PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM
DI TIMUR TENGAH DAN ASIA TENGAH SERTA PENGARUHNYA TERHADAP NEGARA-NEGARA MUSLIM
(Analisis Terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna)
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam”
Dosen
Pengampu :
Dr. Muhammad Hadi Masruri, M.A
Pemakalah
:
MUHAMMAD
FURQAN
(16771006)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A. Dasar Pemikiran
Kata atau istilah yang
lebih dikenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata ini muncul dan lahir dari Barat, berawal dari adanya r (bahasa Inggris: renaissance) terkait dengan masalah agama. Dalam
masyarakat Barat kata modernisasi mengandung pengertian pikiran, aliran,
gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat,
institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan
pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Dalam bahasa Indonesia
selalu dipakai kata modern, modernisasi, dan medernisme, seperti umpamanya
dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi.”[2] Modernisasi merupakan proses yang biasanya
mengarah pada modernitas, yang berawal ketika suatu masyarakat mulai mengambil
sikap ingin tahu mengenai bagaimana orang membuat pilihan, baik itu pilihan
moral, pribadi, ekonomi, maupun politik.[3]
Modernisme Islam atau
pembaharuan dalam Islam yang
dimaksud bukanlah pembaharuan yang dilakukan terhadap ajaran-ajarannya yang
bersifat mutlak, akan tetapi adalah pembaharuan terhadap pola berpikir kepada
agamalah yang perlu diperbaharui. Pembaharuan pemikiran terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan masalah Islam itu sendiri, bukan dalam hal-hal dasar atau
fundamental dari ajaran Islam itu, tetapi yang perlu diperbaharui adalah
penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an
dan Hadist, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.[4]
Kajian tentang pembaruan dalam Islam adalah
salah satu bidang kajian Islam yang secara intens dilakukan oleh kalangan
pemerhati Islam. Hal ini terlihat dari banyaknya kajian yang membicarakan tema
tersebut, baik mengenai sejarahnya, tokoh, serta pemikiran pembaruannya.
Perbincangan dan pengkajian secara intens tersebut menunjukkan bahwa di
kalangan umat Islam, khususnya para ilmuwan Islam, telah terbangun suatu
pandangan bahwa pembaruan Islam merupakan suatu keniscayaan sekaligus sebagai
konsekuensi logis dari pengalaman ajaran Islam, terlebih lagi di era modern
umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan yang cukup signifikan.
Meskipun demikian, terjadi saling tarik-menarik sehingga menghasilkan isu
pembaruan Islam aktual sekaligus kontroversial sepanjang sejarah pemikiran
Islam.[5]
Dengan ungkapan lain bahwa terdapat kelompok
pro dan kontra terhadap pembaruan Islam, yaitu antara yang menganggap bahwa
pembaruan Islam sebagai suatu kelaziman untuk aktualisasi dan kontekstualisasi
ajaran Islam dengan yang melakukan perlawanan terhadap pembaruan Islam karena
pandangan bahwa Islam adalah agama pembawa kebenaran absolut sehingga upaya
pembaruan dipandang bertentangan dengan absolutisme Islam. Di samping itu,
penolakan tersebut didasari oleh suatu pandangan bahwa pembaruan (modernitas)
identik dengan kebudayaan Barat, sedangkan Barat diplot sebagai musuh Islam
baik secara politik maupun kultural.[6]
Melihat perbedaan di
atas, sesungguhnya perbedaan mendasar antara yang pro dan kontra terhadap
pembaruan ialah terletak pada kerangka metodologis dalam memahami Islam
sehingga perbedaan antara keduanya berada dalam wilayah pemahaman atau
penafsiran, bukan dalam wilayah yang sangat prinsip.[7] Oleh karenanya, pembaruan Islam pada permasalahan ini
dapat dipandang sebagai suatu keharusan.
Likulli marhalatin rijaluha,[8] setiap fase sejarah pasti memiliki pelaku sejarahnya,
yang mana mereka akan muncul sesuai dengan tuntutan dan tantangan yang terjadi
dalam fase tersebut. Islam berkembang sangat pesat dan memiliki akar
yang begitu banyak. Tradisi Islam senantiasa memandang penyebaran Islam yang
luar biasa ini sebagai bukti keajaiban dan kesahihan historis akan kebenaran Al-Qur’an dan klaim-klaim Islam dan sebagai
tanda adanya petunjuk dari Allah. Gejolak pembaharuan pertama dimulai abad
18-19 di Timur Tengah, yang mana disebabkan adanya kolonialisme bangsa-bangsa
Eropa pada abad ke-18 hingga pertengahan pertama abad ke-20 dan kegagalan
selanjutnya dari banyak negara Islam modern menyodorkan tantangan yang serius
atas kepercayaan ini.
Sepanjang sejarah Islam,
Mesir seringkali memperoleh posisi yang terpisah dari sentral kekuasan dan
selalu mendapatkan nidentitas regional. Semua itu tercermin pada kekuasaan
khalifah dan masa Utsmaniyah, yaitu kedudukannya sebagai negara semi otonomi.[9] Pasca runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun 1924
M, umat Islam sangat membutuhkan seorang tokoh yang cerdas, berpikiran tajam,
berkeyakinan kuat, serta memiliki perasaan yang peka dan tekad yang membaja.
Kualifikasi ini dapat ditemukan pada seorang tokoh yang terkenal di Timur
Tengah, yaitu: Hasan Al-Banna.
Hasan Al-Banna sangat
akrab dan tidak asing di telinga kita, yang mana beliau dikenal dengan “Al-Mulham
Al-Mauhu” (orang yang diberi ilham dan berbakat). Semua itu diberikan
kepada beliau sebagai penghormatan atas prestasi dan partisipasinya yang sangat
besar dalam membangun kembali umat Islam dan membangkitkan umat Islam dari
kejahiliyahan pada abad ke 20.[10]
Menelaah pemikiran Hasan
Al-Banna, tidak dapat dilupakan suatu organisasi yang dikenal dengan Ikhwan
Al-Muslimun (Himpunan Persaudaran Muslim), gerakan paling berpengaruh pada
abad ke-20 yang menagarahkan kembali masyarakat Muslim ke tatanan Islam murni.
Sampai masa itu, seruan pemabaruan agama dan pemulihan Islam ke posisi sentral
di kalangan Muslim terdidik masih terbatas daya tariknya dan belum berkembang
menjadi gerakan massa. Hassan Al-Banna mengubah mode intelektual elite menjadi
gejala populer yang kuat pengaruhnya pada interaksi antara agama dan politik,
bukan saja di Mesir, juga di dunia Arab dan negara Muslim lainnya.
Dalam pembaharuan Islam di
Timur Tengah terdapat tokoh-tokoh yang sangat terkenal selain Hassan Al-Banna,
di antaranya Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh Muhammad Rasyid Ridha, dan Ali Syari’ati. Maka pada kesempatan ini penulis tertarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai pembaruan pemikiran islam
di Timur Tengah atas pemikiran Hasan
Al-Banna yang sangat berpengaruh bagi Mesir.
B. Biografi
Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna lahir pada tahun 1906, di Al-Mahmudiyah salah satu desa wilayah Al-Buhairah Mesir. Dibesarkan dengan keluarga yang taat dalam beragama[11] serta dikenal dengan keluarga yang terpandang,
berpendidikan, dan kaya. Tetapi, semua itu tidak menjadikannya lupa diri atau
sombong dengan latar belakang yang dimilikinya. Al-Banna adalah putra sulung dari Syeikh Ahmad
Abdurrahman Al-Banna, yang dikenal dengan As-Sa’ati[12] dan
sangat terkenal di Mesir[13] serta
mempunyai peninggalan ilmiah seperti Al-Fath Al-Rabbani fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Al-Shaibani.[14]
Hasan Al-Banna mendapatkan
pendidikan langsung dari ayahnya, baik dalam menghafal Al-Qur’an[15] dan memulai pendidikan awalnya di sekolah Madrasahar-Rasyad
Ad-Diniyyah, yang mana disini beliau meneruskan hafalan Al-Qur’annya dan
belajar sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab di bawah
bimbingan Asy-Syaikh Zahran. Selanjutnya melanjutkan pendidikan ke Madrasah
I’dadiyah di Mahmudiyah dan di sinilah awal perkenalan Al-Banna terhadap
gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, yang mana Al-Banna berkecimpung dalam
Jami’yyatul Akhlaq Al-Adabiyyah dan menjadi ketua dalam organisasi
tersebut. Setelah menyelesaikan sekolahnya pada tahun 1920 beliau masuk ke
sekolah Al-Muallimin Al-Awwaliyah[16]di Damanhour, dan pada tahun 1923 Al-Banna meneruskan
pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi di Fakultas Dar El-Ulum Kairo dan
lulus pada tahun 1927 dengan menyandang predikat Cumlaude, setelah
kelulusannya Al-Banna mulai mengajar di Kota Isma’iliyah[17] dan disamping mengajar beliau juga melakukan dakwah Islamiah[18] kepada masyarakat yang ada di sana.
Alasan Al-Banna melakukan
dakwah adalah, karena melihat suasana rakyat Mesir yang telah mengalami
kerusakan di dalam berbagai dimensi kehidupan. Seperti adanya perbedaan dan
kesenjangan yang mencolok antara kehidupan bangsa Mesir yang menjadi pekerja
kasar di perkampungan dengan kehidupan orang yang berkulit putih tinggal di gedung
megah. Di samping kemiskinan dan kebodohan juga terdapat kerusakan moral yang
diakibatkan dari pengaruh kehidupan Barat dengan tujuan untuk menjajah dan
menghancurkan rakyat Mesir.[19]
Maka Al-Banna kemudian mewakafkan seluruh
hidupnya untuk mengabdi kepada kebangkitan Islam dalam rentang usia sekitar 43
tahun.[20] Ia
memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh
oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak
'titipan' pemerintah pada 12
Februari 1949 di Kairo. Kepergian Hassan Al-Banna pun menjadi duka berkepanjangan
bagi umat Islam. Ia mewariskan 2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da'i serta Kumpulan Surat-surat. Selain
itu Hasan Al-Banna mewariskan
semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.[21]
C. Karya-Karya
Hasan Al-Banna
Selain sebagai seorang Ilmuwan, Al-Banna juga banyak meluncurkan
berbagai tulisan baik yang bersumber dari hasil ceramah maupun kritik-kritiknya
atas pemerintahan Mesir. Di antara
karya-karyanya, antara lain:[22]
1. Allah fi
al-‘Aqidah al-Islamiyah (Allah Menurut Aqidah Islamiyah).
2. Ila
al-Thulab (Kepada Para Mahasiswa).
3. Risalah
al-‘Aqaid (Risalah Aqidah).
4. Risalah
al-Mu’tamar al-sadis (Risalah Mu’tamar Keenam).
5. Qadhiyyatuna
baina yadai al-Ra’yi al-‘Am al-Mishri wa al-‘Arabi wa al-Islami wa al-Dhamir
al-Insani al-‘Alami (Persoalan kita di tengah-tengah opini umum
dan masyarakat Mesir Arab, Islam, dan Nurani manusia sedunia).
6. Majmu’at
Rasail al-Imam al-Syahid Hasan Al-Banna (Kumpulan risalah Imam Syahid Hasan al-Banna).
7. Nizam
al-Usar wa al-Risalah al-ta’lim (Sistem usrah dan risalah Ta’lim)
8.
Al-Mar’ah al-Muslimah
(Perempuan yang Muslimah).
Hasan Al-Banna
mewariskan dua karya monumental yaitu Mudzakkirat Al-Dakwah
wa Da’iyah (Catatan
Harian Dakwah dan Dai), dan Majmu’ah Rasail (Kumpulan Surat-surat).[23] Majmu’ah Rasail terdiri dari beberapa risalah
antara lain
sebagaimana yang disebutkan oleh Ali Abdul Halim Mahmud, yaitu:
·
Risalah “Akidah” (رسالة الأقائد) ditulis
pada tahun 1350 H /1931 M, dalam
risalah ini Al-Banna
mengumumkan target dan tujuan Ikhwan sejalan dengan masa pertumbuhannya.
Dalam risalah ini
juga ditetapkan berbagai
dimensi dakwah Islamiyah, serta menegaskan sejak semula bahwa
target Ikhwan adalah
untuk mewujudkan kebaikan duniawi dan ukhrawi.
·
Risalah “Dakwah
Kami” دعوتنا))
ditulis pada tahun 1936 M. Berisi tentang program dan tujuan Ikhwan. Dalam
risalah ini Al-Banna
membagi masyarakat ke dalam empat
tipe manusia, yaitu orang
mukmin, orang yang ragu-ragu,
orang yang oportunis, dan orang yang memusuhi. Dan ia juga menjelaskan bahwa
dakwah Ikhwan menyentuh semua sendi kehidupan. Artinya Islam adalah agama
yang mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia.
·
Risalah “Ke Mana Kami Membawa Umat” (إلى أي شئ ندعو الناس) ditulis pada tahun 1936 M, di dalamnya membahas
masalah agama, politik, dan nasionalisme secara jelas dan meyakinkan.
·
Risalah “Menuju Cahaya” (نحو
النور)
ditulis tahun 1936 M, dan ditujukan
kepada Raja Faruk, kepada kepala
pemerintahan pada saat itu, Mustafa Al-Nahas
Pasha, dan seluruh raja, amir, dan penguasa
di semua negara Islam. Di
dalamnya Al-Banna menekankan pentingnya membebaskan umat
Islam dari segala bentuk ikatan politik yang membelenggunya, dengan menggunakan segala cara
yang legal, dan dengan menerapkan
sistem Islam. Dalam risalah ini
pula Hasan Al-Banna mencantumkan Indonesia sebagai salah satu negara yang harus
mendapat perhatian oleh orang-orang
Islam karena Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia yang masih berada dalam
jajahan Belanda.
·
Risalah “Untukmu Para Pemuda” إلي ألشباب)), ditulis juga pada tahun 1936 M, di dalamnya Al-Banna menjelaskan bentuk amal Islami yang hendaknya dilaksanakan para pemuda. Amal itu berupa
pembentukan pribadi Muslim, rumah tangga Muslim, masyarakat Muslim, pemerintah Muslim,
dan bangsa Muslim
dengan menyatukan seluruh
negara Islam yang sudah dipecah belah akibat perbedaan politik. Al-Banna juga menjelaskan bahwa keberhasilan
suatu konsep ditentukan oleh empat faktor yakni keimanan,
keikhlasan, semangat dan usaha.
·
Risalah yang ditujukan kepada “Konferensi
Pelajar”, merupakan teks pidato
yang disampaikan Al-Banna
pada bulan Muharram
1357 H /Maret 1938 M di hadapan
para pelajar Muslim. Di dalamnya Al-Banna menyinggung masalah Islam dan politik,
kebebasan berpendapat sebagai hal yang sangat penting dalam mencari kebenaran.
·
Risalah “Ikhwanul Muslimin di Bawah Bendera Al-Qur’an”, ini adalah pidato yang disampaikan Al Banna pada tanggal 14 Shafar 1358 H/4April 1939 M, berisi ajakan
untuk kembali kepada Islam yaitu menyandarkan
segala sendi kehidupan pada Al-Qur’an dan
sunnah.
·
Risalah “Antara Kemarin dan Hari Ini” (رسالة الأمس و اليوم), ditulis pada tahun
1942 M. Di dalamnya Al-Banna membicarakan sistem pendidikan secara serius dan mendalam.
·
Risalah “Pengarahan” رسالة التعليم)), ditulis pada tahun 1943 M. Di dalamnya
Al-Banna
mengungkapkan program pendidikan
dan pembinaan jama’ah, serta
target dan sarana pendidikan mereka.
Hasan Al-Banna
tidak banyak meninggalkan buku sebagai warisan pemikirannya. Karena, menurut
beliau buku bukanlah tempat yang tepat untuk menitipkan pemikiran-pemikirannya ke dalam khazanah sejarah
pemikiran Islam, yang mana nantinya buku akan tersimpan dan usang di rak serta sedikit yang membacanya.
Menurut beliau ada satu tempat yang tepat dan lebih abadi, yaitu manusia.
Karena cita-cita Al-Banna adalah untuk mencetak manusia.[24]
D. Pembaruan di Timur Tengah Pemikiran Hasan Al-Banna (1906-1949)
1.
Latar Belakang Pemikiran Hasan
Al-Banna
Mengingat cita-cita Syekh Ahmad, yaitu
menginginkan putranya (Al-Banna)
menjadi seorang mujahid (pejuang) dan menjadi seorang mujaddid
(pembaharu).[25] Oleh karena itu, sejak kecil Al-Banna langsung
didik oleh ayahnya sendiri terutama dalam mengahafal Al-Qur’an dan tersedianya perpustakaan
pribadi di rumah. Sehingga dunia Islam sangat mengenal sosok Hasan Al-Banna,
yang mana beliau dikenal sebagai mujahid dakwah dan pembangkit umat Islam.
Hasan Al-Banna
berpandangan bahwa kelemahan dan kerentanan Muslim terhadap dominasi Eropa
disebabkan oleh penyimpangan kaum Muslim dari Islam sejati. Untuk membangkitkan
Mesir kembali maka kaum Muslim harus bertekad kembali memahami dan hidup
menurut Islam seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti
yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan Khulafa Ar-Rasyidin tentang
tatanan Islam yang komprehensif. Dunia Islam semakin lemah, hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya: perebutan kekuasaan, perpecahan akibat
soal-soal sekunder, kemewahan penguasa, pemerintahan oleh non-Arab seperti
Turki dan Persia yang tak pernah tahu Islam sejati, kurangnya minat pada
ilmu-ilmu praktis, dan taklid buta pada otoritas.[26]
Pemikiran pembaharuan Hasan
al-Banna berdasarkan atas keyakinan bahwa agama Islam adalah agama universal
yang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, yang mana Al-Banna mengubah
wacana menjadi sebuah gerakan. Hal unik inilah yang menjadi pembeda dengan para
pembaharu dan pembangkit sebelumnya.
2.
Pemikiran Hasan Al-Banna
a.
Dalam Bidang Politik
Hasan Al-Banna bercita-cita mendirikan negara
yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, yang mana gagasan
ini dibuktikan dari bunyi suratnya kepada Raja Faruk yang menyatakan bahwa “Di dunia ini, tidak ada sistem yang mampu
mempersenjatai bangsa dalam kebangkitan kecuali Islam”.
Kecenderungan Hasan Al-Banna
dalam ide pembaharuannya tentang aspek politik ini sangat realistis, sebab Al-Banna memandang Islam adalah agama yang universal[27] dalam
menyentuh aspek masyarakat.
Ide pembaharuan
Hasan Al-Banna
dalam bidang politik pada dasarnya bukanlah untuk merebut kekuasaan dari tangan
penguasa, akan tetapi semata-mata untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan
masyarakat dan bernegara. Menurutnya pemerintah
tidak mutlak diperintah oleh ulama atau tokoh partai Islam, akan tetapi siapa
saja yang mempunyai kemampuan dan sanggup menerapkan ajaran Islam. Sehingga pada tahun 1939 Ikhwanul Muslimin[28] yang diketuai oleh Hasan Al-Banna memproklamasikan diri
sebagai gerakan politik[29] pada tahun itu dengan alasan dan tujuan. Pertama
membebaskan negara Islam dari penguasa asing. Kedua, mendirikan negara
Islam yang bebas melaksanakan hukum Islam, menerapkan sistem sosial masyarakat
dan menyampaikan prinsip dan dakwahnya kepada seluruh manusia. Organisasi ini
bertambah besar, dan mengembangkan struktur administrasi, sehingga selama
sepuluh tahun berikutnya Ikhwanul Muslimin menerbitkan persnya sendiri, dan
program budayanya sendiri.
b.
Bidang Pendidikan
Konsep Hasan Al-Banna tentang pendidikan diarahkan pada
pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Yaitu,
Al-Banna berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis di antara pendidikan agama dan pendidikan umum.
Pendidikan dipandang sebagai proses aktualisasi potensi-potensi yang dimiliki
anak didik dengan jalan mewariskan nilai-nilai ajaran Islam. Aktualisasi
potensi-potensi yang dikehendaki oleh Hasan Al-Banna adalah dapat melahirkan sosok individu
yang memiliki kekuatan jasmani, akal, dan qalb[30] guna
mengabdi kepada Allah, serta mampu menciptakan lingkungan hidup yang damai dan
tentram. Oleh karena itu, pendidikan menurut Hasan Al-Banna harus bersumber dari Al-Qur’an beserta
tafsirannya dan
As-Sunnah[31] serta
berorientasi pada ketuhanan, bercorak universal dan terpadu, bersifat positif
konstruktif, serta membentuk persaudaraan dan keseimbangan dalam hidup dan
kehidupan manusia.
Al-Banna berusaha mewujudkan
harapannya dalam pendidikan dengan cara
menetapkan enam aspek pendidikan, yaitu:[32]
·
Pertama, aspek
Inteligensi (akal).
Pendidikan Intelektual atau pengembangan wawasan (tarbiyah
aqliyah wa ma’rifatiyah) yang mana pada aspek ini adalah keyakinan bahwa
Islam tidak membekukan pikiran tetapi justru membebaskan dan mendorong manusia
untuk melakukan pengamatan dan observasi alam. Allah telah menganugerahkan
kepada manusia seperangkat ilmu (akal dan indera) dan memerintahkan untuk
meneliti dan berpikir agar tidak mematikan potensi akal, seperti firman Allah:
¨bÎ)
Îû
È,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏG÷z$#ur
È@ø©9$#
Í$yg¨Y9$#ur
Å7ù=àÿø9$#ur
ÓÉL©9$#
ÌøgrB
Îû
Ìóst7ø9$#
$yJÎ/
ßìxÿZt
}¨$¨Z9$#
!$tBur
tAtRr&
ª!$#
z`ÏB
Ïä!$yJ¡¡9$#
`ÏB
&ä!$¨B
$uômr'sù
ÏmÎ/
uÚöF{$#
y֏t/
$pkÌEöqtB
£]t/ur
$pkÏù
`ÏB
Èe@à2
7p/!#y
É#ÎóÇs?ur
Ëx»tÌh9$#
É>$ys¡¡9$#ur
̤|¡ßJø9$#
tû÷üt/
Ïä!$yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbqè=É)÷èt
ÇÊÏÍÈ
Artinya: “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah: 164).
·
Kedua, aspek pendidikan moral[33] (tarbiyah
khiluqiyah), aspek ini begitu penting karena semua bentuk pendidikan
mengandung aktivitas moral, baik secara tersirat maupun tersurat. Tujuannya
adalah agar manusia memiliki nurani yang terjaga dengan baik, karena nurani
akan dapat menjadi pengontrol bagi
segala tingkah laku manusia, dan Al-Banna memprioritaskan pembinaan akhlak
dengan penanaman sifat sabar, cita-cita
yang luhur, amanah dan pengorbanan. Karena menurutnya kekuatan akan lebih mudah
dibangun jika dilandasi dengan akhlak mulia. Sebaliknya, kekuatan akan mudah
runtuh jika dilandasi dengan akhlak tercela. Sehingga dalam pembinaan akhlak
ini, Al-Banna mendirikan madrasah khusus pada setiap hari Jum’at.
·
Ketiga, aspek pendidikan jasmani dan ruhani. Di samping pembinaan ruhani, Al-Banna
tidak mengabaikan jasmani, karena tubuh adalah sarana manusia untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan dunia. Kesehatan
memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa dan akal, sehingga dapat dikatakan (mens
sana in corpore sano)[34] jiwa
yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat. Tubuh yang sakit tidak akan mampu
melaksanakan tugas secara optimal, oleh karena itu perlu adanya perhatian yang
khusus terhadap kesehatan.
·
Keempat, aspek pendidikan jihad.[35] Diantara aspek pendidikan Ikhwanul Muslimin
yang paling menonjol adalah pendidikan jihad, bukan pendidikan kemiliteran.
Karena, arti dari jihad lebih luas daripada kemiliteran, yang mana pendidikan
jihad ditanamkan Al-Banna melalui berbagai macam media, baik pendidikan, dakwah,
maupun majalah yang difokuskan pada pengembangan semangat jihad dan rela
berkorban untuk menegakkan agama Allah. Menurut Al-Banna, jihad bukan sebatas
pada perang fisik melawan musuh, melainkan juga perang terhadap perilaku yang
tidak dibenarkan oleh Al-Qur’an dan Hadits (bid’ah dan kemungkaran). Di sini Al-Banna membagi tingkatan jihad menjadi
tiga, tingkatan jihad yang paling rendah adalah penolakan hati, tingkatan jihad
yang paling tinggi adalah berperang di jalan
Allah, tingkatan jihad di antara
keduanya berupa lisan dan tulisan.
·
Kelima, aspek pendidikan politik. Pendidikan politik
mendapat perhatian yang sangat besar dari Al-Banna, hal ini dapat dilihat dari
sejarah berdirinya Ikhwanul Muslimin, yang mana sebelum munculnya Al-Banna di
Mesir politik kurang mendapatkan perhatian umat Islam. Pengertian politik
menjadi pertentangan bagaikan hitam dan putih, belum ada pemikiran bahwa
keduanya dapat disatukan. Banyak
pandangan yang mengatakan bahwa umat Islam haram untuk berpolitik, dan
sebaliknya orang yang berpolitik tidak berkenan mencampuri soal-soal agama.
Melihat hal tersebut, Al-Banna merasa terpanggil diri untuk berjuang meluruskan
persepsi yang kurang benar dan tujuan utama dari pendidikan politik ini adalah
untuk mewujudkan pemerintah Islam yang bersatu dan memiliki kekuatan di Mesir.
Sedangkan alasan utamnya adalah ingin melepaskan penjajahan imperialism
terhadap negara Islam, terutama Mesir.[36] Semua berasal dari kaum imperialis dengan
maksud agar umat Islam tidak memikirkan urusan dunia atau berasal dari
pemikiran kaum sufi. Pendidikan politik yang diberikan Al-Banna didasarkan pada
beberapa prinsip, divantaranya:
- Memperkuat
kesadaran dan perasaan wajib membebaskan negara Islam dari setiap kekuasaan
asing dan mengusir penjajah dari negeri Islam.
- Membangkitkan
kesadaran dan perasaan atas wajibnya mendirikan pemerintahan Islam.
- Membangkitkan
kesadaran dan perasaan akan wajib terwujudnya kesatuan Islam.
·
Keenam, aspek pendidikan sosial (tarbiyah
ijtima’iyah). Al-Banna
sangat memperhatikan pentingnya pendidikan sosial, karena membentuk individu
menjadi karakter sosial pada dasarnya adalah pembebasan, yaitu pembebasan
individu dari berbagai refleksi yang bertentangan dengan kecenderungan sosial.
Tujuan dari pendidikan sosial ini adalah sebagai sarana efektif untuk mengubah
manusia dan mengajarkannya berbagai macam cara hidup bersama dengan orang lain
dan bagaimana menciptakan jaringan interaksi dalam melaksanakan aktivitas
bersama. Al-Banna mewajibkan para anggotanya untuk berakhlak sosial, seperti al-Muakhah,
al-Tafahum, dan al-Takaful.[37]
c.
Bidang Ekonomi
Hasan
Al-Banna memiliki pemikiran nasionalisme ekonomi. Di masa
abad 20, Mesir masih ada dalam kendali Inggris
yang mendominasinya dalam mata uang yaitu memakai mata uang Inggris (Pound). Al-Banna mengatakan bahwa sepatutnya Mesir
sudah saatnya
untuk memiliki mata uang sendiri berstandar emas (Dinar). Oleh karena itu Mesir
perlu memutuskan hubungan dengan blok Steriling Inggris dan mengeluarkan mata
uangnya sendiri yang berdasar pada standar emas. Manajeman mata uang yang baik
akan dapat mengendalikan inflasi Mesir yang tinggi, dan akan menciptakan
kondisi yang lebih menguntungkan keseimbangan perdagangan luar negeri Mesir.
Selain itu, Al-Banna melakukan Mesirisasi atas perusahaan swasta dan di bidang
real estate, transportasi, dan keperluan umum. Untuk
mewujudkan visi ekonomi Islam ini, Ikhwanul Muslimin tidak tinggal diam, mereka
mendirikan perusahaan pemintalan dan tenun, perusahaan perdagangan dan rekaya,
dan pers Islam.[38] Walaupun kesuksesan dalam aktivitas ini biasa
saja, namun dapat kita lihat keselarasan antara aktivitas ekonomi dan idealisme
agama.
E.
Eksistensi Ikhwanul Muslimin dalam Dunia Islam
Ikhwanul
Muslimin (IM) adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut
ditegakkannya syariat Allah swt, hidup
di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih,
bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari,
pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah (pemikiran), syariah yang mengatur Al-Jawarih
(anggota tubuh), perilaku dan politik. Yang mana
lahir dan berkembangnya Ikhwanul Muslimin tidak dapat dilepaskan dari upaya
yang dilakukan oleh Al-Banna sebagai pendirinya. Ikhwanul didirikan pada bulan
Zulka’dah 1346 H/ Maret 1928 M bersama enam tokoh lainnya.[39]
Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin
dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan pada
24 September 1930. Selanjutnya, pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul
Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di
Suez, Abu Soweir dan Al-Mahmoudiya.
Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin
oleh Muhibuddin Khatib.
Tujuan Ikhwanul Muslimin
adalah untuk mewujudkan terbentuknya sosok individu Muslim, rumah tangga
Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh
negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum Muslimin dan negara mereka yang
terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia
mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Namun sayang sekali ajaran shufi
kental sekali memengaruhi organisasi ini. Ikhwanul Muslimin menolak segala
bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat. Yang mana tujuan tersebut selaras dengan visi yang diucapakan oleh
Al-Banna “Kami menginginkan terbentuknya sosok individu Muslim, rumah tangga
Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh
negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum Muslimin dan negara mereka yang
terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia
mendapatkan ketenteraman dengan ajaran-ajaran Islam”.[40] Ikhwanul Muslimin adalah
pembaharuan yang sangat besar ketika itu dan pengaruhnya masih bisa dirasakan
hingga sekarang, karena perkembangannya yang sangat pesat.
Pimpinan Ikhwanul Muslimin disebut Mursyid
'Am atau Ketua Umum. Adapun tugas dari Mursyid 'Am adalah untuk
mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia. Para pemimpin itu
adalah: Hassan Al-Banna
(1928- 1949), Hassan Al-Hudhaibi
(1949-1972), Umar At-Tilmisani
(1972-1986), Muhammad Hamid Abu Nasr (1986 -1996), Mustafa Masyhur (1996-2002),
Ma'mun Al-Hudhaibi
(2002-2004), Muhammad Mahdi Akif (2004 –
2010), Muhammad Badie (2010 - Sekarang).[41]
Perkembangan Ikhwanul Muslimin pada tahun
1930-1948.[42] Adanya pembentukan divisi Persaudaraan Muslimah
pada tahun 1934. Divisi
ini ditujukan untuk para wanita yang ingin bergabung ke Ikhwanul Muslimin.
Walaupun begitu, pada tahun 1941 gerakan Ikhwanul Muslimin masih beranggotakan
100 orang, yang merupakan hasil seleksi dari Hassan Al-Banna. Pada tahun 1948, Ikhwanul Muslimin
turut serta terlibat dalam perang melawan Israel di Palestina. Saat organisasi ini sedang berkembang pesat,
Ikhwanul Muslimin justru dibekukan oleh Muhammad Fahmi Naqrasyi, Perdana
Menteri Mesir tahun 1948. Berita
penculikan Naqrasyi di media massa tak lama setelah pembekuan Ikhwanul Muslimin
membuat semua orang curiga pada gerakan Ikhwanul Muslimin.
Perkembangan pada tahun 1950-1970.[43] Ada
sesuatu yang aneh dan misterius pada tahun 1949 yang bertepatan pada bulan
Februari, pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan Al-Banna meninggal dunia karena dibunuh pada
tanggal 12 Februari 1949. Kemudian, pada tahun 1950, pemerintah Mesir
merehabilitasi organisasi Ikhwanul Muslimin. Pada
saat itu, parlemen Mesir dipimpin oleh Mustafa An-Nuhas Pasha. Parlemen
Mesir menganggap bahwa pembekuan Ikhwanul Muslimin tidak sah dan
inkonstitusional. Ikhwanul Muslimin pada tahun 1950 dipimpin oleh Hasan Al-Hudhaibi.
Selanjutnya, pada tanggal 23 Juli 1952, Mesir dibawah pimpinan Muhammad Najib
bekerjasama dengan Ikhwanul Muslimin dalam rencana menggulingkan kekuasaan
monarki Raja Faruk pada peristiwa Revolusi Juli. Tapi,
Ikhwanul Muslimin menolak rencana ini, dikarenakan tujuan Revolusi Juli adalah
untuk membentuk Republik Mesir yang dikuasai oleh militer sepenuhnya, dan tidak
berpihak pada rakyat. Karena hal ini, Jamal Abdul Nasir menganggap gerakan
Ikhwanul Muslimin menolak mandat revolusi. Sejak
saat ini, Ikhwanul Muslimin kembali dibenci oleh pemerintah.
Perkembangan pada tahun 1970 hingga sekarang.[44] Ketika Anwar Sadat mulai berkuasa, anggota
Ikhwanul Muslimin yang dipenjara mulai dilepaskan. Menggantikan Hudhaibi yang telah meninggal pada
tahun 1973, Umar Tilmisani memimpin organisasi Ikhwanul Muslimin. Kemudian Umar
Tilmisani menempuh jalan moderat dengan cara tidak bermusuhan dengan penguasa.
Rezim Hosni Mubarak saat ini juga menekan Ikhwanul Muslimin, dimana Ikhwanul Muslimin
menduduki posisi sebagai oposisi[45] di
Parlemen Mesir.
Ikhwanul Muslimin memiliki
landasan berupa: Allah tujuan kami (Allahu ghayatuna), Rasulullah
teladan kami (Ar-Rasul qudwatuna), Al-Qur'an landasan hukum kami (Al-Quran
dusturuna), jihad jalan kami (Al-Jihad sabiluna), mati syahid di
jalan Allah cita-cita kami yang tertinggi (Syahid fiisabilillah asma amanina).[46]
Ikhwanul Muslimin masuk ke Indonesia melalui
jamaah haji dan kaum pendatang Arab sekitar tahun 1930. Ikhwanul Muslimin
memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Atas
desakan Ikhwanul Muslimin, negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui
secara de facto (bukan de jure) kemerdekaan Republik Indonesia,
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan Hal
ini akhirnya diikuti oleh beberapa negara dengan status seperti Mesir dan
akhirnya Vatican sebagai negara berdaulat penuh yang pertama mengakui
Indonesia. Ikhwanul Muslimin
kemudian semakin berkembang di Indonesia setelah Muhammad Natsir mendirikan
partai yang memakai ajaran Ikhwanul Muslimin, yaitu Partai Masyumi. Partai
Masyumi kemudian dibredel oleh Soekarno dan dilarang keberadaannya di Indonesia.[47]
Sejak awal mula didirikan pergerakan ini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut Syi'ah
Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud (bersatunya hamba dengan Dzat
Allah), bahwa kenabian dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya
menulis dan mengarang. Jamaludin Al-Afghani kerap mengajak kepada
pendekatan Sunni-Syiah, bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama. Gerakan
itu lalu bergabung ke banyak negara seperti: Syiria, Yordania, Iraq, Libanon,
Yaman, Sudan dan lain sebagainya. Jamaludin Al-Afghani telah dinyatakan oleh
para ulama negeri Turki, dan sebagian masyayikh (para Syaikh Ahlus
Sunnah) Mesir sebagai orang mulhid, kafir, zindiq, dan keluar
dari Islam.[48] Pengaruh pemikiran Jamaludin Al-Afghani terhadap
Ikhwanul Muslimin adalah: menempatkan politik sebagai prioritas utama, mengorganisasikan
secara rahasia, menyerukan peraturan hukum demokrasi, menghidupkan dan menyebarkan
seruan nasionalis, mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah,
berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nashrani.
F.
Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan
mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan pembaruan pemikiran Islam di Timur Tengah dan pengaruhnya
terhadap negara-negara Muslim (analisis terhadap pemikiran Hasan Al-Banna), yaitu sebagai berikut:
·
Hasan Al-Banna adalah salah satu tokoh dan
pemikir Islam yang punya kepedulian terhadap perkembangan Islam dan masyarakat
Muslim. Pembaharu dan perintis bagi
sebuah gerakan Islam yang sangat besar pada abad ke 20, yang mana Al-Banna
mewakafkan dirinya untuk kebangkitan Islam dan pengaruhnya masih bisa kita
rasakan hingga saat ini.
·
Pembaharuan yang dilakukan oleh Al-Banna adalah melalui Gerakan dan Dakwah, yang
mana sebagai aset bagi kelangsungan Al-Ikhwan Al-Muslimun dalam
mengembangkan risalah dakwah Islamiyah, semua terjadi dengan proses yang tidak
sebentar, namun melalui latihan intensif mengisi diri dengan berbagai bekal
yang dibutuhkan oleh pergerakan, dan mampu memprediksikan strategi dakwah yang
dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga ia bergerak di berbagai bidang seperti bidang politik,
pendidikan, dan ekonomi.
·
Ikhwanul Muslimin
(IM) adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut
ditegakkannya syariat Allah swt, hidup
di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih,
bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari,
pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah (pemikiran), syariah yang mengatur Al-Jawarih (anggota
tubuh), perilaku dan politik yang
mana pendirinya adalah Hasan Al-Banna.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hamid Al-Ghazali, Merentas Jalan Kebangkitan Islam: Peta pemikiran Hasan
Al-Banna, Terj. Wahid
Ahmadi, Solo: Era Intermedia, 2001.
Abdul Kholiq,
Pemikiran Pendidikan Islam
Kajian Tokoh Ktasik
dan Kontemporer, Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar, 1999.
Abu
Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Ali
Abdul halim Mahmud, Metode
Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Terj. Syafril Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Hery
Muhammad, dkk, Tokoh-Tokoh
Islam yang Berpengaruh Abad 20,
Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
John Cooper, dkk, Pemikiran
Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta: Erlangga,
2002.
Kamarudin,
Jihad dalam Perspektif Hadits, dalam Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 1,
April 2008.
M. Din Syamsudin, Mengapa Pembaruan Islam?, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV, 1993.
Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI,
Jakarta: Misaka Galizha, 2003.
Musthafa
Muhammad Thahhan, Pemikiran Moderat Hasan Al-Banna, Terj. Akmal
Burhanuddin, Bandung: Harakatuna, 2007.
Otoman, Pemikiran
Politik Hasan Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam, dalam Jurnal
Tamddun, Vol. XV, No. 1, Januari-Juni
2015.
Rosmaladewi,
Pemikiran Politik Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Nurani, Vol. 15, No. 2,
Desember, 2015.
Rosmani
Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, dalam Jurnal
Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.
Syamsul
Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Yusran Asmuni, Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
Yusuf
Al-Qardhawi, Metodelogi
Hasan Al-Banna dalam
Memahami Islam, Terj. Muhammad Nuruddin Usman, Solo:
Media Insani Press, 2006.
https://id.wikipedia.org
[1] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan
Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.
1.
[2]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 3.
[3] John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad
Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. xiii.
[5] M. Din Syamsudin, Mengapa Pembaruan Islam?, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV, 1993, hlm. 68-69.
yang berjudul “Pembaruan Diskursus Pemikiran Keagamaan. Lihat Al-Qadi, Tajdîd Al-Khitab.
[8] Musthafa Muhammad Thahhan, Pemikiran Moderat
Hasan Al-Banna, Terj. Akmal
Burhanuddin, (Bandung: Harakatuna, 2007), hlm. xv
[9] Rosmaladewi,
Pemikiran Politik Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Nurani, Vol. 15, No. 2,
Desember, 2015.
[10] Yusuf Al-Qardhawi, Metodelogi Hasan Al-Banna dalam Memahami Islam, Terj. Muhammad Nuruddin Usman, (Solo: Media Insani Press, 2006), hlm. 7.
[11] Dengan asuhan secara Islami, sehingga beliau berkata “Hanya Islamlah ayah kandungku”. Hal ini merupakan rasa
cinta terhadap ajaran Islam dan ajaran itulah yang membentuk watak dan
kepribadiannya. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 408.
[12] As-Sa’ati adalah tukang arloji, yang mana selain menjadi
tukang arloji juga sebagai imam masjid dan guru agama di masjid. Lihat Abu
Muhammad Iqbal, Pemikiran, hlm. 408.
[13] Syeikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna
menguasai ilmu fiqh, tauhid, ilmu bahasa dan mengahafal Al-Qur’an. Bahkan
pernah belajar sebagai mahasiswa Al-Azhar pada waktu Muhammad Abduh mengajar di
lembaga tersebut. Lihat Muhammad Iqbal, Pemikiran, hlm. 408.
[14] As-Sa’ati mengedit sebagian dari Musnad Ahmad ibn Hanbal
dan Musnad-musnad lainnya dan menulis sharahnya yang berjudul Bulugh
Al-Amami min Asrar Al-fath Al-Rabbani. Lihat Otoman, Pemikiran Politik Hasan
Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam, dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No. 1, Januari-Juni
2015.
[15] Ayahnya membimbingnya secara langsung menghafal
Al-Qur’an serta senantiasa memberi dorongan membaca di perpustakaannya yang penuh dengan buku. Lihat
Ali Abdul halim Mahmud, Metode
Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Terj. Syafril Halim,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 23.
[16] Disinilah ia berkenalan dengan tarekat Shufi
Al-Hashafiyyah, dan terkagum-kagum dengan majelis dzikir dan lantunan nasyid
yang didengarkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut.
[17] Setelah
lulus, tepatnya sejak bulan September 1927 Al-Banna diangkat menjadi guru SD di lingkungan Departemen Pendidikan dan
ditempatkan di kota Isma’iliyah. Lihat Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 23.
[18]
Disamping menunaikan tugas mengajar beliau aktif berdakwah , yang mana
aktifitas dakwahnya dimulai dari masjid ke masjid dan kedai-kedai kopi. Dengan
bermodalkan kekarismatikan dan teknik dakwah yang dapat menyentuh para audiens,
semakin banyak orang yang beragama Islam empati kepada beliau. Dan dengan kecerdasannya beliau melihat
bahwa ada beberapa kelompok masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk
mensukseskan misi dakwah. Masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan
dalam empat kelompok, yaitu pemuka agama, tokoh tarekat, tokoh masyarakat, dan
para jamah. Lihat Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 156.
[19] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan
Islam, hlm. 409.
[20] Separo pertama dari usianya dihabiskan untuk
mengidentifikasi permasalahan umat dan merumuskan jalan kebangkitannya serta
kemudian menyiapkan diri untuk memimpin gerakan kebangkitan Islam, dan paro
kedua dari usianya untuk memimpin gerakan kebangkitan dengan seganap pikiran,
jiwa dan raganya. Lihat Abdul Hamid Al-Ghazali, Merentas Jalan
Kebangkitan Islam: Peta pemikiran Hasan Al-Banna, Terj. Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001),
hlm. vii.
[23] Hery
Muhammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm.
206.
[25] Abdul
Kholiq, Pemikiran Pendidikan
Islam Kajian Tokoh
Ktasik dan Kontemporer, (Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 253.
[26] Rosmani Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran
Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.
[27] Islam adalah sistem yang menyeluruh dan menyentuh seluruh segi kehidupan. Islam adalah
negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlaq dan kekuatan, rahmat dan
keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber
daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran.
Sebagaimana islam juga aqidah yang lurus dan ibadah yang benar. Lihat Yusuf Al-Qardhawi, Metodelogi Hasan Al-Banna, hlm. 19.
[28] Ikhwanul Muslimin (IM) adalah sebuah organisasi
pergerakan Islam kontemporer yang besar. Organisasi
ini tersebar kurang lebih 70
negara, tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga di wilayah lainnya, dan
organisasi ini didirikan oleh Hasan Al-Banna di Mesir pada bulan April 1928.
Organisasi ini menyeru untuk kembali kepada Islam, sebagaimana terdapat dalam
Al-Qur’an dan
Sunnah yang mengajak untuk menerapkan syari’at Islam dalam realitas kehidupan,
mengembalikan kejayaan Islam dan berdiri menentang arus sekularisasi di kawasan
Arab dan dunia Islam. Lihat Otoman, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna dan
Pembentukan Radikalisme Islam, dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No. 1,
Januari-Juni 2015.
[29] Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm.
36.
[30] Hakikat manusia bukanlah terletak pada
bentuk fisiknya, melainkan pada jiwa yang bersemi pada fisik yang disegerakanNya.
Hakikat itu adalah segumpal darah (mudghah). Bila ia baik maka baiklah hidup
seluruhnya, dan bila ia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya, itulah hati. Hati
adalah suatu wujud yang dapat menghubungkan manusia dengan rahasia hidup dan
rahasia hidup wujud dan mengangkatnya dari alam bumi ke alam yang tinggi, dari
makhluk kepada Khaliq. Lihat Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak
Pemikiran Tokoh, hlm. 162.
[31] Madrasah Hasan Al-Banna dibangun dengan
landasan agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan tafsirannya, terutama
mengutamakan tafsir salaf seperti Tafsir Ibnu Katsir. Dan sumber yang kedua
adalah Al-Hadits dengan keauntentikan dan syarahnya berpegang kepada imam-imam
Hadits yang terpercaya. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam,
hlm. 412.
[33] Pendidikan
moral adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang
harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh seseorang. Lihat Mukhtar, Desain
Pembelajaran PAI, (Jakarta: Misaka Galizha, 2003), hlm. 131.
[34] Kalimat “mens sana in corpore sano”, adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang
artinya adalah “jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat”. Maksudnya jiwa
seseorang sehat, maka tubuhnya akan sehat juga. Begitupun sebaliknya.
[35] Mengarahkan segala kemampuan untuk menangkis
serangan dan menghadapi musuh
yang tidak nampak
seperti hawa nafsu, syaithan dan musuh yang tampak seperti orang-orang kafir.
Lihat Kamarudin,
Jihad dalam Perspektif Hadits, dalam Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 1, April 2008.
[36] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan
Islam, hlm. 433.
[37] Al-Muakhah adalah
istilah yang dimaksudkan agar seseorang memandang saudaranya yang lain lebih
berhak daripada dirinya sendiri, serta berusaha untuk mendahulukan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi. Al-Tafahum (saling
memahami) hal ini dimaksudkan agar hubungan di antara
individu dengan kelompok dibangun atas saling percaya dan saling menasehati
dalam rangka kasih sayang dan saling menghormati. Al-Takaful,
yaitu
bahwa semua anggota saling membantu dalam memenuhi kebutuhan. Sejumlah akhlak
tersebut diharapkan melahirkan kuatnya pertalian dan utuhnya solidaritas
sosial. Lihat Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak
Pemikiran Tokoh, hlm. 172.
[38] Rosmani Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran
Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.
[39] Al-Banna didatangi oleh enam orang yang tertarik pada
kepribadaiannya dan terkesan pada pola-pola dakwahnya, yaitu: Hafidz Abdul
Hamid (Berprofesi sebagai tukang kayu), Ahmad Al-Hushary (berprofesi sebagai
tukang potong rambut), Fuad Ibrahim (berprofesi sebagai tukang setrika),
Abdurrahman Hasbullah (berprofesi sebagai sopir), Ismail Izz ( berprofesi
sebagai tukang kebun), Zaki Al-Maghribi (berprofesi sebagai penyewa dan montir
sepeda). Lihat Ali Abdul halim Mahmud, Metode
Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 25.
[40] Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul
Muslimin, hlm. 26.
[41] https://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwanul_Muslimin,
dikutip pada tanggal 12 April 2017.
[45] Oposisi adalah Partai penentang di dewan
perwakilan dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan yang
berkuasa.
[48] Rosmaladewi, Pemikiran Politik Hasan
Al-Banna, dalam
Jurnal Nurani, Vol. 15, No. 2, Desember 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar