Kamis, 09 November 2017

MAKALAH INTEGRALISME ILMU DALAM ISLAM: SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU

INTEGRALISME ILMU DALAM ISLAM: SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag






Pemakalah :
NURHIKMAH
(16771031)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2017



A.      Dasar Pemikiran
Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia yang berlangsung secara bertahap, evolutif. Sejarah perkembangan ilmu itu sendiri merupakan suatu tahapan yang terjadi secara periodic.setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah perkembangan ilmu dalam umat manusia ditengarai tidaklah terpusat di satutempat tertentu. Penemuan-penemuan empiric yang kelak melahirkan temuan-temuan ilmiah itu justru menyebar dari Babylonia, Mesir, Cina, India, Yunani, baru ke daratan Eropa. Oleh karena itu, kalau manusia sekarang melihat Eropa sebagai gudang ilmu pengetahuan, maka pendapat yang demikian itu sangat ahistoris.
Wacana persoalan epistemologI ilmu agama dan ilmu umum,  merupakan wacana yang selalu menarik perhatian kalangan intelektual. Paradigma yang mengakar di masyarakat luas adalah antara agama dan ilmu merupakan dua entitas yang berbeda. Di lain pihak, para ilmuwan lain beranggapan bahwa antara sains dan agama adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan non-agama sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam.[1]
Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki corak dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan di Barat, baik landasan, sumber, sarana dan metodologinya. Dalam epistemology Islam, ilmu tidak dipisahkan demikian ketat dan eksklusif, menjadi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Ilmu-ilmu tersebut tidak boleh dipandang secara terpisah dan dikotomis karena ilmu-ilmu tersebut memiliki basis ontologIyang sama.[2] Dari pendapat kedua ini kemudian lahirlah sebuah wacana integrasi keilmuan antara sains dan agama. Eksistensi ilmu pengetahuan ini tentunya tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangannya, dimana dalam pertumbuhan ilmu pengetahuan itu sendiri terdapat proses yang panjang yang tidak bisa lepas dari ragam pengaruh dalam dinamika sosial, budaya,dan politik yang berkembang pada saat itu.
Maka dari itu, untuk memahami sejarah perkembangan ilmu  pengetahuan secara mudah, di sini telah dilakukan elaborasi dan klasifikasi atau pembagian secara garis besar. Berikut adalah uraian singkat dari masing-masing periode atau sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Jika pengetahuan lahir sejak manusia pertama diciptakan, maka perkembangannya sejak jaman purba. Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani Kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.[3]

B.       Pembahasan
1.    Sejarah Perkembangan Ilmu
Sejarah perkembangan ilmu menampakkan sumbangsih besar dunia Timur bagi kemajuan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini. Banyak penemuan yang terjadi di dunia Timur yang baru dikembangkan belakangan di dunia Barat. Namun perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu pada peradaban Yunani. Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu yang disusun di sini dimulai dari peradaban Yunani, Kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. kesemuanya itu merupakanrangkaian panjang sejarah peradaban umat manusia, yang dengan kemampuan akal pikirnya selalu melangkah maju. Adapun perkembangan ilmu dapat diidentifikasikan ke dalam beberapa periode seperti  berikut ini:[4]
a.    Periode Yunani
Yunani Kuno adalah tempat bersejarah di mana sebuah bangsa memiliki peradaban. Oleh karenanya Yunani kuno sangat identik dengan filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Padahal filsafat dalam pengertian yang sederhana sudah berkembang jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang menurut Bertrand Russel, diantara semua sejarah, tak ada yang begitu mencengangkan atau begitu sulit diterangkan selain lahirnya peradaban Yunani secara mendadak memang banyak unsur peradaban yang telah ada ribuan tahun di Mesir dan Meopotamis, namun unsur-unsur tertentu belum utuh sapai kemudian bangsa Yunani lah yang menyempurnakannya.[5]
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia Karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya.[6]
Pada masa peradaban Yunani, manusia sangat kental dengan unsur-unsur mistis dan sangat percaya pada dongeng dan takhayul. Namun ketika filsafat diperkenalkan, mereka mampu membedakan seusatu yang riil dengan sesuatu yang hanya sekedar ilusi. Pola pikir mereka berubah. Fenomena  alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang  terjadi secara kausalitas. Perubahan pola pikir ini bukanlah suatu hal yang sederhana, sebab berimplikasi pada perubahan berfikir manusia yang dulunya menganggap alam adalah sesuatu yang menakutkan dan perlu dijauhi berubah pandangan menjadi alam adalah adalah suatu hal yang perlu didekati dan di eksploitasi. Pola pikir manusia yang sebelumnya pasif dalam menghadapi fenomena alam kini menjadi proaktif dan kreatif. Alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Dari kajian inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat. Karena itu periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.[7]
Karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri, timbul rasa ingin tahu yang menimbulkan beragam pertanyaan dan pikiran mereka tentang asal mula keberadaan alam itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pikiran mereka inilah yang kemudian menjadi perhatian besar oleh para filosof-filosof Yunani. Pada mulanya para filosof Yunani hanya mengkaji tentang alam saja, kemudian berkembang menjadi tidak hanya mengkaji alam akan tetapi juga mengkaji tentang manusia dan perilakunya.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 M). ia digelari bapak Filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat dan mempertanyakan asal usul alam semesta.[8] Pertanyaan ini dijawab dengan menggunakan pendekatan rasional, bukan lagi dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup.[9]
Setelah Thales muncul filosof-filosof lainnya, yaitu adalah :
1.    Anaximandros (510-540 SM),  Ia mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas dan meliputi segalanya. Ia tidak setuju dengan pemikiran Thales yang mengatakan unsur alam adalah air, sebab baginya unsur alam harus mencakup segalaanya dan diatas segalanya, bukan salah satu unsur-unsur yang ada.
2.    Heraklitos  (540-480 SM), ungkapan yang terkenal dari Heraklitos dalam menggambarkan perubahan alam adalah panta rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal menetap). Heraklitos menggangap bahwa alam selalu mengalami perubahan. Kehidupan kosmos adalah sesuatu yang bersifat dinamis.
3.    Phytagoras (540-480 SM), baginya tidak ada satupun di alam ini yang terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan, karena itu ia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Namun, para filosof setelah kaum Sofis tidak setuju dengan pandangan tersebut, seperti Socrates, Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM)[10]

b.   Periode Islam
Sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
             Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada masalah-masalah keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya. Pengalihan pengetahuan ilmiah dari Filsafat Yunani ke dunia Islam, dan penyerapan serta pengintegrasian pengetahuan itu oleh umat Islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik. Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia Islam, pada dasarnya terdapat upaya rekonsiliasi dalam arti mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan keagamaan dalam Islam yang seringkali menimbulkan benturan-benturan.
             Pada masa kejayaan Islam, ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa Islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan (Dark Age). Dalam sejarah Islam, kita mengenal nama-nama seperti Al-Mansur (754-775  M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan Al-Ma’mun (813-833 M), yang memberikan perhatian teramat besar bagi perkembangan ilmu di dunia Islam. Pada masa pemerintahan Al-Mansur(754-775  M) , misalnya, proses penerjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa Arab berjalan dengan pesat. Pada masa Harun Al-Rasyid (786-809 M),  proses penerjemahan itu juga masih terus berlangsung. Harun memerintahkan Yuhana Ibn Masawayh, seorang dokter Istana, untuk menerjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Di masa itu juga diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi, seperti Siddhanta; sebuah risalah India yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim al-Fazari. Perkembangan ilmu selanjutnya berada pada masa Al-Ma’mun (813-833 M). Ia adalah seorang pengikut Mu’tazilah .  ia telah berjasa besar dalam mengembangkan ilmu di dunia Islam dengan membangun Bait al-Hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan, observatorium, dan departemen penerjemahan. Orang terpenting, di Bait al-Hunain, seorang murid Masawyh, yang telah berjasa menerjemahkaan buku-buku Plato, Aristoteles, Galaneus, Appilonuis, dan Archimedes.[11]

c.    Periode Renaisans
Dari abad 8 M sampai 15 M Eropa belajar dari tradisi keilmuan Islam Andalusia. Pada abad 8 M Eropa masih jahiliyah, masih dogmatic, 99% masih buta aksara. Raja Eropa masih ada yang buta huruf. Pada abad 8 M telah berdiri Universitas Islam di Cordova, telah dijumpai lebih 800 public schools. Para pejabat di Cordova telah memiliki perpustakaan pribadi. Ilmuwan Eropa selama 6 abad menimba ilmu di Andalusia. Pada abad 15 M Eropa, dimulai di Italia tahun 1350, mulai menerjemahkkan buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa Arab ke bahasa Eropa. Dan era itu ditandai sebagai Era Renaissans (Eropa); era kebangkitan dari dogmatism Katholik menjadi era rasionalitas Yunani. Dari situ Nampak manipulasi Barat, tanpa menyebut Islam.[12]
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. [13]
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja Katolik Roma, bersamaan dengan berkembangnya Humanisme.
 Pada zaman renaisans ini manusia Barat mulai berpikir secara baru,secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini telah membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu. Dalam sejarahnya, pada masa ini dikenal dengan dikotomi ilmu dan agama muncul. Hal ini berawal dari perlawanan masyarakat Barat terhadap dominasi gereja terhadap sosio-religius dan sosio-intelektual di Eropa. Pada masa ini, gereja menetapkan bahwa penentu kebenaran ilmiah adalah bersandar dari ajaran yang ada di dalamnya Kristen.
Pengadilan inquisi yang dialami oleh Copernicus, Bruno dan Galileo tentang pendapat mereka yang bertentangan dengan gereja telah mempengaruhi proses perkembangan berpikir masyarakat Eropa yang pada dasarnya ingin terbebas dari nilai-nilai di bidang keilmuan.[14]  Pertentangan terjadi karena gerja membuat teori-teori pengetahuan yang tidak sesuai dengan pemikiran para ilmuan sehingga temuan ilmiah yang bertentangan dengan gereja harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan supremasi gereja. Karena merasa tertekan akhirnya para ilmuwan melawan kebijakan gereja dengan mengadakan koalisi untuk menumbangkan dominasi gereja dan muncullah reinaissance kemudian yang dari nya lah melahirkan sekularisasi dan dari sekularisasi ini lahirlah dikotomi ilmu. Dengan kejadian otoritas gereja yang demikian,para ilmuwan menjadi tidak lagi percaya pada agama. Mereka menganggap bahwa agama telah membelenggu kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak mendukung pertumbuhan ilmu serta menghambat cara pikir mereka.[15]

2.        Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Naquib Al-Attas adalah pemikir Muslim terkeuka dan pembaru pemikiran Islam. Sosoknya sebagai pemikir dan pembaru di dunia Islam tercermin dari gagasan perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemprer.[16]
Ide-ide dan tulisan-tulisan Al-Attas dalam disiplin filsafat Islam yang menyentuh berbagai disiplin ilmu agama, pendidikan, dan sains termasuk di antara yang terbaik dan paling kreatif falam khazanah pemikiran Islam kontemporer. dia adalah orang pertama di Dunia Islam kontemporer yang mendifinisakn, mengkonseptualisasikan, dan menjabarkan arti, lingkup, dan muatan pendidikan Islam, ide dan metode islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, hakikat dan pendirian universitas Islam, serta formulasi dan sistematisasi metafisika Islam dan filsafat sains dalam bentuk yang sangat sistematis dan filosofis.
Al-Attas mengatakan bahwa Islamisasi pengetahuan adalah sebagai proses pembebasan atau pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaninya dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya,sebagai fitrahnya.[17] Ia menekankan bahwa yang pertama-tama harus mengalami Islamisasi adalah ilmu pengetahuan atau ilmu masa kini atau kontemporer.[18] 
Strategi Naquib Al-Attas sendiri tentang islamisasi pengetahuan lebih menitikberatkan pada pengenalan kembali istilah dan konsep kunci Arab-Islam dalam bahasa-bahasa umat Islam modern sebagai upaya  mengislamkan kembali dan melawan derasnya arus sekularisasi pikiran umat Islam
Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan itu Naquib Al-Attas kemudian di populerkan oleh seorang direktur Lembaga Pengkajian Islam Internasional, Ismail Raji Al-Faruqi[19] dengan karya popular nya, Islamisation of Knowledge,1982. [20] Menurut al-Faruqi umat Islam berada dalam keadaan lemah. Kemerosotan muslim dewasa telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian telah ikut andil penyebab terjadinya kebodohan. Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Baart sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi.persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik.
     Sebagaimana yang terungkap dalam bukunya itu,bahwa gagasan islamisasi tersebut Nampak sebagai respon seorang intelektual Muslim terhadap efek negatif yang ditimbulkan dari ilmu pengetahuan modern Barat yang sekuler. Sebelum merumuskan gagasan islamisasi itu, Al-Faruqi memulainya dengan memperlihatkan, betapa dunia Islam saat ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan pun politik yang disebutnya sebagai malaise-malaise itu. Secara global ada lima program kerja yang dirumuskan Al-Faruqi, yakni:
a)    Penguasaan disiplin ilmu modern
b)    Penguasaan khazanah Islam
c)    Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
d)   Pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern
e)   Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana           Allah SWT.[21]




Gambar 1. Langkah Islamisasi Ilmu Al-Faruqi dalam bagan

       3.    Respon terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sejak pertengahan 70-an, isu mengenai islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi agenda intelektual yang memberikan harapan besar pada kebangkitan Islam dan menjadi salah satu topic yang sangat kontroversial. Ia memberikan inspirasi kepada intelektual dan aktivis Muslim di seluruh dunia sekaligus mengundang reaksi keras.[22]
Upaya Islamisasi dianggap merupakan agenda besar guna mendekatkan kembali ilmu pengetahuan dengan Islam. Namun, wacana tersebut menyulut perdebatan yang serius antara dua alur mainstream; pro dan kontra. Salah satu reasoning yang biasa diajukan oleh para penyangga Islamisasi Ilmu bahwa kebenaran wahyu bersifat mutlak, sedangkan kebenaran rasio bersifat relatif sehingga rasio harus tunduk pada wahyu. Pernyataan ini seakan-akan mengandaikan wahyu yang termaktub dalam al-Qur’an dapat mengungkapkan dirinya sendiri sehingga manusia hanyalah sebagai agen pasif yang begitu saja menerima pengetahuan darinya. Jamak diketahui, Islamisasi Ilmu selalu mengobarkan semangat kembali ke al-Qur’an dan hadis dan dengan meletakkannya sebagai sumber pengetahuan. Alasannya, selain sebagai pedoman hidup kaum Muslim, di dalamnya juga banyak ditemukan banyak ayat yang berbicara tentang fenomena alam dan kemanusiaan. Dengan demikian, al-Qur’an benar-benar menyediakan dirinya sebagai muara dari segala ilmu pengetahuan. Atau setidaknya, Islamisasi Pengetahuan meletakkan al-Qur’an sebagai konsep dasar (baca: inspirasi) yang dikembangkan melalui riset ilmiah.
Sebaliknya, mereka yang menolaknya berargumen bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif, dan karenanya selalu netral, seperti dalam konsep netralitas etik. Gugatan dari kelompok yang menolak Islamisasi Ilmu itu menyodorkan persoalan seperti bagaimana memberi label matematika yang Islam. Adakah perbedaan arkeologi Islam dan arkeologi non-Islam?[23]26 Pertanyaan-pertanyaan problematik
Seperti ini tampaknya menjadi landasan kritik terhadap gagasan “Islamisasi Pengetahuan”. Menyikapi hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan, masalahnya hanya dalam menyalahgunakan. Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “Pisau bermata dua” yang harus digunakan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggungjawab, sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.27
Pada umumnya para pengkritik Islamisasi Ilmu berpendapat bahwa sains adalah mengkaji fakta-fakta objektif dan independen dari manusia di mana budaya dan agama harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam, misalnya mengatakan hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam, sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi, atau sains Kristen.28 Mengikuti Abdus Salam, Pervez Hoodbhoy, juga menyatakan bahwa tidak ada sains Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam merupakan pekerjaan sia-sia, sebagaimana telah diungkap Sir Syed Ahmed Khan, bahwa tujuan agama lebih pada usaha meningkatkan moralitas ketimbang menjelaskan fakta-fakta sains.29 Kritik terhadap Islamisasi Pengetahuan juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush. Abdul Karim Soroush juga mengajukan kritik terhadap konsep Islamisasi Ilmu. Ia menyimpulkan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin (the impossibility or illogicality of Islamization of knowledge). Alasannya, realitas bukan Islami atau tidak Islami. Kebenaran yang ada di dalamnya juga bukan ditentukan apakah ini Islami atau tidak Islami. Oleh sebab itu, sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau tidak Islami.
Sayyed Hossein Nasr misalanya, salah seorang cendikiawan Muslim kontemporer yang sangat termasyur. meskipun sangat sadar akan bahaya sekularisme dan modernisme, Nasr tidak pernah mendefinisikan konsep tradisionalisme secaraekspresif dalam pengertian yang sangat luas dengan mengikuti alur filsafat perennial. Namun, dia belum banyak memikirkan islamisasi sebagai program kependidikan dan filosofis yang terencana. Dalam karyanya, Traditional Islam in the Modern World (1987), dia memberikan komentar mengenai berbagai usaha pengislamisasian kembali system pendidikan Islam, dan islamisasi berbagai disiplin ilmu, dan disitu dia menyebutkan usaha-usaha kelompoknya yang cenderung tradisionalis dan fundamentalis.
Muhsin Mahdi, seorang sejarahwan filsafat Islam terkenal dan ahli histtoriografi dari Harvard, membahas isu ini secara tidak langsung dengan merujuk pada usaha-usaha umat Islam terdahulu, bukan sebagai islamisasi, melainkan sebagai harmonisasi antara ilmu agama dan nonagama atau ilmu rasional. Ia beranggapan bahwa ide kontemporer mengenai ilmu Islam adalah suatu usaha untuk mengaplikasikan formulasi filsafat khas Kristen neo-Thomist ke dalam Islam, yang tidak dapat dibenarkan karena, tidak seperti Kristen Katholik, Islam tidak memilik apa yang disebut sebagai induk dari segala ilmu yang merupakan pokok dari seluruh dikursus dan aktivtas filsafat dan keilmuan.
Semua yang menentang islamisasi ilmu pengetahuan sependapat bahwa ilmu, yang merupakan studi mengenai fakta-fakta, adalah objektif, bebas dari masyarakat, kultur atau agama, dan harus dipisahkan dari nilai sesungguhnya, realitas itu tidaklah islami atau nonislami. Abdus Salam berpendapat bahwa, disana hanya ada satu ilmu universal yang problem-problem dan modalitasnya adalah internasional dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu Islam, seperti juga tidak ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen.[24]

       4.        Urgensi Integrasi Sains dan Islam
Dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan non-agama, sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi, dikotomi tersebut tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam system pendidikan Islan, hingga system pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke Dunia Islam melalui imperialism. Hal ini terjadi karena, sekalipun dikotomi ilmu-ilmu agama dan non-agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di Dunia Islam, sain modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan. Ketika berbicara tentang hal-hal gaib, ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris. [25] Padahal ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindari dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, malaikat dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka.[26] Ilmu-ilmu sekuler yang diperkenalkan ke Dunia Islam oleh Barat mengakibatkan munculnya dikotomi yang sangat ketat antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini juga akhirnya mempengaruhi system pendidikan di sekolah-sekolah bahkan perguruan tinggi. Sebagaimana, keilmuan yang dikembangkan oleh lembaga pesantren yang terfokus pada ilmu-ilmu agama, dan sekolah-sekolah umum yang hanya terfokus pada ilmu-ilmu umum, dimana jatah waktu untuk mata pelajaran ilmu agama hanya sedikit.
Kiranya anggapan sebagian masyarakat bahwa ilmu terdiri dari dua bagian antara ilmu agama dan ilmu umum sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Perbedan ini terjadi karena, selain sumber dan medan garapan berbeda, juga adalah perbedaan titik tolak. Jika ilmu agama (revealed knowledge) berangkat dari sebuah kepercayaan, maka ilmu umum (scientific knowledge) berangkat dari keraguan.[27] Bahkan lebih ironis lagi dikatakan bahwa agama itu bukan ilmu, artinya wacana agama adalah sesuatu yang lepas dari wacana ilmiah karena hanya berbicara tentang makna, tidak berbicara tentang fakta yang empiris. Dan ilmu-ilmu umum yang dikatakan sekuler dianggap bid’ah yang haram untuk dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir.     
Mewabahnya arus dikotomisasi agama dan Sains ini yang kemudian berimplikasi pada kemunduran keilmuan Islam lah yang menjadi titik awal munculnya gagasan Integrasi sain dan Islam dalam dunia keilmuan.
Sekalipun persoalan yang mendasar bukanlah terletak pada dikotomi dan integrasi, melainkan pada bagaimana menanamkan pemahaman holistic terhadap ajaran agama yang universal dan kosmopolit. Karena itu dalam ilmu sebenarnya tidak mengenal dikotomi dan disentegrasi, melainkan spesialisasi-spesialisasi yang berkembang semakin cepat,kompetitif,dan berkualitas. Al-Qur’an sebagai kitab rujukan umat Islam sebenarnya tidak mengenal dikotomi. Al-Qur’an justru menginstruksikan kaum beriman untuk senantiasa ber-tafakkur dan ber-tasyakkur.[28]
Pendidikan memiliki peran sebagai pemasok utama manusia-manusia skilled, manusia yang tidak hanya unggul dalam segi keilmuan namun juga cemerlang dalam hal spiritual. Karena itu, paradigma suprematif di atas perlu di (de/re) konstruksi bila tidak ingin system pendidikan Islam mengalami ketertinggalan.

    C.  Kesimpulan 
Eksistensi ilmu pengetahuan ini tentunya tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangannya, dimana dalam pertumbuhan ilmu pengetahuan itu sendiri terdapat proses yang panjang yang tidak bisa lepas dari ragam pengaruh dalam dinamika sosial, budaya,dan politik yang berkembang pada saat itu
Jika pengetahuan lahir sejak manusia pertama diciptakan, maka perkembangannya sejak jaman purba. Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani Kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.
Perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa yang dipengaruhi oleh berbagai factor ini menimbulkan polemik dalam bidang keilmuan yakni adanya dikotomi ilmu, antara ilmu umum dan ilmu agama. Yang dimana dari hal inilah muncul sebuah wacana dan gerakan islamisasi ilmu atau lebih dikenal dengan mengintegrasikan antara ilmu umum dan agama. Dengan harapan si
Sistem pendidikan Islam tidak lagi tertinggal jauh. Juga untuk menghapus opini-opini yang berkembang terkait pengkotakan-pengkotakan ilmu pengetahuan, sebab sejatinya ilmu bukan sekedar untuk memuaskan rasa ingin tahu namun untuk mengamati dari dekat jejak-jejak ilahi.



DAFTAR PUSTAKA


Kartanegara, Mulyadi ,2005, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: UIN Jakarta Press.
Abdullah, M.Amin, dkk, 2004,Integrasi Sains – Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, Yogyakarta: Pilar Religia.
Bakhtiar, Amsal ,2013, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mustansyir, Rizal, dan Munir, Misnal, 2015,Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Russell, Bertrand, 2004, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Muhadjir, Noeng, 2015,Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2015.
Karim, Abdul, Sejarah Perkembangan Ilmu pengetahuan, jurnal Vol.2, No.1, Juni 2014.
Zainuddin,2008, Paradigma Pendidikan Terpadu, Malang: UIN Press.
Ramayulis dan Nizar, Syamsul ,2005, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan di Indonesia, Ciputat: Quantum Teaching.
Zainuddin,2003,Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Bayumedia Publishing.
Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, Bandung: Mizan.
Barizi, Ahmad, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Malang: UIN MALIKI Press.
Zainal Abidin Bagir, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi Bandung: Mizan
Pervez Hoodbhoy,1996, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, ter. Sari Meutia Bandung: Mizan




[1] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,( Jakarta: UIN Jakarta Press,2005) h.9
[2] M.Amin Abdullah dkk, Integrasi Sains – Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, (Yogyakarta: Pilar Religia ,2004)h.33
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h. 27
[4] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2015) h.123
[5] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar,2004), h.3-4
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h. 21-22
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h. 21-22
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h. 23
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung Remaja Rosda Karya, 1992) h. 4
[10] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h. 25-30
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h.37-46
[12] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2015 h.222
[13] Abdul Karim, Sejarah Perkembangan Ilmu pengetahuan, jurnal Vol.2, No.1, Juni 2014
[14] Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu,( Malang: UIN Press,2008) h.16
[15] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan,2003) H.61
[16] , Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan,2003) H.15
[17] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan,2003) H.321
[18] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, h.398
[19] Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari 1921 dan  meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. selama masa hidupnya al-Faruqi telah menulis banyak tulisan, baik di majalah ilmu maupun popular, dan juga buku. Lebih dari dua puluh buku dalam berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu,yang dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan.
Lihat, Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan di Indonesia,(Ciputat: Quantum Teaching,2005)h.107 -210
[20] Zainuddin,Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,( Bayumedia Publishing,2003) h.154
[21] Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,( Bayumedia Publishing,2003) h.155
[22] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, h.386
26 Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama”, dalam Zainal Abidin Bagir et. all., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), 214. 
27Sebagaimana dikutip Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu”, dalam Majalah Islamia. Tahun 01. No. 6/Juli-September 2005, 15. 
28Sebagaimana dikutip Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer”. dalam Majalah Islamia, Tahun 01. No. 6/Juli-September 2005, 35. 
29Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, ter. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), 138. 
[24] Wan  Mohd  Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, h.417-419
[25] Menurut beberapa sejarahwan sains, periode antara 1170-1270 M adalah kulminasi perdebatan mengenai hakikat dan pembagian ilmu-ilmu di Barat, yang dipicu oleh terjemahan karya-karya cendikiawan Muslim, khususnya Al-Farabi. Formulasi yang sangat ambisius dan terkenal mengenai hakikat dan ruang lingkup ilmu pada akhir Abad Pertengahan adalah karya Robert Kilwardby berjudul De ortu scientiarium yang terbit pada pertengahan abad ke-13. Dia membagi ilmu ke dalam ilmu manusia dan ilmu Tuhan. Ilmu Tuhan adalah ilmu mengenai Perjanjian Lama dan Baru, sedangkan semua ilmu kemanusiaan, baik spekulatif maupun praktis, adalah produk filsafat.  Ilmu modern dianggap berbeda dari keduanya semenjak abad ke-17. Sejak saat itu, metode ilmiah dibatasi hanya pada metode yang valid secara empiris dan terbukti melalui eksperimen. Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan,2003) H.532
[26] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,(Jakarta: UIN Jakarta Press,2005), h.20
[27] Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Malang: UIN MALIKI Press,2011), h.20
[28] Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Malang: UIN MALIKI Press,2011), h.23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar