Kamis, 09 November 2017

MAKALAH FORMULASI INTEGRALISME ILMU: SEBUAH IKHTIAR MODEL INTEGRASI SAINS DAN ISLAM

FORMULASI INTEGRALISME ILMU: SEBUAH IKHTIAR MODEL
INTEGRASI SAINS DAN ISLAM


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag






Pemakalah :
RIZQI MIFTAKHUDIN FAUZI
(16771047)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



A.    Latar Belakang
Wacana integrasi antara sains dan agama sudah cukup lama. Walaupun tak selalu menggunakan kata “integrasi” secara eksplisit. Katakan saja, di kalangan muslim modern gagasan perlunya pemaduan sains dan agama, atau akal dan wahyu (iman), telah cukup lama beredar. Cukup popular juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated. Bagi kalangan Kristen kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”.[1] Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai salah seorang peletak dasar wacana sains dan agama yang berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia.[2]
Adapun diskursus tentang hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan modern sudah berlangsung cukup lama. Berawal dari pidato  Ernest Renan di Sorbone Paris tahun 1883 tentang Islam sebagai agama yang anti ilmu. Hal ini menimbulkan reaksi dari Jamaludin Al Afghani dengan seruan kesadaran kolektif sebagai umat Islam. Diskursus semakin komplek pada paruh abad ke 20, tidak hanya hubungan Islam dengan ilmu tapi juga kaitan antara Islam dengan keseluruhan pengetahuan modern beserta pekakas metodologis dan premis-premis yang membentuknya. Perkembangan ini berimplikasi pada perubahan secara mendasar pandangan dunia Islam. Gagasan sains Islam dari Ziauddin Sardar dan juga pemikiran tentang Islamisasi pengetahuan Naquib al Attas yang kemudian diusung Isma’il Raji Al-Faruqi[3] pada dasarnya berintikan sebagai upaya mengembalikan pengetahuan pada asal muasalnya yakni kepada agama, keimanan dan lebih khusus lagi pada Tauhid.[4]
Hingga pada akhirnya sampai saat ini anggapan bahwa Agama dan ilmu adalah dua hal yang sulit dipertemukan karena memiliki wilayah masing-masing, baik dari segi objek formal dan material, metodologi, kriteria kebenaran, maupun teori-teorinya.
Dampak dari fenomena ini diantaranya adalah munculnya konservatisme, taklid buta dan acuh tak acuhnya terhadap sains modern yang merupakan warisan intelektual Islam. Padahal di dalam Islam sendiri, ilmu menjadi sesuatu yang teramat penting dalam kiprah manusia di bumi.[5] Selain itu juga terdapat fenomena keterpisahannya nilai-nilai intelektual dari moral spiritual serta kemunduran etos keilmuan yang jauh dari realitas empiris. Kemajuan yang tidak dibarengi dengan semangat intelektual moral spiritual membuat orang berpikiran materialis dan individualis. Pintu yang dapat menembus dimensi pemecehan fenomena diatas adalah dengan pendidikan. Perlu adanya sebuah komposisi pendidikan keilmuan yang dapat mengembalikan wajah ilmu yang memang pada sebenarnya mempunyai wajah satu, yakni integrasi ilmu dan sains. Sehingga dapat menghasilkan individu yang tidak hanya memiliki skill di bidang keilmuan dan teknologi tetapi juga memiliki kesadaran religius agar tidak terjerumus dalam arus perkembangan global saat ini. Inilah titik koordinat fokus pada penelitian yang akan di ungkap pada permukaan analitis kritis objektif. Dengan menggunakan pendekatan data-data otentik, buku-buku serta melakukan kajian-kajian analisis jurnal yang otentik.

B.     Pembahasan
Adalah sangat wajar apabila sejumlah ilmuwan muslim “gelisah” melihat fenomena merosotnya etos keilmuan umat Islam dan dominasi barat dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Kegelisahan tersebut diwujudkan dengan kampanye gerakan kebangkitan Islam melalui sejumlah gagasan dan aksi, antara lain melalui upaya mempertemukan kembali ilmu dan agama, yang dikenal dengan konsep islamisasi
sains.[6] Gerakan tersebut mulai dari sebuah konsep hingga sebuah gerakan yang benar-benar di terapkan dalam kontruksi keilmuan Islam.

      1.      Konsepsi Islam tentang Sains
Secara Fundamental, Islam tidak melarang untuk memikirkan masalah teknologi modern atau ilmu pengetahuan yang sifatnya menuju modernisasi pemikiran manusia genius, profesional, dan konstruktif, serta aspiratif terhadap permasalahan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.[7]
Agama dalam arti luas adalah wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dan tuhan, manusia dengan sesama dan lingkungan hidup yang bersifat fisik, sosial maupun budaya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat pula menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu.[8] Allah SWT berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 109:
“Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".

Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah; baik,buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyah; manfaat, merugikan). Ilmu yang lahir dari induk Agama akan menjadi ilmu yang bersifat objektif. Maka, ilmu yang dihasilkan oleh orang beriman, adalah ilmu untuk seluruh umat, bukan untuk salah satu pengikut Agama.[9]
Menurut konsep Islam sains dan teknologi harus berorientasi pada nilai-nilai berikut :
a.    Sumber ilmu adalah Allah, manusia hanya diberikan sedikit saja dari ilmuNya. Quran surat al-kahfi:109. Quran surat al-Isra’: 85
b.  Ilmu pengetahuan dipergunakan sebagai sarana (tools) untuk menyempurnkan ibadah kepada Allah, karena tujuan Allah menciptakan jindan manusia adalah untuk beribadah kepadanya. QS. Adzariyat : 56
c.      Alam semesta beserta isinya hak milik mutlak Allah Swt. QS. Thaha: 6
d.   Alam semesta beserta isinya merupakan nikmat Allah Swt. Yang dianugerahkan kepada umat manusia. QS.Luqman:20
e.  Alam yang dikaruniakan Allah Swt. harus dinikmati dan dimanfaatkan dengan tidak melampaui batas-batas ketentuan-Nya. QS. Al-A’raf : 31.
f.   lmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan tidak boleh menimbulkan kerusakan (mafsadah) apalagi mengancam kehidupan manusia. QS.Al-Ankabut: 36.
g.   Ilmu pengetahuan dan teknologi dipergunakan untuk mndapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. QS. Al-Baqarah: 201.    
Disini penulis berusaha mem-breakdown konsep tersebut dengan ilustrasi di bawah ini  
Gambar 1. Konsep proses integrasi ilmu
Melihat gambar diatas, merupakan bagaimana proses pengintegarsian ilmu intelektual murni dengan ilmu keislaman yang bersumber dari al-Quran. Hal ini ditampilkan untuk menunjukkan adanya alternative yang dimungkinkan, adapun pendalaman atasanya harus masuk dalam kajian epistemologi.[10]
Mengapa Harus Integrasi Sains Dan Islam?
Adanya integarsi ilmu merupakan kesadaran dari adanya dikotomi ilmu yang melanda khazanah keilmuan Islam. Namun sebenaryna dikotomi ilmu secara umum memang bukan berasal dari Islam, melainkan dari dunia Barat. Menurut Yusuf Qardhawi dalam Zainuddin menyatakan bahwa dikotomi lahir dari dunia Barat, khususnya Eropa yang jauh dari nilai-nilai dan norma-norma Islam.[11] Jadi pada hakikatnya adalah dikotomi keilmuan islam merupakan hasil terkontaminasi dari keilmuan Barat.
Sementara itu, menurut Azra munculnya dikotomi ilmu disebabkan oleh adanya suatu pandangan yang meyakini bahwa ilmu agama merupakan “jalan tol” menuju Tuhan. Sebelum kehancuran aliran Mu’tazilah pada masa Al-Ma’mun (198-218/813-833), ilmu-ilmu kelaman dan eksakta bukannya tidak ada di dalam kurikulum madrasah atau al-jam’iah, namun dengan runtuhnya aliran Mu’tazilah terjadilah kemudian apa yang disebut sebagai “pemakruhan” terhadap ilmu “non agama”.[12]
Jika dalam epistemologi barat, pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih melalui indra dan akal,[13] maka dalam ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga sumber/alat; indra, akal budi, dan hati.[14] Hal ini bisa dicermati pada table dibawah ini;


Periode
Sumber
Etika
Proses Sejarah
Ilmu
Islam
Pasca-Modern
Wahyu-Akal
Humanism-Teosentris
Dediferensiasi
Integralistik
Barat
Modern
Akal
Humanism
Diferensiasi
Sekuler Otonom

Tabel 1. Perbedaan epistemologi Islam dan barat.

Dalam pelaksanaan pendidikan memiliki dua misi utama yaitu pembinaan daya intelektual dan pembinaan daya moral. Mensinergikan sains dan Islam (Agama) merupakan sesuatu yang sangat penting, bahkan keharusan, karena dengan mengabaikan nilai-nilai Agama dalam perkembangan sains dan tekhnologi akan melahirkan dampak negatif yang luar biasa, tidak hanya pada orde sosial-kemanusiaan, tetapi juga pada orde kosmos atau alam semesta ini. Dampak negatif dari kecendurungan mengabaikan nilai-nilai (moral Agama) bisa kita lihat secara emperik pada perilaku korup dan lain sebagaianya yang dilakukan oleh manusi dimuka bumi ini dengan munggunakan kekuatan sains dan tekhnologi.[15]
Namun tampaknya dalam realitas kehidupan terjadi ketimpangan, dimana misi pertama lebih diutamakan Ilmu tanpa Agama sehingga mengakibatkan timbulnya krisis moral, kapitalis, materialistis hingga menjatuhkan harkat derajat atau kualitas "khairi ummah" yang kemudian menjadi penyebab krisis alam dan sumber daya.
Sebenarnya pembinaan intelektual dan moral dapat dikembalikan pada hakikat ilmu pengetahuan yaitu;
a.    Ontologi ilmu pengetahuan yang menekankan pada kemampuan spiritual,
b.   Epistemologi ilmu pengetahuan yang menjamin pembinaan kemampuan intelektual,
c.    Etika ilmu pengetahuan yang lebih menjamin pada pembinaan kemampuan moral.[16]

Wacana perpaduan antara sains dan Agama di Indonesia sudah lama digaungkan sebagaimana yang tertuang dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 pasal 30 yang mewajibkan penyelenggaraan pendidikan Agama pada semua strata pendidikan sebagai bentuk kesadaran bersama untuk mencapai kualitas hidup yang utuh.[17]
Pengertian integrasi sains dan teknologi dengan Islam dalam konteks sains modern bisa dikatakan sebagai profesionalisme atau kompetensi dalam satu keilmuan yang bersifat duniawi di bidang tertentu dibarengi atau dibangun dengan pondasi kesadaran ketuhanan. Kesadaran ketuhanan tersebut akan muncul dengan adanya pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu Islam. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu Islam dan kepribadian merupakan dua aspek yang saling menopang satu sama lain dan secara bersama-sama menjadi sebuah fondasi bagi pengembangan sains dan teknologi. Bisa disimpulkan, integrasi  ilmu berarti adanya penguasaan sains dan teknologi dipadukan dengan ilmu-ilmu Islam dan kepribadian Islam.[18]
Integrasi sinergis antara agama dan ilmu pengetahuan secara konsisten akan menghasilkan sumber daya yang handal dalam mengaplikasikan ilmu yang dimilki dengan diperkuat oleh spiritualitas yang kokoh dalam menghadapi kehidupan. Islam tidak lagi dianggap sebagai Agama yang kolot, melaikan sebuah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai bidang kehidupan, dan sebagai fasilitas untuk perkembangan ilmu dan  teknologi.[19]
Agama, dalam hal ini Islam sebagai paradigma, saat ini masih sebagai justifikasi atau pembenaran terhadap konsep-konsep sains dan belum menjadi paradigma keilmuan yang menyeluruh (holistik). Orientasi  dan sistem pedidikan di sekolah antara ilmu Agama dan ilmu umum haruslah diintegrasikan secara terpadu dalam sebuah proses pelarutan, maksudnya antara Agama dan sains dapat disinergikan secara fleksibel, dan link and match.[20]
Konsep integralisme monistik dalam perspektif Islam adalah sebuah paradigma unifikasi bagi ilmu-ilmu kealaman dan keagamaan, tidak hanya menyatukan ilmu-ilmu tersebut tetapi juga menjadi paradigma ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kemanusiaan. Islam tidak hanya menjadi sudut pandang atau pelengkap tetapi menjadi pengawal dari setiap perbuatan/kerja sains.[21]
Sebagai seorang muslim satu hal menurut penulis yang mesti kita pikirkan bahwa penyebab Islam dalam kondisi terpuruk dan terbelakang dalam konteks sains adalah "kalau bangsa-bangsa lain sudah berhasil membangun stasiun luar angkasa dan sudah berpikir tentang bagaimana mengirimkan pesawat rung angkasa berawak ke Mars, Umat kita (Islam) masih sibuk untuk menyelesaikan problem-problem yang semestinya sudah tidak perlu dipersoalkan seperti halnya kunut, bismillah, bid'ah, do'a jama'ah, zikir ba'da shalat, dan lain sebagainya".[22]
Melihat fenomena sebagaimana diatas Neneng Dara Affiah menyatakan bahwa munculnya para ilmuan barat adalah merupakan hasil dari karya-karya intelektual  muslim yang direbut pada masa kegelapan umat muslimin atau setelah perang salib dan menurut beliau inilah yang mesti direbut kembali dengan dalih ilmu itu merupakan daur (berputar) mulai dari Yunai berpindah ke  Bangsa Arab (Islam) dan sekarang di kuasai oleh Negara-negara Barat yang insya Allah  akan dapat kita raih kembali[23]

      2.      Pola Formulasi Integrasi Sains Dan Islam
Sebagai prolog untuk mengawali pembahasan pola integrasi sains dan Islam yang tentunya juga pembahasan Islamisasi ilmu, disini penulis akan mengawali pemaparan analisis teks menuju konteks yang sebgaimana diusung oleh Kuntowijoyo. Pada umumnya kaum intelektual melihat dari konteks menuju teks. Kuntowijoyo memberikan pendapat berbeda dengan mindstream yang ada, menurutnya gerakan intelektual Islam harus bergerak dari teks menuju konteks. Ikhtiar keilmuan ini bersendikan pada tiga hal;
a.  Pengilmuan Islam sebagai proses keilmuan yang bergerak dari teks Al-Qur’an menuju konteks sosial dan ekologis manusia.
b.   Paradigma Islam adalah hasil keilmuan, yakni paradigma baru tentang ilmu integralistik sebagai penyatuan agama dan wahyu.
c.      Islam sebagai ilmu yang merupakan proses sekaligus sebagai hasil.[24]

Melalui tiga sendi inilah, Kuntowijoyo mendorong perlunya pengembangan ilmu-ilmu sosial profetik yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberikan petunjuk kea rah mana, untuk apa, dan oleh siapa suatu transformasi harus dilakukan.
Hasil dari Islamisasi ilmu adalah paradigma Islam sebagai cara pandang Islam tetang realitas. Hal ini diperlukan karena ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas tidak dilihat langsung oleh orang, tetapi melalui tabir (kata, budaya, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Tabir membentuk framing/ pembingkaian yang merupakan relasi citra dan dunia[25] Paradigma Islam adalah undangan untuk menjadikan postulat agama (Al-Qur’an dan As Sunnah) menjadi teori ilmu. Sebagaimana ilmu didapat memalui kontruksi pengalaman sehari-hari secara terorganisir dan sistematis. Maka norma agama sebagai pengalaman manusia juga dapat dikonstruksi menjadi ilmu.
Untuk terwujudnya model Integrasi sains dan Islam dalam lembaga pendidikan Islam, perlu diadakan tahapan-tahapan antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Menjadikan Kitab Suci Sebagai Basis atau Sumber Utama Ilmu
b.      Memperluas Batas Materi Kajian Islam & Menghindari Dikotomi Ilmu
c.       Menumbuhkan Pribadi Yang Berkarakter Ulul Albab
d.      Menelusuri Ayat-ayat Dalam Alquran yang Berbicara Tentang Sains
e.       Mengembangkan Kurikulum Pendidikan di Lembaga Pendidikan[26]

Paradigma kajian keislaman perlu diperluas sehingga masing-masing ilmu dalam kajian keislaman dapat mengembangkan paradgma keilmuan dan kerangka teorinya sendiri. Ketiga hal ini (asumsi dasar, paradigma dan teori) merupakan landasan filosofis keilmuan, karena suatu paradigma tertentu lahir berdasarkna asumsi dasar tertentu, begitu pula teori tertentu bekerja tidak dari “wilayah” paradigmanya.[27] Hal ini dapat dicermati pada gambar di bawah ini;

Gambar 2. Paradigma Kajian Keislaman

Adapun islamisasi ilmu menggunakan metode integralisasi merupakan sebuah jawaban atas sekularisme. Ilmu integralistik menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan dan temuan pikir manusia yang tidak akan mengucilkan Tuhan atau mengucilkan manusia.[28]
Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dirinya sendiri dan lingkungan, petunjuk etika sekaligus Grand Theory. Selanjutnya adalah teoantroposentrisme yaitu Islam mengakui dua sumber ilmu pengetahuan baik dari wahyu dan berasal dari manusia. Kemudian adanya dediferensiasi sebagai penyatuan kembali sektor-sektor kehidupan termasuk agama dan ilmu.[29]

Epistemologi Teoantroposentrisme
Dalam sumber pengetahuan yang merupakan jiwa dari ilmu, dikenal istilah teoantroposentris. Yang mana istilah ini dipakai untuk menunjuk adanya perpaduan dua sumber pengetahuan yang didapatkan dari Tuhan (wahyu) serta yang diperoleh dari manusia (melalui proses berpikir). Contoh dari perpaduan ini adalah agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi diantaranya adalah bagi hasil (al-mudhârabah), dan kerjasama (al-musyârakah). Di mana terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, non-agama, atau bahkan anti-agama.[30] Berikut adalah gambar yang mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik.
Alur di atas menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core) adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final, tidak dapat diubah-ubah, sedangkan wilayah yang mengitarinya masih terbuka untuk terus dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kondisi zaman yang senantiasa menyertainyaTergambar di atas bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidakmyopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sector tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani serta menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas itu semua, pijakan utama dari semua keilmuan yang ada dilandaskan pada etika-moral keagamaan dalam setiap langkah yang ditempuh. Terlepas dari apakah itu keilmuan yang bercorak agama atau non-agama haruslah mempunyai landasan yang kuat pada Al-Qur’an dan Hadistyang dijadikan pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan.[31]
Dari gambar di atas, nampak jelas bahwa dalam Islam tidak ada pendikotomian ilmu yang menjadikan ilmu terklasifikasikan menjadi ilmu agama dan non-agama dengan konsekuensinya saling berdiri sendiri tanpa ada hubungan antara satu keilmuan dengan keilmuan satunya. Karena bagaimana pun semua pengetahuan, pada dasarnya berasal dari satu Tuhan, meski dalam berbagai cara penyampaiannya kepada manusia. Selain itu, nampak pula bahwa dari ilustrasi di atas, al-Qur’an dan Sunnah menjadi “hard core” keilmuan keislaman, sementara lingkar-lingkar pada lapis di luarnya menjadi domain “protective belt” yang sangat mungkin dikembangkan sebagai upaya menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia yang selalu berkembang ini. Dengan tidak meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah, keilmuan-keilmuan yang ada dapat dikembangkan berdasarkan semangat keislaman.[32]

3.      Kesimpulan
Sebagai refleksi dari catatan analisis pemaparan diatas, menunjukkan bahwa Islam tidak melarang untuk memikirkan masalah teknologi modern atau ilmu pengetahuan yang sifatnya menuju modernisasi pemikiran manusia genius, profesional, dan konstruktif, serta aspiratif terhadap permasalahan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian integrasi sains dan teknologi dengan Islam dalam konteks sains modern bisa dikatakan sebagai profesionalisme atau kompetensi dalam satu keilmuan yang bersifat duniawi di bidang tertentu dibarengi atau dibangun dengan pondasi kesadaran ketuhanan. Sebagai sumber pengetahuan dikenal sebagai istilah teoantroposentris. Yang mana istilah ini dipakai untuk menunjuk adanya perpaduan dua sumber pengetahuan yang didapatkan dari Tuhan (wahyu) serta yang diperoleh dari manusia (melalui proses berpikir).




DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Amin. Dkk. Integrasi Sains – Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains. 2004.  Yogyakarta: Pilar Religia
Azra, Azyumardi. Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari. 1994. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Bagir, Zainal Abidin. Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi. 2005. Bandung: Mizan
Barbour, Ian. When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama. 2002. Bandung: Mizan
Barizi, Ahmad. Pendidikan Integratif Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. 2011. Malang: UIN Maliki Press
Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. 1980. Yogyakarta; Kanisius
Kosim, Mohammad. ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif Filosofis-Historis. Jurnal Tadris. No. 3 Volume 2. 2008
Keraf, A. Sony dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis. 2001. Yogyakarta; Kanisius
Kh. U Maman. Urgensi Memadukan Kembali Sains dan Teknologi dengan Islam, http://www.pusbangsitek.com diakses tanggal 24 Nopember 2011
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. 2007. Yogyakarta: Tiara Wacana
Herry Mohammad. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. 2006. Jakarta: Gema Insani
Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahua. Cet. Ke-2. 2005. Yogyakarta: Belukar
Piliang, Yasraf Amir. Bayang-Banyang Tuhan Agama dan Imajinasi. 2011.  Bandung: Mizan
Ramayulis dan Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia. 2005. Ciputat: Quantum Teaching
Rohadi dan Suharsono. Ilmu dan Teknologi dalam Islam. 2005. Cet. Ke-3. Jakarta : Departemen Agama RI.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. 2008.Jakarta: Ar-Ruzz Media
Suprayogo, Imam.  Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, 2006. Malang: UIN-Malang Press
Tim Penyusun Buku. Memadu Sains dan Agama menuju Menuju Universitas
Islam Masa Depan
. 2004. Malang: Bayumedi
Turmudi. dkk, Islam, Sains dan Teknologi Menggagas Bangunan Keilmuan Fakultas Sains dan Teknologi  Islami Masa Depan. 2006. Malang: UIN Maliki Press
Yusuf, Ali Anwar. Islam dan Sains Modern.  2006. Bandung: Pustaka Setia
Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu; Menyiapkan Generasi Ulul ALbab. 2010. Malang: UIN-MALANG PRESS





[1] Ian Barbour. When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama. 2002. Bandung: Mizan. Hlm. 42
[2] Zainal Abidin Bagir. Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi. 2005. Bandung: Mizan. Hlm. 19
[3] Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. (Lihat dalam Ramayulis dan Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia. 2005. Ciputat : Quantum Teaching. H.107) Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese,Libanon sejak 1926 sampai 1936. Ia kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di The American University, Beirut, tempat ia memperoleh gelar BA-nya pada tahun 1941. (Lihat dalam: Herry Mohammad. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. 2006. Jakarta: Gema Insani. Hlm. 209)
[5] Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu; Menyiapkan Generasi Ulul ALbab. 2010. Malang: UIN-MALANG PRESS. Hlm. 18
[6] Istilah tersebut dikenalkan pertama kali oleh Ismail Raji al-Faruqi, ketika pada tahun 1982 menerbitkan buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Istilah lain yang memiliki substansi sama dengan islamisasi sains adalah dewesternisasi pengetahuan yang dikenalkan Muhammad Naquib al-Attas, desekularisasi sains, atau naturalisasi ilmu yang digagas beberapa sarjana keislamanan semisal I. Sabra.
[7] Rohadi dan Suharsono. Ilmu dan Teknologi dalam Islam. 2005. Cet. Ke-3. Jakarta : Departemen Agama RI. Hlm. 56
[8] Amin Abdullah. Dkk. Integrasi Sains – Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains. 2004.  Yogyakarta: Pilar Religia. hlm, 11
[9] Ibid. Amin Abdullah. Hlm. 12
[10]  Lebih jelas lihat Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu.
[11] Op.Cit. Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu:… Hlm. 15
[12] Azyumardi Azra dalam Chareles Michael Stanton. Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari. 1994. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm 7
[13] Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu pengetahuan didahului konflik tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad. Konflik tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme.
[14] Pembahasan lebih lanjut tentang kedua aliran tersebut bisa dibaca, antara lain, dalam: Harun Hadiwijoyo. Sari Sejarah Filsafat Barat. 1980. Yogyakarta; Kanisius.  hlm. 18-46; A. Sony Keraf dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis. 2001. Yogyakarta; Kanisius. hlm. 33-39. Dalam Mohammad Kosim. ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM (Perspektif Filosofis-Historis. Jurnal Tadris. No. 3 Volume 2. 2008
[15]Tim Penyusun Buku. Memadu Sains dan Agama menuju Menuju Universitas
Islam Masa Depan
. 2004. Malang: Bayumedi. Hlm. 11-12
[16] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm, 138
[17] Ahmad Barizi. Pendidikan Integratif Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. 2011. Malang: UIN Maliki Press. Hlm. 256
[18] U Maman Kh, Urgensi Memadukan Kembali Sains dan Teknologi dengan Islam, http://www.pusbangsitek.com diakses tanggal 24 Nopember 2011
[19] Turmudi, dkk, Islam, Sains dan Teknologi Menggagas Bangunan Keilmuan Fakultas Sains dan Teknologi  Islami Masa Depan, (Malang: UIN Maliki Press, 2006), hlm, xv
[20] Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm, 260
[21] Ibid. Ahmad Barizi. Pendidikan Integratif … hlm, 260 & 261
[22] Imam Suprayogo.  Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, 2006. Malang: UIN-Malang Press. hlm. 66
[23] Ibid. Imam Suprayogo. Paaradigma Pengembangan… Hlm. 12
[24] Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. 2007. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 6
[25] Yasraf Amir Piliang. Bayang-Banyang Tuhan Agama dan Imajinasi. 2011.  Bandung: Mizan. Hlm. 37
[26] Op.Cit. . Imam Suprayogo. Paaradigma Pengembangan… Hlm. 13
[27] Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahua. Cet. Ke-2. 2005. Yogyakarta: Belukar. Hlm. 40
[28] Ibid. Yasraf Amir Piliang. Bayang-Banyang… Hlm. 53
[29] Ibid. Yasraf Amir Piliang. Bayang-Banyang Tuhan… Hlm. 59
[30] Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Intergatif-Interkonektif. 2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 105
[31] Ibid. Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi…. Hlm. 106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar