FORMULASI INTEGRALISME ILMU: SEBUAH IKHTIAR MODEL
INTEGRASI SAINS DAN ISLAM
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Pemakalah :
RIZQI MIFTAKHUDIN FAUZI
(16771047)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A. Latar Belakang
Wacana integrasi antara sains dan
agama sudah cukup lama. Walaupun tak selalu menggunakan kata “integrasi” secara
eksplisit. Katakan saja, di kalangan muslim modern gagasan perlunya pemaduan
sains dan agama, atau akal dan wahyu (iman), telah cukup lama beredar. Cukup
popular juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam
peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated. Bagi kalangan Kristen
kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang
menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”.[1] Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai
salah seorang peletak dasar wacana sains dan agama yang berkembang di Barat,
tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di
Indonesia.[2]
Adapun diskursus tentang hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan modern sudah
berlangsung cukup lama. Berawal dari pidato Ernest Renan di Sorbone Paris
tahun 1883 tentang Islam sebagai agama yang anti
ilmu. Hal ini menimbulkan reaksi dari Jamaludin Al Afghani dengan seruan
kesadaran kolektif sebagai umat Islam. Diskursus semakin komplek pada paruh abad ke
20, tidak hanya hubungan Islam dengan ilmu tapi
juga kaitan antara Islam dengan keseluruhan pengetahuan modern beserta pekakas
metodologis dan premis-premis yang membentuknya.
Perkembangan ini berimplikasi pada perubahan secara mendasar pandangan dunia
Islam. Gagasan sains Islam dari Ziauddin Sardar dan juga pemikiran tentang
Islamisasi pengetahuan Naquib al Attas yang kemudian diusung Isma’il Raji Al-Faruqi[3]
pada dasarnya berintikan sebagai upaya mengembalikan pengetahuan pada asal
muasalnya yakni kepada agama, keimanan dan lebih khusus lagi pada Tauhid.[4]
Hingga pada akhirnya sampai saat ini anggapan bahwa Agama dan ilmu
adalah dua hal yang sulit dipertemukan karena memiliki wilayah masing-masing,
baik dari segi objek formal dan material, metodologi, kriteria kebenaran,
maupun teori-teorinya.
Dampak
dari fenomena ini diantaranya adalah munculnya konservatisme,
taklid buta dan acuh tak acuhnya terhadap sains modern yang merupakan warisan
intelektual Islam. Padahal di dalam Islam sendiri, ilmu menjadi sesuatu yang
teramat penting dalam kiprah manusia di bumi.[5] Selain itu juga terdapat fenomena
keterpisahannya nilai-nilai intelektual dari moral spiritual serta kemunduran
etos keilmuan yang jauh dari realitas empiris. Kemajuan yang tidak dibarengi dengan
semangat intelektual moral spiritual membuat orang berpikiran materialis dan
individualis. Pintu yang dapat menembus dimensi pemecehan fenomena diatas adalah dengan
pendidikan. Perlu adanya sebuah komposisi pendidikan keilmuan yang dapat
mengembalikan wajah ilmu yang memang pada sebenarnya mempunyai wajah satu,
yakni integrasi ilmu dan sains. Sehingga dapat menghasilkan individu yang tidak
hanya memiliki skill di bidang keilmuan dan teknologi tetapi juga memiliki
kesadaran religius agar tidak terjerumus dalam arus perkembangan global saat
ini. Inilah
titik koordinat fokus pada penelitian yang akan di ungkap pada permukaan
analitis kritis objektif. Dengan menggunakan pendekatan data-data otentik,
buku-buku serta melakukan kajian-kajian analisis jurnal yang otentik.
B. Pembahasan
Adalah sangat wajar apabila sejumlah ilmuwan muslim “gelisah” melihat fenomena merosotnya etos keilmuan umat Islam dan
dominasi barat dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Kegelisahan tersebut diwujudkan dengan kampanye gerakan
kebangkitan Islam melalui sejumlah gagasan dan aksi, antara lain melalui upaya mempertemukan kembali ilmu dan agama, yang
dikenal dengan konsep islamisasi
sains.[6]
Gerakan tersebut mulai dari sebuah konsep hingga sebuah gerakan yang
benar-benar di terapkan dalam kontruksi keilmuan Islam.
1. Konsepsi Islam tentang Sains
Secara Fundamental, Islam tidak melarang untuk memikirkan masalah teknologi
modern atau ilmu pengetahuan yang sifatnya menuju modernisasi pemikiran manusia
genius, profesional, dan konstruktif, serta aspiratif terhadap permasalahan
yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.[7]
Agama
dalam arti luas adalah wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan timbal balik antara
manusia dan tuhan, manusia dengan sesama dan lingkungan hidup yang bersifat
fisik, sosial maupun budaya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisi
petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat pula menjadi teologi
ilmu serta grand theory ilmu.[8] Allah SWT berfirman dalam surat al-Kahfi
ayat 109:
“Katakanlah:
“Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Agama
menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah; benar, salah),
bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah; baik,buruk), dan tujuan-tujuan ilmu
(tahsiniyah; manfaat, merugikan). Ilmu yang lahir dari induk Agama akan
menjadi ilmu yang bersifat objektif. Maka, ilmu yang dihasilkan oleh orang
beriman, adalah ilmu untuk seluruh umat, bukan untuk salah satu pengikut Agama.[9]
Menurut konsep Islam sains dan teknologi
harus berorientasi pada nilai-nilai berikut :
a. Sumber ilmu adalah Allah, manusia hanya diberikan sedikit saja dari ilmuNya.
Quran surat al-kahfi:109. Quran surat al-Isra’: 85
b. Ilmu pengetahuan dipergunakan sebagai
sarana (tools) untuk menyempurnkan ibadah kepada Allah, karena tujuan Allah
menciptakan jindan manusia adalah untuk beribadah kepadanya. QS. Adzariyat : 56
c. Alam semesta beserta isinya hak milik
mutlak Allah Swt. QS. Thaha: 6
d. Alam semesta beserta isinya merupakan
nikmat Allah Swt. Yang dianugerahkan kepada umat manusia. QS.Luqman:20
e. Alam yang dikaruniakan Allah Swt.
harus dinikmati dan dimanfaatkan dengan tidak melampaui batas-batas
ketentuan-Nya. QS. Al-A’raf : 31.
f. lmu pengetahuan dan teknologi yang
digunakan tidak boleh menimbulkan kerusakan (mafsadah) apalagi mengancam
kehidupan manusia. QS.Al-Ankabut: 36.
g. Ilmu pengetahuan dan teknologi
dipergunakan untuk mndapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. QS.
Al-Baqarah: 201.
Disini penulis berusaha mem-breakdown konsep tersebut dengan ilustrasi di bawah ini
Gambar 1.
Konsep proses integrasi ilmu
Melihat gambar diatas, merupakan bagaimana proses pengintegarsian ilmu
intelektual murni dengan ilmu keislaman yang bersumber dari al-Quran. Hal ini
ditampilkan untuk menunjukkan adanya alternative yang dimungkinkan, adapun
pendalaman atasanya harus masuk dalam kajian epistemologi.[10]
Mengapa
Harus Integrasi Sains Dan Islam?
Adanya integarsi ilmu merupakan kesadaran dari adanya dikotomi ilmu yang
melanda khazanah keilmuan Islam. Namun sebenaryna dikotomi ilmu secara umum memang bukan berasal
dari Islam, melainkan dari dunia Barat. Menurut Yusuf Qardhawi dalam Zainuddin
menyatakan bahwa dikotomi lahir dari dunia Barat, khususnya Eropa yang jauh
dari nilai-nilai dan norma-norma Islam.[11] Jadi pada hakikatnya adalah dikotomi keilmuan islam merupakan hasil
terkontaminasi dari keilmuan Barat.
Sementara itu, menurut Azra munculnya
dikotomi ilmu disebabkan oleh adanya suatu pandangan yang meyakini bahwa ilmu
agama merupakan “jalan tol” menuju Tuhan. Sebelum kehancuran aliran Mu’tazilah
pada masa Al-Ma’mun (198-218/813-833), ilmu-ilmu kelaman dan eksakta bukannya
tidak ada di dalam kurikulum madrasah atau al-jam’iah, namun
dengan runtuhnya aliran Mu’tazilah terjadilah kemudian apa yang disebut sebagai
“pemakruhan” terhadap ilmu “non agama”.[12]
Jika dalam epistemologi barat, pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih
melalui indra dan akal,[13]
maka dalam ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga sumber/alat;
indra, akal budi, dan hati.[14]
Hal ini bisa dicermati pada table dibawah ini;
Periode
|
Sumber
|
Etika
|
Proses Sejarah
|
Ilmu
|
|
Islam
|
Pasca-Modern
|
Wahyu-Akal
|
Humanism-Teosentris
|
Dediferensiasi
|
Integralistik
|
Barat
|
Modern
|
Akal
|
Humanism
|
Diferensiasi
|
Sekuler Otonom
|
Tabel
1. Perbedaan epistemologi Islam dan barat.
Dalam pelaksanaan pendidikan memiliki dua misi utama yaitu pembinaan
daya intelektual dan pembinaan daya moral. Mensinergikan sains dan Islam (Agama) merupakan
sesuatu yang sangat penting, bahkan keharusan, karena dengan mengabaikan
nilai-nilai Agama dalam perkembangan sains dan tekhnologi akan melahirkan
dampak negatif yang luar biasa, tidak hanya pada orde sosial-kemanusiaan,
tetapi juga pada orde kosmos atau alam semesta ini. Dampak negatif dari
kecendurungan mengabaikan nilai-nilai (moral Agama) bisa kita lihat secara
emperik pada perilaku korup dan lain sebagaianya yang dilakukan oleh manusi
dimuka bumi ini dengan munggunakan kekuatan sains dan tekhnologi.[15]
Namun tampaknya dalam realitas kehidupan terjadi ketimpangan, dimana
misi pertama lebih diutamakan Ilmu tanpa Agama sehingga mengakibatkan timbulnya
krisis moral, kapitalis, materialistis hingga menjatuhkan harkat derajat atau
kualitas "khairi ummah" yang kemudian menjadi penyebab krisis
alam dan sumber daya.
Sebenarnya pembinaan intelektual dan moral dapat dikembalikan pada hakikat
ilmu pengetahuan yaitu;
a. Ontologi ilmu pengetahuan yang menekankan pada
kemampuan spiritual,
b. Epistemologi ilmu pengetahuan yang menjamin
pembinaan kemampuan intelektual,
Wacana perpaduan antara sains dan Agama di Indonesia
sudah lama digaungkan sebagaimana yang tertuang dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003
pasal 30 yang mewajibkan penyelenggaraan pendidikan Agama pada semua strata
pendidikan sebagai bentuk kesadaran bersama untuk mencapai kualitas hidup yang
utuh.[17]
Pengertian integrasi sains dan teknologi dengan Islam
dalam konteks sains modern bisa dikatakan sebagai profesionalisme atau
kompetensi dalam satu keilmuan yang bersifat duniawi di bidang tertentu
dibarengi atau dibangun dengan pondasi kesadaran ketuhanan. Kesadaran ketuhanan
tersebut akan muncul dengan adanya pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu Islam.
Oleh sebab itu, ilmu-ilmu Islam dan kepribadian merupakan dua aspek yang saling
menopang satu sama lain dan secara bersama-sama menjadi sebuah fondasi bagi
pengembangan sains dan teknologi. Bisa disimpulkan, integrasi ilmu berarti adanya penguasaan sains dan
teknologi dipadukan dengan ilmu-ilmu Islam dan kepribadian Islam.[18]
Integrasi sinergis antara agama dan ilmu pengetahuan secara konsisten
akan menghasilkan sumber daya yang handal dalam mengaplikasikan ilmu yang
dimilki dengan diperkuat oleh spiritualitas yang kokoh dalam menghadapi
kehidupan. Islam tidak lagi dianggap sebagai Agama yang kolot, melaikan sebuah
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai bidang kehidupan, dan
sebagai fasilitas untuk perkembangan ilmu dan
teknologi.[19]
Agama, dalam hal ini Islam sebagai paradigma, saat ini
masih sebagai justifikasi atau pembenaran terhadap konsep-konsep sains dan
belum menjadi paradigma keilmuan yang menyeluruh (holistik). Orientasi dan sistem pedidikan di sekolah antara ilmu
Agama dan ilmu umum haruslah diintegrasikan secara terpadu dalam sebuah proses
pelarutan, maksudnya antara Agama dan sains dapat disinergikan secara
fleksibel, dan link and match.[20]
Konsep integralisme monistik dalam perspektif Islam
adalah sebuah paradigma unifikasi bagi ilmu-ilmu kealaman dan keagamaan, tidak hanya menyatukan ilmu-ilmu
tersebut tetapi juga menjadi paradigma ilmu-ilmu kemasyarakatan dan
kemanusiaan. Islam tidak hanya menjadi sudut pandang atau pelengkap tetapi
menjadi pengawal dari setiap perbuatan/kerja sains.[21]
Sebagai seorang muslim satu hal
menurut penulis yang mesti kita pikirkan bahwa penyebab Islam dalam
kondisi terpuruk dan terbelakang dalam konteks sains adalah "kalau
bangsa-bangsa lain sudah berhasil membangun stasiun luar angkasa dan sudah
berpikir tentang bagaimana mengirimkan pesawat rung angkasa berawak ke Mars,
Umat kita (Islam) masih sibuk untuk menyelesaikan problem-problem yang
semestinya sudah tidak perlu dipersoalkan seperti halnya kunut, bismillah,
bid'ah, do'a jama'ah, zikir ba'da shalat, dan lain sebagainya".[22]
Melihat fenomena
sebagaimana diatas Neneng Dara Affiah menyatakan bahwa munculnya para ilmuan
barat adalah merupakan hasil dari karya-karya intelektual muslim yang direbut pada masa kegelapan umat
muslimin atau setelah perang salib dan menurut beliau inilah yang mesti direbut
kembali dengan dalih ilmu itu merupakan daur (berputar) mulai dari Yunai
berpindah ke Bangsa Arab (Islam) dan
sekarang di kuasai oleh Negara-negara Barat yang insya Allah akan dapat kita raih kembali[23]
2.
Pola Formulasi Integrasi Sains Dan Islam
Sebagai
prolog untuk mengawali pembahasan pola integrasi sains dan Islam yang tentunya
juga pembahasan Islamisasi ilmu, disini penulis akan mengawali pemaparan
analisis teks menuju konteks yang sebgaimana diusung oleh Kuntowijoyo. Pada umumnya kaum
intelektual melihat dari konteks menuju teks. Kuntowijoyo memberikan pendapat
berbeda dengan mindstream yang ada, menurutnya gerakan intelektual Islam harus
bergerak dari teks menuju konteks. Ikhtiar keilmuan ini bersendikan pada tiga hal;
a. Pengilmuan Islam sebagai proses keilmuan yang
bergerak dari teks Al-Qur’an menuju konteks sosial dan ekologis manusia.
b. Paradigma Islam adalah hasil keilmuan, yakni
paradigma baru tentang ilmu integralistik sebagai penyatuan agama dan wahyu.
Melalui tiga sendi inilah, Kuntowijoyo mendorong perlunya pengembangan
ilmu-ilmu sosial profetik yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena
sosial tetapi juga memberikan petunjuk kea rah mana, untuk apa, dan oleh siapa
suatu transformasi harus dilakukan.
Hasil dari Islamisasi ilmu adalah paradigma Islam sebagai cara pandang
Islam tetang realitas. Hal ini diperlukan karena ilmu budaya dan sosiologi
pengetahuan, realitas tidak dilihat langsung oleh orang, tetapi melalui tabir
(kata, budaya, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Tabir membentuk
framing/ pembingkaian yang merupakan relasi citra dan dunia[25]
Paradigma Islam adalah undangan untuk menjadikan postulat agama (Al-Qur’an dan
As Sunnah) menjadi teori ilmu. Sebagaimana ilmu didapat memalui kontruksi
pengalaman sehari-hari secara terorganisir dan sistematis. Maka norma agama
sebagai pengalaman manusia juga dapat dikonstruksi menjadi ilmu.
Untuk
terwujudnya model Integrasi sains dan Islam dalam lembaga pendidikan Islam,
perlu diadakan tahapan-tahapan antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Menjadikan Kitab Suci Sebagai Basis atau Sumber Utama Ilmu
b.
Memperluas Batas Materi Kajian
Islam & Menghindari Dikotomi Ilmu
c.
Menumbuhkan Pribadi Yang
Berkarakter Ulul Albab
d.
Menelusuri Ayat-ayat Dalam Alquran yang Berbicara
Tentang Sains
Paradigma kajian keislaman perlu diperluas
sehingga masing-masing ilmu dalam kajian keislaman dapat mengembangkan paradgma
keilmuan dan kerangka teorinya sendiri. Ketiga hal ini (asumsi dasar, paradigma
dan teori) merupakan landasan filosofis keilmuan, karena suatu paradigma
tertentu lahir berdasarkna asumsi dasar tertentu, begitu pula teori tertentu
bekerja tidak dari “wilayah” paradigmanya.[27]
Hal ini dapat dicermati pada gambar di bawah ini;
Gambar 2. Paradigma Kajian Keislaman
Adapun islamisasi ilmu menggunakan metode
integralisasi merupakan sebuah jawaban atas sekularisme. Ilmu integralistik
menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan dan temuan pikir
manusia yang tidak akan mengucilkan Tuhan atau mengucilkan manusia.[28]
Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dirinya sendiri dan lingkungan, petunjuk etika sekaligus Grand Theory. Selanjutnya adalah teoantroposentrisme yaitu Islam mengakui dua sumber ilmu pengetahuan baik dari wahyu dan berasal dari manusia. Kemudian adanya dediferensiasi sebagai penyatuan kembali sektor-sektor kehidupan termasuk agama dan ilmu.[29]
Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dirinya sendiri dan lingkungan, petunjuk etika sekaligus Grand Theory. Selanjutnya adalah teoantroposentrisme yaitu Islam mengakui dua sumber ilmu pengetahuan baik dari wahyu dan berasal dari manusia. Kemudian adanya dediferensiasi sebagai penyatuan kembali sektor-sektor kehidupan termasuk agama dan ilmu.[29]
Epistemologi Teoantroposentrisme
Dalam sumber pengetahuan yang merupakan jiwa dari ilmu,
dikenal istilah teoantroposentris. Yang mana istilah ini
dipakai untuk menunjuk adanya perpaduan dua sumber pengetahuan yang didapatkan
dari Tuhan (wahyu) serta yang diperoleh dari manusia (melalui proses berpikir).
Contoh dari perpaduan ini adalah agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi
diantaranya adalah bagi hasil (al-mudhârabah), dan
kerjasama (al-musyârakah). Di
mana terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang
dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, non-agama, atau bahkan
anti-agama.[30] Berikut adalah gambar yang
mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik.
Alur di atas menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard
core) adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang
mengitarinya adalah kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu
yang final, tidak dapat diubah-ubah, sedangkan wilayah yang mengitarinya masih
terbuka untuk terus dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan
perkembangan pemikiran dan kondisi zaman yang senantiasa menyertainyaTergambar
di atas bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas
(tidakmyopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sector tradisional
maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang
dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu,
tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani serta
menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era
modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang
diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social
science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas itu semua,
pijakan utama dari semua keilmuan yang ada dilandaskan pada etika-moral
keagamaan dalam setiap langkah yang ditempuh. Terlepas dari apakah itu keilmuan
yang bercorak agama atau non-agama haruslah mempunyai landasan yang kuat pada
Al-Qur’an dan Hadistyang dijadikan pandangan hidup (weltanschauung)
keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan.[31]
Dari gambar di atas, nampak jelas bahwa dalam
Islam tidak ada pendikotomian ilmu yang menjadikan ilmu terklasifikasikan
menjadi ilmu agama dan non-agama dengan konsekuensinya saling berdiri sendiri
tanpa ada hubungan antara satu keilmuan dengan keilmuan satunya. Karena
bagaimana pun semua pengetahuan, pada dasarnya berasal dari satu Tuhan, meski
dalam berbagai cara penyampaiannya kepada manusia. Selain itu, nampak pula bahwa dari
ilustrasi di atas, al-Qur’an dan Sunnah menjadi “hard core” keilmuan keislaman, sementara
lingkar-lingkar pada lapis di luarnya menjadi domain “protective belt” yang sangat mungkin dikembangkan
sebagai upaya menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia yang
selalu berkembang ini. Dengan tidak meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah,
keilmuan-keilmuan yang ada dapat dikembangkan berdasarkan semangat keislaman.[32]
3.
Kesimpulan
Sebagai refleksi dari catatan analisis pemaparan diatas,
menunjukkan bahwa Islam tidak melarang untuk memikirkan
masalah teknologi modern atau ilmu pengetahuan yang sifatnya menuju modernisasi
pemikiran manusia genius, profesional, dan konstruktif, serta aspiratif
terhadap permasalahan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian integrasi sains dan teknologi dengan Islam dalam konteks
sains modern bisa dikatakan sebagai profesionalisme atau kompetensi dalam satu
keilmuan yang bersifat duniawi di bidang tertentu dibarengi atau dibangun
dengan pondasi kesadaran ketuhanan. Sebagai sumber pengetahuan dikenal sebagai istilah teoantroposentris. Yang mana istilah ini
dipakai untuk menunjuk adanya perpaduan dua sumber pengetahuan yang didapatkan
dari Tuhan (wahyu) serta yang diperoleh dari manusia (melalui proses berpikir).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Dkk. Integrasi Sains –
Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains. 2004. Yogyakarta: Pilar Religia
Anma, Zacky
Muzakkil. Dalam http://zackymuzakkil.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-keilmuan-amin-abdullah.html.
Azra,
Azyumardi. Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj.
Afandi dan Hasan Asari. 1994. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Bagir, Zainal Abidin. Integrasi Ilmu dan Agama
Interpretasi dan Aksi. 2005. Bandung: Mizan
Barbour, Ian. When
Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R.
Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama. 2002. Bandung: Mizan
Barizi, Ahmad. Pendidikan Integratif Akar Tradisi dan
Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. 2011. Malang: UIN Maliki Press
Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. 1980. Yogyakarta; Kanisius
Kosim, Mohammad. ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif
Filosofis-Historis. Jurnal Tadris. No. 3 Volume 2. 2008
Keraf, A. Sony dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan;
Sebuah Tinjauan Filosofis. 2001. Yogyakarta;
Kanisius
Kh. U Maman. Urgensi Memadukan Kembali Sains dan
Teknologi dengan Islam, http://www.pusbangsitek.com diakses tanggal 24 Nopember 2011
Kuntowijoyo. Islam
Sebagai Ilmu. 2007. Yogyakarta: Tiara Wacana
Herry Mohammad. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20.
2006. Jakarta: Gema Insani
Mubarok, Husni. Dalam https://paradigmaindonesia.wordpress.com/2012/11/25/ilmu-integralistik-pengantar-menuju-pengilmuan-islam-kuntowijoyo/. Dipublikasikan pada 28 Nov. 2012
Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahua. Cet. Ke-2. 2005. Yogyakarta: Belukar
Piliang, Yasraf Amir. Bayang-Banyang Tuhan Agama dan Imajinasi.
2011. Bandung: Mizan
Ramayulis
dan Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan
Islam di Dunia Islam dan di Indonesia. 2005. Ciputat: Quantum Teaching
Rohadi dan Suharsono. Ilmu dan Teknologi dalam Islam.
2005. Cet. Ke-3. Jakarta : Departemen Agama RI.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. 2008.Jakarta: Ar-Ruzz Media
Suprayogo, Imam. Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, 2006. Malang: UIN-Malang Press
Tim Penyusun Buku. Memadu Sains dan Agama menuju
Menuju Universitas
Islam Masa Depan. 2004. Malang: Bayumedi
Islam Masa Depan. 2004. Malang: Bayumedi
Turmudi. dkk, Islam, Sains dan Teknologi Menggagas
Bangunan Keilmuan Fakultas Sains dan Teknologi
Islami Masa Depan. 2006. Malang: UIN Maliki Press
Yusuf, Ali Anwar. Islam dan Sains Modern. 2006. Bandung: Pustaka Setia
Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu;
Menyiapkan Generasi Ulul ALbab. 2010.
Malang: UIN-MALANG PRESS
[1]
Ian Barbour. When
Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R.
Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama. 2002. Bandung:
Mizan. Hlm. 42
[2]
Zainal Abidin Bagir. Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi
dan Aksi. 2005.
Bandung: Mizan.
Hlm. 19
[3]
Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada
tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. (Lihat
dalam Ramayulis dan Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia. 2005.
Ciputat : Quantum Teaching. H.107) Pendidikan dasarnya dilalui di College Des
Frese,Libanon sejak 1926 sampai 1936. Ia kemudian melanjutkan pendidikan tinggi
di The American University, Beirut, tempat ia memperoleh gelar BA-nya pada
tahun 1941. (Lihat dalam: Herry Mohammad. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh
Abad 20. 2006. Jakarta: Gema Insani. Hlm. 209)
[4]
Husni Mubarok. Dalam https://paradigmaindonesia.wordpress.com/2012/11/25/ilmu-integralistik-pengantar-menuju-pengilmuan-islam-kuntowijoyo/.
Di publikasikan pada 28 Nov. 2012
[5]
Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu; Menyiapkan Generasi Ulul ALbab. 2010. Malang: UIN-MALANG PRESS.
Hlm. 18
[6] Istilah tersebut dikenalkan pertama kali oleh Ismail
Raji al-Faruqi, ketika pada tahun 1982 menerbitkan buku berjudul Islamization
of Knowledge: General Principles and Workplan. Istilah lain yang
memiliki substansi sama dengan islamisasi sains adalah dewesternisasi
pengetahuan yang dikenalkan Muhammad Naquib al-Attas, desekularisasi
sains, atau naturalisasi ilmu yang digagas beberapa sarjana
keislamanan semisal I. Sabra.
[7]
Rohadi dan Suharsono. Ilmu dan Teknologi dalam Islam.
2005. Cet. Ke-3. Jakarta : Departemen Agama RI. Hlm. 56
[8]
Amin Abdullah. Dkk. Integrasi Sains – Islam Mempertemukan Epistemologi Islam
dan Sains. 2004. Yogyakarta: Pilar
Religia. hlm, 11
[9]
Ibid. Amin Abdullah. Hlm. 12
[10] Lebih jelas lihat Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu.
[11]
Op.Cit. Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu:… Hlm. 15
[12]
Azyumardi Azra dalam Chareles Michael Stanton. Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan
Asari. 1994. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm 7
[13]
Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu pengetahuan didahului konflik
tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad. Konflik tersebut tercermin
dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme.
[14] Pembahasan lebih lanjut tentang kedua aliran tersebut
bisa dibaca, antara lain, dalam: Harun Hadiwijoyo. Sari Sejarah Filsafat
Barat. 1980. Yogyakarta;
Kanisius. hlm. 18-46; A. Sony Keraf dan
Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis. 2001. Yogyakarta; Kanisius. hlm.
33-39. Dalam Mohammad Kosim. ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif
Filosofis-Historis. Jurnal Tadris. No. 3 Volume 2. 2008
[15]Tim
Penyusun Buku. Memadu Sains dan Agama menuju Menuju Universitas
Islam Masa Depan. 2004. Malang: Bayumedi. Hlm. 11-12
Islam Masa Depan. 2004. Malang: Bayumedi. Hlm. 11-12
[16]
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan
Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm, 138
[17]
Ahmad Barizi. Pendidikan Integratif Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam. 2011. Malang: UIN Maliki Press. Hlm. 256
[18] U Maman Kh, Urgensi Memadukan Kembali
Sains dan Teknologi dengan Islam, http://www.pusbangsitek.com diakses tanggal 24 Nopember 2011
[19]
Turmudi, dkk, Islam, Sains dan Teknologi Menggagas Bangunan Keilmuan
Fakultas Sains dan Teknologi Islami Masa
Depan, (Malang: UIN Maliki Press, 2006), hlm, xv
[20]
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm, 260
[21]
Ibid. Ahmad Barizi. Pendidikan
Integratif … hlm, 260 & 261
[22]
Imam Suprayogo. Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, 2006. Malang: UIN-Malang Press. hlm. 66
[23]
Ibid. Imam Suprayogo. Paaradigma
Pengembangan… Hlm. 12
[24]
Kuntowijoyo. Islam
Sebagai Ilmu. 2007. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 6
[25]
Yasraf Amir Piliang. Bayang-Banyang Tuhan Agama dan Imajinasi. 2011. Bandung: Mizan. Hlm. 37
[26] Op.Cit. . Imam
Suprayogo. Paaradigma Pengembangan… Hlm.
13
[27]
Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian
atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahua. Cet. Ke-2.
2005. Yogyakarta: Belukar. Hlm. 40
[28]
Ibid. Yasraf
Amir Piliang. Bayang-Banyang… Hlm. 53
[29]
Ibid. Yasraf
Amir Piliang. Bayang-Banyang Tuhan…
Hlm. 59
[30]
Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan
Intergatif-Interkonektif. 2006. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hlm. 105
[31]
Ibid. Amin
Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi…. Hlm. 106
[32]
Zacky Muzakkil Anma. Dalam http://zackymuzakkil.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-keilmuan-amin-abdullah.html.
Dipublikasikan pada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar