnal TAPIs, Vol. 8 No.1, Januari-Juni 2012, hlm. 114)
[7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan  Islam 3, (Jakarta: PT. Al Husna Baru , 2003), hlm. 19
[8] Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, hal. 612
[9] Fuad Riyadi, PERPUSTAKAAN BAYT AL HIKMAH ”THE GOLDEN AGE OF ISLAM”, Jurnal Dosen STAIN Kudus, Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2014, hlm 12-13
[10] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 185
[11] A. Syalabi , Sejarah dan …, hlm. 186
[12] A. Syalabi, Sejarah dan …, hlm. 187
[13] Yang berdasar pada Al-Quran dan Hadis
[14] A. Syalabi, Sejarah dan …., hlm. 198. Observatorium adalah  gedung yg dilengkapi alat-alat (teleskop, teropong bintang, dan sebagainya) untuk keperluan pengamatan dan penelitian ilmiah tentang bintang dan sebagainya.
[15] A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997, hlm. 2
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 50
[17] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),Cet. 1, hlm. 82-84
[18] Muhammad bin Mansur al-Mahdi (berkuasa 775785) adalah khalifah ketiga Bani Abbasiyah. Ia menggantikan ayahnya al-Mansur. Al-Mahdi, yang namanya berarti "Pemimpin yang Baik" atau "Penebus", diangkat sebagai kholifah saat ayahnya di akhir hidupnya. Masa pemerintahannya yang damai melanjutkan kebijakan para pendahulunya.
[19] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam….., hlm. 52
[20]Harun Ar-Rasyid, dilahirkan pada bulan Februari tahun 763 M di Rayy. Ayahnya bernama Al-Mahdi bin Abu Ja’far Al-Mansyur, khalifah ketiga dari Bani Abbasiyah. Ibunya bernama Khizuran, seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan oleh Al-Mahdi.
Harun Ar-Rasyid memperoleh pendidikan di istana, baik pendidikan agama maupun ilmu pemerintah. Ia dididik oleh keluarga Barmaki, Yahya bin Khalid salah seorang anggota keluarga Barmak yang berperan dalam pemerintahan Bani Abbas, sehingga ia menjadi terpelajar, cerdas, dan berkepribadian yang kuat.
Karena kecerdasannya, walaupun usianya masih muda, ia sudah terlibat dalam urusan pemerintahan ayahnya. Ia mendapatkan pendidikan ketentaraan. Pada masa pemerintahan ayahnya, Harun Ar-Rasyid dipercayakan dua kali memimpin ekspedisi militer untuk menyerang Bizantium (779-780) dan (781-782) sampai ke pantai Bosporus. Ia didampingi oleh para pejabat tinggi dan jenderal veteran.
Sebelum menjadi khalifah, ia pernah memegang jabatan gubernur selama dua kali, di as-Saifah pada tahun 163 H/779 M dan di Magribi pada tahun 780 M. Setelah sempat dua kali menjadi gubernur, pada tahun 166 H/782 M khalifah Al-Mahdi mengukuhkan menjadi putra Mahkota untuk menjadi khalifah sesudah saudaranya, Al-Hadi, dan setelah pengukuhannya empat tahun kemudian yakni tepatnya pada tanggal 14 September 786 M Harun Ar-Rasyid memproklamirkan diri menjadi khalifah, untuk menggantikan saudaranya yang telah wafat.
Setelah menduduki tahta kekhalifahan, ia pun mengangkat Yahya bin Khalid sebagai wazir (perdana menteri) untuk menjalankan roda pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas. Ia berkata kepada Yahya: “Sesungguhnya Aku serahkan kepadamu urusan rakyat, tetapkanlah segala sesuatu menurut pendapatmu, pecat orang yang patut dipecat, pekerjakanlah orang yang pantas menurut kamu dan jalankan segala urusan menurut pendapatmu.”. (lihat di jurnal Kasmiati, Harun Ar-Rasyid, Jurnal STAIN Datokarama Palu, Jurusan Tarbiyah, Vol. 3, No. 1, Maret 2006, hlm. 92-93)
[21] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 50
[22] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…., hlm. 56
[23] Abu abdallah Muhammad bin Ibrahim al-Fazari (meninggal 796 atau 806) adalah seorang filsuf, matematikawan dan astronom  Muslim. Ia banyak menterjemahkan buku-buku sains ke dalam bahasa Arab dan Persia. Ia juga merupakan astronom muslim pertama yang membuat astrolobe, alat untuk mengukur tinggi bintang. Ia pernah mendapat tugas untuk menterjemahkan ilmu angka dan ilmu hitung, serta ilmu astronomi India yang bernama Sind Hind, oleh khalifah Al Mansyur dari Abbasiyah.
[24] Seorang penyair, ahli matematik, dan ahli astronomi. Kahyyam yang lahir: 18 Mei 1048 di Nishapur, Iran (Parsi) dan meninggal 4 Desember 1131 itu mempunyai nama asli Ghiyatuddin Abu al-Fatah Omar ibni Ibrahim Al-Nisaburi Khayami. Khayam adalah perkataan pinjaman bahasa Arab yang bermakna “pembuat khemah.” Beliau paling dikenali kerana himpunan puisinya, Rubaiyat Omar Khayyam. Beliau memecahkan persamaan pangkat tiga dan empat melalui kerucut-kerucut yang merupakan ilmu aljabar tertinggi dalam matematika modern.
[25] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, hlm 103
[26] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban di…,  hlm. 54
[27] Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh terhadap kejaayaan di masa Bani Abbasiyah adalah Harus Ar-Rasyid, beliau sangat berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kebudayaan dan peradaban Islam maju dan berkembang pesat. Langkah yang dilakukan oleh Harun Ar-Rasyid dalam pengembangan ilmu pengetahuan salah satunya yaitu mendirikan lembaga pendidikan yang disebut “Baitul Hikmah” sebagai pusat penelitian berbagai ilmu pengetahuan.
[28] Fatah Syukur, ,Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki,2009), hlm. 102
[29] Ja`far Sanusi, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Aliyah III, Semarang: CV. Wicaksana, hlm.32-33
[30] Badri Yatim, Sejarah …, hlm. 55
[31] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: PT. Thoha Putra, 2003), hlm. 56
[32]Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 248
[33] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam…, hlm. 60-64
[34] Al-Farabi (870-950 M)/Abu Nashr Muhammad bin Muhammad Tarkhan Al-Farabi, nama filsuf al-Farabi menjadi terkenal setelah masa al-Khindi.Beliau lahir di Farab pada tahun 870 M dan wafat di Damaskus pada tahun 95 M. Di antara karyanya yaitu Tahsilus Sa`adah, Assiyasatul  Madaniyah, Tanbih ala Sabilis Sa`adah dan lain-lain.
[35] Ibnu Sina (980-1037 M)/Ar-Rais Abu Ali Husain bin Abdullah yang lebih terkenal dengan Ibnu Sina. Beliau lahir di Afsyanah, Bukhara pada tahun 980  M, dan wafat di Hamdan pada tahun 1037 M. Beliau adalah seorang dokter dan filsuf ternama. Ibnu Sina meninggalkan karyanya sebanyak kurang lebih 200 buah. Di antara karya buku filsafatnya adalah Al Isyarat wa At Tanbihat, Mantiq Al Masyriqiyyin dan lain-lain. (lihat di bukunya Muh. Asnawi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV.Aneka Ilmu, 2009), hlm. 28)
[36] Al-Ghazali (1058-1111 M)/Abu Hamid bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M dan wafat pada tahun 1111 M.Diantara karyanya adalah Tahafutul Falasifah, Ar-Risalatul Qudsiyah dan Ilya Ulumuddin.
[37] Ibnu Baytsar (810-878 M), beliau adalah ahli farmasi dan kimia. Karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni, Mizanut Thabib dan Jami` Mufradtil Adwiyah wa Aghniyah.
[38] Ar-Razi (194-264 H)/Abu Bakar bin Zakaria ar-Razi,beliau adalah seorang dokter yang paling masyhur di zamannya, beliau menjadi ketua dokter di Baghdad. Di antara kitab karangannya adalah Al Hawi dan Fi Al Judari Wa Al Hasbat.
[39] Ibnu Sina (980-1037 M), selain sebagai filsuf beliau juga terkenal sebagai seorang dokter. Di antara kitabnya adalah Asy Syifa` dan Al Qonun Fitthibb.
[40] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,…  hlm. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar