Senin, 06 November 2017

MAKALAH KEADAAN INTELEKTUAL PADA MASA DINASTI MUGHAL (1526-1858 M)

KEADAAN INTELEKTUAL PADA MASA DINASTI MUGHAL (1526-1858 M)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam


Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A






Pemakalah:
ASTRIFIDA RAHMA AMALIA
(16771014)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017

A.      Dasar Pemikiran
Islam sudah pernah mengalami masa kejayaannya pada era Abbasiyah selama sekitar kurang lebih 5 abad (750-1258 M) Namun akibat adanya serangan Mongol yang dipimpin oleh Jenghiz Khan dan dilanjutkan oleh cucunya, Hulagu Khan ke berbagai penjuru dunia termasuk Baghdad sebagai ibukota Abbasiyah pada saat itu, maka lama kelamaan kejayaan Islam mulai sirna. Sebagai anti tesis dari keadaan tersebut, keturunan Mongol pula lah yang kemudian membangun peradaban Islam kembali melalui tiga kerajaan besar Islam yaitu Kerajaan Syafawiyah di Persia, Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Turki Utsmani.
Kerajaan Mughal di India merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia yang tidak dapat dihilangkan dalam lintasan sejarah peradaban umat Islam[1]. Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur[2] (1526-1530 M). Secara geneologis, Babur merupakan cucu Timur Lenk (dari pihak ayah) dan keturunan Jenghiz Khan (dari pihak ibu)[3]. Dinasti ini bertahan selama kurang lebih 3 abad dengan puncak kejayaan dimulai masa pemerintahan Akbar (1556-1605 M) dan tiga raja penggantinya yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M) dan Aurangzeb (1658-1707 M)[4].
Dinasti Mughal juga banyak memberikan sumbangan di bidang ilmu pengetahuan. Sejak berdiri, banyak ilmuwan yang datang ke India untuk menuntut ilmu pengetahuan, bahkan Istana Mughal pun menjadi pusat kegiatan kebudayaan[5]. India sendiri sudah memajukan pengetahuan ilmiah pada abad ke-6 melalui ilmuwan matematika yang bernama Varahamihira dan juga mempunyai ilmu dalam bidang bahasa yang tinggi[6].
Berdasarkan pemaparan di atas, maka pemakalah akan membahas tentang keadaan intelektual dan pendidikan yang terjadi pada dinasti Mughal beserta tokoh-tokoh intelektual yang muncul saat itu. 

B.       Pembahasan
1.        Latar Belakang Intelektual Pada Era Dinasti Mughal
Setelah era Abbasiyah, umat Islam mulai menyatakan bahwasannya pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini menyebabkan para penguasa-penguasa di tiga kerajaan besar (Turki-Syafawi-Mughal) bersikap taqlid dan tidak mau mencoba untuk berijtihad sehingga fokus perkembangan kerajaan pada masa tersebut tidak berorientasi pada perkembangan intelektual.
Jalaluddin Akbar sebagai raja yang membawa dinasti Mughal pada puncak kejayaannya mulai mencoba untuk berijtihad dengan konsep Din-e-Ilahi nya. Walaupun terdapat banyak pertentangan dari para tokoh-tokoh intelektual[7] namun konsep ini mampu memperluas wilayah dinasti Mughal yang mana kerajaan-kerajaan kecil yang masih beragama Hindu ingin untuk bergabung dengan Mughal.
Dasar pemikiran konsep Din-e-Ilahi yang mengedepankan toleransi tidak hanya diambil dari Al Qur’an dan Sunnah tetapi mengkolaborasikannya dengan hukum Hindu sebagai hukum yang dianut mayoritas masyarakat India pada saat itu[8]. Umat Hindu merasa sangat dihargai keberadaanya dengan perolehan kedudukan yang sama dalam hal apapun. Abu al-Fadl (w. 1602) menjadi tokoh yang mengartikulasikan gagasan Din-e-Ilahi dan sifat akomodatif Islam terhadap agama Hindu yang dibalut dalam warna filsafat dan tasawuf.

2.        Pendidikan Pada Era Dinasti Mughal
Pendidikan Islam dinasti Mughal dibagi dalam empat jenjang dan bidang, yaitu:
a.       Pendidikan dasar yang dilaksanakan di masjid (maktab). Bidang ilmu yang dipelajari adalah pendidikan agama[9]. Seorang ilmuwan Muslim, Sidi Gazalba bahkan mengatakan bahwa di masa dinasti Mughal pendidikan didorong dengan hadiah uang untuk masjid. Semua masjid selalu mempunyai sekolah dasar[10].
b.      Pendidikan lanjutan yaitu madrasah. Bidang ilmu yang dipelajari adalah pendidikan moral. Ini berarti perhatian sejumlah penguasa Mughal terhadap pembinaan agama dengan membangun sejumlah masjid misalnya sangat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan Islam dan ajaran Islam di kalangan masyarakat. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi orang-orang kaya, pihak kerajaan juga telah menyediakan madrasah-madrasah khusus. Pendidikan atau sekolah khusus ini juga disediakan bagi orang Hindu yang disebut dengan Pat Shala yang didirikan pada masa pemerintahan Akbar. Namun demikian, di samping sekolah khusus bagi kelompok agama tertentu, pihak kerajaan juga menyediakan sekolah tempat anak-anak muslim dan Hindu belajar bersama[11].
c.       Pendidikan tinggi atau universitas. Bidang ilmu yang dipelajari adalah ilmu profesi. Dalam perkembangannya, masjid raya telah berkembang menjadi sebuah universitas[12]. Di masa Syah Jahan didirikan perguruan tinggi di Delhi. Jumlah ini semakin bertambah ketika pemerintahan dipegang oleh Aurangzeb. Aurangzeb[13] memberikan sejumlah uang dan tanah untuk membangun pusat pendidikan di Lucknow[14].
d.      Pendidikan di khanqah (pesantren) yang dipimpin ulama atau wali yang secara umum ada di daerah-daerah pedalaman. Khanqah pada era ini merupakan pusat studi Islam yang dinilai baik. Di khanqah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan seperti matematika, mantik/ logika, filsafat, tafsir Qur’an, hadits, fiqh, sejarah dan geografi. Bahasa Persia pada masa itu merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Pendidikan yang diselenggarakan ini diikuti oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Tokoh-tokoh perempuan yang merupakan lulusan khanqah ini antara lain Gulbadan Begum, Maham Anga, Nur Jahan, Mumtaz Mahal, Jahan Ara Begum, dan Zaibun Nisa yang kemudian menjadi penulis yang terampil[15]. Perkembangan khanqah ini berlangsung pesat karena memperoleh dukungan dari kaum bangsawan[16].
Pendidikan memang cukup memperoleh perhatian yang besar. Untuk keperluan ini pihak kerajaan mendorong untuk menjadikan masjid selain sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat belajar agama bagi masyarakat. Di masjid memang telah terdapat ulama yang akan memberikan pengajaran berbagai cabang ilmu agama. Bahkan, di masjid juga telah disediakan ruangan khusus bagi para pelajar yang ingin tinggal di masjid selama mengikuti pendidikan. Oleh karena itu, hampir setiap masjid merupakan pengembang ilmu-ilmu agama tertentu dengan guru-guru spesialis. Dalam perkembangannya pun, masjid raya telah berkembang menjadi sebuah universitas[17].

3.        Perpustakaan
Pihak kerajaan juga menyediakan perpustakaan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Akbar dikenal sebagai raja yang gemar membaca dan mengoleksi buku. Pada masa pemerintahannya, banyak buku-buku terjemahan diterbitkan. Diantaranya buku terjemahan kisah Mahabaratha dan Ramayana yang dibuat oleh Badayuni, terjemahan Kitab Injil ke dalam bahasa Persia. Bahkan Akbar juga mengizinkan anaknya (Murad) untuk belajar ilmu pengetahuan pada pendeta Katholik[18].
Berbagai kegiatan tulis menulis dalam masalah agama, sejarah, maupun syair ikut melengkapi koleksi perpustakaan kerajaan sekaligus penyebaran ilmu pengetahuan sehingga banyak dijumpai perpustakaan yang ada di berbagai wilayah kerajaan Mughal. Pada tahun 1641 pemerintahan Syah Jahan, terdapat sebuah perpustakaan di Agra yang memilki koleksi 24.000 buku. Oleh karena itu, semangat dan perkembangan agama Islam yang telah berkembang di kalangan kerajaan maupun masyarakat pada umumnya sebetulnya bersamaan dengan tumbuhnya lembaga-lembaga keagamaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan[19]. Di masa dinasti ini juga lahir Mausu’at yaitu buku kumpulan berbagai ilmu dan masalah seperti ensiklopedia[20].

4.        Tokoh-Tokoh Intelektual
Adapun tokok-tokoh intelektual pada era dinasti Mughal antara lain:
      a.       Bidang medis
-          Dara Shukuh yang merupakan ensiklopedi medis dan tokoh sufi (1615-1659 M) pada masa pemerintahan Aurangzeb
-          Muhammad Akbar Syah Arzani mengembangkan ilmu medis yang berbentuk filosofi medis (pendekatan kepada Allah) dan membuat skala kedokteran, beliau hidup sekitar abad 18 M.
       b.      Bidang sastra
-          Malik Muhammad Jayadi (1477-1542 M) dengan karyanya Padmavat (karya alegoris dengan pesan kebajikan manusia)
-          Gulbadan Begum (1523-603 M) yang menulis biografi Humayun
-          Jahan Ara (1614-1681 M) yang menulis Munis Al-Arwah
-          Jahangir (1569-1627 M) menulis biografinya sendiri yaitu Tuzk-I Jahangiri.
       c.       Bidang agama
-          Syaih Waliyullah al Dahlawi (1703-1762 M)
      d.      Bidang filsafat
-          Abul Faidh
-          Abu Fadl (w. 1602), karyanya A’in-I Akbar (hukum Akbar) dan Akbar Name (buku Akbar).

Tokoh intelektual yang cukup berpengaruh pada dinasti Mughal terutama pada masa pemerintahan Akbar adalah Abu Fadl. Abu Fadl adalah seorang pemikir filsafat yang berpandangan bahwa semua penganut agama dapat saling belajat satu sama lain. Sebagai rekan sekaligus penasehat Akbar, Abu Fadl memberikan dukungan kepada Akbar dalam mengembangkan ide Din-e-Ilahi[21] dengan cara mewadahi, merefleksikan, dan mengartikulasikan pemikiran-pemikiran dan tujuan politik Akbar[22]. Namun politik ini kemudian dinyatakan terlarang pada masa pemerintahan Salim putra Akbar karena sebagian umat Islam menolak gagasan tersebut.
Kemudian pada masa pemerintahan Aurangzeb membentuk sebuah komisi yang bertugas menyusun kitab kumpulan hukum Islam. Hasil kerja komisi ini adalah diundang-undangkannya kitab peraturan ibadah dan muamalat umat Islam yang dinamakan Fatawa-I Alamghiriyyah[23] yang dinisbahkan kepada nama sultan. Kitab ini terdiri dari enam jilid tebal dengan rujukan umat madzhab Hanafi, yang juga disebut dengan Fatawa al-Hindiya[24]. Aurangzeb dinilai berhasil dalam menjalankan pemerintahan yang memberikan corak keislaman di tengah-tengah masyarakat Hindu.
Dari gagasan-gagasan para penguasa dinasti Mughal diatas tidaklah lepas dari peran tokoh-tokoh intelektual yang memberikan dukungan seperti contohnya Abu Fadl sebagai representasi intelektual yang dekat dengan pemerintahan atau dapat disebut “ulama pemerintah” karena kedekatannya dengan Akbar. Ia secara sangat meyakinkan menjadi tokoh yang mengartikulasikan gagasan Din-e-Ialahi.

5.        Pengaruh dalam Sistem Kekuasaan
Sebagaimana Turki Utsmani, Dinasti Mughal juga berkarakter militeristik sultan sebagai penguasa diktator. Bahkan pejabat-pejabat memang diharuskan mengikuti latihan kemiliteran meskipun dalam praktik keagamaan lebih bercorak filosofis sufistik.
Dua pemimpin Dinasti Mughal yang cukup menonjol dalam bidang agama dan penerapan hukum yakni Sultan Akbar dan Aurangzeb. Sultan Akbar menjalankan gagasan Din-e-Ilahi dan politik Sulakhul (toleransi universal). Politik ini mengandung ajaran bahwa semua rakyat India sama kedudukannya. Mereka tidak dapat dibedakan karena etnis dan agama. Kemudian Aurangzeb mempelopori lahirnya sebuah peraturan kitab ibadah dan muamalat yaitu Fatawa-i Alamgiriyyah.
Pengaruhnya meliputi bangsawan baik Hindu maupun Muslim. Bahkan sebagian reformis Muslim mendukung kebijakan “Hinduisme menggunakan Pedang Islam”. Upaya ideologis Akbar dan Abu al-Fadl tidak berlangsung lama yang berakibat pada pemisahan kerajaan-kerajaan kecil Hindu dari Mughal. Yang kemudian, muncullah 3 tokoh besar yaitu: Abu al-Fadl, Syaikh Ahmad Sirhindi, dan Syaih Waliyullah[25]. Syaih Waliyullah tampil sebagai pengkritik konsep Akbar serta gencar menyerukan kepada umat Islam pada saat itu untuk kemabali kepada ajaran Al Qur’an dan Sunnah.

6.        Keadaan Pendidikan pada Masa Dinasti Mughal
Keadaan pendidikan pada zaman kerajaan Mughal umumnya sama dengan keadaan pendidikan yang terjadi pada kerajaan Turki Usmani dan Safawi. Walaupun telah tersebutkan diatas beberapa tokoh intelektual yang muncul pada era ini, namun pendidikan banyak terkonsentrasi pada pewarisan dan pemeliharaan pemikiran keagamaan yang telah dihasilkan oleh para ulama zaman klasik, tanpa berani melakukan pembaharuan. Para ulama yang lahir pada zaman kerajaan Mughal hanya menyimpan, menguasai, dan meneruskan, ajaran yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya.
Pembangunan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Hasil lembaga pendidikan madrasah ini hanya menjadi ahli agama, guru madrasah, guru mengaji, penghulu, khatib, para da’i, pegawai kantor agama, mufti, penasehat, dan jabatan lainnya yang bersifat spiritual.
Adapun pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan pemikiran bebas yang melahirkan karya-karya inovatif dalam ilmu pengetahuan umum seperti matematika, aljabar, ilmu pasti, fisika, astronomi, biologi, dan kedokteran sudah tidak berkembang lagi. Keadaan ini pada gilirannya menghasilkan sumber daya yang pincang, tidak utuh, dan tidak seimbang[26]. Keadaan ini pula yang pada gilirannya tidak mampu menghadapi kemajuan yang dicapai Eropa dan Barat dan selanjutnya menyebabkan kerajaan Mughal dan negara-negara Islam lainnya tidak berdaya menghadapi kolonialisme (penjajahan) Barat. Itulah sebabnya pada masa berikutnya, dinasti Mughal berada dalam jajahan Inggris. Bisa dikatakan bahwa kurangnya perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan/ intelektual dapat menyebabkan kemunduran dinasti ini.
Di antara para sejarawan mencoba mencari faktor-faktor penyebabnya mengapa keadaan Islam menjadi demikian pada era dinasti Mughal. Di antara faktor penyebab kemunduran tersebut menurut Badri Yatim adalah sebagai berikut: pertama, karena metode berpikir yang digunakan dalam bidang teologi adalah metode berpikir tradisional yang bertitik tolak bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan dan bukan karena usaha manusia. Metode berpikir ini menyebabkan umat Islam tidak kreatif dan mudah menyerah pada keadaan. Kedua, karena tidak ada lagi kebebasan berpikir yang menyebabkan lahirnya berbagai temuan. Setiap orang pada masa itu cukup mengikuti pemikiran yang telah ada, sehingga tidak menimbulkan berbagai temuan baru. Mereka lebih memilih keadaan yang tenang walaupun tidak ada kemajuan. Ketiga, karena sarana prasarana yang diperlukannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sudah banyak yang hancur dan kekuasaan Islam pada masa ini dipegang oleh bangsa Mongol yang lebih dikenal sebagai bangsa yang suka berperang daripada sebagai bangsa yang suka berpikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan[27]. Selain itu bahasa Arab sudah tidak dikembangkan lagi padahal bahasa Arab merupakan bahasa persatuan dan bahasa ilmiah pada masa sebelumnya.

C.      Kesimpulan
Kerajaan Mughal merupakan kerajaan besar di India yang telah bertahan kurang lebih sekitar 3 abad. Kerajaan ini sangat berjasa dalam membentuk peradaban Islam di India. Kerajaan ini mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Akbar dan dilanjutkan oleh tiga Sultan setelahnya. Upaya-upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan telah dilakukan oleh penguasa-penguasa Mughal namun masih belum bisa menembus seperti perkembangan intelektual pada era Abbasiyah (Golden Age) karena disebabkan oleh beberapa faktor. Sehingga, karena kemunduran intelektual inilah salah satu penyebab masuknya masa kolonialisme Inggris di India.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. et.al, (Ed), 2002  Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
Ali Sodikin, dkk. 2002. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI
Asari, Hasan. 1993. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung: Mizan
Dahlan, Abdul Aziz. 1996., Ensiklopedi Islam Jilid V, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve Karim , Abdul, 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam . Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher
Gazalba, Sidi. 1994. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Al-Husna
Hamka, 1975. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Hamka, 1949. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara
Hasymy. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Melayu ,Hasnul Arifin. 2014. Syariat Islam Pada Dinasti Asia (Telaah Kritis Tipologi Mujtahdi dan Geneologi Intelektual), Jurnal ar-raniry.ac.id.
Mubarok, Jain. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Morgan , Kenneth W. 1989. Islam Jalan Lurus . Jakarta: Pustaka Jaya
Nata, Abudin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Group
file:///C:/Users/user/Downloads/spi/KERAJAANMUGHALDANPENDIDIKANISLAM DIINDIA _ TepiCitarum.htm, Akses 30 Maret 2017
https://islamicbookshub.wordpress.com/2013/03/04/fatawa-alamgeerei-in-urdu/ Akses tgl 5 April 2017 pkl 17:22





[1] Lihat Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam , (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 314
[2] Pendiri kerajaan ini adalah Zahiruddin Muhammad dikenal dengan Babur yang berarti singa. Ia putra Umar Syaikh seorang penguasa Farghanah (Asia Tengah) keturunan langsung dari Minrasah, pytra ketiga dari Timur Lenk, sementara ibunya merupakan keturunan Chagtai putra Jenghiz Khan. Lihat Hamka, Sejarah Umat Islam, ( Jakarta: Nusantara, 1949), hlm 140
[3] Lihat Syed Mahmudannasir, Islam, its Concept and History, (New Delhi: Kitab Bhavar, 1981), hlm. 134
[4] Lihat file:///C:/Users/user/Downloads/spi/KERAJAANMUGHALDANPENDIDIKANISLAM DIINDIA _ TepiCitarum.htm, Akses 30 Maret 2017 , pkl 11:15
[5] Lihat Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 339
[6] Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan,  1993), hlm. 23
[7] Sirhindi (1564-1624 M) dan Syaih Waliyullah (1703-1762 M) seorang tokoh tarekat yang terkenal di India penganut Tarekat Naqsyabandiyah. Ia menginginkan sufi betul-betul bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Mereka tampil jelas menentang paham Din-e-Ilahi  yang diusung Akbar.Lihat Hasnul Arifin Melayu, Syariat Islam Pada Dinasti Asia (Telaah Kritis Tipologi Mujtahid dan Geneologi Intelektual), Jurnal ar-raniry.ac.id , 2014 ,hlm. 452
[8] Lihat Ibid hlm 451
[9] Lihat Jain Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2009), hlm. 215.
[10] Lihat Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1994) hlm. 287
[11] Lihat Taufik Abdullah, et.al, (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) hlm. 297.
[12] Ibid
[13] Aurangzeb dikenal banyak orang sebagai lelaki yang sholeh, adil, keras, dan energetik yang menjadi teladan kerajaan Islam. Hidupnya ditandai kesederhanaan dan tenaga yang tak terbatas. Dialah yang terpelajar di antara semua penguasa Mughal.  Lihat Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm., 396-398
[14] Lihat Ali Sodikin, dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 188
[15] Lihat Taufik Abdullah, et.al, (Ed), op.cit. hlm. 297-298
[16] Lihat Hasan Asari, op.cit. hlm. 23
[17] Lihat Taufik Abdullah, et.al, (Ed), op.cit. hlm. 297
[18] Lihat Hamka, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 145.
[19] Lihat Taufik Abdullah, et.al, (Ed), op.cit. hlm. 298-299
[20] Lihat Hasymy, op.cit, hlm. 398
[21] Inti dari konsep ajaran tersebut adalah bahwa agama merupakan gejala dan rasa tunduk kepada satu Dzat Yang Maha Kuasa. Menurut Akbar, agama-agama tersebut pada hakekatnya adalah satu. Oleh karena itu, perlu dicari jalan kesatuan inti agama dan dia membuat agama baru yang disebutnya Din-e-Ilahi (1528 M). selain itu, ia juga mengajarkan ajaran yang disebut Sulh-e-Kul yang memilki arti perdamaian universal. Lihat Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A, opcit. hlm. 316-317
[22] Lihat Hasnul Arifin Melayu, Syariat Islam Pada Dinasti Asia (Telaah Kritis Tipologi Mujtahdi dan Geneologi Intelektual), Jurnal ar-raniry.ac.id , 2014, hlm. 448
[23] Al Fatawa Alamgiri  also known as al Fatawa al-Hindiyah is a collection of Islamic rulings issued and compiled by a group of Hanafi scholars from India. This schoarly work was in response to a request by the Muslim King of India and a Islamic scholar in his own standing, Muhammad Aurangzeb. Lihat https://islamicbookshub.wordpress.com/2013/03/04/fatawa-alamgeerei-in-urdu/ Akses tgl 5 April 2017 pkl 17:22
[24] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Islam Jilid V, ( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1664.
[25] Lihat Hasnul Arifin Melayu, opcit, 2014, hlm. 452
[26] Lihat Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 229-230.
[27] Lihat Ibid, hlm 230-231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar