Kamis, 09 November 2017

MAKALAH PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN SAFAWIYAH DI PERSIA

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN SAFAWIYAH DI PERSIA


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam


Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A






Pemakalah:
YOVI NUR ROHMAN
(16771009



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



A.  Pendahuluan

Setelah berakhirnya masa Khulafaur Rosyidin, sejarah peradaban Islam telah diwarnai dengan berdirinya dinasti-dinasti besar yang berperan dalam penyebaran agama Islam, dalam perjalanannya kekuatan politik Islam berkembang semakin pesat. Akan tetapi setelah hancurnya dinasti Abbasiyah karena serangan dari  tentara Mongol, cahaya Islam sempat redup. Peperangan dan perebutan sesama masyarakat Islam terjadi dimana-mana. Bahkan banyak dari peninggalan-peninggalan Islam seperti buku-buku ilmu pengetahuan telah dimusnahkan. Hal ini mengakibatkan kekuatan politik Islam menjadi merosot.
Keadaan politik umat islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah berkembangnya tiga kerajaan besar : Usmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia.  Dimasa tiga kerjaan besar ini kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Masjid-masjid yang didirikan kerajaan ini  masih dapat diihat di Istambul, Tibriz dan Isfaham serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat islam di zaman ini lebih banyak merupakan warisan kemajuan pada masa priode klasik. Perhatian di ilmu pengetahuan masih kurang. Tentu saja bila dibandingkan kemjuan yang dicapai pada masa dinasti Abbsyiah, khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Namun, menarik untuk dikaji, karena kemajuan pada masa ini terwujud setelah dunia islam mengalami kemunduran beberapa abad lamanya.[1]
Kerajaan Safawiyah adalah kerajaan yang berdiri berdasarkan paham Syi’ah sebagai mazhab negara. Syiah adalah aliran yang dikenal dengan kemajuannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas sejarah singkat berdirinya kerajaan Safawiyah dan perkembangan apa saja yang dicapai dalam masa kerajaan Safawiyah di Persia.

B.  Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Safawiyah

Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din dan dari gerakan tarekat ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Safawiyah .
Dinasti Safawiyyah adalah salah satu dinasti terpenting dalam sejarah Iran. Dinasti ini meruapakan salah satu negeri persia terbesar semenjak penaklukan muslim di Persia.Negeri ini juga menjadikan Islam Syiah sebagai agama resmi, sehingga menjadi salah satu titik penting dalam sejarah muslim.Safawiyyah berkuasa dari tahun 1501 hingga 1722.[2] (mengalami restorasi singkat dari tahun 1729 hingga 1736). Pada puncak kejayaannya, wilayah Safawiyyah meliputi  Iran, Georgia, Afganistan, Kaukasus, dan sebagian Pakistan, Turkmenistan dan Turki. Safawiyyah merupakan salah satu negeri Islam selain Utsmaniyah dan Mughal.
Awalnya kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberinama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni gerakan Safawi.[3]
Merupakan Ismail dari keturunan Shafi ad-Dhin yang petama kali memplokamirkan dirinya sebagai raja pertama kerajaan Safawiyah[4]. Kerajaan Safawi bertahan lebih 2 abad dengan pemimpin sebagai berikut: 1) Ismail I, (1501-1524M), 2) Tahmasap I (1524-1576 M), 3) Ismail II (1576-1577 M), 4)Muhammad Khudabanda ( 1577-1587 M), 5) Abbas I ( 1587-1628 M), 6) Safi Mirza (1628-1642 M), 7) Abbas II (1642-1667 M), 8) Sulaiman (1667-1694 M), 9) Husein I (1694-1722 M), 10) Tahmasap II (1722-1732 M), 11) Abbas III (1732-1736 M).

C.  Perkembangan Peradaban Islam Pada Masa Kerajaan Safawiyah

Pada masa pemerintahan Ismail, Safawi berhasil  mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke daerah Nazandaran, Gurgan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan dan Khurasan hingga meliputi ke daerah bulan sabit subur (fortile crescent). Kemudian ia berusaha mengembangkan wilayahnya sampai ke Turki Usmani tetapi mengadap kekuatan besar dari Kerajaan Turki Usmani tetapi menghadapi kekuaatan besar dari kerajaan Turki Usmani yang sangat membenci golongan Syi’ah. Dalam perebutan wilayah ini Safawi mengalami kekalahan yang menyebabkan Ismail mengalami depresi yang meruntuhkan kebanggaan dan rasa percaya dirinya sehingga ia menempuh kehidupan dengan cara menyepi dan hidup hura-hura. Hal ini berpengaruh pada stabilitas politik dalam kerajaan Safawi. Contohnya adalah terjadinya perebutan kekuasaan antara pimpinan suku-suku Turki, Pejabat-pejabat keturunan Persia dan Qizilbash.
Keadaan ini baru dapat diatasi pada masa pemerintahan raja Abbas I. Langkah-langkah yang ditempuh  oleh Abbas I untuk memperbaiki situasi adalah Menghilang dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang beranggotakan budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia. Terwujudnya wilayah kekuasaan Islam adalah terwujudnya integritas wilayah kekuasaan dari kerajaan Safawiyah sebagai kerajaan Islam yang luas, yang dikawal oleh pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan yang penting dalam peraturan politik Internasional.[5]
Syah Abbas I berpendapat bahwa tentara Qizilbash yang pernah menjadi tulang punggung kerajaan Safawiyah pada awal-awal pendirian pada masa Syah Ismail tidak bisa diharapkan lagi karena loyalitas mereka sudah beralih pada suku masing-masing. Qizilbash hanya merupakan tentara non reguler yang tidak dapat diandalkan untuk cita-cita politik Syah Abbas yang besar. Atas dasar inilah Syah Abbas membentuk pasaukan baru yang bersifat reguler (tetap). Selanjutnya mereka diberi gelar Ghullam dan dibina dengan pendidikan militer yang militan, dengan pesenjataan modern pada waktu itu. Abbas mengharapkan mereka menjadi tentara militer yang tangguh seperti Inksyari di Turki Usmani. Sebagai pimpinannya, Abbas mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam itu sendiri.[6]
Dalam membangun Ghulam tersebut, Syah Abbas mendapat bantuan besar dari dua orang Inggris, yaitu Sir Anthony Sherly dan saudaranya Sir Rodert Sherly. Merekalah yang mengajarkan tentara Safawiyah membuat meriam, sebagai perlengkapan perang modern pada waktu itu. Dengan bantuan kedua orang Inggris itu, Syah Abbas telah mencapai cita-citanya untuk memiliki suatu angkatan bersenjata yang kuat dengan pasukan artileri modern disamping pasukan kavaleri yang konvensional. Bahkan, berdasarkan informasi, sekitar 3000 orang Ghulam dijadikan sebagai “pasukan elite” yang bertugas melindungi Syah Abbas sendiri.[7]
Syah Abbas memang seorang politikus yang mahir yang mampu membaca peta politik pada masa itu. Ia menyadari bahwa selama memerintah terdapat dua musuh berat Safawi yang selalu mengancam eksistensi pemerintahannya. Kedua musuh itu adalah kerajaan Turki Usmani disebelah Barat dan kerajaan Uzbek disebelah Timur. Untuk menghadapi kedua musuh itu sekaligus jelas tidak efektif. Ia memerlukan waktu 10 tahun untuk mempersiapkan diri dan membangun angkatan bersenjata yang kuat.
Langkah berikutnya yang dilakukan oleh Syah Abbas adalah Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Unar, Usman) dalam khotbah Jumatnya[8]. Syah Abbas mengatur strategi dengan menandatangani Traktat di Konstatinopel pada tahun 1589 M, agar kerajaan Turki Usmani tidak melakukan serangan pada kerajaan Safawi, meskipun dengan perjanjian itu, Ia harus merelakan beberapa daerah lepas dari tangannya, seperti Azerbaijan, Karabagh, Ganja, Karajadagh, Georgia dan lain-lain.[9]
Usaha-usaha tersebut terbukti membawa hasil yang baik dan membuat kerajaan Safawi kembali kuat. Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali daerah yang telah lepas dari Safawi maupun mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Herat (1598 M), Marw dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai menyerang kerajaan Turki Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani, Ganja, Baghdad, Nakhchivan, Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I berhasil menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas[10].
Kemudian pada tahun yang sama Dia juga membiarkan Mashad dan Herat jatuh ke tangan Uzbek di Timur. Tampaknya Ia menerapkan politik dengan memainkan kartu politik mengalah untuk menang. Pada tahun 1598 M, Raja Abdullah II penguasa kerajaan Uzbek meninggal dunia. Abbas menganggap meninggalnya raja Abdullah II sebagai momentum yang tepat untuk memulai serangan secara opensif ke wilayah Timur. Dengan pasukan yang kuat, gabungan Qizilbash dan Ghulam yang baru dibina, pada tahun itu juga Ia dapat merebut Mashad dan Herat, yang lepas dari tangannya sepuluh tahun yang lalu. Dia menipu Bakh, Marw, dan Astrabad di sebelah utaranya. Walaupun pada tahun 1601 M Balk dapat dikuasai kembali oleh Uzbek pada masa Baki Muhammad, pada tahun berikutnya kota itu dapat dibebaskan kembali.
Setelah wilayah Timur dapat dibenahinya, Ia mulai meilirik ke Barat. Ia mendapatkan informasi bahwa di Istanbul pada saat itu sedang terjadi kekacauan politik, karena kerajaan Turki Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, sehingga Ia mulai menyerang daerah Azerbaijan pada tahun 1603 M, sekaligus menduduki Nakhiwan dan Erwan. Adapun pasukan Turki Usmani yang bertahan di dekat Tabrez dibawah panglima Chighalazada, hancur dengan 20000 tentaranya. Akibatnya, Ghanja dan Tiflis kembali jatuh ketangan Safawi. Gerakan ervach pasukan Turki Usmani yang melaju di Azerbaijan dapat dihentikan oleh Safawiyah dengan membumihanguskan Sa’ad dan Makhiwan setelah mengevakuasikan penduduknya. Akhirnya, perdamaian ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tahun 1617 M. Namun, pada tahun 1623 M, Syah Abbas membatalkan perjanjian itu secara sepihak serta melakukan penyerbuan ke Bagdad dan Diyarbakar.[11]
Perluasan wilayah kerajaan Safawiyah pada masa Syah Abbas mencapai puncaknya. Di utara, daerah Syirwan dan Georgia berhasil dikuasai, sedangkan di selatan, Bahrain dapat didudukinya pada tahun 1601 M. Pada tahun 1620 M, Ia dapat mengusir Portugis dari pulau Hormus yang telah dikuasainya pulau itu sejak 1511M. Hal ini dikarenakan Ia berhasil mengadu domba Inggris dengan Portugis, sehingga dalam menganeksasi pulau Hormuz, kerajaan Safawiyah mendapatkan bantuan Inggris.[12]
Pada masa Syah Abbas yang agung, Safawiyah mempunyai pemerintahan yang kuat. Kesewenang-wenangan Qizilbash dan Harem istana tidak terjadi lagi karena Syah Abbas langsung menangani pemerintahan dan mengontrol pejabat-pejabatnya dengan ketat.
Syah Abbas juga melakukan penataan terhadap struktur pemerintahannya. Jabatan wakil Syah pada tahun pertama pemerintahannya masih dipakai dan diberikan kepada Murshid Quli Khan, gubernur Turbat, pemimpin suku Ustajlu dari Qizilbash yang banyak berjasa menaikkan Abbas keatas tahta. Sekalipun demikian, sejak tahun 1589 M, jabatan wakil Syah dihilangkan Murshid Qulli Khan sebagai wakil Syah tewas ditangan Allahwardi Khan, seorang pemimpin Ghulam, dengan restu Syah, dalam tujuan politiknya menghadapi Qizilbash.[13]
Sejak saat itu, jabatan wakil Syah tidak dipergunakan lagi. Jabatan Wazir dan Sadr disederhanakan menjadi satu dengan nama I’timad Daulah atau Sadr al Azam. Menurut Holt, perubahan ini merupakan perkembangan yang mengarah pada sekulerisasi dalam negara Safawiyah. Karena Sadr al Azam hanya berfungsi seperti Wazir dalam kerajaan Usmani, masalah keagamaan tidak lagi ditangani secara resmi oleh jabatan negara sebagaimana sebelumnya.[14]
Dalam mengangkat pejabat penting, Syah Abbas juga mengandalkan kekuatan Ghulam yang baru dibinanya. Allahwardi Khan, pemimpin Ghulam, orang kepercayaan Syah, diangkat sebagai gubernur Fars, provinsi yang penting. Bahkan, sekitar dua puluh persen jabatan-jabatan penting negara diberikan kepada orang-orang dari korps Ghulam ini. Dengan cara tersebut, kekuatan Qizilbash tidak banyak berperan, sehingga pemerintah Abbas sangat kuat.[15]
Sebagai suatu kerajaan besar, Safawiyah telah mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara besar lainnya, baik dengan negara-negara Kristen di Eropa, maupun dengan negara-negara Islam di Timur. Dalam hal-hal tertentu, Syah Abbas juga melakukan hubungan kerjasama dalam hubungan internasional, misalnya Ia bekerja sama dengan Inggris dalam membangun angkatan bersenjata Safawiyah yang kuat dan modern. Dalam mengembangkan perdagangan, Ia mengadakan kerjasama dengan Rusia di Utara dan Portugis di Selatan. Menurut Hodsgon, kerja sama terakhir ini harus dilakukan oleh Syah Abbas 1, sebagai langkah antisipasi dalam menjaga aliran Syiah yang dianut Safawi yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang menganut mazhab sunni, seperti Usmani di barat dan Uzbek di timur.[16]
Dengan demikian, masa kekuasaan Abbas 1 dapat dikatakan sebagai puncak kerajaan Safa
iyah. Secara politis, Ia mampu mengatasi berbagai kemelut dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa-masa sebelumnya.[17]
Selain Perluasan Wilayah kemajuan yang dicapai dalam kerajaan Safawiyah adalah sebagai berikut:
a.       Bidang Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masa kerajaan Safawi tradisi keilmuan itu terus berlanjut.
Pada masa kerajaan Safawiyah di Persia, filsafat dan ilmu berkembang kembali di dunia Islam, khususnya dikalangan orang-orang Persia yang memang berminat mengembangkan kebudayaan.
Menurut Syed Amir Ali, perkembangan baru ini erat kaitannya dengan keberadaan aliran Syiah yang ditetapkan kerajaan Safawiyah sebagai agama negara pada waktu itu. Menurut Syemir Amir Ali, Syiah dua belas terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok akhbari dan Ushuli. Kedua kelompok ini berbeda dalam memahami ajaran-ajaran agamanya.[18] Kelompok pertama, cenderung berpegang pada hasil-hasil ijtihad para mujtahid Syiah yang sudah mapan, sedangkan  kelompok kedua banyak mengambil secara langsung dari sumber agama Islam, yaitu Al-Quran dan Hadits, tanpa terikat pendapat para mujtahid terdahulu.[19]
Golongan ushuli inilah yang banyak berperan pada masa kerajaan Safawiyah. Dalam bidang teologi, mereka merupakan perwujudan dari mazhab Mu’tazilah. Pertemuan kedua elemen inilah yang mendorong terwujudnya perkembangan baru dalam perkembangan filsafat dan ilmu dikalangan umat Islam waktu itu, yang telah melahirkan beberapa tokoh ilmuwan dan filsuf.
Menurut Hodsgon, ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa kerajaan Safawi. Pertama, aliran filsafat Perifatetik, seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-Farabi. Kedua, filsafat Ishraqi yang dibawa oleh Suhrawardi pada abad ke-12 M. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi di Isfahan dan Siraz.[20]
Beberapa tokoh Ilmuan yang terkenal antara lain: Bahauddin Syehrozi seorang generalis ilmu pengetahuan, Muhammad Baqir bin Muhammad Damad seorang Filsuf ahli sejarah,  teolog dan seorang yang pernah mengobservasi kehidupan lebah. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains Safawiyah lebih maju daripada kerajaan lain pada masa yang sama.[21]
Beberapa tokoh filsafat yang muncul pada masa Safawi antara lain Mir Damad alias Muhammad Baqir Damad 1631 M yang dianggap sebagai guru ketiga setelah Aristoteles dan Al-farabi, dan Mulla Shadra atau Shadr Al-din Al-Syirazi. “Menurut amir Ali ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya”,[22] dan Baha Al-Syerazi seorang generalis Ilmu Pengetahuan. “Dalam pengembangan ilmu pengetahuan Syah Abbas sendiri ikut aktif dalam penelitian ilmu-ilmu tersebut, Kota Qumm pada saat itu menjadi pusat pengembangan kebudayaan dan penyelidikan mazhab Syiah terbesar”[23]
Berkembangnya model filsafat seperti ini, tampaknya serasi dengan kecenderungan mereka melakukan kehidupan sufi di samping minat mereka yang besar terhadap cara berfikir secara mendalam atau berfilsafat.
Tokoh ilmuwan lainnya yang terkenal adalah Zain Ad-Din Ibnu Ali Ibnu Ahmad Jaba’i (w. 1258 M), tokoh pendidikan Syiah; Ali Ibnu Abdul Ali Amily alias Muhakkik (w. 1538 M), seorang teolog yang besar, filsuf, ahli sejarah dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah; Abdul Rozaq Lahiji (w. 1661 M), seorang murid Mulla Sadra, pengarang Syarakah Hayakil al-Nur karya Suhrawardi yang besar; Syeih Bahr ad-Din Amily (lh. 1546 M), ulama terbesar di kota Isfahan, seorang teolog, faqih, penyair, filsuf dan matematikus ulung yang karyanya Khulasah fi al Hisab menjadi sumber utama selama beberapa abad dan pada tahun 1843 diterjemahkan kedalam bahasa Jerman.[24] Dalam bidang ini, kerajaan Safawiyah dapat dikatakan setingkat atau beberapa tingkat lebih menonjol dalam membangun dan mengembangkan peradaban Islam dibandingkan dengan dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang sama.

b.      Bidang Ekonomi
Keberadaan stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Abbas 1 ternyata telah memacu perkembangan perekonomian. Terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gurmus dirubah menjadi bandar Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Disamping bidang perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan dalam sektor pertanian terutama didaerah Sabit Subur (Fortile Crescent)[25]
Pada akhir abad ke-15(1498), Vasco da Gama seorang pelaut Portugis menemukan jalan ke timur melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Penemuan ini telah membuka fase baru dalam perkembangan dunia dagang internasional. Bangsa Eropa berlomba-lomba berlayar ke Timur untuk memperebutkan daerah-daerah perdagangan yang menguntungkan. Portugis pun pada awal abad ke-16 M telah menguasai setidaknya tiga kota dagang terpenting disekitar Samudra Hindia, yaitu Hormuz di Persia, Goa di India dan Malaka di semenanjung Malaya. Kesuksesan bangsa Portugis ini diikuti oleh bangsa-bangsa lainnya, seperti Inggris, Belanda, Spayol, Prancis dan Jerman. Dengan demikian, kegiatan perdagangan melalui lautan menjadi sangat ramai.
Pada masa Abbas, Safawiyah dapat menguasai Hormuz, bahkan Ia membangun sebuah kota dagang baru dengan nama Bandar Syah Abbas diteluk Persia. Dengan ini, Safawiyah telah memegang kunci perdagangan Internasional di lautan, khususnya di daerah teluk Persia yang ramai, sedangkan di Utara, disekitar Laut Kaspia, Safawiyah menjalin perdagangan dengan Rusia. Disamping itu, arus perdagangan di darat dari Asia tengah, tetap melalui kota-kota penting kerajaan Safawiyah, seperti Herat, Marw, Nisyafur, Tabrez, Baghdad, dan lain-lain.[26] Akibatnya, banyak sekali pedagang asing yang berkeliaran di Persia pada masa itu.
Komoditas perdagangan pada waktu itu adalah rempah-rempah dari Nusantara dan dari Persia adalah hasil industrinya yang juga bertambah maju, seperti berbagai macam hasil industri logam, tekstil mewah, karpet dengan berbagai motifnya yang menarik, keramik-keramik dan sebagainya. Hasil-hasil industri inilah yang banyak menarik pedagang-pedagang Eropa untuk berdagang di Persia pada waktu itu.

c.       Bidang Arsitektur dan Seni
Penguasa kerajan Safawi telah berhasil menciptakan Isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota yang sangat Indah. Dikota Isfaham ini berdiri bangunan-bangunan besar dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Disebutkan dalam kota Isfaham terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.[27] Dalam bidang kesenian, kemajuan tampak begitu kentara dalam gaya arsitektur banguanan-banguananya, seperti terlihat pada masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M, dan masjid Syaikh Lutfillah yang dibangun tahun 1603 M. Pada hasil-hasil industri seperti pada berbagai macam keramik, permadani dan hiasan dinding yang indah-indah juga tampak kemajuan seni pada waktu itu, sedangkan seni sastra berkembang pesat, khususnya dikalangan penyair-penyair sufi.[28]
Selain itu, menurut Carl Brockelman, Abbas juga membangun istana megah di ibukota Isfahan yang disebut Chihil Sutun atau istana empat puluh tiang, sebuah jembatan besar diatas sungai Zende Rud, dan mempersiapkan pembangunan taman bunga empat penjuru (four garden).
Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Safawi, kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung bersejarah.

d.      Bidang Politik
Masa kemajuan Kerajaan Safawi tidak langsung terjadi pada masa Ismail, Raja pertama (1501-1524 M) kejayaan Safawi yang gemilang baru di capai pada masa Syah Abbas yang Agung (1587-1628 M) Raja yang kelima. Walaupun begitu, peran Ismail sebagai pendiri Safawi sangat besar sebagai peletak pondasi bagi kemajuan Safawi di kemudian hari. Dia telah memberikan corak yang khas bagi Safawi dengan menetapkan Syiah sebagai mazhab negara. Syah Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi negaranya, yaitu perluasan wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang unik pada masanya.
Seperti di katakan sebelumnya Safawi jaya pada masa Abbas I (1587-1628).   Syah Abbas yang Agung naik tahta pada usia 17 tahun. Ketika Abbas memerintah kerajaan Safawi berada dalam keadaan tidak stabil. Syah Abbas menempuh beberapa langkah untuk memperbaiki situasi tersebut, antara lain:
1)  Menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang terdiri dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah mulai di bawa ke Persia sejak Syah Tahmasap I (1524-1576) di beri nama “ Ghulam”.
2)   Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara berjanji menyerahkan wilayah Azerbaizan, Georgia dan sebagian wilayah Luristan, dan tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khutbah jum’atnya.[29]

Secara politik Syah Abbas I sangat maju, karena ia mampu mewujudkan integritas wilayah negara yang luas yang di kawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh. Angkatan bersenjata yang di sebut “ghulam”, dalam proses pembentukannya di katakan bahwa Syah Abbas I mendapat dukungan dari dua orang Inggris yaitu Sir Antoni Sherly dan saudaranya Sir Rodet Sherly. Mereka mengajari tentara Safawi untuk membuat meriam sebagai pelengkapan negara yang modern. Kedatangan kedua orang Inggris itu oleh sebagian sejarawan di pandang sebagai upaya strategi Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu. Bagaimanapun dengan bantuan dua orang Inggris itu Syah Abbas memiliki tentara dapat diandalkan. Hal ini terbukti sekitar 3.000 Ghulam di jadikan “Cakrabirawa” oleh Syah sendiri. Kemajuan lain di bidang politik yang di tunjukkan Syah Abbas, yaitu keberhasilannya merebut kembali daerah-daerah yang pernah di rebut Turki Usmani.

D.  Faktor-faktor Yang Mendorong Kemajuan Kerajaan Safawiyah

Menurut M. Zurkani,[30] faktor-faktor yang mendorong emajuan kerajaan Safawiyah adalah pertama, Syah Abbas sangat cakap dan berwibawa dalam mengatur pemerintahan. Kperibadian Syah Abbas ini merupakan faktor utama yang menopang kamajuan kerajaan Safawi yang dihasilkannya. Tentang keagungan dan kepribadian yang cakap dalam mengatur pemerintahan yang ditunjukkan Syah Abbas, beberapa sejarawan telah menyejajarkannya dengan kepribadian dan keagungan Sultan Sulaiman al-Qonuni dari kerajaan Turki Usmani dan Sultan Akbar dari Kerajaan Mughal di India.
Diantara keagungan pribadi Syah Abbas yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah Ia seorang pecinta ilmu pengetahuan, toleran, baik dalam bermazhab maupun dalam beragama, negarawan yang mampu membuat balance antara kekuatan politik didalam negerinya, politikus yang dapat mengadu domba bangsa Eropa dengan tujuan mengembalikan daerahnya yang strategis bagi perdagangan. Ia juga seorang panglima perang yang tidak terkalahkan dimedan perang, administrator pemerintahan yang mampu mengendalikan korupsi dikalangan birokratnya, berjiwa modern dan terbuka, dalam arti selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari orang lain, dan selalu berusaha untuk mengadakan perbaikan terhadap intitusi kenegaraannya.[31] Memang, faktor kepribadian dan kewibawaan raja sangat dominan menentukan situasi negara yang bersifat monarki absolut, sebagaiamana yang banyak ditemukan pada periode pertengahan.
Kedua, faktor geografis. Wilayah kerajaan Safawiyah sejak masa Syah Ismail telah mencakup daerah-daerah yang subur untuk pertanian dan daerah-daerah yang strategis untuk perdagangan. Faktor kondisi geografis ini memang sangat menunjang kemajuan perekonomian, yang juga sebagai fondasi bagi kemajuan bidang-bidang lainnya.
Ketiga, faktor stabilitas dan keamanan negara. Syah Abbas berhasil mewujudkan stabilitas dan keamanan kerajaannya, sehingga memungkinkan terlaksananya pembangunan di segala bidang. Mula-mula, Ia mengusahakan keamanan Safawiyah dari ancaman luar. Untuk itu, Ia bersedia menandatangani perjanjian damai dengan kerajaan Turki Usmani, sekalipun rela melepaskan beberapa daerahnya disebelah barat jatuh ke tangan Turki Usmani. Didalam negeri ini Ia berusaha menjinakkan tingkah laku Qizilbash yang mengganggu stabilitas politik dalam negeri. Stabilitas juga diwujudkan melalui toleransi Islam dalam bermazhab, sehingga pertentangan antara Syiah dan Sunni mereda.
Keempat, pemerintahan yang kuat dan berwibawa juga mendorong terwujudnya partisipasi rakyat dalam membangun. Syah Abbas berusaha keras untuk menjadikan pemerintahannya berwibawa didepan rakyatnya. Ia berusaha membenahi birokrasi pemerintahan dengan baik dan memberantas korupsi dikalangan para pejabatnya tanpa pandang bulu. Ia keluar masuk kedai dan tempat pertemuan lainnya hanya untuk mencari informasi dari rakyatnya secara langsung. Untuk membangun kekuatan pemerintahannya, Ia membangun kekuatan politik yang baru, yang monoloyalitasnya keada kejaan Safawiyah sangat tinggi. Dengan semua itu, pemerintahannya sangat berwibawa, baik dimata rakyat maupun musuh-musuhnya.[32]
Kelima, politik luar negeri yang terbuka, yang dilaksanakan Syah Abbas yang Agung, merupakan faktor yang memungkinkan terwujudnya kemajuan. Pada Abad ke-16 dan ke-17 M, kerajaan kerajaan di Eropa mulai menaiki jenjang kemajuannya. Negara-negara, seperti Portugis, Spayol dan Inggris, Prancis dan Belanda memiliki keunggulan dalam berbagai bidang dari negara-negara timur lainnya pada umumnya. Kerajaan Safawiyah mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa tersebut, di samping negara-negara di wilayah Timur lainnya, seperti Turki Usmani dan Mughal. Perdagangan luar negeri dilaksanakan dengan bebas, bahkan misi kristen juga dizinkan beroperasi di ibukota Isfahan waktu itu.[33]

E.  Kesimpulan

Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din dan dari gerakan tarekat ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Safawiyah . Merupakan Ismail dari keturunan Shafi ad-Dhin yang petama kali memplokamirkan dirinya sebagai raja pertama kerajaan Safawiyah. Kerajaan Safawi bertahan lebih 2 abad dengan pemimpin sebagai berikut: 1) Ismail I, (1501-1524M), 2) Tahmasap I (1524-1576 M), 3) Ismail II (1576-1577 M), 4)Muhammad Khudabanda ( 1577-1587 M), 5) Abbas I ( 1587-1628 M), 6) Safi Mirza (1628-1642 M), 7) Abbas II (1642-1667 M), 8) Sulaiman (1667-1694 M), 9) Husein I (1694-1722 M), 10) Tahmasap II (1722-1732 M), 11) Abbas III (1732-1736 M).
Faktor-faktor kejayaan kerajaan Safawi meliputi 1) bidang Filsafat dan Ilmu pengetahuan dengan ditandai dengan munculnya para ilmuan seperti, Bahauddin Syehrozi seorang generalis ilmu pengetahuan, Muhammad Baqir bin Muhammad Damad seorang Filsuf ahli sejarah,  teolog dan seorang yang pernah mengobservasi kehidupan lebah, 2) bidang ekonomi ditandai dengan dikuasainya jalur perdagangan laut antara Timur dan Barat, 3) Arsitektur ditandai dengan didirikanya kota-kota yang megah, masjid-masjid dan bangunan-bangunan yang lain, 4) dan bidang Politik yang ditandai dengan pembentukan tentara-tentara yang kuat.


DAFTAR PUSTAKA



Ali, Syed Ameer. t.t. The Spirit of Islam. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I.

Brockelmann, Carl. 1974. Tarikh As-Syu’ub Al-Islamiyah. Beirut: Dar Al-‘Ilm.

Gibbs, H.A.R. dkk. (Ed.). 1960. The Encyclopedia of Islam. Vol. I. Leiden & London: B.J. Brill &Lusac & Co.

Holt, P.M, Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (Ed.). 1970. The Cambridge History of Islam Vol. 1. Cambridge: Cambridge an The University Press.

Hodsgon, Marshal G.S. 1974. The Venture of Islam, Vol III. Chicago: The University of Chicago Press.

Ibrahim, Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.

Kusdiana, Ading. 2013. Sejarah & Kebudayaan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Kusdiana, Ading. 2013. Sejarah & Kebudayaan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 1992.  Perkembangan dalam Islam : Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.

Sharif, M. (Ed. 1963. A History of Muslim Philosophy, Vol. II, Wesbaden: Otto Harrasowitz

Sunanto, Musyrifah. 2007. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana

Thohir, Ajid. 2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacah Akar-akar Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam. Ed 1-2. Jakarta : Rajawali  Pers.

Yahya, M. Zurkani. 1983/1984. kerajaan Safawi di Persia: Asal-usul, Kemunduran dan Kehancuran, Makalah. Jakarta: Fakultas Pascasarjana.

Yatim, Badri.2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindio Persada.





[1] Harun Nasution, Perkembangan dalam Islam : Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992) hlm. 14.
[2] Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 336
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindio Persada, 2000), hlm. 138.
[4] Carl Brockelmann, Tarikh As-Syu’ub Al-Islamiyah, Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974, hlm. 141.
[5] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013, hlm. 185.
[6] P.M. Holt, Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (Ed.), The Cambridge History of Islam Vol. 1, Cambridge: Cambridge an The University Press, 1970, hlm. 418. Sebagaimana dikutip Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013, hlm. 186.
[7] P.M. Holt dkk(ed), The Cambridge History Of Islam.Vol.IA,(London : Cambridge University Press, 1970), hlm. 418
[8] P.M.Holt,  dkk, ibid., hlm.417.
[9] R.M. Savory, “Abbas I”, dalam H.A.R. Gibbs dkk. (Ed.), The Encyclopedia of Islam, Vol. I, Leiden & London: B.J. Brill &Lusac & Co, 1960, hlm. 7-8
[10] Badri Yatim, Op.cit., hlm.143.
[11] Marshal G.S. Hodsgon, The Venture of Islam, Vol III, Chicago: The University of Chicago Press, 1974, hlm. 128.
[12] P.M. Holt dkk., loc. Cit., hlm. 420.
[13] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013, hlm. 188.
[14] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 419.
[15] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 418.
[16] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 420.
[17] Badri Yatim, Op. cit., hlm. 143.
[18] Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah-I Adabiyat-I, t.t, hlm. 348-349.
[19] Ibid., hlm. 348-349.
[20] Syed Hosein Nasr, “Shihab al-Din Suhrawardi Maqtul”, dalam M.M. Sharif (Ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. II, Wesbaden: Otto Harrasowitz, 1963, hlm. 396-397 ; lihat juga Marshal H.S. Hodson, lic. Cit., hlm. 42.
[21] Samsul Munir, Op. cit, hlm. 191.
[22] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacah Akar-akar Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam. Ed 1-2 ( Jakarta : Rajawali  Pers , 2009 ). hlm. 177.
[23] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 253.
[24] Syed Hossein Nasr, The School of Isfahan, dalam M.M. Sharif (Ed.), loc. Cit., hlm. 908-910.
[25] Badri Yatim, Op. cit, hlm. 144. sebagaimana dikutip oleh Samsul munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 191. Lihat juga Carl Broekelmaun, Tarikh Al-Syu’ub Al-Islamiyah. hlm. 505.
[26] Muhammad Yamin, Atlas Sejarah, Jakarta: Djambatan, 1956, hlm. 54. Sebagaimana dikutip bukunya sulfia hlm. 190
[27] Marshal G.S. Hodson, The Vennture of Islam, hlm. 40 sebagaimana dikutip Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, hlm 192
[28] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 421.
[29] Busman Edyar, dkk. (Ed.), Op. cit.), hlm. 154.
[30] M. Zurkani Yahya, kerajaan Safawi di Persia: Asal-usul, Kemunduran dan Kehancuran, Makalah, Jakarta: Fakultas Pascasarjana, 1983/1984, hlm. 9.
[31] Marshal G.S. Hodsgon, loc. cit., hlm. 39 & 50.
[32] R.M. Sarvory, loc. cit., hlm. 4.
[33] Marshal G.S. Hodsgon, loc. cit, hlm. 56-57. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar