KEADAAN INTELEKTUAL PADA MASA DINASTI MUGHAL (1526-1858 M)
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam”
Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A
Dr. M. Hadi Masruri, M.A
Pemakalah:
ASTRIFIDA RAHMA AMALIA
(16771014)
(16771014)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A.
Dasar Pemikiran
Islam sudah
pernah mengalami masa kejayaannya pada era Abbasiyah selama sekitar kurang
lebih 5 abad (750-1258 M) Namun akibat adanya serangan Mongol yang dipimpin
oleh Jenghiz Khan dan dilanjutkan oleh cucunya, Hulagu Khan ke berbagai penjuru
dunia termasuk Baghdad sebagai ibukota Abbasiyah pada saat itu, maka lama
kelamaan kejayaan Islam mulai sirna. Sebagai anti tesis dari keadaan
tersebut, keturunan Mongol pula lah yang kemudian membangun peradaban Islam
kembali melalui tiga kerajaan besar Islam yaitu Kerajaan Syafawiyah di Persia,
Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Turki Utsmani.
Kerajaan Mughal
di India merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia yang tidak dapat
dihilangkan dalam lintasan sejarah peradaban umat Islam[1].
Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur[2]
(1526-1530 M). Secara geneologis, Babur merupakan cucu Timur Lenk (dari pihak
ayah) dan keturunan Jenghiz Khan (dari pihak ibu)[3]. Dinasti
ini bertahan selama kurang lebih 3 abad dengan puncak kejayaan dimulai masa
pemerintahan Akbar (1556-1605 M) dan tiga raja penggantinya yaitu Jehangir
(1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M) dan Aurangzeb (1658-1707 M)[4].
Dinasti Mughal
juga banyak memberikan sumbangan di bidang ilmu pengetahuan. Sejak berdiri,
banyak ilmuwan yang datang ke India untuk menuntut ilmu pengetahuan, bahkan
Istana Mughal pun menjadi pusat kegiatan kebudayaan[5].
India sendiri sudah memajukan pengetahuan ilmiah pada abad ke-6 melalui ilmuwan
matematika yang bernama Varahamihira dan juga mempunyai ilmu dalam bidang
bahasa yang tinggi[6].
Berdasarkan
pemaparan di atas, maka pemakalah akan membahas tentang keadaan intelektual dan
pendidikan yang terjadi pada dinasti Mughal beserta tokoh-tokoh intelektual
yang muncul saat itu.
B.
Pembahasan
1.
Latar Belakang
Intelektual Pada Era Dinasti Mughal
Setelah era
Abbasiyah, umat Islam mulai menyatakan bahwasannya pintu ijtihad telah
tertutup. Hal ini menyebabkan para penguasa-penguasa di tiga kerajaan besar
(Turki-Syafawi-Mughal) bersikap taqlid dan tidak mau mencoba untuk
berijtihad sehingga fokus perkembangan kerajaan pada masa tersebut tidak
berorientasi pada perkembangan intelektual.
Jalaluddin
Akbar sebagai raja yang membawa dinasti Mughal pada puncak kejayaannya mulai
mencoba untuk berijtihad dengan konsep Din-e-Ilahi nya. Walaupun
terdapat banyak pertentangan dari para tokoh-tokoh intelektual[7]
namun konsep ini mampu memperluas wilayah dinasti Mughal yang mana
kerajaan-kerajaan kecil yang masih beragama Hindu ingin untuk bergabung dengan
Mughal.
Dasar pemikiran
konsep Din-e-Ilahi yang mengedepankan toleransi tidak hanya diambil dari
Al Qur’an dan Sunnah tetapi mengkolaborasikannya dengan hukum Hindu sebagai
hukum yang dianut mayoritas masyarakat India pada saat itu[8].
Umat Hindu merasa sangat dihargai keberadaanya dengan perolehan kedudukan yang
sama dalam hal apapun. Abu al-Fadl (w. 1602) menjadi tokoh yang
mengartikulasikan gagasan Din-e-Ilahi dan sifat akomodatif Islam
terhadap agama Hindu yang dibalut dalam warna filsafat dan tasawuf.
2.
Pendidikan Pada
Era Dinasti Mughal
Pendidikan Islam dinasti Mughal dibagi dalam empat jenjang dan
bidang, yaitu:
a.
Pendidikan
dasar yang dilaksanakan di masjid (maktab). Bidang ilmu yang dipelajari
adalah pendidikan agama[9].
Seorang ilmuwan Muslim, Sidi Gazalba bahkan mengatakan bahwa di masa dinasti
Mughal pendidikan didorong dengan hadiah uang untuk masjid. Semua masjid selalu
mempunyai sekolah dasar[10].
b.
Pendidikan
lanjutan yaitu madrasah. Bidang ilmu yang dipelajari adalah pendidikan moral.
Ini berarti perhatian sejumlah penguasa Mughal terhadap pembinaan agama dengan
membangun sejumlah masjid misalnya sangat bermanfaat bagi pengembangan
pendidikan Islam dan ajaran Islam di kalangan masyarakat. Sementara itu, untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan bagi orang-orang kaya, pihak kerajaan juga telah menyediakan
madrasah-madrasah khusus. Pendidikan atau sekolah khusus ini juga disediakan
bagi orang Hindu yang disebut dengan Pat Shala yang didirikan pada masa
pemerintahan Akbar. Namun demikian, di samping sekolah khusus bagi kelompok
agama tertentu, pihak kerajaan juga menyediakan sekolah tempat anak-anak muslim
dan Hindu belajar bersama[11].
c.
Pendidikan
tinggi atau universitas. Bidang ilmu yang dipelajari adalah ilmu profesi. Dalam
perkembangannya, masjid raya telah berkembang menjadi sebuah universitas[12].
Di masa Syah Jahan didirikan perguruan tinggi di Delhi. Jumlah ini semakin
bertambah ketika pemerintahan dipegang oleh Aurangzeb. Aurangzeb[13]
memberikan sejumlah uang dan tanah untuk membangun pusat pendidikan di Lucknow[14].
d.
Pendidikan di khanqah
(pesantren) yang dipimpin ulama atau wali yang secara umum ada di daerah-daerah
pedalaman. Khanqah pada era ini merupakan pusat studi Islam yang dinilai
baik. Di khanqah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan seperti matematika,
mantik/ logika, filsafat, tafsir Qur’an, hadits, fiqh, sejarah dan geografi.
Bahasa Persia pada masa itu merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan
pendidikan dan pengajaran agama Islam. Pendidikan yang diselenggarakan ini
diikuti oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Tokoh-tokoh perempuan
yang merupakan lulusan khanqah ini antara lain Gulbadan Begum, Maham
Anga, Nur Jahan, Mumtaz Mahal, Jahan Ara Begum, dan Zaibun Nisa yang kemudian
menjadi penulis yang terampil[15].
Perkembangan khanqah ini berlangsung pesat karena memperoleh dukungan
dari kaum bangsawan[16].
Pendidikan
memang cukup memperoleh perhatian yang besar. Untuk keperluan ini pihak
kerajaan mendorong untuk menjadikan masjid selain sebagai tempat ibadah juga
sebagai tempat belajar agama bagi masyarakat. Di masjid memang telah terdapat
ulama yang akan memberikan pengajaran berbagai cabang ilmu agama. Bahkan, di
masjid juga telah disediakan ruangan khusus bagi para pelajar yang ingin
tinggal di masjid selama mengikuti pendidikan. Oleh karena itu, hampir setiap
masjid merupakan pengembang ilmu-ilmu agama tertentu dengan guru-guru
spesialis. Dalam perkembangannya pun, masjid raya telah berkembang menjadi
sebuah universitas[17].
3.
Perpustakaan
Pihak kerajaan
juga menyediakan perpustakaan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Akbar
dikenal sebagai raja yang gemar membaca dan mengoleksi buku. Pada masa
pemerintahannya, banyak buku-buku terjemahan diterbitkan. Diantaranya buku
terjemahan kisah Mahabaratha dan Ramayana yang dibuat oleh Badayuni, terjemahan
Kitab Injil ke dalam bahasa Persia. Bahkan Akbar juga mengizinkan anaknya
(Murad) untuk belajar ilmu pengetahuan pada pendeta Katholik[18].
Berbagai
kegiatan tulis menulis dalam masalah agama, sejarah, maupun syair ikut
melengkapi koleksi perpustakaan kerajaan sekaligus penyebaran ilmu pengetahuan sehingga
banyak dijumpai perpustakaan yang ada di berbagai wilayah kerajaan Mughal. Pada
tahun 1641 pemerintahan Syah Jahan, terdapat sebuah perpustakaan di Agra yang
memilki koleksi 24.000 buku. Oleh karena itu, semangat dan perkembangan agama
Islam yang telah berkembang di kalangan kerajaan maupun masyarakat pada umumnya
sebetulnya bersamaan dengan tumbuhnya lembaga-lembaga keagamaan, pendidikan,
dan ilmu pengetahuan[19].
Di masa dinasti ini juga lahir Mausu’at yaitu buku kumpulan berbagai
ilmu dan masalah seperti ensiklopedia[20].
4.
Tokoh-Tokoh
Intelektual
Adapun tokok-tokoh intelektual pada era dinasti Mughal antara lain:
a.
Bidang medis
-
Dara Shukuh
yang merupakan ensiklopedi medis dan tokoh sufi (1615-1659 M) pada masa
pemerintahan Aurangzeb
-
Muhammad Akbar
Syah Arzani mengembangkan ilmu medis yang berbentuk filosofi medis (pendekatan
kepada Allah) dan membuat skala kedokteran, beliau hidup sekitar abad 18 M.
b.
Bidang sastra
-
Malik Muhammad
Jayadi (1477-1542 M) dengan karyanya Padmavat (karya alegoris dengan
pesan kebajikan manusia)
-
Gulbadan Begum (1523-603
M) yang menulis biografi Humayun
-
Jahan Ara (1614-1681
M) yang menulis Munis Al-Arwah
-
Jahangir (1569-1627
M) menulis biografinya sendiri yaitu Tuzk-I Jahangiri.
c.
Bidang agama
-
Syaih
Waliyullah al Dahlawi (1703-1762 M)
d.
Bidang filsafat
-
Abul Faidh
-
Abu Fadl (w.
1602), karyanya A’in-I Akbar (hukum Akbar) dan Akbar Name (buku
Akbar).
Tokoh
intelektual yang cukup berpengaruh pada dinasti Mughal terutama pada masa
pemerintahan Akbar adalah Abu Fadl. Abu Fadl adalah seorang pemikir filsafat
yang berpandangan bahwa semua penganut agama dapat saling belajat satu sama
lain. Sebagai rekan sekaligus penasehat Akbar, Abu Fadl memberikan dukungan
kepada Akbar dalam mengembangkan ide Din-e-Ilahi[21]
dengan cara mewadahi, merefleksikan, dan mengartikulasikan
pemikiran-pemikiran dan tujuan politik Akbar[22]. Namun
politik ini kemudian dinyatakan terlarang pada masa pemerintahan Salim putra
Akbar karena sebagian umat Islam menolak gagasan tersebut.
Kemudian pada
masa pemerintahan Aurangzeb membentuk sebuah komisi yang bertugas menyusun
kitab kumpulan hukum Islam. Hasil kerja komisi ini adalah diundang-undangkannya
kitab peraturan ibadah dan muamalat umat Islam yang dinamakan Fatawa-I
Alamghiriyyah[23]
yang dinisbahkan kepada nama sultan. Kitab ini terdiri dari enam jilid tebal
dengan rujukan umat madzhab Hanafi, yang juga disebut dengan Fatawa
al-Hindiya[24].
Aurangzeb dinilai berhasil dalam menjalankan pemerintahan yang memberikan corak
keislaman di tengah-tengah masyarakat Hindu.
Dari
gagasan-gagasan para penguasa dinasti Mughal diatas tidaklah lepas dari peran
tokoh-tokoh intelektual yang memberikan dukungan seperti contohnya Abu Fadl
sebagai representasi intelektual yang dekat dengan pemerintahan atau dapat
disebut “ulama pemerintah” karena kedekatannya dengan Akbar. Ia secara sangat
meyakinkan menjadi tokoh yang mengartikulasikan gagasan Din-e-Ialahi.
5.
Pengaruh dalam
Sistem Kekuasaan
Sebagaimana
Turki Utsmani, Dinasti Mughal juga berkarakter militeristik sultan sebagai
penguasa diktator. Bahkan pejabat-pejabat memang diharuskan mengikuti latihan
kemiliteran meskipun dalam praktik keagamaan lebih bercorak filosofis sufistik.
Dua pemimpin
Dinasti Mughal yang cukup menonjol dalam bidang agama dan penerapan hukum yakni
Sultan Akbar dan Aurangzeb. Sultan Akbar menjalankan gagasan Din-e-Ilahi
dan politik Sulakhul (toleransi universal). Politik ini mengandung
ajaran bahwa semua rakyat India sama kedudukannya. Mereka tidak dapat dibedakan
karena etnis dan agama. Kemudian Aurangzeb mempelopori lahirnya sebuah
peraturan kitab ibadah dan muamalat yaitu Fatawa-i Alamgiriyyah.
Pengaruhnya
meliputi bangsawan baik Hindu maupun Muslim. Bahkan sebagian reformis Muslim
mendukung kebijakan “Hinduisme menggunakan Pedang Islam”. Upaya ideologis Akbar
dan Abu al-Fadl tidak berlangsung lama yang berakibat pada pemisahan
kerajaan-kerajaan kecil Hindu dari Mughal. Yang kemudian, muncullah 3 tokoh
besar yaitu: Abu al-Fadl, Syaikh Ahmad Sirhindi, dan Syaih Waliyullah[25]. Syaih
Waliyullah tampil sebagai pengkritik konsep Akbar serta gencar menyerukan
kepada umat Islam pada saat itu untuk kemabali kepada ajaran Al Qur’an dan
Sunnah.
6.
Keadaan
Pendidikan pada Masa Dinasti Mughal
Keadaan
pendidikan pada zaman kerajaan Mughal umumnya sama dengan keadaan pendidikan
yang terjadi pada kerajaan Turki Usmani dan Safawi. Walaupun telah tersebutkan
diatas beberapa tokoh intelektual yang muncul pada era ini, namun pendidikan
banyak terkonsentrasi pada pewarisan dan pemeliharaan pemikiran keagamaan yang
telah dihasilkan oleh para ulama zaman klasik, tanpa berani melakukan
pembaharuan. Para ulama yang lahir pada zaman kerajaan Mughal hanya menyimpan,
menguasai, dan meneruskan, ajaran yang telah disusun oleh para ulama
sebelumnya.
Pembangunan
madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama tidak sesuai lagi dengan
semangat zaman. Hasil lembaga pendidikan madrasah ini hanya menjadi ahli agama,
guru madrasah, guru mengaji, penghulu, khatib, para da’i, pegawai kantor agama,
mufti, penasehat, dan jabatan lainnya yang bersifat spiritual.
Adapun
pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan pemikiran bebas yang melahirkan
karya-karya inovatif dalam ilmu pengetahuan umum seperti matematika, aljabar,
ilmu pasti, fisika, astronomi, biologi, dan kedokteran sudah tidak berkembang
lagi. Keadaan ini pada gilirannya menghasilkan sumber daya yang pincang, tidak
utuh, dan tidak seimbang[26]. Keadaan
ini pula yang pada gilirannya tidak mampu menghadapi kemajuan yang dicapai
Eropa dan Barat dan selanjutnya menyebabkan kerajaan Mughal dan negara-negara
Islam lainnya tidak berdaya menghadapi kolonialisme (penjajahan) Barat. Itulah
sebabnya pada masa berikutnya, dinasti Mughal berada dalam jajahan Inggris.
Bisa dikatakan bahwa kurangnya perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan/
intelektual dapat menyebabkan kemunduran dinasti ini.
Di antara para
sejarawan mencoba mencari faktor-faktor penyebabnya mengapa keadaan Islam
menjadi demikian pada era dinasti Mughal. Di antara faktor penyebab kemunduran
tersebut menurut Badri Yatim adalah sebagai berikut: pertama, karena
metode berpikir yang digunakan dalam bidang teologi adalah metode berpikir
tradisional yang bertitik tolak bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak
Tuhan dan bukan karena usaha manusia. Metode berpikir ini menyebabkan umat
Islam tidak kreatif dan mudah menyerah pada keadaan. Kedua, karena tidak
ada lagi kebebasan berpikir yang menyebabkan lahirnya berbagai temuan. Setiap
orang pada masa itu cukup mengikuti pemikiran yang telah ada, sehingga tidak
menimbulkan berbagai temuan baru. Mereka lebih memilih keadaan yang tenang
walaupun tidak ada kemajuan. Ketiga, karena sarana prasarana yang
diperlukannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sudah banyak yang hancur dan
kekuasaan Islam pada masa ini dipegang oleh bangsa Mongol yang lebih dikenal
sebagai bangsa yang suka berperang daripada sebagai bangsa yang suka berpikir
dan mengembangkan ilmu pengetahuan[27].
Selain itu bahasa Arab sudah tidak dikembangkan lagi padahal bahasa Arab
merupakan bahasa persatuan dan bahasa ilmiah pada masa sebelumnya.
C.
Kesimpulan
Kerajaan Mughal
merupakan kerajaan besar di India yang telah bertahan kurang lebih sekitar 3
abad. Kerajaan ini sangat berjasa dalam membentuk peradaban Islam di India.
Kerajaan ini mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Akbar dan
dilanjutkan oleh tiga Sultan setelahnya. Upaya-upaya untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan telah dilakukan oleh penguasa-penguasa Mughal namun masih belum
bisa menembus seperti perkembangan intelektual pada era Abbasiyah (Golden
Age) karena disebabkan oleh beberapa faktor. Sehingga, karena kemunduran
intelektual inilah salah satu penyebab masuknya masa kolonialisme Inggris di
India.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. et.al,
(Ed), 2002 Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
Ali Sodikin, dkk. 2002. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik
Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI
Asari, Hasan. 1993. Menyingkap Zaman Keemasan Islam.
Bandung: Mizan
Dahlan, Abdul Aziz. 1996., Ensiklopedi Islam Jilid V,
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve Karim , Abdul, 2007. Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam . Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher
Gazalba, Sidi. 1994. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta: Al-Husna
Hamka, 1975. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Hamka, 1949. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara
Hasymy. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Melayu ,Hasnul Arifin. 2014. Syariat Islam Pada Dinasti Asia
(Telaah Kritis Tipologi Mujtahdi dan Geneologi Intelektual), Jurnal
ar-raniry.ac.id.
Mubarok, Jain. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy
Morgan , Kenneth W. 1989. Islam Jalan Lurus . Jakarta:
Pustaka Jaya
Nata, Abudin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Prenada Media Group
file:///C:/Users/user/Downloads/spi/KERAJAANMUGHALDANPENDIDIKANISLAM
DIINDIA _ TepiCitarum.htm, Akses 30 Maret
2017
https://islamicbookshub.wordpress.com/2013/03/04/fatawa-alamgeerei-in-urdu/
Akses tgl 5 April 2017 pkl 17:22
[1] Lihat Prof.
Dr. M. Abdul Karim, M.A, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam ,
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 314
[2] Pendiri
kerajaan ini adalah Zahiruddin Muhammad dikenal dengan Babur yang
berarti singa. Ia putra Umar Syaikh seorang penguasa Farghanah (Asia Tengah)
keturunan langsung dari Minrasah, pytra ketiga dari Timur Lenk, sementara
ibunya merupakan keturunan Chagtai putra Jenghiz Khan. Lihat Hamka, Sejarah
Umat Islam, ( Jakarta: Nusantara, 1949), hlm 140
[3] Lihat Syed
Mahmudannasir, Islam, its Concept and History, (New Delhi: Kitab Bhavar,
1981), hlm. 134
[4] Lihat file:///C:/Users/user/Downloads/spi/KERAJAANMUGHALDANPENDIDIKANISLAM
DIINDIA _ TepiCitarum.htm, Akses 30 Maret 2017 , pkl 11:15
[5] Lihat Kenneth
W. Morgan, Islam Jalan Lurus (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 339
[6] Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 23
[7]
Sirhindi
(1564-1624 M) dan Syaih Waliyullah (1703-1762 M) seorang tokoh tarekat yang
terkenal di India penganut Tarekat Naqsyabandiyah. Ia menginginkan sufi
betul-betul bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Mereka tampil jelas menentang
paham Din-e-Ilahi yang diusung
Akbar.Lihat Hasnul Arifin Melayu, Syariat Islam Pada Dinasti Asia (Telaah
Kritis Tipologi Mujtahid dan Geneologi Intelektual), Jurnal ar-raniry.ac.id
, 2014 ,hlm. 452
[8] Lihat Ibid
hlm 451
[9] Lihat Jain Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2009),
hlm. 215.
[10] Lihat Sidi
Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna,
1994) hlm. 287
[11] Lihat Taufik
Abdullah, et.al, (Ed), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) hlm.
297.
[12] Ibid
[13] Aurangzeb
dikenal banyak orang sebagai lelaki yang sholeh, adil, keras, dan energetik
yang menjadi teladan kerajaan Islam. Hidupnya ditandai kesederhanaan dan tenaga
yang tak terbatas. Dialah yang terpelajar di antara semua penguasa Mughal. Lihat Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm., 396-398
[14] Lihat Ali
Sodikin, dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern.
(Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 188
[15] Lihat Taufik
Abdullah, et.al, (Ed), op.cit.
hlm. 297-298
[16] Lihat Hasan Asari, op.cit. hlm. 23
[17] Lihat Taufik
Abdullah, et.al, (Ed), op.cit.
hlm. 297
[18] Lihat Hamka, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 145.
[19] Lihat Taufik
Abdullah, et.al, (Ed), op.cit.
hlm. 298-299
[20] Lihat Hasymy, op.cit, hlm. 398
[21] Inti dari
konsep ajaran tersebut adalah bahwa agama merupakan gejala dan rasa tunduk
kepada satu Dzat Yang Maha Kuasa. Menurut Akbar, agama-agama tersebut pada
hakekatnya adalah satu. Oleh karena itu, perlu dicari jalan kesatuan inti agama
dan dia membuat agama baru yang disebutnya Din-e-Ilahi (1528 M). selain
itu, ia juga mengajarkan ajaran yang disebut Sulh-e-Kul yang memilki
arti perdamaian universal. Lihat Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A, opcit.
hlm. 316-317
[22] Lihat Hasnul
Arifin Melayu, Syariat Islam Pada Dinasti Asia (Telaah Kritis Tipologi
Mujtahdi dan Geneologi Intelektual), Jurnal ar-raniry.ac.id , 2014, hlm.
448
[23] Al Fatawa
Alamgiri also known as al Fatawa
al-Hindiyah is a collection of Islamic rulings issued and compiled by a group
of Hanafi scholars from India. This schoarly work was in response to a request
by the Muslim King of India and a Islamic scholar in his own standing, Muhammad
Aurangzeb. Lihat
https://islamicbookshub.wordpress.com/2013/03/04/fatawa-alamgeerei-in-urdu/
Akses tgl 5 April 2017 pkl 17:22
[24] Abdul Aziz
Dahlan, Ensiklopedi Islam Jilid V, ( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
hlm. 1664.
[26] Lihat Prof.
Dr. H. Abudin Nata, M.A. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2011), hlm. 229-230.
[27] Lihat Ibid,
hlm 230-231
Tidak ada komentar:
Posting Komentar