Senin, 06 November 2017

MAKALAH MASA KHULAFAUR RASYIDIN: SISTEM PERGANTIAN KHALIFAH

MASA KHULAFAUR RASYIDIN: SISTEM PERGANTIAN KHALIFAH


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam


Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A






Pemakalah:
NURHIKMAH
(16771031)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017




           A.    Pendahuluan
Muhammad saw disamping sebagai rasulullah juga sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah ia wafat, fungsi sebagai Rasulullah tidak dapat digantikan oleh siapapun di muka bumi ini, karena fungsi tersebut adalah mutlak dari Allah swt.[1] Detik-detik wafat nya nabi Muhammad hingga saat ini mneimbulkan dua pendpata yang berlainan. Pendapat pertama mengatakan bahwa menjelang kematian nya, nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat atau menunjuk siapapun dikalangan para sahabat untuk menggantikan beliau dalam ranah kepemimpinan. Oleh karena itu aka para sahabat mengusung system kepemimpinan yang dikenal dengan khulafa al-rasyidin[2]. Tampuk pemerintahan yang digantikan oleh empat sahabat Rasulullah sebagai penguasa tertinggi pada masa itu. Istilah khalifah (dalam pengertian pemimpin/ kepala negara) mulai terdengar dan dipergunakan pertama kali oleh Abu Bakar ketika terpilih untuk meneruskan kepemimpinan umat di Saqifah bani Sa’idah, dan kemudian diikuti oleh tiga generasi pemimpin sesudahnya yakni Umar, Usman dan Ali.
Pendapat kedua mengatakan bahwa, sebelum Nabi Muhammad meninggal di tengah sakit nya yang keras, beliau hendak membuat surat wasiat, akan tetapi dihalangi oleh Umar bin Khattab. Beliau memerintahkan Umar bin Khattab untuk mengambil kertas dan tinta untuk membuat surat wasiat, agar umat beliau tidak akan tersesat untuk selama-lamanya. Namun perintah rasul di tolak oleh Umar dengan alasan bahwa rasul Allah sedang mengingau. Pendapat kedua ini, ditengarai bahwa sebelum wafatnya Nabi Muhammad ingin menulis surat wasiat yang berisikan penunjukan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya.
Meninggalnya Nabi Muhammad ini melahirkan suatu pemerintahan dan corak tersendiri bagi perkembangan peradaban masyarakat Islam saat itu. Khulafaur rasyidin dengan empat orang khalifah atau pemimpin yang merupakan para sahabat dekat Muhammad sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa lahirnya system kekhalifahan ini juga menimbulkan polemik dan pertikaian politik bagi umat islam saat itu, yang bahkan hingga saat ini masih dapat kita rasakan.
Sistem pemerintahan ini hanya berlangsung dengan empat penggantian khalifah, sebab setelahnya system yang berlangsung ialah system pemerintahan kerajaan dengan system pemilihan secara turun menurun.
Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan di atas, maka makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai system penggantian khalifah mulai dari peristiwa di saqifah bani sa’adah, hingga system penggantian empat khalifah tersebut.
  
B.    Pembahasan         
      1.      Peristiwa Saqifah bani Sa’idah
                  Selama kehidupannya, Muhammad telah menjalankan perannya sebagai nabi,pembuat hukum, pemimpin agama,hakim,komandan dan pasukan juga kepala pemerintahan semuanya menyatu dalam diri Muhammad.[3] Namun meninggalnya beliau membuat kosong berbagai peran, selain peran kenabian yang dulu dipegang olehnya, terlebih beliau tidak meninggalkan wasiat atau menunjuk dengan jelas siapa yang akan menggantikannya. Nabi juga tidak meninggalkan anak laki-laki. Munculnya sejumlah pihak yang memilki kepentingan yang berbeda setelah wafatnya Muhammad tidak bisa dihindari. Kelompok tersebut ialah dari golongan Muhajirin dengan klaim sebagai orang terdekat Nabi Muhammad juga sebagai golongan assabiqunal awwalun, memiliki suku yang sama dengan rasulullah. Kelompok kedua adalah dari golongan Anshor, dengan klaim bahwa mereka adalah golongan yang banyak menolong Nabi dan agama masih lemah. Kelompok ketiga adalah dari kaum Legitimis, yang begitu yakin bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang jelas akan menggantikan Nabi Muhammad. Dan kelompok terakhir  di pelopori oleh bani Umayyah yang terkenal dengan klan aristocrat Quraisy.
Kabar meninggalnya Rasulullah membuat golongan Anshar segera berkumpul di saqifah bani Sa’idah. Periode pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun dimulai dari peristiwa Saqifah Bani Saidah. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin sore tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah. Dari kalangan Muhajirin terdapat enam orang yang hadir pada peristiwa Saqifah ini. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Mughirah bin Syu’bah, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Salim maula Abu Hudzaifah. Adapun keluarga Bani Hasyim dan Ali bin Abi Thalib sibuk mempersiapkan pemakaman Rasulullah bersama dengan Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, Miqdad bin Aswad Ammar bin Yasir, Zubair bin Awwam, Abu Ayyub al-Anshâri, dan lainnya.[4]
Kabar berkumpulnya kaum Anshor di Saqifah bani Sa’idah ini terdengar oleh Umar bin Khattab. Kabar ini disampaikan oleh salah seorang golongan Anshor bernama Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin Adi. Al-Jauhari mengatakan: Maka kabar ini sampai kepada Umar, yang kemudian pergi kerumah Rasul saw. Ia mendapatkan Abu Bakar di dalam rumah (Rasul), sementara Ali sedang mengurus jenazah Rasul Allah. Yang menyampaikan berita itu kepada Umar adalah Ma’n bin Adi yang memegang tangan Umar lalu berkata: ‘Ayolah! (Qum!= Mari kita pergi!). Umar berkata, “Saya sedang sibuk’. Man’n berkata lagi, ‘Tidak bisa tidak, Anda harus pergi bersama saya’. Maka Umar pun pergi bersama Ma’n, lalu Ma’n berkata: sesungguhnya kaum Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah, bersama mereka terdapat Sa’d bin Ubadah; mereka mengelilinginya dan berkata: ‘Anda, hai Sa’d, Anda adalah harapan kami. Di antaranya terdapat para pemuka mereka, dan saya khawatir akan timbulnya fitnah. Lihatlah, wahai Umar, bagaimana pendapat anda? Beritahukan kepada saudara-saudara Anda kaum Muhajirin, pilihlah seorang pemimpin di antara anda sekalian. Saya sendiri melihat pintu fitnah sudah terbuka pada saat ini, kecuali apabila Allah hendak menutupnya. Maka Umar sangatlah terkejut mendengar hal ini, sehingga ia datang kepada Abu Bakar, dan berkata, ‘Marilah kita pergi!’ Abu Bakar menjawab, Hendak ke mana? Tidak, saya tidak akan pergi sebelum menguburkan Rasul Allah. Saya sedang sibuk’. Umar lalu berkata lagi: Tidak bisa tidak, anda harus ikut saya. Nanti kita kembali, insya Allah’. Maka Abu Bakar pun pergi bersama Umar.’ [5]
Sebagaimana yang dituturkan oleh al-jauhari dalam bukunya Saqifah, dari isnad yang lengkap sampai kepada Sa’id bin Katsir bin Afir al-Anshari, yang berkata: ketika Nabi saw wafat, berkumpullah kaum Anshar di Saqifah Bani Sa’idah. Dan mereka berkata: ‘’Sesungguhnya Rasul Allah telah wafat.” Berkatalah sa’d bin Ubadah kepada anaknya yang bernama Qais, atau kepada salah seorang anaknya: “Saya tidak sanggup memperdengarkan suara saya kepada semua orang, karena saya sedang sakit; tetapi engkau dapat mendengar suara saya; maka ulangilah suara saya agar mereka mendengarkan suara saya. Sa’d lalu berbicara, dan didengarkan oleh anaknya, yang mengulanginya dnegan suara yang keras. Sebagian pidatonya, sesudah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, ialah: ”Sesungguhnya kamu adalah di antara orang-orang yang terdahulu dan mempunyai kemuliaan dalam Islam; tiada orang Arab lebih mulia dari kamu. Demi Allah, Rasul Allah telah tinggal di tengah kaumnya (orang Quraisy) di Makkah lebih dari sepuluh tahun, mengajak mereka menyembah Allah Yang Maha Penyayang dan meninggalkan penyembahan berhala. Tetapi tiada yang mengakui beliau, kecuali beberapa orang. Demi Allah, mereka tidak bisa melindungi Rasul Allah dan tidak dapat  memuliakan agamanya; mereka tidak dapat membela Rasul dari musuh beliau, sampai Allah menghendaki kalian mendapatkan kemuliaan yang sebaikbaiknya, memberikan kehormatan kepada kalian dan mengkhususkan kalian dalam agamanya, melawan musuh-musuh dan kepada kalian diberikan keimanan dan RasulNya, memperkuat agama beliau dan berjihad beliau. Kamulah orang yang paling keras melawan para penyeleweng agama, dan kamulah yang memuliakan Islam dalam melawan musuhmusuhnya dibandingkan dengan yang lain , sehingga mereka mengikuti perintah Allah, sebagian karena kepatuhan dan sebagian lagi karena terpaksa. Dan kepadamu diberikannya kemampuan, sehingga orangorang yang jauh tunduk kepadakepemimpinanmu, sampai Allah SWT memenuhi janji-Nya kepada Nabi-Nya. Maka tunduklah seluruh bangsa Arab karena pedangmu. Dan Allah SWT mengambil Nabi-Nya. Beliau rela dan puas akan kalian, lahir maupun batin. Maka genggamlah kuat-kuat kekuasaan ini’.[6] Pernyataan yang disampaikan oleh anak Sa’d bin Ubadah ini diterima oleh kaum Anshar.
Dari hal ini sudah sangat jelas terlihat bahwa kaum Anshar saat itu ingin membaiat sa’d bin ubadah untuk menjadi pemimpin umat islam saat itu. Namun pembaiatan Sa’d bin Ubadah terhenti oleh kedatangan kaum muhajirin. Kemudian Abu Bakar berpidato dan perkataanya sungguh mengena, beliau berkata, “Kami yang menjadi amir dan kalian menjadi wazir.” Maka Hubab bin Munzir berkata, “Tidak Demi Allah kami tidak akan terima, seorang amir dari kalian dan seorang amir dari kami.”[7]
Abu Bakar mengusulkan Umar bin Khattab dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah untuk dipilih, sebagaimana pidatonya, “Wahai kaum Muslimin, kaum Quraisy lebih dekat kepada Rasulullah daripada kaum Anshar. Maka, inilah Umar bin Khattab, yang kepadanya Nabi berdoa, ‘Ya Allah, kuatkanlah imannya,” dan kepada Abu ‘Ubaidah, Nabi menyebutnya sebagai orang yang tepercaya dari umat ini. Pilihlah salah seorang yang kalian kehendaki dari mereka dan berbaiatlah kepadanya.” Keduanya menolak dengan mengatakan, “Kami tidak menyukai diri kami melebihi Abu Bakar. Dia adalah sahabat Nabi dan orang kedua dari yang dua (dalam gua Hira pada waktu  hijrah).”[8]  Kemudian Hubab bin Mundzir dari kalangan Anshar mengusulkan agar dari kaum Muhajirin mengusulkan satu orang calon dan dari kaum Anshar mengusulkan satu orang calon, tetapi hal itu ditentang oleh Umar karena menurutnya dua pedang tidak akan masuk dalam satu sarung. Ia tetap bersikukuh bahwa kepemimpinan harus dari kalangan Muhajirin, karena Rasulullah dari kalangan Muhajirin.
Ketika itu suasana benar-benar panas, karena kedua pihak sama-sama menghendaki sebagai pemimpin dan bertahan dengan argumentasi masing-masing. Tak lama kemudian suasana berubah ketika dua pimpinan Anshar, yakni Basyir bin Sa’ad (ketua suku Khazraj) dan Usaid bin Hudhair (pemimpin kaum Aus), berbalik  mendukung  Muhajirin  dan melawan kaum Anshar, dengan berkata, “Wahai kaum Anshar, kita kaum Anshar telah memerangi kaum kafir dan membela Islam bukanlah untuk kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh keridaan Allah swt. Kita tidak mengejar kedudukan. Nabi Muhammad adalah orang Quraisy, dari kaum Muhajirin dan sudah selayaknya apabila seseorang dari keluarganya menjadi penggantinya. Saya bersumpah dengan nama Allah bahwa saya tidak akan melawan mereka. Saya harap kalian pun demikian.[9] Mendengar pernyataan tersebut Umar kemudian membaiat Abu Bakar, yang kemudian disusul oleh Basyir bin Sa’ad dan Usaid bin Hudhair. Pembaiatan ini pun akhirnya diikuti oleh kaum Anshar dan seluruh yang hadir di Saqifah bani Sa’idah, kecuali Sa’ad bin Ubadah.
Dalam banyaknya literasi sejarah dikatakan bahwa  Fatimah dan Ali bin Abi Thalib saat itu tidak ikut membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah disebabkan Fatimah pernah mendatangi Abu Bakar untuk menuntut harta waris milik mereka yang di tinggalkan oleh Rasulullah saw. Ketika itu mereka menuntut sebidang tanah milik Rasulullah di Fadak dan jatah beliau di Khaibar, akan tetapi Abu Bakar tidak memberikan nya oleh sebab Rasulullah pernah bersabda bahwa beliau tidak mewariskan apapun, dan apapun yang ditinggalkan adalah sedekah. Hingga saat itu Fatimah tidak mau berbicara dengannya hingga Fatimah wafat.[10] Akan tetapi setelah wafatnya Fatimah, Ali bin Abi Thalib memba’iat Abu Bakar sebagai Khalifah. Sikap Ali yang melakukan penundaan terhadap pembaiatan secara terbuka kepada Abu Bakar sebagai Khalifah dikarenakan ia merasa perlu menjaga perasaan Fathimah yang pada saat itu marah kepada Abu Bakar.

2.      Pengangkatan Umar bin Khattab
Umar adalah khalifah kedua dalam sejarah Islam. Dia juga Berbeda dengan proses penganggkatan khalifah pertama. Umar ibn Khattab diangkat menjadi khalifah melalui penunjukkan langsung. Menjelang wafat, Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khattab sebagai penggantinya.[11]  Pengangkatan Umar ini diterima dengan baik oleh semua umat Islam ketika itu, meskipun pada awalnya terjadi pro-kontra. Penolakan umat terhadap pengangkatan Umar sebagai khalifah adalah disebabkan oleh watak Umar yang terkenal sangat keras.
Pengangkatan Umar bin Khattab melalui penunjukkan langsung ini didasari dengan kekhawatiran Abu Bakar akan munculnya perselisihan di kalangan umat. Sehingga ia memilih untuk mencalonkan Umar bin Khattab dengan memulai meminta pendapat kepada Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, Usaid bin Hadhir dan lain-lain, baik dari kalangan Muhajirin dan Anshar.[12]
Pengangangkatan umar bin khattab bukan berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar.

3.        Pengangkatan Utsman bin Affan
Pada akhir kepemimpinan Umar bin Khattab, ia dibunuh oleh Abu lu’lu. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemecatan Umar pada Mughirah ibn Syu’ba sebagai Gubernur Kufah. Karena Mughirah melakukan pembocoran rahasia negara dan pengkhianatan[13]. Menjelang wafat Umar membuat tim formatur pemilihan khalifah penggantinya. yang anggotanya terdiri atas Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqas. Di samping keenam orang ini, Umar juga menunjuk  Abdullah  bin  Umar selaku penasihat dan tidak ditempatkan sebagai calon pengganti khalifah. Beliau juga menunjuk Abu Thalhah al- Anshari dari suku Khazraj sebagai pelaksana perintahnya. Ia disuruh mengambil 50 orang anggota sukunya dengan pedang di tangan untuk menjaga di pintu Majelis Pertemuan. Mereka bermusyawarah di rumah membicarakan tentang urusan ini hingga akhirnya hanya terpilih tiga kandidat saja. Zubair menyerahkan jabatan khalifah tersebut kepada Ali bin Abi Thalib. Saad menyerahkan jabatan khalifah kepada Abdur Rahman bin Auf. Dan Thalhah menyerahkan jabatan Khalifah Utsman bin Affan.[14] Kemudian Abdur Rahman bin Auf melepaskan hak nya, hingga calon yang tersisa tinggal lah Ustman dan Ali. Setelah bermusyawarah dnegan kaum muslimin dan para calon yang ditunjuk oelh Umar bin Khattab, maka dari hasil musyawarah mereka bersepakat untuk memilih Utsman bin Affan sebagai Khalifah, karena beliau dianggap orang yang lebih tua dan berkepribadian lembut dibanding Ali.
Pengangkatan Utsman bin Affan dengan melalui jalur musyawarah merupakan hasil pemikiran matang Umar bin Khattab sebagai jalan tengah yang ia anggap paling baik. Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana yang dilakukan rasulullah, juga tidak ingin meninggalkan wasiat seperti Abu Bakar. Untuk itu ia memilih mengambil jalan tengah dengan membentuk dewan musyawarah untuk penggantian khalifah setelahnya.

4.    Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dalam kelompok Khalifah Rasyidin. Ia dilantik menjadi khalifah mengganti Ustman bin Affan yang terbunuh oleh sekelompok pemberontak asal mesir.[15] Terbunuhnya khalifah Ustman pada malam jum’at 18 Dzulhijjah tahun 35 H, membuat suasana di kota Madinah tidak kondusif. Suasana kota sangat mencekam, rakyat dan para pembesar mengalami kerisauan,keguncangan karena tidak adanya pemimpin negara.[16] Dalam kondisi genting pasca terbunuhnya Usman bin Affan Sepeninggal Usman, tiada pilihan lain untuk  dijadikan khalifah penerus Usman kecuali Ali bin Abi Thalib. Ali dibaiat oleh anggota dewan formatur bentukan Umar yang masih ada secara aklamasi, kemudian diikuti secara umum oleh umat Islam di Masjid Nabawi. Meskipun pada awalnya Ali keberatan, namun demi kemaslahatan umat, Ali menerimanya sebagai suatu amanat yang harus dipikul.[17]
Ketika itu terjadi pengelompokan-pengelompokan masyarakat, pada satu bagian kaum pemberontak membuat perkumpulan, di bagian lain orang-orang Muhajirin dan Anshar membuat suatu kelompok pula, termasuk tabi’in dari kota Madinah. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana dengan umat Islam yang telah berkembang, membentang dari perbatasan Rum sampai ke Yaman dan dari Afganistan sampai ke Afrika Utara, yang selama beberapa hari tidak memiliki pemimpin.[18]
Atas dasar itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah secepat mungkin dan dilakukan di Madinah karena itu satu-satunya yang menjadi ibu kota Islam. Di sana juga tinggal ahl-halli wa al-aqd, semacam dewan perwakilan yang berhak memilih melakukan bai’at kepada seorang khalifah karena kondisi yang sangat genting tidak mungkin meminta pendapat dari daerah dan provinsi yang bertebaran di seluruh negeri. Keadaan yang sangat berbahaya ini memerlukan pengangkatan seorang pimpinan yang layak dnegan segera untuk menghindari perpecahan dan kehancuran yang mengancam keutuhan negara. Pada waktu itu ada empat orang sahabat Nabi saw dari enam yang dipilih Umar sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat dari berbagai segi Ali dianggap yang paling utama. Dalam sebuah permusyawaratan Abdurrahman bin Auf menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling dipercayai umat setelah Ustman bin Affan.[19]
Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai pemimpin mereka. Dan tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali. Jika ada seorang yang mecalonkan diri disamping Ali pasti tidak akan terpilih karena levelnya jauh dibawah Ali.[20] Akan tetapi dalam sumber lain calon khalifah yang ada pada saat itu ialah Thalhah, Zubair dan Ali. Ketiganya tidak ada yang mau mengemban jabatan Khalifah tersebut. Orang-orang Mesir pada saat itu mencari Ali untuk mereka minta menjadi Khalifah, namun Ali bersembunyi. menurut Ibnu Katsir, dia bersembunyi di rumah Bani Amr ibn Mabdzul. Orang-orang Kufah mencari Zubair, namun mereka tidak menemukan keberadaanya. Sedangkan orang-orang dari Bashrah meminta Thalhah yang menjadi khalifah, namun ia juga tidak menanggapi permintaain ini. Mereka lalu berharap kepada Sa’ad ibn Abi Waqash dengan alasan ia adalah salah satu anggota dewan syura. Namun, jawabannya juga nihil. Mereka pun menemui Ibnu Umar, putra Umar bin Khattab akan tetapi tidak membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya mereka kembali kepada Ali. Para sahabat terus mengejarnya. Mereka  berulang-ulang memintanya untuk dibaiat dan akhirnya ia mau di baiat. Walaupun dekat dengan Nabi, kepemimpinan nya tidak diterima semua orang. Ali didukung Anshar dan Muhajirin yang menolak kebangkitan Umayyah. Dia juga memperoleh dukungan dari orang-orang Muslim yang masih menjalani kehidupan tradisional nomaden, terutama yang ada di Iraq tempat kota garnisun Kufah yang menjadi kubu Ali berada.[21].
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengangkatan khalifah keempat yang diemban oleh Ali bin Abi Thalib ini berlangsung melalui proses penunjukkan langsung meski jika kita lihat selain karena Ali adalah satu-satu nya orang yang pantas dan calon terkuat untuk dijadikan pemimpin sebab Ia adalah salah satu anggota syura, sepupu Nabi Muhammad sekaligu menantu, Tokoh senior dalam Islam juga memiliki keilmuan yang tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi tidak bisa dikesampingkan bahwa naik nya Ali sebagai Khalifah terkesan ada unsur paksaan di dalamnya, dimana ada ancaman jika tidak ada yang mau menjadi khalifah maka seluruh anggota dewan syuro akan dibunuh. Kita ketahui Ali sendiri tidak menginginkan jabatan tersebut. Keputusan Ali menerima baiat oleh sebab ia di hadapakan dengan dua pilihan sulit. Pertama, penolakan nya terhadap jabatan tersebut akan membuka ruang untuk para pemberontak dan pembangkang dikuasai oleh Madinah. Kedua, ia bersedia menjadi khalifah guna menyelamatkan umat Islam dari konflik dan perpecahan yang saat itu terjadi.
Masa kekhalifahan yang dikenal dengan khalifautur rasyidin ini ikut berakhir dengan meninggalnya Ali bin Abi Thalib. Setelahnya system khalifah berubah menjadi system kerajaan yang pertama kali dijalankan oleh Muawiyah yang sekaligus menjadi raja pertama dalam dinasti Umayyah.

C.      Kesimpulan
Khalifatur Rayidin merupakan garis lanjutan dari pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Rasulullah. Berdirinya system kekhalifahan ini diawali dengan wafatnya Nabi Muhammad yang pada saat itu tidak meninggalkan wasiat terkait siapa yang akan menajdi penggantinya dalam hal kepemimpinan, bukan sebagai nabi.
System pemilihan Khalifah dimulai dari peristiwa di Saqifah bani Sa’idah yang penuh ketegangan antara kaum Anshar dan Muhajirin yang sama-sama merasa berhak menjadi pengganti Nabi. Namun, kemudian berhasil dimenangkan kaum Muhajirin oleh Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Penggantian khalifah berikutnya dilakukan dengan system penunjukkan langsung oleh Abu Bakar tehadap Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua atas dasar kekhawatiran Abu Bakar akan muncul perselisihan semasa meninggalnya Rasulullah yang hamper memecah belah Umat. Khalifah ketiga diduduki oleh Utsman bin Affan dengan system musyawarah oleh dewan syura yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab. Dan khalifah keempat sekaligus sebagi penutup masa Khulafaur Rasyidin diduduki oleh Ali bin Abi Thalib, setelah meninggalnya Utsman bin Affan yang mati terbunuh. Pada masa ini tidak ada para sahabat yang menginginkan dirinya menjabat sebagai khalifah. Naik nya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah di dasari oleh desakan umat islam juga ancama oleh para pembangkang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masa kekhalifahan selain meraih banyak prestasi namun jika kita menilik sejarah juga terdapat intrik politik yang melahirkan peristiwa berdarah, dimana diantara empat khalifah yang ada, salah satunya adalah satu-satunya yang meninggal dalam keadaan tidak terbunuh hanyalah Abu Bakar. Untuk itu system pemerintahan khilafah yang sering di anggap oleh sebagian orang sebagai solusi tepat bagi system pemerintahan saat ini tidaklah benar-benar tepat dan merupakan suatu hal yang sangat mustahil untuk ditegakkan.



DAFTAR PUSTAKA


Maryam, Sitti  dkk,Ed, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern Yogyakarta: LESFI,2003
 Hitti, Philip K ,History Of The Arabs, New York: Polgrave Macmillan,2002
Jurnal, Abdurrahman Kasdi, Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik Islam, Vol.9, No.2, Agustus 2015
Hashem, O, Wafat Rasulullah dan suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah ,Bekasi: YAPI, 2004
Katsir, Ibnu, Bidayah Wan Nihayah, Riyadh: Dar al-Wathan, 2002
Hashem, O. Saqifah Awal Perselisihan ,Jakarta: al-Muntadzar, 1994
Karim, M.A , Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam ,Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,2007
Artawijaya, Ensiklopedi Sejarah Islam ,Jakarta Timur: Al-Kautsar, 2013
Siraj, Ibrahim, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2010
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1978)
Amstrong, Karen Islam A short History, New York: Modern Liblary, 2000





[1] Sitti Maryam dkk,Ed, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern Yogyakarta: LESFI,2003), HLM 51
[2]  Khalifah secara bahasa dari kata dasr khalaf. Menurut istilah Khalifah adalah pengganti orang lain, baik karena absennya orang yang digantikan,karena meninggal dunia ketidakmampuannya maupun alasan-alasan lain. Bentuk jama’ dari khalifah adalah khulafa dan khalaif. Khalifah berarti juga al-sultan al-A’dzam yaitu kekuasaan paling besar atau pling tinggi. Kata khalifah yang merupakan sumber khilafah disebutkan dalam 12 kata kejadian dalam Al-Qur’an yang berasal dari huruf kh-l-f. sebagaimana dikatakan M. Dawam Raharjo mengutip tulisan E.Kassis, A Concordance of The Al-Qur’an (1983), kata-kata tersebut memiliki arti yang berbeda. M dawam Rahardjo, ‘’khalifah’’ dalam Ulumul Qur’an ; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol 1 No. 1 (1995),hlm 40-1
[3] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, ( New York: Polgrave Macmillan,2002) hlm 174
[4] Jurnal, Abdurrahman Kasdi, Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik Islam, Vol.9, No.2, Agustus 2015
[5] Lihat, O. Hashem hlm 97
[6] Lihat, O. Hashem, Wafat Rasulullah dan suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (Bekasi: YAPI, 2004) Hlm 98 yang mengutip tulisan Abu Bakar Jauhad, dalam bukunya Saqifah, dikutip oleh Ibn Abil-Hadid dalam Syarh Nahjul Balaghah, jilid 6, hlm 27-28
[7] Ibnu Katsir, Bidayah Wan Nihayah, (Riyadh: Dar al-Wathan, 2002) hlm 33
[8] Jurnal, Abdurrahman Kasdi, Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik Islam, Vol.9, No.2, Agustus 2015
[9] O. Hashem, Saqifah Awal Perselisihan (Jakarta: al-Muntadzar, 1994), hlm. 141
[10] Dalam kitab, Bidayah Wan Nihayah mengutip dari Al-Bukhari, Kitab al-Faraidh 12/5 bersama FathulBari, dan Fadak adalah sebuah kampung disamping khaibar yang diberikan Allah kepada Rasulnya tanpa berperang, Mu’jam al-Buldan 4/238
[11] Dalam keadaan sakit, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Ada keberatan dari sahabat atas penunjukkan tersebut. Akan tetapi, ia mengumumkan, bahwa dengan nama Allah, saya tidaka meleset sedikitpun dan tidak berbuat kekurangan sedikitpun dalam menunjuk Umar sebagai pengganti. Orang yang saya tunjuk, bukan dari keluargaku dan kalian mendengar kata-kata dan mematuhi perintah, maka rakyat yang hadir semua serentak menjawab kami dengar dan menerimanya. Lihat M.A Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,2007) hlm.84
[12] Baca, Artawijaya, Ensiklopedi Sejarah Islam  (Jakarta Timur: Al-Kautsar,2013) hlm 88-89
[13] M.A Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,2007) hlm 88
[14] Ibnu Katsir,  , (Riyadh: Dar al-Wathan, 2002) hlm 302
[15] Ibrahim Siraj, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2010) hlm 27
[16] Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1978) hlm 155
[17] Jurnal, Abdurrahman Kasdi, Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik Islam, Vol.9, No.2, hlm 300, Agustus 2015
[18] Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm 155
[19] Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm 156
[20] Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm 156
[21] Karen Amstrong, Islam A short History, (New York: Modern Liblary, 2000) hlm 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar