Minggu, 05 November 2017

MAKALAH PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP NEGARA-NEGARA MUSLIM: PEMIKIRAN TERHADAP HASAN AL-BANNA

PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN ASIA TENGAH SERTA PENGARUHNYA TERHADAP NEGARA-NEGARA MUSLIM
(Analisis Terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Peradaban Islam”

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Hadi Masruri, M.A



Pemakalah :
MUHAMMAD FURQAN
(16771006)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



A.      Dasar Pemikiran
Kata atau istilah yang lebih dikenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata ini muncul dan lahir dari Barat, berawal dari adanya r (bahasa Inggris: renaissance) terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung pengertian pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi, dan medernisme, seperti umpamanya dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi.”[2] Modernisasi merupakan proses yang biasanya mengarah pada modernitas, yang berawal ketika suatu masyarakat mulai mengambil sikap ingin tahu mengenai bagaimana orang membuat pilihan, baik itu pilihan moral, pribadi, ekonomi, maupun politik.[3]
Modernisme Islam atau pembaharuan dalam Islam yang dimaksud bukanlah pembaharuan yang dilakukan terhadap ajaran-ajarannya yang bersifat mutlak, akan tetapi adalah pembaharuan terhadap pola berpikir kepada agamalah yang perlu diperbaharui. Pembaharuan pemikiran terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah Islam itu sendiri, bukan dalam hal-hal dasar atau fundamental dari ajaran Islam itu, tetapi yang perlu diperbaharui adalah penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an dan Hadist, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.[4]
Kajian tentang pembaruan dalam Islam adalah salah satu bidang kajian Islam yang secara intens dilakukan oleh kalangan pemerhati Islam. Hal ini terlihat dari banyaknya kajian yang membicarakan tema tersebut, baik mengenai sejarahnya, tokoh, serta pemikiran pembaruannya. Perbincangan dan pengkajian secara intens tersebut menunjukkan bahwa di kalangan umat Islam, khususnya para ilmuwan Islam, telah terbangun suatu pandangan bahwa pembaruan Islam merupakan suatu keniscayaan sekaligus sebagai konsekuensi logis dari pengalaman ajaran Islam, terlebih lagi di era modern umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan yang cukup signifikan. Meskipun demikian, terjadi saling tarik-menarik sehingga menghasilkan isu pembaruan Islam aktual sekaligus kontroversial sepanjang sejarah pemikiran Islam.[5]
Dengan ungkapan lain bahwa terdapat kelompok pro dan kontra terhadap pembaruan Islam, yaitu antara yang menganggap bahwa pembaruan Islam sebagai suatu kelaziman untuk aktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dengan yang melakukan perlawanan terhadap pembaruan Islam karena pandangan bahwa Islam adalah agama pembawa kebenaran absolut sehingga upaya pembaruan dipandang bertentangan dengan absolutisme Islam. Di samping itu, penolakan tersebut didasari oleh suatu pandangan bahwa pembaruan (modernitas) identik dengan kebudayaan Barat, sedangkan Barat diplot sebagai musuh Islam baik secara politik maupun kultural.[6]
Melihat perbedaan di atas, sesungguhnya perbedaan mendasar antara yang pro dan kontra terhadap pembaruan ialah terletak pada kerangka metodologis dalam memahami Islam sehingga perbedaan antara keduanya berada dalam wilayah pemahaman atau penafsiran, bukan dalam wilayah yang sangat prinsip.[7] Oleh karenanya, pembaruan Islam pada permasalahan ini dapat dipandang sebagai suatu keharusan.
Likulli marhalatin rijaluha,[8] setiap fase sejarah pasti memiliki pelaku sejarahnya, yang mana mereka akan muncul sesuai dengan tuntutan dan tantangan yang terjadi dalam fase tersebut. Islam berkembang sangat pesat dan memiliki akar yang begitu banyak. Tradisi Islam senantiasa memandang penyebaran Islam yang luar biasa ini sebagai bukti keajaiban dan kesahihan historis akan kebenaran Al-Qur’an dan klaim-klaim Islam dan sebagai tanda adanya petunjuk dari Allah. Gejolak pembaharuan pertama dimulai abad 18-19 di Timur Tengah, yang mana disebabkan adanya kolonialisme bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-18 hingga pertengahan pertama abad ke-20 dan kegagalan selanjutnya dari banyak negara Islam modern menyodorkan tantangan yang serius atas kepercayaan ini.
Sepanjang sejarah Islam, Mesir seringkali memperoleh posisi yang terpisah dari sentral kekuasan dan selalu mendapatkan nidentitas regional. Semua itu tercermin pada kekuasaan khalifah dan masa Utsmaniyah, yaitu kedudukannya sebagai negara semi otonomi.[9] Pasca runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun 1924 M, umat Islam sangat membutuhkan seorang tokoh yang cerdas, berpikiran tajam, berkeyakinan kuat, serta memiliki perasaan yang peka dan tekad yang membaja. Kualifikasi ini dapat ditemukan pada seorang tokoh yang terkenal di Timur Tengah, yaitu: Hasan Al-Banna.
Hasan Al-Banna sangat akrab dan tidak asing di telinga kita, yang mana beliau dikenal dengan “Al-Mulham Al-Mauhu” (orang yang diberi ilham dan berbakat). Semua itu diberikan kepada beliau sebagai penghormatan atas prestasi dan partisipasinya yang sangat besar dalam membangun kembali umat Islam dan membangkitkan umat Islam dari kejahiliyahan pada abad ke 20.[10]
Menelaah pemikiran Hasan Al-Banna, tidak dapat dilupakan suatu organisasi yang dikenal dengan Ikhwan Al-Muslimun (Himpunan Persaudaran Muslim), gerakan paling berpengaruh pada abad ke-20 yang menagarahkan kembali masyarakat Muslim ke tatanan Islam murni. Sampai masa itu, seruan pemabaruan agama dan pemulihan Islam ke posisi sentral di kalangan Muslim terdidik masih terbatas daya tariknya dan belum berkembang menjadi gerakan massa. Hassan Al-Banna mengubah mode intelektual elite menjadi gejala populer yang kuat pengaruhnya pada interaksi antara agama dan politik, bukan saja di Mesir, juga di dunia Arab dan negara Muslim lainnya.
Dalam pembaharuan Islam di Timur Tengah terdapat tokoh-tokoh yang sangat terkenal selain Hassan Al-Banna, di antaranya  Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh Muhammad Rasyid Ridha, dan Ali Syari’ati. Maka pada kesempatan ini penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai pembaruan pemikiran islam di Timur Tengah atas pemikiran Hasan Al-Banna yang sangat berpengaruh bagi Mesir.

B.       Biografi Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna lahir pada tahun 1906, di Al-Mahmudiyah salah satu desa wilayah Al-Buhairah Mesir. Dibesarkan dengan keluarga yang taat dalam beragama[11] serta dikenal dengan keluarga yang terpandang, berpendidikan, dan kaya. Tetapi, semua itu tidak menjadikannya lupa diri atau sombong dengan latar belakang yang dimilikinya. Al-Banna adalah putra sulung dari Syeikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna, yang dikenal dengan As-Sa’ati[12] dan sangat terkenal di Mesir[13] serta mempunyai peninggalan ilmiah seperti Al-Fath Al-Rabbani fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Al-Shaibani.[14]
Hasan Al-Banna mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya, baik dalam menghafal Al-Qur’an[15] dan memulai pendidikan awalnya di sekolah Madrasahar-Rasyad Ad-Diniyyah, yang mana disini beliau meneruskan hafalan Al-Qur’annya dan belajar sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran. Selanjutnya melanjutkan pendidikan ke Madrasah I’dadiyah di Mahmudiyah dan di sinilah awal perkenalan Al-Banna terhadap gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, yang mana Al-Banna berkecimpung dalam Jami’yyatul Akhlaq Al-Adabiyyah dan menjadi ketua dalam organisasi tersebut. Setelah menyelesaikan sekolahnya pada tahun 1920 beliau masuk ke sekolah Al-Muallimin Al-Awwaliyah[16]di Damanhour, dan pada tahun 1923 Al-Banna meneruskan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi di Fakultas Dar El-Ulum Kairo dan lulus pada tahun 1927 dengan menyandang predikat Cumlaude, setelah kelulusannya Al-Banna mulai mengajar di Kota Isma’iliyah[17] dan disamping mengajar beliau juga melakukan dakwah Islamiah[18] kepada masyarakat yang ada di sana.
Alasan Al-Banna melakukan dakwah adalah, karena melihat suasana rakyat Mesir yang telah mengalami kerusakan di dalam berbagai dimensi kehidupan. Seperti adanya perbedaan dan kesenjangan yang mencolok antara kehidupan bangsa Mesir yang menjadi pekerja kasar di perkampungan dengan kehidupan orang yang berkulit putih tinggal di gedung megah. Di samping kemiskinan dan kebodohan juga terdapat kerusakan moral yang diakibatkan dari pengaruh kehidupan Barat dengan tujuan untuk menjajah dan menghancurkan rakyat Mesir.[19]
Maka Al-Banna kemudian mewakafkan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada kebangkitan Islam dalam rentang usia sekitar 43 tahun.[20] Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak 'titipan' pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo. Kepergian Hassan Al-Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan 2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da'i serta Kumpulan Surat-surat. Selain itu Hasan Al-Banna mewariskan semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.[21]

C.      Karya-Karya Hasan Al-Banna

Selain sebagai seorang Ilmuwan, Al-Banna juga banyak meluncurkan berbagai tulisan baik yang bersumber dari hasil ceramah maupun kritik-kritiknya atas pemerintahan Mesir. Di antara karya-karyanya, antara lain:[22]
1.    Allah fi al-‘Aqidah al-Islamiyah (Allah Menurut Aqidah Islamiyah).
2.    Ila al-Thulab (Kepada Para Mahasiswa).
3.    Risalah al-‘Aqaid (Risalah Aqidah).
4.    Risalah al-Mu’tamar al-sadis (Risalah Mu’tamar Keenam).
5.    Qadhiyyatuna baina yadai al-Ra’yi al-‘Am al-Mishri wa al-‘Arabi wa al-Islami wa al-Dhamir al-Insani al-‘Alami (Persoalan kita di tengah-tengah opini umum dan masyarakat Mesir Arab, Islam, dan Nurani manusia sedunia).
6.      Majmu’at Rasail al-Imam al-Syahid Hasan Al-Banna (Kumpulan risalah Imam Syahid Hasan al-Banna).
7.      Nizam al-Usar wa al-Risalah al-ta’lim (Sistem usrah dan risalah Ta’lim)
8.      Al-Mar’ah al-Muslimah (Perempuan yang Muslimah).

Hasan Al-Banna mewariskan dua karya monumental yaitu Mudzakkirat Al-Dakwah wa Da’iyah (Catatan Harian Dakwah dan Dai), dan Majmu’ah Rasail (Kumpulan Surat-surat).[23] Majmu’ah Rasail terdiri dari beberapa risalah antara lain sebagaimana yang disebutkan oleh Ali Abdul Halim Mahmud, yaitu:
·      Risalah “Akidah” (رسالة الأقائد) ditulis pada tahun 1350 H /1931 M, dalam risalah ini Al-Banna mengumumkan target dan tujuan Ikhwan sejalan dengan masa pertumbuhannya. Dalam  risalah  ini  juga  ditetapkan  berbagai  dimensi dakwah Islamiyah, serta menegaskan sejak semula bahwa target  Ikhwan  adalah  untuk  mewujudkan  kebaikan duniawi dan ukhrawi.
·      Risalah Dakwah Kami دعوتنا)) ditulis pada tahun 1936 M. Berisi tentang program dan tujuan Ikhwan. Dalam risalah ini Al-Banna membagi  masyarakat  ke  dalam  empat  tipe manusia,  yaitu  orang  mukmin,  orang yang ragu-ragu, orang yang oportunis, dan orang yang memusuhi. Dan ia juga menjelaskan bahwa dakwah Ikhwan menyentuh semua sendi kehidupan. Artinya Islam adalah agama yang mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia.
·      Risalah “Ke Mana Kami Membawa Umat(إلى أي شئ ندعو الناس) ditulis pada tahun 1936 M, di dalamnya membahas masalah agama, politik, dan nasionalisme secara jelas dan meyakinkan.
·      Risalah “Menuju Cahaya” (نحو النور) ditulis tahun 1936 M, dan ditujukan  kepada Raja Faruk, kepada kepala pemerintahan pada saat itu, Mustafa Al-Nahas Pasha, dan seluruh raja, amir,  dan  penguasa  di  semua negara Islam. Di dalamnya Al-Banna menekankan pentingnya membebaskan  umat  Islam  dari segala bentuk ikatan politik yang membelenggunya, dengan menggunakan segala  cara  yang legal, dan  dengan  menerapkan  sistem Islam.  Dalam risalah ini pula Hasan Al-Banna mencantumkan Indonesia sebagai salah satu negara yang harus mendapat perhatian oleh orang-orang Islam karena Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia yang masih berada dalam jajahan Belanda.
·      Risalah “Untukmu Para Pemudaإلي ألشباب)), ditulis juga pada tahun 1936 M, di dalamnya Al-Banna menjelaskan bentuk amal Islami yang hendaknya dilaksanakan para pemuda. Amal itu berupa pembentukan pribadi Muslim, rumah tangga Muslim, masyarakat Muslim, pemerintah Muslim, dan bangsa Muslim dengan menyatukan seluruh negara Islam yang sudah dipecah belah akibat perbedaan politik. Al-Banna juga menjelaskan bahwa keberhasilan suatu konsep ditentukan oleh empat faktor yakni keimanan, keikhlasan, semangat dan usaha.
·      Risalah yang ditujukan kepada Konferensi Pelajar”, merupakan teks pidato  yang  disampaikan  Al-Banna  pada  bulan  Muharram  1357 H /Maret 1938 M di hadapan  para  pelajar  Muslim. Di dalamnya Al-Banna menyinggung masalah Islam dan politik, kebebasan berpendapat sebagai hal yang sangat penting dalam mencari kebenaran.
·      Risalah “Ikhwanul Muslimin di Bawah Bendera Al-Qur’an”, ini adalah  pidato yang disampaikan Al Banna pada tanggal 14 Shafar 1358 H/4April 1939 M, berisi ajakan untuk kembali kepada Islam yaitu menyandarkan  segala sendi kehidupan pada Al-Quran dan sunnah.
·      Risalah “Antara Kemarin dan Hari Ini” (رسالة الأمس و اليوم), ditulis pada tahun 1942 M. Di dalamnya Al-Banna membicarakan sistem pendidikan secara serius dan mendalam.
·      Risalah “Pengarahan” رسالة التعليم)), ditulis pada tahun 1943 M. Di dalamnya Al-Banna mengungkapkan program pendidikan dan pembinaan jama’ah, serta target dan sarana pendidikan mereka.

Hasan Al-Banna tidak banyak meninggalkan buku sebagai warisan pemikirannya. Karena, menurut beliau buku bukanlah tempat yang tepat untuk menitipkan pemikiran-pemikirannya ke dalam khazanah sejarah pemikiran Islam, yang mana nantinya buku akan tersimpan dan usang di rak serta sedikit yang membacanya. Menurut beliau ada satu tempat yang tepat dan lebih abadi, yaitu manusia. Karena cita-cita Al-Banna adalah untuk mencetak manusia.[24]

D.      Pembaruan di Timur Tengah Pemikiran Hasan Al-Banna (1906-1949)

1.        Latar Belakang Pemikiran Hasan Al-Banna

Mengingat cita-cita Syekh Ahmad, yaitu menginginkan putranya (Al-Banna) menjadi seorang mujahid (pejuang) dan menjadi seorang mujaddid (pembaharu).[25] Oleh karena itu, sejak kecil Al-Banna langsung didik oleh ayahnya sendiri terutama dalam mengahafal Al-Qur’an dan tersedianya perpustakaan pribadi di rumah. Sehingga dunia Islam sangat mengenal sosok Hasan Al-Banna, yang mana beliau dikenal sebagai mujahid dakwah dan pembangkit umat Islam.
Hasan Al-Banna berpandangan bahwa kelemahan dan kerentanan Muslim terhadap dominasi Eropa disebabkan oleh penyimpangan kaum Muslim dari Islam sejati. Untuk membangkitkan Mesir kembali maka kaum Muslim harus bertekad kembali memahami dan hidup menurut Islam seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan Khulafa Ar-Rasyidin tentang tatanan Islam yang komprehensif. Dunia Islam semakin lemah, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: perebutan kekuasaan, perpecahan akibat soal-soal sekunder, kemewahan penguasa, pemerintahan oleh non-Arab seperti Turki dan Persia yang tak pernah tahu Islam sejati, kurangnya minat pada ilmu-ilmu praktis, dan taklid buta pada otoritas.[26]
Pemikiran pembaharuan Hasan al-Banna berdasarkan atas keyakinan bahwa agama Islam adalah agama universal yang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, yang mana Al-Banna mengubah wacana menjadi sebuah gerakan. Hal unik inilah yang menjadi pembeda dengan para pembaharu dan pembangkit sebelumnya.

2.        Pemikiran Hasan Al-Banna

a.        Dalam Bidang Politik
Hasan Al-Banna bercita-cita mendirikan negara yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, yang mana gagasan ini dibuktikan dari bunyi suratnya kepada Raja Faruk yang menyatakan bahwa “Di dunia ini, tidak ada sistem yang mampu mempersenjatai bangsa dalam kebangkitan kecuali Islam”. Kecenderungan Hasan Al-Banna dalam ide pembaharuannya tentang aspek politik ini sangat realistis, sebab Al-Banna memandang Islam adalah agama yang universal[27] dalam menyentuh aspek masyarakat.
Ide pembaharuan Hasan Al-Banna dalam bidang politik pada dasarnya bukanlah untuk merebut kekuasaan dari tangan penguasa, akan tetapi semata-mata untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Menurutnya pemerintah tidak mutlak diperintah oleh ulama atau tokoh partai Islam, akan tetapi siapa saja yang mempunyai kemampuan dan sanggup menerapkan ajaran Islam. Sehingga pada tahun 1939 Ikhwanul Muslimin[28] yang diketuai oleh Hasan Al-Banna memproklamasikan diri sebagai gerakan politik[29] pada tahun itu dengan alasan dan tujuan. Pertama membebaskan negara Islam dari penguasa asing. Kedua, mendirikan negara Islam yang bebas melaksanakan hukum Islam, menerapkan sistem sosial masyarakat dan menyampaikan prinsip dan dakwahnya kepada seluruh manusia. Organisasi ini bertambah besar, dan mengembangkan struktur administrasi, sehingga selama sepuluh tahun berikutnya Ikhwanul Muslimin menerbitkan persnya sendiri, dan program budayanya sendiri.

b.        Bidang Pendidikan
Konsep Hasan Al-Banna tentang pendidikan diarahkan pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Yaitu, Al-Banna berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis di antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Pendidikan dipandang sebagai proses aktualisasi potensi-potensi yang dimiliki anak didik dengan jalan mewariskan nilai-nilai ajaran Islam. Aktualisasi potensi-potensi yang dikehendaki oleh Hasan Al-Banna adalah dapat melahirkan sosok individu yang memiliki kekuatan jasmani, akal, dan qalb[30] guna mengabdi kepada Allah, serta mampu menciptakan lingkungan hidup yang damai dan tentram. Oleh karena itu, pendidikan menurut Hasan Al-Banna harus bersumber dari Al-Qur’an beserta tafsirannya dan As-Sunnah[31] serta berorientasi pada ketuhanan, bercorak universal dan terpadu, bersifat positif konstruktif, serta membentuk persaudaraan dan keseimbangan dalam hidup dan kehidupan manusia.
Al-Banna berusaha mewujudkan harapannya dalam pendidikan dengan cara menetapkan enam aspek pendidikan, yaitu:[32]
·      Pertama, aspek Inteligensi (akal). Pendidikan Intelektual atau pengembangan wawasan (tarbiyah aqliyah wa ma’rifatiyah) yang mana pada aspek ini adalah keyakinan bahwa Islam tidak membekukan pikiran tetapi justru membebaskan dan mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan observasi alam. Allah telah menganugerahkan kepada manusia seperangkat ilmu (akal dan indera) dan memerintahkan untuk meneliti dan berpikir agar tidak mematikan potensi akal, seperti firman Allah:
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ̍øgrB Îû ̍óst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZtƒ }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uŠômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 7p­/!#yŠ É#ƒÎŽóÇs?ur Ëx»tƒÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̍¤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÊÏÍÈ  
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah: 164).

·      Kedua, aspek pendidikan moral[33] (tarbiyah khiluqiyah), aspek ini begitu penting karena semua bentuk pendidikan mengandung aktivitas moral, baik secara tersirat maupun tersurat. Tujuannya adalah agar manusia memiliki nurani yang terjaga dengan baik, karena nurani akan dapat menjadi pengontrol bagi segala tingkah laku manusia, dan Al-Banna memprioritaskan pembinaan akhlak dengan  penanaman sifat sabar, cita-cita yang luhur, amanah dan pengorbanan. Karena menurutnya kekuatan akan lebih mudah dibangun jika dilandasi dengan akhlak mulia. Sebaliknya, kekuatan akan mudah runtuh jika dilandasi dengan akhlak tercela. Sehingga dalam pembinaan akhlak ini, Al-Banna mendirikan madrasah khusus pada setiap hari Jum’at.
·      Ketiga, aspek pendidikan jasmani dan ruhani. Di samping pembinaan ruhani, Al-Banna tidak mengabaikan jasmani, karena tubuh adalah sarana manusia untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan dunia. Kesehatan memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa dan akal, sehingga dapat dikatakan (mens sana in corpore sano)[34] jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat. Tubuh yang sakit tidak akan mampu melaksanakan tugas secara optimal, oleh karena itu perlu adanya perhatian yang khusus terhadap kesehatan.
·      Keempat, aspek pendidikan jihad.[35] Diantara aspek pendidikan Ikhwanul Muslimin yang paling menonjol adalah pendidikan jihad, bukan pendidikan kemiliteran. Karena, arti dari jihad lebih luas daripada kemiliteran, yang mana pendidikan jihad ditanamkan Al-Banna melalui berbagai macam media, baik pendidikan, dakwah, maupun majalah yang difokuskan pada pengembangan semangat jihad dan rela berkorban untuk menegakkan agama Allah. Menurut Al-Banna, jihad bukan sebatas pada perang fisik melawan musuh, melainkan juga perang terhadap perilaku yang tidak dibenarkan oleh Al-Qur’an dan Hadits (bid’ah dan kemungkaran). Di sini Al-Banna membagi tingkatan jihad menjadi tiga, tingkatan jihad yang paling rendah adalah penolakan hati, tingkatan jihad yang paling tinggi adalah berperang di jalan Allah, tingkatan jihad di antara keduanya berupa lisan dan tulisan.
·      Kelima, aspek pendidikan politik. Pendidikan politik mendapat perhatian yang sangat besar dari Al-Banna, hal ini dapat dilihat dari sejarah berdirinya Ikhwanul Muslimin, yang mana sebelum munculnya Al-Banna di Mesir politik kurang mendapatkan perhatian umat Islam. Pengertian politik menjadi pertentangan bagaikan hitam dan putih, belum ada pemikiran bahwa keduanya dapat disatukan. Banyak pandangan yang mengatakan bahwa umat Islam haram untuk berpolitik, dan sebaliknya orang yang berpolitik tidak berkenan mencampuri soal-soal agama. Melihat hal tersebut, Al-Banna merasa terpanggil diri untuk berjuang meluruskan persepsi yang kurang benar dan tujuan utama dari pendidikan politik ini adalah untuk mewujudkan pemerintah Islam yang bersatu dan memiliki kekuatan di Mesir. Sedangkan alasan utamnya adalah ingin melepaskan penjajahan imperialism terhadap negara Islam, terutama Mesir.[36] Semua berasal dari kaum imperialis dengan maksud agar umat Islam tidak memikirkan urusan dunia atau berasal dari pemikiran kaum sufi. Pendidikan politik yang diberikan Al-Banna didasarkan pada beberapa prinsip, divantaranya:
-       Memperkuat kesadaran dan perasaan wajib membebaskan negara Islam dari setiap kekuasaan asing dan mengusir penjajah dari negeri Islam.
-       Membangkitkan kesadaran dan perasaan atas wajibnya mendirikan pemerintahan Islam.
-       Membangkitkan kesadaran dan perasaan akan wajib terwujudnya kesatuan Islam.
·      Keenam, aspek pendidikan sosial (tarbiyah ijtima’iyah). Al-Banna sangat memperhatikan pentingnya pendidikan sosial, karena membentuk individu menjadi karakter sosial pada dasarnya adalah pembebasan, yaitu pembebasan individu dari berbagai refleksi yang bertentangan dengan kecenderungan sosial. Tujuan dari pendidikan sosial ini adalah sebagai sarana efektif untuk mengubah manusia dan mengajarkannya berbagai macam cara hidup bersama dengan orang lain dan bagaimana menciptakan jaringan interaksi dalam melaksanakan aktivitas bersama. Al-Banna mewajibkan para anggotanya untuk berakhlak sosial, seperti al-Muakhah, al-Tafahum, dan al-Takaful.[37]

c.         Bidang Ekonomi
Hasan Al-Banna memiliki pemikiran nasionalisme ekonomi. Di masa abad 20, Mesir masih ada dalam kendali Inggris yang mendominasinya dalam mata uang yaitu memakai mata uang Inggris (Pound). Al-Banna mengatakan bahwa sepatutnya Mesir sudah saatnya untuk memiliki mata uang sendiri berstandar emas (Dinar). Oleh karena itu Mesir perlu memutuskan hubungan dengan blok Steriling Inggris dan mengeluarkan mata uangnya sendiri yang berdasar pada standar emas. Manajeman mata uang yang baik akan dapat mengendalikan inflasi Mesir yang tinggi, dan akan menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan keseimbangan perdagangan luar negeri Mesir. Selain itu, Al-Banna melakukan Mesirisasi atas perusahaan swasta dan di bidang real estate, transportasi, dan keperluan umum. Untuk mewujudkan visi ekonomi Islam ini, Ikhwanul Muslimin tidak tinggal diam, mereka mendirikan perusahaan pemintalan dan tenun, perusahaan perdagangan dan rekaya, dan pers Islam.[38] Walaupun kesuksesan dalam aktivitas ini biasa saja, namun dapat kita lihat keselarasan antara aktivitas ekonomi dan idealisme agama.

E.       Eksistensi Ikhwanul Muslimin dalam Dunia Islam

            Ikhwanul Muslimin (IM) adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah swt, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah (pemikiran), syariah yang mengatur Al-Jawarih (anggota tubuh), perilaku dan politik. Yang mana lahir dan berkembangnya Ikhwanul Muslimin tidak dapat dilepaskan dari upaya yang dilakukan oleh Al-Banna sebagai pendirinya. Ikhwanul didirikan pada bulan Zulka’dah 1346 H/ Maret 1928 M bersama enam tokoh lainnya.[39]
Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan pada 24 September 1930. Selanjutnya, pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan Al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.
Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah untuk mewujudkan terbentuknya sosok individu Muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum Muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Namun sayang sekali ajaran shufi kental sekali memengaruhi organisasi ini. Ikhwanul Muslimin menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat. Yang mana tujuan tersebut selaras dengan visi yang diucapakan oleh Al-Banna “Kami menginginkan terbentuknya sosok individu Muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum Muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketenteraman dengan ajaran-ajaran Islam”.[40] Ikhwanul Muslimin adalah pembaharuan yang sangat besar ketika itu dan pengaruhnya masih bisa dirasakan hingga sekarang, karena perkembangannya yang sangat pesat.
Pimpinan Ikhwanul Muslimin disebut Mursyid 'Am atau Ketua Umum. Adapun tugas dari Mursyid 'Am adalah untuk mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia. Para pemimpin itu adalah: Hassan Al-Banna (1928- 1949), Hassan Al-Hudhaibi (1949-1972), Umar At-Tilmisani (1972-1986), Muhammad Hamid Abu Nasr (1986 -1996), Mustafa Masyhur (1996-2002), Ma'mun Al-Hudhaibi (2002-2004), Muhammad Mahdi Akif  (2004 – 2010), Muhammad Badie (2010 -  Sekarang).[41]
Perkembangan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1930-1948.[42] Adanya pembentukan divisi Persaudaraan Muslimah pada tahun 1934. Divisi ini ditujukan untuk para wanita yang ingin bergabung ke Ikhwanul Muslimin. Walaupun begitu, pada tahun 1941 gerakan Ikhwanul Muslimin masih beranggotakan 100 orang, yang merupakan hasil seleksi dari Hassan Al-Banna. Pada tahun 1948, Ikhwanul Muslimin turut serta terlibat dalam perang melawan Israel di Palestina. Saat organisasi ini sedang berkembang pesat, Ikhwanul Muslimin justru dibekukan oleh Muhammad Fahmi Naqrasyi, Perdana Menteri Mesir tahun 1948. Berita penculikan Naqrasyi di media massa tak lama setelah pembekuan Ikhwanul Muslimin membuat semua orang curiga pada gerakan Ikhwanul Muslimin.
Perkembangan pada tahun 1950-1970.[43] Ada sesuatu yang aneh dan misterius pada tahun 1949 yang bertepatan pada bulan Februari, pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan Al-Banna meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 12 Februari 1949. Kemudian, pada tahun 1950, pemerintah Mesir merehabilitasi organisasi Ikhwanul Muslimin. Pada saat itu, parlemen Mesir dipimpin oleh Mustafa An-Nuhas Pasha. Parlemen Mesir menganggap bahwa pembekuan Ikhwanul Muslimin tidak sah dan inkonstitusional. Ikhwanul Muslimin pada tahun 1950 dipimpin oleh Hasan Al-Hudhaibi. Selanjutnya, pada tanggal 23 Juli 1952, Mesir dibawah pimpinan Muhammad Najib bekerjasama dengan Ikhwanul Muslimin dalam rencana menggulingkan kekuasaan monarki Raja Faruk pada peristiwa Revolusi Juli. Tapi, Ikhwanul Muslimin menolak rencana ini, dikarenakan tujuan Revolusi Juli adalah untuk membentuk Republik Mesir yang dikuasai oleh militer sepenuhnya, dan tidak berpihak pada rakyat. Karena hal ini, Jamal Abdul Nasir menganggap gerakan Ikhwanul Muslimin menolak mandat revolusi. Sejak saat ini, Ikhwanul Muslimin kembali dibenci oleh pemerintah.
Perkembangan pada tahun 1970 hingga sekarang.[44] Ketika Anwar Sadat mulai berkuasa, anggota Ikhwanul Muslimin yang dipenjara mulai dilepaskan. Menggantikan Hudhaibi yang telah meninggal pada tahun 1973, Umar Tilmisani memimpin organisasi Ikhwanul Muslimin. Kemudian Umar Tilmisani menempuh jalan moderat dengan cara tidak bermusuhan dengan penguasa. Rezim Hosni Mubarak saat ini juga menekan Ikhwanul Muslimin, dimana Ikhwanul Muslimin menduduki posisi sebagai oposisi[45] di Parlemen Mesir.
Ikhwanul Muslimin memiliki landasan berupa: Allah tujuan kami (Allahu ghayatuna), Rasulullah teladan kami (Ar-Rasul qudwatuna), Al-Qur'an landasan hukum kami (Al-Quran dusturuna), jihad jalan kami (Al-Jihad sabiluna), mati syahid di jalan Allah cita-cita kami yang tertinggi (Syahid fiisabilillah asma amanina).[46]
Ikhwanul Muslimin masuk ke Indonesia melalui jamaah haji dan kaum pendatang Arab sekitar tahun 1930. Ikhwanul Muslimin memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Atas desakan Ikhwanul Muslimin, negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui secara de facto (bukan de jure) kemerdekaan Republik Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan Hal ini akhirnya diikuti oleh beberapa negara dengan status seperti Mesir dan akhirnya Vatican sebagai negara berdaulat penuh yang pertama mengakui Indonesia. Ikhwanul Muslimin kemudian semakin berkembang di Indonesia setelah Muhammad Natsir mendirikan partai yang memakai ajaran Ikhwanul Muslimin, yaitu Partai Masyumi. Partai Masyumi kemudian dibredel oleh Soekarno dan dilarang keberadaannya di Indonesia.[47]
Sejak awal mula didirikan pergerakan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut Syi'ah Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud (bersatunya hamba dengan Dzat Allah), bahwa kenabian dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya menulis dan mengarang. Jamaludin Al-Afghani kerap mengajak kepada pendekatan Sunni-Syiah, bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama. Gerakan itu lalu bergabung ke banyak negara seperti: Syiria, Yordania, Iraq, Libanon, Yaman, Sudan dan lain sebagainya. Jamaludin Al-Afghani telah dinyatakan oleh para ulama negeri Turki, dan sebagian masyayikh (para Syaikh Ahlus Sunnah) Mesir sebagai orang mulhid, kafir, zindiq, dan keluar dari Islam.[48] Pengaruh pemikiran Jamaludin Al-Afghani terhadap Ikhwanul Muslimin adalah: menempatkan politik sebagai prioritas utama, mengorganisasikan secara rahasia, menyerukan peraturan hukum demokrasi, menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalis, mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah, berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nashrani.

F.       Penutup

Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan pembaruan pemikiran Islam di Timur Tengah dan pengaruhnya terhadap negara-negara Muslim (analisis terhadap pemikiran Hasan Al-Banna), yaitu sebagai berikut:
·      Hasan Al-Banna adalah salah satu tokoh dan pemikir Islam yang punya kepedulian terhadap perkembangan Islam dan masyarakat Muslim.  Pembaharu dan perintis bagi sebuah gerakan Islam yang sangat besar pada abad ke 20, yang mana Al-Banna mewakafkan dirinya untuk kebangkitan Islam dan pengaruhnya masih bisa kita rasakan hingga saat ini.
·      Pembaharuan yang dilakukan oleh Al-Banna adalah melalui Gerakan dan Dakwah, yang mana sebagai aset bagi kelangsungan Al-Ikhwan Al-Muslimun dalam mengembangkan risalah dakwah Islamiyah, semua terjadi dengan proses yang tidak sebentar, namun melalui latihan intensif mengisi diri dengan berbagai bekal yang dibutuhkan oleh pergerakan, dan mampu memprediksikan strategi dakwah yang dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga ia bergerak di berbagai bidang seperti bidang politik, pendidikan, dan ekonomi.
·      Ikhwanul Muslimin (IM) adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah swt, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah (pemikiran), syariah yang mengatur Al-Jawarih (anggota tubuh), perilaku dan politik yang mana pendirinya adalah Hasan Al-Banna.











DAFTAR PUSTAKA



Abdul Hamid Al-Ghazali, Merentas Jalan Kebangkitan Islam: Peta pemikiran Hasan Al-Banna, Terj. Wahid Ahmadi, Solo: Era Intermedia, 2001.

Abdul  Kholiq,  Pemikiran  Pendidikan  Islam  Kajian  Tokoh  Ktasik  dan  Kontemporer, Semarang:  Fakultas  Tarbiyah  IAIN  Walisongo  Semarang  bekerjasama  dengan  Pustaka  Pelajar, 1999.

Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Terj. Syafril Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2003.

Hery Muhammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.

John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta: Erlangga, 2002.

Kamarudin, Jihad dalam Perspektif Hadits, dalam Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 1, April 2008.

M. Din Syamsudin, Mengapa Pembaruan Islam?, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV, 1993.

Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, Jakarta: Misaka Galizha, 2003.

Musthafa Muhammad Thahhan, Pemikiran Moderat Hasan Al-Banna, Terj. Akmal Burhanuddin, Bandung: Harakatuna, 2007.

Otoman, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam, dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No. 1, Januari-Juni 2015.

Rosmaladewi, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Nurani, Vol. 15, No. 2, Desember, 2015.

Rosmani Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.

Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Yusuf Al-Qardhawi, Metodelogi Hasan Al-Banna dalam Memahami Islam, Terj. Muhammad Nuruddin Usman, Solo: Media Insani Press, 2006.

https://id.wikipedia.org





[1] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 1.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 3.
[3] John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. xiii.
[4] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran, hlm. 2-3.
[5] M. Din Syamsudin, Mengapa Pembaruan Islam?, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV, 1993, hlm. 68-69.
[6] Hal ini senada dengan pernyataan Arafat yang terdapat pada pendahuluan bukunya
yang berjudul “Pembaruan Diskursus Pemikiran Keagamaan. Lihat Al-Qadi, Tajdîd Al-Khitab.

[7] M. Din Syamsudin, Mengapa Pembaruan Islam?, hlm. 69.
[8] Musthafa Muhammad Thahhan, Pemikiran Moderat Hasan Al-Banna, Terj. Akmal Burhanuddin, (Bandung: Harakatuna, 2007), hlm. xv
[9] Rosmaladewi, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Nurani, Vol. 15, No. 2, Desember, 2015.
[10] Yusuf Al-Qardhawi, Metodelogi Hasan Al-Banna dalam Memahami Islam, Terj. Muhammad Nuruddin Usman, (Solo: Media Insani Press, 2006), hlm. 7.
[11] Dengan asuhan secara Islami, sehingga beliau berkata “Hanya Islamlah ayah kandungku”. Hal ini merupakan rasa cinta terhadap ajaran Islam dan ajaran itulah yang membentuk watak dan kepribadiannya. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 408.
[12] As-Sa’ati adalah tukang arloji, yang mana selain menjadi tukang arloji juga sebagai imam masjid dan guru agama di masjid. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran, hlm. 408.
[13] Syeikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna menguasai ilmu fiqh, tauhid, ilmu bahasa dan mengahafal Al-Qur’an. Bahkan pernah belajar sebagai mahasiswa Al-Azhar pada waktu Muhammad Abduh mengajar di lembaga tersebut. Lihat Muhammad Iqbal, Pemikiran, hlm. 408.
[14] As-Sa’ati mengedit sebagian dari Musnad Ahmad ibn Hanbal dan Musnad-musnad lainnya dan menulis sharahnya yang berjudul Bulugh Al-Amami min Asrar Al-fath Al-Rabbani. Lihat Otoman, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam, dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No. 1, Januari-Juni 2015.
[15] Ayahnya membimbingnya secara langsung menghafal Al-Qur’an serta senantiasa memberi dorongan membaca di perpustakaannya yang penuh dengan buku. Lihat Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Terj. Syafril Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 23.
[16] Disinilah ia berkenalan dengan tarekat Shufi Al-Hashafiyyah, dan terkagum-kagum dengan majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didengarkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut.
[17] Setelah lulus, tepatnya sejak bulan September 1927 Al-Banna diangkat menjadi guru SD di lingkungan Departemen Pendidikan dan ditempatkan di kota Isma’iliyah. Lihat Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 23.
[18] Disamping menunaikan tugas mengajar beliau aktif berdakwah , yang mana aktifitas dakwahnya dimulai dari masjid ke masjid dan kedai-kedai kopi. Dengan bermodalkan kekarismatikan dan teknik dakwah yang dapat menyentuh para audiens, semakin banyak orang yang beragama Islam empati kepada beliau. Dan dengan kecerdasannya beliau melihat bahwa ada beberapa kelompok masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk mensukseskan misi dakwah. Masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu pemuka agama, tokoh tarekat, tokoh masyarakat, dan para jamah. Lihat Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 156.
[19] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 409.
[20] Separo pertama dari usianya dihabiskan untuk mengidentifikasi permasalahan umat dan merumuskan jalan kebangkitannya serta kemudian menyiapkan diri untuk memimpin gerakan kebangkitan Islam, dan paro kedua dari usianya untuk memimpin gerakan kebangkitan dengan seganap pikiran, jiwa dan raganya. Lihat Abdul Hamid Al-Ghazali, Merentas Jalan Kebangkitan Islam: Peta pemikiran Hasan Al-Banna, Terj. Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), hlm. vii.
[21] https://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna, dikutip pada tanggal 12 April 2017.
[22] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh, hlm. 158.
[23] Hery Muhammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 206.
[24] Abdul Hamid Al-Ghazali, Merentas Jalan Kebangkitan Islam, hlm. vi.
[25] Abdul  Kholiq,  Pemikiran  Pendidikan  Islam  Kajian  Tokoh  Ktasik  dan  Kontemporer, (Semarang:  Fakultas  Tarbiyah  IAIN  Walisongo  Semarang  bekerjasama  dengan  Pustaka  Pelajar, 1999), hlm. 253.
[26] Rosmani Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.
[27] Islam adalah sistem yang menyeluruh dan menyentuh seluruh segi kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlaq dan kekuatan, rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran. Sebagaimana islam juga aqidah yang lurus dan ibadah yang benar. Lihat Yusuf Al-Qardhawi, Metodelogi Hasan Al-Banna, hlm. 19.
[28] Ikhwanul Muslimin (IM) adalah sebuah organisasi pergerakan Islam kontemporer yang besar. Organisasi ini tersebar kurang lebih 70 negara, tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga di wilayah lainnya, dan organisasi ini didirikan oleh Hasan Al-Banna di Mesir pada bulan April 1928. Organisasi ini menyeru untuk kembali kepada Islam, sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah yang mengajak untuk menerapkan syari’at Islam dalam realitas kehidupan, mengembalikan kejayaan Islam dan berdiri menentang arus sekularisasi di kawasan Arab dan dunia Islam. Lihat Otoman, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam, dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No. 1, Januari-Juni 2015.
[29] Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 36.
[30] Hakikat manusia bukanlah terletak pada bentuk fisiknya, melainkan pada jiwa yang bersemi pada fisik yang disegerakanNya. Hakikat itu adalah segumpal darah (mudghah). Bila ia baik maka baiklah hidup seluruhnya, dan bila ia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya, itulah hati. Hati adalah suatu wujud yang dapat menghubungkan manusia dengan rahasia hidup dan rahasia hidup wujud dan mengangkatnya dari alam bumi ke alam yang tinggi, dari makhluk kepada Khaliq. Lihat Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh, hlm. 162.
[31] Madrasah Hasan Al-Banna dibangun dengan landasan agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan tafsirannya, terutama mengutamakan tafsir salaf seperti Tafsir Ibnu Katsir. Dan sumber yang kedua adalah Al-Hadits dengan keauntentikan dan syarahnya berpegang kepada imam-imam Hadits yang terpercaya. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 412.
[32] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh, hlm. 163.
[33] Pendidikan  moral  adalah  pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh seseorang. Lihat Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, (Jakarta: Misaka Galizha, 2003), hlm. 131.
[34] Kalimat “mens sana in corpore sano, adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang artinya adalah “jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat”. Maksudnya jiwa seseorang sehat, maka tubuhnya akan sehat juga. Begitupun sebaliknya.
[35] Mengarahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak nampak seperti hawa nafsu, syaithan dan musuh yang tampak seperti orang-orang kafir. Lihat Kamarudin, Jihad dalam Perspektif Hadits, dalam Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 1, April 2008.
[36] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 433.
[37] Al-Muakhah adalah istilah yang dimaksudkan agar seseorang memandang saudaranya yang lain lebih berhak daripada dirinya sendiri, serta berusaha untuk mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Al-Tafahum (saling memahami) hal ini dimaksudkan agar hubungan di antara individu dengan kelompok dibangun atas saling percaya dan saling menasehati dalam rangka kasih sayang dan saling menghormati. Al-Takaful, yaitu bahwa semua anggota saling membantu dalam memenuhi kebutuhan. Sejumlah akhlak tersebut diharapkan melahirkan kuatnya pertalian dan utuhnya solidaritas sosial. Lihat Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh, hlm. 172.
[38] Rosmani Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.
[39] Al-Banna didatangi oleh enam orang yang tertarik pada kepribadaiannya dan terkesan pada pola-pola dakwahnya, yaitu: Hafidz Abdul Hamid (Berprofesi sebagai tukang kayu), Ahmad Al-Hushary (berprofesi sebagai tukang potong rambut), Fuad Ibrahim (berprofesi sebagai tukang setrika), Abdurrahman Hasbullah (berprofesi sebagai sopir), Ismail Izz ( berprofesi sebagai tukang kebun), Zaki Al-Maghribi (berprofesi sebagai penyewa dan montir sepeda). Lihat Ali Abdul halim  Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 25.
[40] Ali Abdul halim  Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 26.
[41] https://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwanul_Muslimin, dikutip pada tanggal 12 April 2017.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[45] Oposisi adalah Partai penentang di dewan perwakilan dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan yang berkuasa.
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Rosmaladewi, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Nurani, Vol. 15, No. 2, Desember 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar