Kamis, 09 November 2017

MAKALAH PANDANGAN HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM (KONFLIK, INDEPENDENSI, DIALOG, DAN INTEGRASI)

PANDANGAN HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM
(KONFLIK, INDEPENDENSI, DIALOG, DAN INTEGRASI)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag






Pemakalah :
KUNAINAH AFROYIM
(16771029)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



A.    Pendahuluan
Pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan pengetahuan, atau ‘ilm, dalam pendangan Islam telah muncul sejak masa-masa awal islam. Beberapa sarjana telah mendefinisikan istilah tersebut secara spesifik pada ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi, menurut pendapat banyak sarjana Muslim, istilah tersebut digunakan dalam Al-Qur’an dalam pengertian umum dan mencakup spektrum sains yang luas.
Kajian kajian modern mengenai sejarah sains menunjukan bahwa penelitian saintifik di Dunia Islam terus berlanjut hingga abad ke-16 M. Namun, buku-buku sejarah tentang peradaban Islam terus-menerus mengulangi dan memperluas teori dominan yang mengatakan bahwa konsolidasi pandangan dunia Islam sejak abad ke-11 telah menyebabkan stagnasi sains-sains rasional. Teori ini bahkan mengusmsikan adanya kontradiksi esensial antara sains dan Islam, dan merupakan bagian dari pandangan lazim dalam historiografi pasca-Pencerahan yang menentang sains dan agama pada umumnya dalam peradaban-peradaban pasca-Abad Pertengahan. [1]
Diskusi mengenai keterkaitan antara sains dan agama memang sejak mula sangat menarik karena setiap pendapat akan ditanya mengenai hakekat keterkaitan tersebut. Apakah alam dan iman, iptek dan agama, harus menjadi tesis-antitesis? Masing-masing memiliki prinsip dan pembenaran sendiri. Yang pasti adalah, perbedaan pendapat, tesis-antitesis ini, menuntut penengahan debat. Diperlukan satu pemahaman untuk hakekat kemanusiaan yang lebih tinggai dalam kehidupan ini. Juga menyangkut harkat dan martabat dan integritas manusia sebagai khalifah di bumi ini.
Pada sisi lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah dapat menjawab semua hal. Memang sains tidak dimaksudkan seperti itu. Hal yang membuat sains begitu berharga adalah karena sains membuat kita belajar tentang diri kita sendiri (Leksono. 2001). Oleh karenanya diperlukan kearifan dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan interpretasi maupun implementasi teknologi dan ilmu pengetahuan manusia. Albert Einstein berkata dalam salah satu pidatonya bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Pergulatan Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan. (Rakhmat. 2003).
Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya sikap pencerahan rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal sebagai sikap rasionalime. Dengan pandangan rasionalisme, semua tuntunan haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara argumentatif (Suseno. 1992).[2]
Sains dan agama sering kali di pandang bermusuhan dalam pertempuran hidup-mati. Pembela-pembela dari kedua kubu secara agresif terus melancarkan perang, terutama dalam isu evolusi. Namuun, konflik ini sebenernya bisa dielakan jika saja sains dan agama bersifat independen masing-masing menempati domain yang terpisah pada jarak yang aman satu sama lain. Lazim dikatakan bahwa sains menelusuri hubungan sebab-akibat antarperistiwa, sedangkan agama mencari makna dan tujuan hidup. Dua pencarian ini menawarkan perspekif yang saling melengkapi tentang dunia masing-masing berdiri sendiri, terpisah, dan tidak terlibat hubungan konflik.
Namun berbeda orang kini berupaya mencari kemitraan yang konstruktif antara keduanya. Mereka mendapati bahwa sains telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab sediri. Menapa harus ada alam semesta? Mengapa jagat raya memiliki keteraturan (order)? Apakah alam merupakan buatan Sang Perancang yang cerdas? Beberapa orang menyadari keterbatasan disiplin mereka dan tidak mengklaim telah mengantongi seluruh jawaban. Mereka berprinsip bahwa kita dapat belajar satu sama lain. Beberapa teolog berupaya merumuskan kembali gagasan-gagasan tradisional tentang Tuhan dan manusia dengan mempertimbangkan temuan-temuan sains sembari tetap berpegang pada ajran utama agama mereka.[3]
Dalam pandnagan islam, kriteria keterpujian suatu bidang ilmu adalah kebergunaannya, dan ini berarti bidng ilmu tersebut mampu membawa manusia kepada Tuhan. Bidang ilmu apa pun yang memiliki ciri semacam ini adalah terpuji, dan usaha untuk memperolehnya adalah sebentuk ibadah. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara ilmu-ilmu yang
Oleh karena demikian, maka penulis mencoba mengkaji tentang pandangan hubungan sains dan Islam, yakni dari sisi pandangan konflik, indenpendensi, dialaog, dan integrasi.

B.     Pembahasan
1.      Paradigma Ilmu
Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan bahasa Perancis paradigme, ia berasal dari bahasa Latin ”para” dan deigma”. Para berarti di sisi, di samping dan deigma berarti contoh, pola, model. Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Dengan begitu, secara epistimologis, paradigma berarti disisi model, disamping pola atau disisi contoh. Paradigma berarti pula sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh. Paradigma juga sinonim dengan guiding principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu, gugusan pikir, model, pola, kadang ada pula yang menyebutnya konteks. Secara terminologi, paradigma berarti jalinan ide dasar beserta asumsi dengan variabel-variabel idenya (Zumri, 2009:12)
Istilah paradigm pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Paradigma menurut Thomas S. Kuhn (dalam Surajiyo, 2007) adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Scott mengartikan paradigma Kuhn sebagai :
      a.       an achievement, a new, accepted way of solving a problem which then is used as a model of                 future work;
      b.       a set of  shared values, the methods, standard and generalizations shared by those trained to                carry on the scientific work modeled on that paradigm.[4]

Apa yang di maksud paradigma oleh Khun. Khun mengemukaan konsep paradigma sebagai berikut :
“A paradigm is a fundamental image of the subject matter within a science. It serves to difeny what should be studied, what question should be asked, how they should be asked and what reles should be followed in interpeating the answer obatained. The paradigms is the broadest unit of consensus withon a science and serves to differenciate one scientific community (or subcommunit) from another. It subsumes, defines, and interrelates the eemplars, theories, methods and instrument, that exist within it”.
(paradigma adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu. Mendefinisikan apa yang harus diteliti dan dibahas, pertanyaannya apa yang harus dimunculkan, bagaimana merumuskan pertanyaan, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterprestasikan jawabannya. Paradigma adalah konsensus terluas dengan komunitas lainnya. Paradigma berikatan dengan pendefinisian, eksemplar ilmiah, teori, metode, serta instrumen yang tercakup di dalamnya).
Secara umum khun mengartikan paradigma sebagai : beberapa contph praktik ilmiah aktual yang diterima seperti : hukum, teori, aplikasi dan instrumen yang diterima aktual yang diterima bersama, sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber dan tradisi-tradisi yang mantap dalam riset-riset ilmiah khusus. Paradigma berarti “pola”, “model” atau “skema” dan “pemahaman” aspek-aspek tertentu ihwal realitas (kenyataan) yang dikaji.
khun menggunakan pengertian paradigma dengan dua puluh satu pengertian yang berbeda-beda. Masterman (1970) membantu kita untuk memahami pengertian paradigma khun tersebut dengan mereduksi kedua puluh satu konsep khun itu pada tiga tipe paradigma. Tipe paradigma itu antara lain [5]:
v    -          paradigma metafisik (metaphysical paradigm)
      -          paradigma sosiologis (sociologcal paradigm)
      -          paradigma konstruk (construct paradigm)

2.      Dinamika Ilmu Barat
Zaman yunani kuno berlangsung kira-kira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad pertengahan, atau antara 600 tahun S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap sebagai cikal bakal filssafat yang ada sekarang. Pada zaman ini mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat digantikan dengan logos (baca:rasio) setelah mitos-mitos tersebut tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problema-problema kosmologis. Pada tahap ini bangsa Yunani mulai berfikir sedalam-dalamnya tentang berbagai fenomena alam yang begitu beragam, meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian terus meneliti berdasarkan reasoning power.
Contoh yang paling populer dalam hal ini adalah mengenai persepsi orang-orang yunani terhadap pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi dianggap sebagai dewi yang bertugas sebagai pesuruh dewa dewa lain. Tetapi bagi mereka yang sudah berfikir maju, pelangi adalah awan sebagaimana yang dikatakan oleh Xenophanes, atau pantulan matahari yang ada dalam awan seperti yang dikatakan oleh pytagoras (499-420 SM). Demikianlah apa yang menjadi perhatian para ahli pikir Miletos, sebuah kota di Yunani, pertama kali adalah alam (problema kosmologis).[6]
Pemikiran filsafat banyak di pengaruhi oleh lingkungan dan alam. Oleh karena itu, baik di Barat maupun di Timur, terutama di India dan Cina, kecendeerungan berfikirnya seputar masaah moral dan agama. Pembagian secara periodisasi filsafat di Cina terdiri atas Zaman kuno, zaman pembaruan, zaman neokonfusionisme, dan zaman modern. Di India, periodesasi filsafat terbagi atas periode weda, biracarita, sutra-sutra, dan sekolatik. Dalam filsafat India, yang penting adalah bagaimana manusia bisa berteman dengan dunia, bukan untuk menguasai dunia. Adapun filsafat islam hanya terdiri dari dua priode, yaiu priode mutakalimin dan filsafat Islam.
Jadi perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada saat ini tidaklah berlangsung secara tiba-tiba, tetapi berlangsung secara bertahap. Hal ini karena untuk memahami sejarah perkembangan pemikiran Islam, kita harus mengetahui terlebih dahulu sejarah perkembangan ilmu, kita harus mengetahui terlebih dahulu sejarah perkembangan pemikiran filsafat sebelumnya. Berikut ini adalah uraian tentang periodisasi filsafat di Barat.
      1)      Zaman Pra-Yunani Kuno (Zaman Batu)
Pada Abad ke-6 SM, di Yunani mulai berkembang pemikiran filsafat dan pendekatan yang sama sekali berlainan, yaitu dengan perdebatan dan berfikir. Pada saat itu, untuk mencari jawaban rasional tentang problem alam semesta, tidak lagi menggunakan mitos.

       2)      Zaman Pra-Yunani Kuno (Zaman Batu)
a.       Zaman Keemasan Yunani
Zaman Yunani klasik di pandang sebagai zaman keemasan filsafat karena pada masa in orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu karena Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu karena Yunani tidak lagi memercayai mitos-mitos.

b.      Masa Helinistis Romawi
Pada masa ini muncul beberapa airan, yaitu sebagai berikut :
-    Stoisisme, menurut paham ini, jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut logos. Oleh karena itu, segala kejadian berdasarkan ketepatan yang tidak dapat diubah.
-         Epikurisme, berpendapat bahwa segala-galanya terdiri atas atom-atom,
-   Skeptisisme, berpendapat bahwa bidang teoritis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran.
-      Eklektisisme, suatu kecendrungan umum yang mengambil berbagai unsur filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh.
-          Neoplatoisme, yaitu paham yang ingin menghidupkan kembali filsafat Plato.

       3)      Zaman Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan terjadi dua periode, yaitu :
a.       Periode patriakis ; mengalami dua tahap, yaitu :
-      Penemuan agama kristen
-      Filsafat Agustinus ; yang terkenal pada masa patristik
b.      Periode skolastik ; terbagi tiga tahap, yaitu :
-    Periode awal, ditandai dengan pembentukan metode yang lahir kaena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat;
-   Periode puncak, ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi pemikiran Aristoteles dan kedatangan alhi filsafat Arab dan Yahudi ;
-  Periode akhir, ditandai dengan pemikiran kefilsafatan yang berkembang ke arah nominalisme.

       4)      Zaman Renainsans
Zaman ini merupakan zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan ilahi.

       5)      Zaman Modern
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan ilmiah , perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sudah dirintis sejak zaman renaisans.

       6)      Zaman Kontemporer (Abad ke-20)
Fisikawan termasyhur Albert Einstein memercayai kekekalan materi. Dengan kata lain, ia tidak mengakui adanya penciptaan alam. Zaman kontemporer in ditandai dengan penemuan teknologi canggih.[7]

3.      Bentuk Hubungan Sains dan Islam
Sains dan Islam merupakan dua bidang ilmu pengetahuan yang sedang hangat-hangatnya di perbincangkan. Sains dan Islam merupakan bidang ilmu pengetahuan yang memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi kehidupan zaman ini. Namun disamping perbedaan tersebut masih ada hubungan timbal-balik yang sangat dasyat diantara sains dan Islam, apabila dikeduanya diintegrasikan dengan pola baik.
Hubungan antara sains dan agama kini menjadi pertimbangan penting dikalangan pemikir, dan pembentukan kuliah-kuliah akademik tentang sains dan Islam merupakan petunjuk kuat tentang hal tersebut.
Karena alam dipandang sebagai wahyu ilahi, maka ia merupakan sumber untuk memperoleh pengetahuan tentang kebijaksanaan Tuhan. Para ilmuan Muslim dengan teguh meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan tercermin dengan cara yag tak terhingga banyaknya dalam ciptaan-Nya.[8] Jauh dari menungkapkan makhluk manusia sebagaiproduk kebetulan dari kekuatan fisik buta, sains menyarankan bahwa eksistensi kesadaran makhluk hidup merupakan sisi fundamental dari alam semesta. Saya percaya bahwa wujud kita telah tercatat di dalam hukum-hukum alam dengan cara yang dalam dan penuh makna. Saya juga tidak memandang sains sebagai suatu aktivitas yang terasing. Sains adalah sebuah pencarian mulia yang memperkaya dan membantu kita membuat pengertian tentang dunia dengan cara yang objektif dan metodis. Ia tidak menolak makna di balik eksistensi. Sebaliknya, sebagaimana telah saya tegaskan, fakta bahwa sains bekerja dan bekerja dengan begitu baik, memperlihatkan sesuatu yang sangat signifikan mengenai organisasi kosmos. Upaya apapun untuk memahami hakikat realitas dan tempat makhluk manusia dalamalam semesta harus berawal dari landasan ilmiah yang baik. Tentu saja, sains bukan satu-satunya skema pemikiran untuk membangkitkan perhatian kita. Agama bahkan tumbuh subur dalam apa yang kita sebut sebagai zaman ilmiah. Tetapi, sebagaimana Einstein sekali waktu mengingatkan, agama tanpa sains lumpuh. [9]
Dalam pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisika yang sama, dan tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi kita bisa mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama, dengan catatan bahwa ia memiliki metode dan bahasanya sendiri. Kita yakini bahwa ini konsistensi yang dituduhkan kepada sains dan agama, seperti yang ditudingkan oleh sebagian orang dimasa lampau ataupun di masa kita sekarang ini, adalah karena diabaikannya keterbatasan sains oleh sebagian ilmuwan, atau karena campur tangan yang tak semestinya dari para otoritas agama dalam persoalan saintifik. Demikian juga barat, beberapa orang ilmuwan terkemuka memandang kegiatan ilmiah sebagai bagian dari pengalaman beragama.[10] Dalam kata-kata Charles Townes[11]. Pemenagan hadiah Nobel dalam bidang Fisika[12] :
saya tidak membedakan sains dan agama, tetapi memandang penjelajahan alam semesta 
sebagai bagian dalam pengalaman religius.

Metafisika yang sebenarnya adalah sebuah dan harus diberi nama metafisik dalam bentuk tunggal, merupakan sains/ilmu tentang Wujud Absolut, dan menurut hematnya, ilmu tentang relatif. Metafisika bukanlah ilmu yang tepat dan pasti sebagaimana matematika, dengan kejelasan dan kepastian yang sama ; tetapi, metafisika adalah ilmu yang hanya dapat dicapai melalui instuisi intelektual, bukan sekedar melalui rasionalisai[13]
Akan tetpai, Al-Qur’an memperingatkan kepada kita bahwa kajian tentang alam hanya bisa membawa kita dari penciptaan kepada sang Pencipta jika kita telah memiliki modal iman kepada Tuhan, sebagaimana firmanya : Yunus ; 101[14]
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".

Hubungan antara sains dan agama kini menjadi pertimbangan penting dikalangan pemikir, dan pembentukan kuliah-kuliah akademik tentang sains dan agama merupakan pentunjuk kuat tentang hal itu.
 Dengan secara eksplisit (tegas/terus terang) membatasi definisi “agama” sebagai sebuah keyakinan akan Tuhan yang dijumpai dalam keyakinan-keyaninan “profetik” (yudaisme. Kekeristenan, Islam) serta implisit membatasi cakupan sains pada kajian ilmu-ilmu alam (natural sciences), Haught menawarkan sebuah tipologi perjumpaan sains dan agama. Tipologi yang akan terus menjadi acuan paragigmatik karakter masing-masing pemandu kita.
Namun tidak seperti Barbour yang membagi perjumaan tersebut ke dalam Konflik, independensi, dialog, dan integrasi.

a.       Konflik
Menurut mazhab konflik, sains modern memiliki relasi negatif terhadap agama, dan penerimaan atas yang satu secara niscaya merupakan penolakan atas yang lain. Perspektif ini didukung oleh sejumlah ilmuwan dan sekelompok kalangan ber-agama.
Menurut Jonh F. Haught dalam bukunya “perjumpaan sains dan Agama”, banyak pemikir sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains. Menurut mereka, kalau Anda seorang ilmuan, sulitlah membayangkan bagaimana Anda secara jujur juga bisa serentak saleh-beriman, setidak-tidaknya dalam penertian percaya akan Tuhan. Alasan utama mereka menarik kesimpulan ini ialah bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktian kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, pada hal sains bisa melakukan hal itu. Agama mencoba bersikap diam-diam dan tidak mau semua teorinya berdasarkan “pengalaman”. Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral, klaim kaum skeptik ; karena itu, mesti ada sesuatu “pertentangan” antara cara-cara pemahaman ilmiah dan pemahaman keagamaan.[15]
Menurut Ian G. Barbour dalam bukunya “Juru bicara Tuhan” , contoh pandangan konflik yaitu ketika pengadilan terhadap galileo pada tahun 1633. Galileo mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari (heliosentris), dan menolak tori Ptolemaeus bahwa matahari dan planet berputar mengelilingi bumi (geosentris).
Salah satu sebab digelarnya pengadilan atas galileo adalah otoritas ilmiah Aristoteles yang mendukung astronomi Ptolemaeus telah diterima secara luas di Eropa sejak abad ke-12. Sebab yang lain adalah otoritas kitab suci yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Di atas semua itu, sebab yang terpenting adalah tantangan-tantangan Galileo terhadap otoritas gereja.
Pandangan konflik mengemuka pada abad ke-19 melalui dua buku berpengaruh, yakni history of the Conflict between Religion and Science karya A.D. White. Beberapa sejarahwan mutakhir menunjukan bahwa bukti yang mereka sodorkan sangat selektif dan pandangan-pandangan alternatif tentang hubungan sains dengan agama telah dianut scara luas selama berabad-abad.
Kini, potret populer, “perang sains melawan agama” dipertajam oleh media karena kontroversi antara materialisme ilmiah dan literalisme biblikal jauh lebih diminati khalayak daripada posisi moderat.[16]
Adapun penjelasan tentang kontrovesi tersebut adalah :
·         Materialisme Ilmiah
Hal ini memandang materi sebagai realitas-dasar alam semesta. Materialisme ini merupakan sebentuk metafisik (sehimpunan klaim tentang karakteristik dan penyusun dasar realitas). Matterialisme ilmiah (scientific materialisme) juga meyakini metode ilmiah sebagai satu-satunya metode pengetahuan yang shahih. Ini merupakan sebentuk epistemologi (sehimpunan klaim tentang hakikat dan pemerolehan pengetahuan). Dua paham ini saling berkaitan : Jika maujud sejati adalah apa yang ditangani sains, sains adalah satu-satunya jalan pengetahuan yang absah.
·         Litealisme biblikal
Jenis konflik yang sangat berbeda muncul dari tafsiran harfiah atas Alkitab. Pada abad ke-20, gereja Katolik Roma dan alirah utama Protestan berkeyakinan bahwa kitab suci merupakan kesaksian manusia atas wahyu yang terjadi dalam kehidupan nabi-nabi, khususnya kehidupan dan pengikut Yesus. Sejumlah kalangan tradisionalis dan penginjil Yesus. Sejumlah kalangan tradisionalis dan penginjil menekankan sentralitas Yesus tanpa menekankan kemaksuman (infallibility) Alkitab. Namun, gereja fundamentalis dan sebagian besar denomisasi historis di Amerika Serikat (terutama kaum Baptis Selatan) tetap berpendapat bahwa kitab suci sama sekali bebas dari kesalahan (maksum).

      b.      Independensi
Adapun alasan utama pemikir yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dngan sains adalah sebagai berikut :
-     Menurut mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains dapat melakukan itu.
-    Agama mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk kongrit tentang keberadaan Tuhan, sementara dipihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman.[17]

Jika kita lihat dari kontek permasalahan yang telah di sebutkan oleh John F Haught dalam bukunya tersebut layaknya kita harus menggunakan teori independensinya Ian G barbour. Menurut Ian G barbour stu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam dua kawasan yang berbeda. Keduanya dapat dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Ini merupakan jenis-jenis pembedaan yang tegas, tetapi secara keseluruhan mereka membangun independensi dan otonomi dalam kedua bidang ini. Jika ada dua wilayah hukum, sains dan agama pastilah cenderung mementingkan dirinya sendiri dan tidak menyampuri yang lain. Setiap mode penelitiannya bersifat seleksi dan mempunyai keterbatasannya sendiri. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang tidak perlu, tetapi juga keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap area kehidupan dan pemikir ini. Kita akan memeriksa terlebih dahulu sains dan agama sebagai dua domain yang terpisah kemudian meninjau perbedaan bahasa dan fungsi  masing-masing.[18]
·         Dua Domain yang Terpisah
Banyak kaum Kristen Protestan dan konservatif dewasa ini memberikan peran religius terpentong kepada kitab suci tanpa menekankan literalisme biblikal atau membela sains penciptaan. Mereka menekankan kematian Kristus Sang Penebus dan Konversi orang-orang beriman dalam menerima Kristus sebagai Penyelamat pribadi. Mereka menyadari daya-ubah kitab suci yang tidak mengancam atau mendukung sains modern. Bagi mereka, sains dan agama merupakan dua aspek kehidupan manusia yang betul-betul terpisah.
Sebgaimana dikutip oleh Ian G. Barbour, Karl Bath dan pengikutnya , menyataka beberapa hal tentang pandangan independensi, yakni menurut mereka Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diltahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi.[19], demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda,. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teoloi berdasarkan wahyu ilahi.
·         Dua Bahasa dan Dua Fungsi yang berbeda
Jalan lain untuk memisahkan sains dan agama adalah dengan menafsirkan sains dan agama sebagai sua bahasa yang tidak saling berkaitan karena fungsi masing-masing benar-benar berbeda. Di kalangan filosof era 1950-an, kaum positivis logis menetapkan pernyataan keilmuan (scientific statement) sebagai norma bagi semua pernyatan kognitif (cognitive assertion) dan menolak pernyataan apa pun yang tidak berlandaskan verifikasi empiris.

Jika sains dan agama benar-benar independen, kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi memupus kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi memupus kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya. Kita menghayati kehidupan bukan sebagai bagian-bagian yang saling lepas. Kita merasakan hidup sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita membangun berbagai disiplin untuk mempelajari aspek-aspeknya yang berbeda.

Ada juga landasan biblikal yang meyakini bahwa Tuhan adalah Penguasa Kehidupan dan Penguasa Alam alih-alih sebagai Tuhan bagi dunia “religus” yang unik. Artikulasi theology of nature yang mendukung kepedulian lingkungan juga sangat mengemuka dewasa ini. Saya berargumen bahwa tidak ada satu pun pilihan yang telah disebutkan sebelumnya yang memadai untuk menangani masalah ini.

      c.       Dialog
Dialog memotret hubungan yang lebih konstruktif antara sains dan agama daripada pandangan Konflik dan Independensi. Namun, Dialog tidak menawarkan kesatuan konseptual sebagaimana yang diajukan pendukung Integrasi. Dialog mungkin muncul dengan mempertimbangkan pra-anggapan dalam upaya ilmiah ; atau meng-eksplorasi kesejajaran metode antara sains dan agama ; atau meng-analisiskan konsep dalam satu bidang dengan konsep dalam bidang lain. Dalam membandingkan sains dan agama, Dialog menekankan kemiripan dalam pra-anggapan, metode, dan konsep. Sebaliknya, Independensi menekankan perbedaan yang ada.

Para sejarah meneliti kepana sains modern lahir di Barat Judeo-Kristiani di antara seluruh kebudayaan dunia. Masalah ini bisa dijawab dengan menyatakan bahwa doktrin penciptaan telah merangsang kegiatan ilmiah. Pemikir yunani ataupun biblikal menegaskan bahwa dunia in teratur dan dapat dipahami. Akan tetapi, orang Yunani berpendapat bahwa keteraturan merupakan keniscayaan dan dengan demikian, orang dapat menurunkan struktur alam semesta dari prinsip pertama. Pemikiran blibikalberkeyakinan bahwa Tuhan menciptakan bentuk dan materi yang berarti bahwa dunia tidak hadir sebagaimana sekarang dan bahwa detail-detail keteraturannya dapat diketahui hanya melalui pengamatan. Lebih jauh lagi, meski alamini riil dan baik dalam pandangan Alkitab, ia tidak dengan sendirinya berwatak ilahiah sebagaimana dianut oleh banyak kebudayaan kuno, dan oleh karena itu, manusia diperbolehkan untuk bereksperimen dengan alam.

Pendukung materialisme ilmiah umumnya menganggap sains bersifat objek. Teori sains diuji dengan kriteria yang tegas dan kesesuainnya dengan data yang bebas-teori. Data sains tidak dipengaruhi oleh kecendurungan individu atau budaya. Sebaliknya agama tampak sangat subjektif dan dipengaruhi oleh asums individu dan budaya. Sains menuntut pengamatan yang berjarak dan penalaran yang logis, sedangkan agama menuntut keterlibatan personal dalam tradisi tertentu dan seperangkat praktik.
Akan tetapi beberapa ahli sejarah, filosf sains dan teolog mempertanyakan pembedaan yang tajam ini. Mereka berargumen bahwa sains tidaklah soebjektif dan agama tidaklah sesubjektif sebagaimana yang diduga. Ada perbedassn titi tekan antara kedua bidang ini, tetapi perbedaan ini tidaklah mutlak. Data ilmiah bersifat sarat-teori dan tidak bebas teori. Asumsi teoritis mengalami pemilahan, pelaporan, dan penafsiran terhadap apa yang dianggap logis, tetapi dari tindakan imajinasi kreatif yang didalamnya analogi dan model sering berperan penting. Model-model konseptual membantu kita membayangkan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung, terutama di alam yang sangat besar (astronomi) dan sangat kecil (fisika kuantum).[20]

      d.      Integrasi
Dengan kekosongan sains Islam di era modern, para saintis muslim dihadapkan pada kondisi yang dilematis dalam merespons sains modern. Pada satu sisi, masyarakat muslim sangat membutuhkan sains modern untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah hidupnya, sedang di sisi lain mereka dihadapkan pada berbagai elemen, unsur dan nilai-nilai barat yang melekat didalamnya. Beberbagai elemen tersebut merupakan agen pendukung pandangan dunia barat yang sekuler dan tidak selaras bahkan paradoks dengan pandangan dunia Islam.[21]

Beberapa penulis menyuruh perumusn ulang gagasan-gagasan teologi tradisonal yang lebih ekstensif dan sistematis daripada yang dilakukan oleh pendukung Dialog. Ada tiga versi berbeda dalam integrasi. Dalam natural theology, terdapat klaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari (atau didukung oleh) bukti tentang desain alam, yang tentangnya alam membuat kita semakin menyadarinya. Dalam thelogy of nature, sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi teori-teori ilmiah bisa berdampak kuat atas perumusan ulang doktrin-doktrin tertentu, terutama doktrin tentang penciptaan dan sifat-dasar manusia. Dalam sintesis sistematis , sains ataupun agama memberikan kontribusi pada pembangunan metafisika inklusif, seperti filsafat proses.
·         Natural Theology
Terdapat beberapa contoh natural theology dari abad-abad lalu. Thomas Aquinas berpebdapat bahwa beberapa sifat Tuhan dapat diketahui hanya dari wahyu dalam kitab suci, tetapi eksistensi Tuhan itu sendiri dapat diketahui hanya dari nalar. Salah satu bentuk argumen kosmolis menegaskan bahwa setiap peristiwa harus mempunyai sebab sehingga kita harus mengakui sebab pertama jika hendak menghindari siklus yang tak berkunjung pangkal. Bentuk argumen yang lain mengatakan bahwa seluruh rantai sebab-sebab natural (terbatas atau tidak terbatas) bersifat kontingen dan bisa jadi sebelumnya tidak demikian. Ia bergantung pada suatu wujud yang mengada secara niscaya. Argumen teologis (dari telos, bahasa yunani, berarti tujuan) aquinas berangkat dari keturunan dan intelijibilitas sebagai ciri umum alam semesta, tetapi menunjukan bukti tentang desain alam.
·         Theology of Nature
Theology ini tidak berangkat dari sains sebagaimana natural theology . alih-alih, ia berangkat dari tradisi keagamaan berdasarkan pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang dalam sinaran sains terkini. Disini, sains dan agama dipandang sebagai sumber ide-ide yang relatif ondependen, tetapi bertumpang-tindih dalam bidang minatnya. Secara khusus, doktrin tentang penciptaan dan sifat-dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains. Jika kepercayaan keagamaan hendak diselaraskan dengan penetahuan ilmiah, kita mesti melakukan penyesuaian dan modifikasi yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh pendukung tesis dialog. Yang mengatakan bahwa teolog harus mengambil bentangan-luas sains yang telah diterima secara luas.[22]

Kembali ke ungkapan Einstein bahwa “Tuhan memng rumit tapi tidak Jahat”, kita mendapat petunjuk kearah aspek lain yang menarik dari tatanan alam. Einstein bermaksud bahwa untuk memperoleh pemahaman tentang alam orang harus menggunakan ketrampilan matematis, wawasan fisika dn kecerdasan mental seluas mungkin.[23]
Mengapa Tuhan membentangkan Diri-Nya ke ddalam rangkaian-rangkaian yang begitu tak terhingga? Mengapa Dia tidak merenungi wujud yang dmiliki-Nya tanpa perlu menyusahkan Diri-Nya dengan urusan makhluk yang begitu terbatas bila di bandingkan dengan Diri-Nya? Dia mengajarkannya dengan begitu baik. Dahulu Plato dengan intuisi seorang jenius berkata, bahwa hal itu merupakan keharusan, sebab Tuhan adalah baik. Namun ketika membicarakan kebaikan Tuhan, kita harus mencampur adukkanya dengan tingkah laku moral manusia. Kebaikan yang ada pada Tuhan mengandung adanya kemurahan hati, berkah dan pemberian anugerah. Kehendak sepenuhnya milik-Nya, namun dengan penuh kemarahmatan Dia membetangkan kehendak itu dan menciptakan makhluk lain dengan di berkahi satu porsi yang terbatas dari kehendaknya yang tak terbatas.[24] 

     C.    Kesimpulan
Setelah membaca paparan di atas agaknya penulis menyimpulkan bahwa antara sains dan islam itu adalah seuatu hubungan antara ilmu yang tidak dapat di pisahkan sebab, agama adalah ilmu yang menyatakan tentang sebuah wujud keTuhanan yang kita percayai melalui Tahuhid, sedangkan Sains adalah ilmu yang mempelajari tentang kejaidan alam semesta, dimana setiap seuatu yang di ciptakan pasti mempunyai alasan dan ada yang menciptakan, seperti sebuah contoh, kenapa sebuah rumah itu di bangun, pasti ada alasan untuk membangun rumah tersebut dan ada pula yang mencptakan rumah tersebut.
Dengan mempelajari sains yang mempunyai bukti nyata bahwa adanya penciptaan alam yang nyata maka itu semuan ada kaitanya dengan Tuhan, seperti yang telah di ungkapkan H.G. sarwar dalam bukunya Filsaft Al-Qur’an mana kala Tuhan berfirman kepada “sesuatu”, “Jadilah.!” Dan iya pun “Jadi”. Apakah sesuatu itu sisi luar Tuhan atau sebagai bagian dari diri-Nya? Pada pokok masalah ini Al-Qur’an sangat jelas bahwa segala sesuatu, baik mental maupun material, merupakan bagian dari Tuhan.







[1] S.N.Haq, Muzzafar Iqbal, “Tuhan, Alam, manusia (prespektif Sains dan Agama)” Yogyakarta : Mizan, hal : 213
[2] https://strategika.wordpress.com/2007/07/05/sains-dan-agama/
[3] Ian G Barbour “Juru Bicara Tuhan dan Sains” BANdung, Mizan, 2002, hal : 13-14
[4] http://tinotugiantoro.blogspot.co.id/2013/12/paradigma-ilmu-pengetahuan-menurut.html
[5] Akhyar yusuf Lubis “Filsafat Ilmu(klasik hingga konteporer)”  Jakarta, Grafindo persada, 2015, hal : 165-166
[6] Zainuddin ,”Filsafat Ilmu (Perspektif Pemikiran Islam)” Yogyakarta, Naila pustaka, 2011, hal : 17
[7] Hamdani ,”Filsafat Sains”  Bandung : Pustaka Setia, 2011, hal : 36-38
[8] Osman Bakar, “Tauhid & Sains” Bandung : Pustaka Hidayah ,1994,  hal : 80
[9] Paul Davies, “Membaca Pikiran TUHAN (The Mind of God)”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012, hal : 4-5
[10] Mehdi Golshani, “Melacak Jejak Tuhan Dalam Sains” MIZAN Pustaka : Bandung, hal : 8
[11] Charles Hard Townes (lahir di Greenville, Carolina Selatan, Amerika Serikat, 28 Juli 1915 – meninggal di Berkeley, California, Amerika Serikat, 27 Januari 2015 pada usia 99 tahun) ia adalah ilmuwan Amerika serikat.
Ia belajar d Universitas Furman di kota itu. Setelah mengambil pascasarjana di Universitas Duke dan Institut Teknologi California, 1939-1947. Ia bekerja di Laboratorium Bell untuk merancang pembom yang dikendalikan radar, lalu ia bekerja di Universitas Columbia di Jurusan Fisika.
Pada tahun 1964, Townes dan 2 pionir Uni soviet, Alexander mikhailovich Prokhorov dan Nikolai Gennadiyevich Basov menerima penghargaan  Nobel dalam Fisika.
[12] Penghargaan Nobel dianugrahkan setiap Tahun kepada mereka yang telah melakukan penelitian yang luar biasa, menemukan teknik atau peralatan yang baru atau telah melakukan kontribusi luar biasa ke masyarakat . Hal ini saat ini dianggap sebagai penghargaan tertinggi bagi mereka yang mempunyai jasa besar terhadap dunia. Pernghargaan Nobel pertama kali diberikan berdasarkan wasiat Alfred Nobel, seorang indrustrialis Swedia, dan seorang penemu dinamit. Dia menandatangani wasiat tersebut di Swedish-Norwegian Club di Paris pada tanggal 27 November 1895. Hal ini dilakukan karena ia terkejut melihat hasil penemuannya justru di manfaatkan untuk tujuan-tujuan yang merusak, dan dia menginginkan agar penghargaan Nobel diberikan kepadamereka yang berjasa besar terhadap kemanusiaan.
[13] Seyyed Hossein Nasr, “Antara Tuhan, Manusia dan Alam”,  Yogyakarta : IRCiSoD, 2003, hal : 99
[14] Departemen agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, SYGMA, hal : 220
[15] John F. Haught ,”Perjumpaan Sains dan Agama”, Bandung : Mizan, 2004, hal : 2-3
[16] Ian G. Barbour , “Juru Bicara Tuhan (antara sains dan Agama)”, Bandung : Mizan, 2002, hal : 47-61
[17] John F. Haught, “Perjumpaan Sains dan Agama ; dari konflik ke dialog,” Bandung : Mizan, 2004, hal : 2
[18] Ian G. Barbour ”Juru Bicara Tuhan(Antara Sains dan Agama ”, Bandung : Mizan, 2002, hal : 65-68
[19] Istilah Teologi ini biasa disebut dengan Usuluddin, sedang ajaran dasar agamanya di sebut ‘Aqoid atau ‘Aqidah  , dan ada pula yang menyebutnya dengan Tauhid. Selain itu dalam Al-Qur’an ada yang menyebut teologi sebagai ilmu Al-kalam, dimana kalau kalam yang dimaksud itu adalah Firman Tuhan , maka itu berarti ilmu tentang Al-Qur’an , sedangkan kalau yang dimaksud kalam Lkalam adalah kata-kata manusia, itu berarti ilmu tentang “olah kata”.
[20] Ian G. Barbour ”Juru Bicara Tuhan(Antara Sains dan Agama ”, Bandung : Mizan, 2002, hal : 74-78
[21] Hadi Masruri, imron rosisidy, “Filsafar Sains dalam Al-Qur’an”, Malang : UIN Press, hal : 8
[22] Ian G. Barbour ”Juru Bicara Tuhan(Antara Sains dan Agama ”, Bandung : Mizan, 2002, hal :82-90
[23] Paul Davies “Membaca pikiran Tuhan (the Mind of God)” Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal : 341-342
[24] H.G. sarwar “Filsafat Al-Qur’an” Jakarta : Pt Raja Grafindo Persada, hal : 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar