Senin, 06 November 2017

MAKALAH JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA ABAD KE XVII & XVIII

JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA
ABAD KE XVII & XVIII



Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam


Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A






Pemakalah:
ADELINA SARI POHAN
(16771004)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



     A.    Pendahuluan
Transmisi gagasan-gagasan pembaruan merupakan bidang kajian Islam yang cukup terlantar, berbeda dengan banyaknya kajian tentang transmisi ilmu pengetahuan misalnya dari yunani kepada kaum muslim dan selanjutnya kepada Eropa modern, tidak terdapat kajian komprehensif tentang transmisi gagasan-gagasan keagamaan-khususnya gagasan-gagasan pembaharuan dari pusat-pusat keilmuan Islam ke bagian-bagian lain dunia muslim, tentu saja terdapat sejumlah studi tentang transmisi Hadis dari satu generasi ke generasi berikutnya pada masa awal Islam melalui isnad mata rantai transmisi yang berkesinambungan.
Kajian tentang transmisi dan penyebaran gagasan pembaharuan Islam khususnya pada masa menjelang ekspansi kekeasaan Eropa dalam abad ke 17 dan 18 penting karena beberapa alasan, sejarah sosial intelektual Islam pada periode ini sangat sedikit dikaji, kebanyakan perhatian diberikan kepada sejarah politik muslim karena terjadinya kemerosotan entitas-entitas politik muslim, periode ini sering disebut sebagai masa gelap dalam sejarah muslim. Bertentangan dengan pandangan yang banyak dipegangi bahwa abad ke 17 dan ke 18 merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial-intelektual kaum muslim.
Sumber dinamika Islam dalam abad ke 17 dan ke 18 adalah jaringan ulama, yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah, posisi penting kedua kota suci ini khususnya dalam kaitan ibadah haji, mendorong sejumlah besar guru (ulama) dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah datang dan bermukiman di sana yang pada gilirannya menciptakan semacam jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana keilmuan yang unik. Sebagian besar mereka yang terlibat dalam jaringan ulama ini, berasal dari berbagai dunia muslim membawa berbagai tradisi keilmuan ke Makkah dan Madinah, terdapat usaha-usaha sadar di antara ulama dalam jaringan untuk membarui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam, tema pokok pembaharuan mereka adalah rekonstruksi sosio moral masyarakat-masyarakat muslim. Karena hubungan-hubungan ekstensif dalam jaringan ulama, semangat pembaharuan tadi segera menemukan berbagai ekspresinya di banyak bagian dunia muslim.
Pengembangan gagasan pembaharuan dan transmisinya melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang amat kompleks, terdapat saling-silang hubungan di antara banyak ulama dalam jaringan, sebagai hasil proses keilmuan mereka, khususnya dalam bidang hadis dan tasawuf. Kajian atas kompleksitas hubungan dan atas kitab-kitab dan karya-karya yang dihasilkan dalam jaringan ulama akan mengungkapkan banyak hal tentang bagaimana gagasan pembaharuan Islam dan Transmisikan dari pusat-pusat jaringan ke berbagai bagian dunia muslim.
Memahami proses-proses transmisi gagasan pembaharuan itu menjadi semakin penting dalam hubungannya dengan perjalanan Islam di Nusantara, karena kawasan ini secara geografis terletak pada pinggiran dunia muslim, terdapat kekeliruan yang menganggap hubungan antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis ketimbang keagamaan, setidaknya sejak abad ke 17 hubungan diantara kedua wilayah muslim ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meski juga terdapat hubungan politik antara beberapa kerajaan muslim Nusantara misalnya dengan Dinasti Ustmani. Jika hubungan keagamaan dan keilmuan ini dalam masa belakangan mendorong munculnya semacam kesadaran politik, khususnya vis a vis imperialisme Eropa, itu merupakan kosekuensi dari meningkatnya kesadaran tentang identitas Islam.
Hubungan antara kaum muslim dikawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam, para pedagang Muslim dari Arab, Persia dan anak benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Penetrasi Islam di masa lebih belakangan tampaknya lebih dilakukan para guru pengembara sufi yang sejak akhir abad ke 12 datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Nusantara. Tatkala hubungan Ukonomi, Politik, Sosial-Keagamaan antar negara-negara Muslim di Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad ke 14-15, maka kian banyak pulalah penuntut ilmu dan jamaah haji dari dunia Melayu-Indonesia yang berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan Haji. Ini mendorong munculnya komunitas yang oleh sumber-sumber Arab disebut ashbab al-jawiyyin (saudara kita orang jawi) di Haramayn istilah jawi meskipun berasal dari kata Jawa, merujuk kepada setiap orang yang berasal dari Nusantara.
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum muslim Melayu-Indonesia, kajian atas sejarah kehidupan, keilmuan dan karya-karya yang mereka hasilkan menjelaskan tidah hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual di anatara kaum Muslim Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga perkembangan Islam semasa di dunia Melayu-Indonesia. Kehidupan dan pengalaman mereka menyajikan gambaran yang amat menarik tentang berbagai jaringan intelektual-keagamaan yang terdapat di antara mereka dengan ulama Timur Tengah.
Terdapat sejumlah murid Jawi yang menjadi subjek kajian inti yang terlibat dalam jaringan ulama pada abad ke 17 dan ke 18 setelah menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah sebagian besar mereka kembali ke Nusantara, disinilah mereka menjadi transmiter utama tradisi intelektual keagamaan, tradisi Islam dari pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah ke Nusantara.
Kecenderungan intelektual-keagamaan paling mencolok yang muncul dari jaringan ulama adalah harmonisasi antara syariat dan tasawuf, tasawuf yang telah diperbaharui sehingga menjadi lebih sesuai dengan tuntutan syariat ini sering disebut dengan neo-sufisme. Rekonsiliasi dan harmonisasi antara syariat dan tasawuf telah ditekankan sejak masa lebih awal oleh tokoh-tokoh semacam al-Ghazali dan al-Qusyairi, tetapi rekonsiliasi itu mencapi momentumnya terutama melalui jaringan ulama. Para tokoh jaringan ulama percaya hanya dengan komitmen total kepada syariat, maka kecenderungan sufisme awal yang ekstravagen dan eksesif dapat dikontrol.
Kebanyakan ulama dalam jaringan mempunyai komitmen kepada pembaharuan Islam, tidak terdapat keseragaman di antara mereka dalam hal metode dan pendekatan untuk mencapai tujuan ini, kebanyakan mereka memilih pendekatan damai dan evolusioner, tetapi sebagian kecil yang paling terkenal diantara mereka adalah Muhammad b. Abd Al-Wahhab di Semenanjung Arabia dan Ustman b Fudi di Afrika Barat lebih menyenangi pendekatan dan cara-cara radikal yang pada gilirannya juga di tempuh sementara ulama atau gerakan pembaru Nusantara, semacam gerakan Padri di Minangkabau. Sejauh ini tidak terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara, meski terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa tokoh ulama Melayu-Indonesia pada abad ke 17 dan 18, tetapi tak banyak upaya yang dilakukan untuk mengkaji secara kritis tentang sumber-sumber pemikiran mereka dan khususnya tentang bagaimana gagasan dan pemikiran Islam mereka transmisikan dari jaringan ulama yang ada dan tentang bagaimana gagasan yang mereka transmisikan itu mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara.
Beberapa tulisan Voll membahas tentang jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah, dan hubungan-hubungan mereka dengan bagian-bagian lain dunia muslim, tetapi Voll membahas terutama tentang kebangkitan jaringan itu di antara di antara ulama Timur Tengah dan anak Benua India, dia hanya sekedar menyebut keterlibatan ulama Melayu-Indonesia seperti Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili dan Muhammad Yusuf Al-Maqassari dalam jaringan ulama Internasional tersebut.
Jhons dalam beberapa tulisan juga membahas hubungan-hubungan tersebut, khususnya antara Al-Sinkili dan Ibrahim Al-Kurani, tetapi dia tidak melakukan usaha membahas lebih lanjut jaringan keilmuan Al-Sinkili dengan ulama lain di Haramayn.
Kajian ini terdiri dari beberapa masalah pokok yaitu pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia, bagaimana sifat dan karakteristik jaringan tersebut, apakah ajaran atau tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan. Kedua, apa peran ulama Melayu-Indonesia dalam Transmisi itu ? ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara.
Pendeknya kajian ini berusaha menjelaskan sejumlah masalah penting pertama, tentang jaringan ulama global dengan referensi khusus kepada ulama Melayu-Indonesia beserta kecenderungan-kecenderungan intelektual mereka dalam abad ke 17 dan 18. Kajian ini merupakan pembahasan tentang peranan jaringan ulama dalam transmisi gagasan-gagasan pembaruan ke Nusantara dan sekaligus pelacakan awal tentang sumber-sumber pembaruan awal dalam sejarah Islam di Nusantara.

     A.    Pembahasan   
           1.      Terbentuknya jaringan ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia
Hubungan antara kaum muslimin di kawasan Melayu Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa awal Islam, para pedagang Muslim dari Arab, Persia dan Anak Benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat yang dilakukan oleh pengembara sufi yang sejak akhir abad ke 12 datang dalam jumlah yang semakin banyak. Imbasnya kemakmuran kerajaan muslim mendorong segmen-segmen tertentu dalam masyarakat Melayu-Indonesia melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah di sepanjang rute perjalanan Haji, hal ini memunculkan komunitas yang oleh sumber-sumber Arab disebut Ashhab Al-Jawiyyin (saudara kita orang jawi) di Haramayn, istilah Jawi meskipun berasal dari kata “Jawa” merujuk kepada setiap orang yang berasal dari Nusantara.[1]
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum muslim Melayu-Indonesia, kajian atas sejarah kehidupan, keilmuan dan karya-karya yang mereka hasilkan menjelaskan tidah hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual di antara kaum Muslim Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga perkembangan Islam semasa di dunia Melayu-Indonesia, disini mereka menjadi transmitter utama tradisi keagamaan tradisi Islam dari pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
Sepanjang menyangkut perkembangan Islam khususnya pada abad ke 17 neo-sufisme merupakan wacana dominan dalam jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah khususnya Makkah-Madinah menyaksikan perkembangan pemikiran Islam neo-sufisme, sehingga sebagai wilayah yang terlibat dalam proses transmisi keilmuan Arab dari Timur Tengah, Indonesia menampakkan kecenderungan Islamnya yang neo-sufisme.[2]
Dari waktu ke waktu ajaran neo-sufisme di Indonesia cenderung menguat, bahkan dalam konteks sejarah ajaran salah satu jenis tarekat yakni tarekat Syattariyyah, sifat neo-sufisme ini diterjemahkan menjadi penolakan terhadap doktrin wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang sebelumnya menjadi substansi tasawuf. Hanya saja meskipun telah menjadi pembaharuan atas jenis dan sifat tasawuf dalam gerakan neo-sufisme, satu hal masih dipegang teguh oleh para pengamal ajaran neo-sufisme adalah berkaitan dengan organisasi tarekat, ada kecenderungan bahwa para sufi yang terlibat dalam propoganda neo-sufisme mamanfaatkan organisasi tarekat untuk menciptakan jaringan internasional yang dapat menghubungkan satu ulama sufi dan ulama sufi lain dan juga satu wilayah Islam dengan wilayah Islam lain.[3]

2.  Karakteristik yang berkembang dalam jaringan ulama
Jaringan ulama menjadi semakin ekstensif dalam abad ke 17, dan jelas terdapat hubungan di antara ulama masa lebih awal dengan mereka yang terlibat dalam abad ke 17 tetapi, hubungan-hubungan yang terdapat dalam jaringan abad ke 17 jelas jauh lebih kompleks. Saling-silang hubungan baik melalui studi hadist dan afiliasi tarekat luar biasa rumit, meskipun demikian hubungan-hubungan itu bisa dilacak, sampai ke masa modern sekalipun.
Saling-silang hubungan ulama yang terlibat dalam jaringan menciptakan komunitas-komunitas intelektual internasional yang saling berkaitan satu sama lain. Hubungan-hubungan diantara mereka pada umumnya tercipta dalam kaitan dengan upaya pencarian ilmu melalui lembaga-lembaga pendidikan, seperti masjid, madrasah, dan ribath. Karena itu kaitan dasar di antara mereka bersifat akademis, koneksi di antara mereka satu sama lain mengambil bentuk hubungan guru dengan murid “hubungan vertikal”, hubungan akademis ini juga mencakup bentuk-bentuk lain guru dengan guru, atau murid dengan murid, yang keduanya dapat pula disebut “hubungan horizontal”. Bentuk-bentuk hubungan ini tidaklah secara ketat dan formal diorganisasi dalam struktur hirarkies, mobilitas guru-guru dan murid-murid yang relatif tinggi memungkinkan pertumbuhan jaringan ulama sehingga mengatasi batas-batas wilayah perbatasan etnis dan kecenderungan-kecenderungan keagamaan dalam hal mazhab dan sebagainya.[4]
Meski hubungan antara ulama ini agaknya kelihatan cukup formal, khususnya jika di pandang dari dunia akademis modern minat bersama dalam membangkitkan kembali kejayaan ummah merangsang kerjasama, yang pada gilirannya menghasilkan hubungan-hubungan antar pribadi yang erat ini dipelihara dalam berbagai cara khususnya setelah ulama atau murid-murid yang terlibat dalam jaringan kembali ke negeri masing-masing atau mengembara ke tempat-tempat lain, kebutuhan membina dan memelihara tali hubungan lebih kuat dengan ulama dan murid-murid jebolan Haramayn menghadapi persoalan-persoalan di negeri masing-masing dan karenanya memerlukan saran, bimbingan, pendapat dan kolega-kolega dan guru-guru mereka di Haramayn, ini membantu menjelaskan kontuniutas hubungan-hubungan keilmuan dalam jaringan.
Lebih jauh dua sarana terpenting yang membuat hubungan relatif solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat. Voll menyimpulkan keduanya memainkan peran krusial dalam menghubungkan ulama yang terlibat dalam jaringan, yang berpusat di Haramayn pada abad ke 18. Kesimpulan yang sama juga berlaku untuk periode abad ke 17, guru-guru dan murid-murid asal Afrika Utara dan Mesir, misalnya membawa tradisi studi hadis di wilayah mereka ke Haramayn. Haramayn sendiri sejak masa awal Islam terkenal sebagai pusat penting studi Hadis, kedatangan ulama dari tempat-tempat lain amat membantu dalam membangkitkan kembali posisi dominan Haramayndalam studi Hadist. Interaksi dan hubungan-hubungan diantara berbagai tradisi keilmuan ini, pada gilirannya menciptakan suatu tradisi baru yang unik.
Sedangkan silsilah-silsilah tarekat, secata tradisional merupakan sarana penting dalam menciptakan hubungan-hubungan lebih erat di antara ulama, ini disebabkan sifat daar kehidupan dan pola-pola hubungan struktural di dalam tarekat itu sendiri. Murid-murid dalam jaringan mistis, secara defenisi, harus tunduk kepada ajaran, perintah dan keinginan syaikh tarekat, baik yang langsng bertemu dengan mereka maupun yang tidak langsung, hanya bertemu di dalam silsilah. Kenyataan ini menciptakan ikatan yang amat kuat di antara mereka yang terlibat di daam tarekat dan mengamalkan tasawuf, Voll menyatakan jenis ikatan semacam ini membentuk hubungan lebih personal dan afiliasi bersama, yang membantu terciptanya rasa kohesi lebih besar dalam kelompok-kelompok ulama.
Semakin pentingnya jalan esotoris di Haramayn, akibat kedatangan tarekat-tarekat yang dibawa, misalnya ulama asal India, menghasilkan interaksi, rapprochement, dan rekonsiliasi lebih intens di antara ulama sufi dengan ulama fiqh yang menekankan jalan eksoteris. Dengan demikian ini tidak hanya menghasilkan hubungan-hubungan lebih erat, tetapi tak kurang pentingnya juga menghilangkan atau setidaknya mengurangi dikotomi di antara mereka yang disebut ulama sufi dan ulama fiqh, seperti telah kita lihat hampir semua ulama yang menjadi inti jaringan adalah ahli syari’ah dan tasawuf sekaligus.
Keterlibatan ulama asal India dalam jaringan jelas membantu perluasan jaringan ulama, tidak kurang pentingnya mereka memperluas ranah pengaruh tarekat, khususnya Syathariyah dan Naqsyabandiyah, yang sebelumnya terutama diasosiasikan sebagai Tasawuf anak Benua India dan nyaris tak dikenal di Haramayn, tetapi perlu dicatat dengan memasuki Haramayn yang sekali lagi bangkit sebagai pusat studi Hadist atau jalan eksoteris umumnya tarekat-tarekat mengalami semacam reorientasi.[5]
Meski terdapat hubungan erat di antara ulama dalam jaringan, juga ada keragaman di antara mereka, beragam satu sama lain bukan hanya dalam hal tempat asal dan etnisitas, tetapi juga dalam hal mazhab dan afiliasi tarekat. Sementara seorang guru merupakan pengikut mazhab Hanafi, muridnya bisa jadi adalah penganut Syafi’i, sementara seorang guru adalah Sufi Sathariyah, muridnya bisa jadi mengikuti tarekat Naqsyabandiyah. Meski ada perbedaan-perbedaan semacam ini, ulama dalam jaringan memiliki kecenderungan umum ke arah reformisme Islam.
Berdasarkan wacana di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik dasar jaringan ulama ini tidaklah secara ketat dan formal di organisasi dalam struktur hirarkis, mobilitas guru dan murid yang relatif tinggi memungkinkan pertumbuhan jaringan ulama sehingga mengatasi batas-batas wilayah perbedaan asal etnis dan kecenderungan-kecenderungan keagamaan dalam hal mazhab. Namun yang menonjol dua sarana penting yang membuat hubungan relatif solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat, dalam pengkajian keilmuan, mereka duduk dalam majlis yang dikenal dengan ribath membahas tentang keilmuan.

3.  Tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan ulama Timur Tengah
Ulama terkemuka dalam jaringan sebelum menetap di Haramayn atau tempat-tempat lainnya, telah menjadi ulama pengembara (peripatetic scholars)[6] yang berkelana dari satu pusat pengajaran ilmu-ilmu Islam ke pusat lain, sambil belajar dan mengaji dari berbagai guru yang memiliki tradisi-tradisi keilmuan mereka masing-masing, jadi mereka dipengaruhi bukan hanya oleh satu guru melainkan oleh banyak guru mereka dihadapkan pada dan menyerap berbagai jalan pemikiran dan kecenderungan-kecenderungan intelektual. Mengingat hal ini setiap usaha untuk menyingkap isi atau ajaran-ajaran yang dikembangkan dan disebarkan oleh jaringan ulama itu tidaklah mudah.
Dalam pengertian tertentu Haramayn adalah sebuah “panci pelebur” (melting pot) berbagai tradisi “kecil” islam sama-sama lebur untuk membentuk suatu sintesis baru yang sangat condong pada tradisi besar (great tradisition). Kita telah mengamati sebelumnya bagaimana para ulama dari Anak Benua India misalnya membawa tradisi-tradisi mistis mereka ke Haramayn, sementara para ulama dari Mesir dan Afrika Utara datang dengan muatan ilmu-ilmu hadist tradisi-tradisi ini berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan dengan tradisi yang telah mapan di Haramayn sendiri, apa yang dihasilkan dari interaksi tradisi-tradisi ini.
Harus diingat sejak awal bahwa apa yang dinamakan sintesis baru tidak sepenuhnya merupakan perkembangan baru dalam sejarah tradisi-tradisi sosial dan intelektual Islam, meski demikian sintesis baru itu memiliki beberapa ciri khas jika dibandingkan dengan tradisi sebelumnya dan dalam banyak hal ia juga mengandung beberapa unsur kesinambungan dengan tradisi-tradisi sebelumnya. Langkah kembali pada sikap ortodiksi Sunni yang mencapai momentum setelah abad ke 12 tampaknya mencapai kulminasi pada masa yang sedang dibahas, hal ini  dapat dilihat tidak hanya dalam kandungan intelektual dari jaringan ulama melainkan juga dalam aspek-aspek organisasional mereka, atau lebih tepatnya keterkaitan dikalangan para ulama, jadi semangat kebangkitan kembali yang mengilhami pendirian madrasah-madrasah dimana-mana di Timur Tengah setelah berdirinya Madrasah Nizhamiyah pada 459/1066 terus berkembang dengan berbagai cara.
Ciri paling menonjol dari jaringan ulama adalah bahwa saling pendekatan antara para ulama yang berorientasi pada syariat (lebih khusus lagi para fuqaha) dan para sufi mencapai puncaknya, konflik yang berlangsung lama antara kedua kelompok cendekiawan muslim ini tampaknya telah banyak berkurang sikap saling pendekatan atau rekonsiliasi di antara mereka yang diajarkan gigih oleh ulama seperti al-Qusyairi dan al Ghazali beberapa abad sebelumnya  banyak dijalankan para ulama kita. Ebagian besar mereka adalah ahl al-asyari’ah (fukaha) dan ahl al-haqiqah (sufi) sekaligus jadi sebagaimana telah kita lihat sebelumnya mereka menguasai tidak hanya seluk beluk syariat tetapi juga haqiqah (realitas mistis atau ilahiah).[7]
Sikap saling pendekatan antara syariat dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama ke dalam tarekat mengakibatkan timbulnya Neo-Sufisme. Ada banyak pembahasan mengenai makna dan penggunaan istilah Neo-Sufisme yang diciptakan oleh Fazlur Rahman, menurut Rahman, neo-Sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui yang terutama dilecuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam, lebih jauh dia menjelaskan tasawuf baru ini menekankan dan memperbaharui faktor-faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf popular yang menyimpang, pusat perhatian neo-Sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat muslim, ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat. Akibatnya Rahman menyimpulkan karakter keseluruhan neo-Sufisme tak lain lagi adalah puritan dan aktivis.
Pada masa awal Islam, tasawuf merupakan salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang sifatnya sangat pribadi, seseorang yang masuk kedalam dunia tasawuf bermaksud menegaskan hubungan spriritual dirinya sebagai hamba dengan Tuhannya yang disembah. Hubungan antara ‘abid dan ma’bud ini yang lebih menekankan aspek batin, umumnya dipahami berbeda dengan hubungan antara ‘abid dengan ma’bud yang diatur melalui doktrin-doktrin fiqih dan lebih bersifat lahir, karena wataknya sangat personal, para sufi periode awal tidak bergabung dalam sebuah wadah yang kemudian disebut tarekat. Tokoh-tokoh sufi seperti Zunnun al-Misri, Rabiah al-Adawiyah, al-Hallaj tidak dihubungkan dengan tarekat tertentu.[8]
Tarekat secara kelembagaan tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 atau abad ke 14 M, artinya sebagai organisasi dalam dunia tasawuf tarekat bisa dianggap sebagai hal baru yang tidak pernah dijumpai dalam Islam periode awal. Tarekat pada masa awal sifatnya sangat personal, aspek yang menonjol dari sifat tasawuf pada masa awal-awal Islam adalah ungkapan-ungkapan yang menunjukkan cinta kasih dengan Tuhan bahkan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan penyatuan atau peleburan diri sang sufi dengan Rabb nya (wahdatul wujud), tentu saja ajaran-ajaran seperti ini hanya dapat dipahami oleh sang sufi sendiri. Bagi orang awam yang lebih menekankan aspek lahir (syar’iyyah) ajaran sufi sering kali disalahtafsirkan, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik keagamaan.
Dalam perkembangan berikutnya muncul kecenderungan untuk mengkritik model tasawuf yang demikian, tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan al-Qushairi termasuk yang terdepan dalam melakukan reformulasi ajaran tasawuf. Mereka menekankan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dan ajaran syari’at, mereka mengakui bahwa bertasawuf itu penting dan dengan al-Haqq. Namun bertasawuf tidak serta merta boleh meninggalkan ritual ibadah syar’iyyah.[9]
Kecenderungan rekonsiliatif ini terus berkembang seiring perkembangan ajaran tasawuf ke berbagai wilayah di dunia Islam termasuk Indonesia, pada gilirannya kecenderungan tasawuf demikian semakin menjadi mainstreamdi dunia Islam secara keseluruhan dan disebut kemudian dengan neo-sufisme, dalam konteks Islam Indonesia, isu penting yang berkembang sejak awal proses islamisasi adalah sufisme di setiap wilayah mana Islam berkembang baik level kerajaan maupun masyarakat, sufisme senantiasa mewarnai secara keseluruhan gambaran Islam yang muncul.[10]
Al-Qusyasyi (tokoh jaringan ulama Haramayn) mengakui perbedaan-perbedaan tertentu diantara kedua “jalan” itu sesungguhnya jalan atau cara termasuk diantara makna-makna dari syariat dan tarekat (thariqah), karena keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya kaum muslim dapat mencapai tahap-tahap tertentu haqiqah sementara mereka mengabaikan doktrin-doktrin syari’at yang ditetapkan al-Qur’an dan Hadis, tetapi mereka tidak dapat merasakan rahmat Tuhan yang sejati, karena seorang sufi perlu melewati jalan mistis dengan tuntunan syari’at. Al-Hawawi bercerita ketika dia (al-Qusyasyi) berbicara tentang haqiqah, dia selalu mendukungnya dengan ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi. 
Lebih lanjut dengan pandangan yang jernih mengenai hubungan yang layak antara syariat dan tasawuf menjelaskan bahwa tidak akan ada maqam atau ahwal (tahap-tahap dalam perjalanan mistis) yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan secukupnya dan perbuatan baik seperti yang diajarkan al-Qur’an dan Hadis, pengetahuan saja tidak cukup, pasti tidak akan ada perjalanan mistis sejati bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah majib seperti shalat, puasa, zakat dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang dianjurkan.
Para tokoh dalam jaringan ulama bersepakat, sama sekali mustahil bagi para sufi mencapai tujuan spiritual mereka tanpa mematuhi sepenuhnya doktrin ortodoks Islam, mereka tentu saja mengakui adanya manifestasi dan praktik yang menyimpang dari tasawuf yang sebenarnya terutama pada tingkat massa tetapi hal itu terutama disebabkan kurangnya pemahaman atas ajaran-ajaran tasawuf yang murni. Karena itu tasawuf sendiri tidak boleh dianggap bertanggungjawab atas semua bid’ah dan khurafat yang terdapat dikalangan masyarakat muslim. Keberadaan sufi bukanlah bahaya yang mematikan yang harus kita ambil aturan dalam sejarah, karena setiap muslim yang baik mengetahui bahwa seseorang dengan kegiatan intelektualnya dapat mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai dunia dan Tuhannya.[11]
Kecenderungan yang mencolok dari jaringan ulama ini adalah tekanannya penggunaan akal bahkan juga aktifisme, berulang kali mereka mendorong kaum muslim agar sepenuhnya menjalankan tugas-tugas duniawi mereka untuk menopang hidup dengan jalan mengajar, berdagang, bertani. Menurut pendapat al-Qusyasyi seorang sufi sejati bukanlah orang yang mengasingkan dirinya dari masyarakat melainkan menganjurkan kebaikan dan melarang kejahatan, mengulurkan tangan membantu yang tertindas, sakit, dan yang miskin, lebih lanjut lagi seorang sufi sejati hendaknya orang yang dapat bekerjasama timbal-balik (ta’awun) dengan orang-orang muslim lainnya demi kebaikan masyarakat. Dengan demikian tidaklah benar tuduhan kaum modernis bahwa tasawuf mendorong kepasifan dan penarikan diri dari permasalahan duniawi hanya didasarkan terutama pada ketidaktahuan pengertian tentang keseluruhan ajaran tasawuf.[12]
Semangat pembaharuan dari jaringan ulama jelas terpusat pada rekonstruksi sosio moral dan dan intelektual atas masyarakat muslim, beberapa bukti menunjukkan terjadinya diskusi diantara para ulama mengenai kemunduran masyarakat muslim baik secara sosial, politik maupun keagamaan, mereka jelas memahami bahwa masyarakat mereka memerlukan revitalisasi. Menurut mereka jalan yang masuk akal untuk mencapai tujuan itu adalah dengan mengembangkan pemahaman lebih berimbang atas setiap aspek Islam, menekankan seluruh ajarannya secara holistik seperti dalam bidang humum dan mistis, intelektual dan praktikal, serta sosial dan individual. Dengan demikian sebagaimana yang telah kita lihat, tak seorangpun diantara para ulama kita menolak tasawuf atau mengesampingkan pentingnya syari’at, tekanan mereka jelas bernada pembaruan, purifikasionis, dan aktivis. Pendeknya para ulama berusaha melahirkan perubahan-perubahan dalam masyarakat dengan upaya mereka sendiri dan bukan menunggu campur tangan eskatologis, tidak ada bukti yang menyarankan bahwa ada diantara para ulama itu yang mengikuti gagasan, seperti milenarianisme (paham tentang pembaharuan seribu tahun) atau Mahdisme, sesungguhnya mereka menentang gagasan-gagasan tersebut dengan gigih.
Timbul pertanyaan apa pengaruh dari semua perubahan doktrinal dalam tasawuf itu terhadap aspek organisasional tarekat ?
Ciri yang paling mencolok dari tarekat-tarekat pada periode pembahasan adalah bahwa mereka ternyata diorganisasi secara longgar, tidak ada batasan-batasan jelas diantara berbagai tarekat yang jumlahnya cukup banyak itu baik dalam doktrin-doktrin maupun praktik-praktik (peribadatan dan upacara) atau “keanggotaan” mereka. Para syeikh dan murid-murid sufi tidak harus setia pada suatu tarekat saja, mereka bisa menjadi pemimpin dan murid dari sejumlah tarekat, lebih jauh lagi mereka dapat berhubungan bukan hanya dengan tarekat-tarekat tertentu yang berasal dari atau yang kebanyakan berkembang di satu wilayah tertentu dunia Islam, tetapi juga dengan tarekat yang datang dari wilayah-wilayah lain.
Ahmad Al-Qusyasyi merupakan contoh bagus untuk menopang argumen ini, sebagaimana dikatakannya dalam riwayatnya, dia berafiliasi dengan hampir selusin tarekat: Syathariyyah, Chisytiyah, Firdawsiyah, Kubarawiyah, yang semua itu diterima dari Ahmad Al-Syinnawi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Meskipun afiliasi dengan banyak tarekat dipraktekkan secara luas, begitu seorang menyatakan kesetiannya pada seorang syeikh tertentu, dia dituntut mamatuhi aturan-aturannya, kesetiaan pada sang syeikh akan menuntunnya kepada makna sejati dalam mistis.
Dengan demikian aturan-aturan syariat menajadi norma-norma baku bagi para murid yang ingin diterima menjadi anggota tarekat diantara syarat-syarat paling penting untuk diterima sebagai murid adalah kedewasaan yang membuat mereka layak bertanggungjawab menjalankan seluruh rukun Islam, dengan syarat-syarat yang begitu ketat keanggotaan tarekat menjadi sangat terbatas. Meskipun keanggotaan dalam tarekat sangat terbatas, para murid di Haramayn sama sekali tidak bisa dikatakan homogen, para sufi dan murid di Haramayn sangat heterogen dalam banyak hal, para sufi Haramayn secara geografis berasal dari berbagai bagian dunia Islam, secara religius mereka juga berpegang pada mazhab-mazhab yang berlainan, dan secara sosial mereka menempati kedudukan yang berbeda-beda dalam masyarakat dari guru, pedagang, hingga penguasa.
Aspek organisasional lainnya dari tarekat-tarekat menyangkut pusat aktivitas mereka, para sufi Haramayn terpusat di masjid-masjid suci, rumah atau ribath para guru kemudian menjalankan upacara-upacara sufistik mereka disana, dan para ulama yang telah menetap di Haramayn mempunyai rumah sendiri yang terkadang juga memiliki perpustakaan besar, maka dari itu para ulama sufi kebanyakan tinggal da rumah daripada tinggal di ribath, ribath-ribath ini biasanya dipimpin seorang kepala administrator yang telah ditunjuk  bukan seorang syeikh sufi.[13]

    2.      Peran ulama Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan intelektual jaringan ulama ke         Nusantara
Para ulama Melayu-Indonesia menjalin hubungan erat dengan tokoh-tokoh penting dalam jaringan ulama Haramayn pada abad ke 18 memainkan peranan bukan hanya mempertahankan momentum pembaharuan di Nusantara (yang sebelumnya di rintis oleh ulama seperti Ar-Raniri, Al-Sinkili dan Al-Maqassari) tetapi lebih penting meneruskan bendera pembaharuan kepada generasi ulama Melayu Indonesia sesudahnya, tema sentral pemikirannya adalah keselarasan aspek-aspek hukum dan mistis Islam. Keselarasan itu juga merupakan tema sentral Al-Palimbani dan rekan-rekannya, sementara Dawud al-Fatani merupakan contoh baik dari seorang ulama yang berhasil dalam usahanya mendamaikan aspek hukum dan aspek mistik Islam.[14]

     3.      Dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara
 Pada tahun-tahun terakhir abad ke 18 tanda-tanda yang lebih jelas dari pembaharuan keagamaan muncul dikalangan masyarakat minangkabau. Misalnya diantara surau-surau syatariyyah ada usaha sadar untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran Al-Sinkili terutama menyangkut pentingnya syari’at dalam praktik tasawuf. Islam masuk Minangkabau pada masa kerajaan samudra Pasai kemudian masuk ke pedalaman dibawa oleh Syeh Syamsuddin, imigran-imigran Aceh berhasil mengislamkan penduduk pedalaman bangkahulu.
Gerakan awal pembaruan pemikiran Islam modern di Minangkabau menjelma menjadi gerakan padri, yang dipelopori dan dipimpin langsung oleh putra-putra daerah ini yang pulang haji di awal abad ke 19, melakukan pemurnian Islam menurut ide, pola, dan cara yang dilakukan kaum Wahabiyah di Arabia.[15] 


KESIMPULAN
Penyebaran pembaharuan Islam ke wilayah Melayu-Indonesia pada abad ke 17 dan 18, para ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan ulama kosmopolitan yang berpusat di Makkah dan Madinah memainkan peanan menentukan dalam menyiarkan gagasan-gagasan pembaruan baik melalui pengajaran maupun karya tulis. Menyangkut pembaharuan ini Islam di wilayah pembahuruan Melayu-Indonesia pada abad ke 17 bukan semata islam beroriantasi pada tasawuf, melainkan Islam juga berorientasi pada syariat, ini merupakan perubahan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada abad-abad sebelumnya Islam mistislah yang dominan. Setelah belajar di pusat jaringan di Timur Tengah para ulama Melayu-Indonesia sejak paruh ke 2 abad ke 17 dan seterusnya melakukan usaha-usaha yang dijalankan dengan sadar bahkan secara serentak untuk menjalankan neo-sufieme di Nusantara.
Neo-sufisme berbeda dari jenis tasawuf sebelumnya yang sebagian besarnya merupakan semacam penafsiran mistiko-filosofis terhadap Islam, sementara mempertahankan doktrin-doktrin mistisme filosofis tertentu, yang sangat penting bagi setiap jenis tasawuf, neo-sufisme memberikan tekanan lebih besar pada kesetiaan dan kepatuhan total dari para penganutnya kepada syari’at. Lebih jauh lagi berbeda dengan jenis tasawuf sebelumnya yang cenderung mendorong para sufi bersikap pasif, neo-sufisme menganjurkan aktivisme, keterlibatan dalam permasalahan duniawi dianggap sebagai salah satu langkah penting menuju pemenuhan cita-cita mistis.
Bangkitnya neo-sufisme, tak diragukan lagi terutama merupakan hasil usaha jaringan ulama yang semakin berjaya sejak menjelang akhir abad ke 16, jaringan ulama yang terpusat terutama di Haramayn timbul sebagai akibat interaksi berbagai tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam dari Afrika Utara, Mesir, Irak, Yaman, India dan Haramayn itu sendiri.
Jaringan ulama itu sendiri mencakup hubungan-hubungan yang rumit diantara para ulama dari berbagai bagian dunia muslim, karena kedudukannya yang utama dalam Islam, Makkah dan Madinah semakin banyak menarik minat para ulama sejak abad ke 15, pada saat yang sama madrasah-madrasah dan ribath-ribath juga tumbuh dalam jumlah besar di kedua kota tersebut. Madrasah dan ribath-ribath tersebut sangat besar sumbangannya dalam kebangkitan pengetahuan dan keilmuan Islam di Haramayn. Banyak tokoh yang memainkan peran penting dalam jaringan ulama, mula-mula datang ke Haramayn untuk menjalankan ibadah haji atau mengajar, atau dua-duanya, sebagian diantara mereka kemudian menetap disana dan mencurahkan tenaga mereka belajar dan menulis, bersama dengan para murid-murid yang berasal dari berbagai tempat. Kemudian membentuk komunitas kosmopolitan di Haramayn.
Dua ciri paling penting dari wacana ilmiah dalam jaringan adalah telaah hadis dan tarekat, melalui telaah-telaah hadis para guru dan murid-murid dalam jaringan ulama menjadi terkait satu sama lainnya, tidak kalah penting para ulama ini mengambil dari telaah-telaah hadis inspirasi dan wawasan mengenai cara memimpin masyarakat muslim mengenai rekonstruksi sosio-moral, ini pada gilirannya mendorong para tokoh dalam jaringan ulama untuk mendapatkan apresiasi yang lebih baik menyangkut hubungan yang seimbang antara syari’at dan tasawuf. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan terciptanya beberapa perubahan doktrinal dalam tarekat atau tasawuf pada umumnya tekanan lebih difokuskan kepada penyucian pikiran dan perilaku moral melalui kepatuhan penuh kepada syariat dan bukan hanya pada penjelajahan mistiko-filosofi.
Penyebaran pembaruan Islam di Nusantara sepanjang abad ke 17 dan 18 tidak lantas bahwa tradisi kecil Islam di bagian dunia Islam ini menjadi sepenuhnya sesuai dengan tradisi besar, berbagai bentuk keyakinan dan praktik-praktif yang tidak sesuai Islami terus mencengkram segmen tertentu kaum muslim dan ini merupakan alasan penting bagi kelanjutan pembaharuan periode sekanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007
Fathurrahman, Tanbih Al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkil di Aceh abad 17, Bandung: Mizan, 1999
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2007
Saifullah, Sejarah Kabudayaan Islam di Asia Tenggara, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Martin Van Bruinessan, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, jogjakarta: Gading Publishing, 2012
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ilman, 2009
Rizal Sukma & Clara Joewono, Gerakan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius: 2006






[1] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 19
[2] Martin Van Bruinessan, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, jogjakarta: Gading Publishing, 2012, h, 225 
[3] Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ilman, 2009, h. 1
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2007), h. 88
[5] Ibid., h. 89
[6] Saifullah, Sejarah Kabudayaan Islam di Asia Tenggara, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 13
[7] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 119
[8] Rizal Sukma & Clara Joewono, Gerakan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius: 2006), h. 248
[9] Ibid., h. 120
[10] Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 36
[11] Ibid., h. 129
[12] Ibid., h. 139
[13] Ibid., h. 148
[14] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h. 335-339
[15] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h. 367 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar