Kamis, 09 November 2017

MAKALAH STRATEGI DAN METODE PENGEMBANGAN ILMU EMPIRICO-DEDUKTIF (F. BACON) DAN DEDUKTIF-FALSIFIKATIF (K. POPPER)

STRATEGI DAN METODE PENGEMBANGAN ILMU EMPIRICO-DEDUKTIF (F. BACON) DAN DEDUKTIF-FALSIFIKATIF (K. POPPER)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)


Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag




Pemakalah :
NI'MATUL ULFA
(16771003)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



A.  Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani hingga abad XX sekarang ini, telah banyak aliran filsafat yang bermunculan, setiap aliran filsafat itu memiliki kekkhasan masing-masing, sesuai dengan metode yang dijalankan dalam rangka memperoleh kebenaran, kecenderungan setiap aliran filsafat dalam mencanangkan metodenya masing-masing sebagai satu-satunya cara yang paling tepat untuk berfilsafat, menimbulkan pertentangan yang sengit di antara para penganut berbagai aliran filsafat tersebut.
Filsafat, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Philosophia. Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu Philos dan Sophia. Jika kata Philos berarti cinta, maka kata Sophia berarti kebijaksanaan, kearifan, dan bisa juga berarti pengetahuan. Jadi, secara harfiah, filsafat berarti mencintai. Filsafat ilmu tidaklah ditujukan untuk mendidik seseorang menjadi ahli dalam filsafat ilmu melainkan pengetahuan pelengkap bagi pendidikan keilmuan dalam berbagai disiplin ilmu. Tugas filsuf menurut Hans Albert adalah memperjelas masalah, yang mencakup membuat cerah, dan pantang lelah menyingkirkan teori-teori, prasangka-prasangka, dan pendapat-pendapat salah yang sudah terbantah. Filsafat ilmu memberikan kerangka dasar berpikir dalam mengolah ilmu agar proses dan produk keilmuan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah moral, etika dan kesusilaan. Untuk itu penulis akan membahas lebih lanjut mengenai kerangka dasar teori Ilmu pengetahuan yang meliputi Empirico-Deduktif, Dedukto-Falsifikatif, Daur Imbas-Jabar-Tasdik (Siklus-indukto-dedukto-validatif), Lompatan Paradigmatik: (Paradigma Khun) dan Paradigma Merton.

B. Empirico-Deduktif (Francis Bacon)
1. Biografi Francis Bacon
Bacon lahir di London tahun 1561, Tokoh terkemuka dalam filsafat alam dan metodologi ilmiah dalam periode transisi antara Renaissance ke era awal modern. Sebagai seorang ahli hukum, anggota Parlemen dan Penasehat Ratu, Bacon menulis banyak pertanyaan dalam bidang hukum, kenegaraan dan agama sebagaimana dalam politik kontemporer, tetapi ia juga mempublikasikan teks-teks yang dispekulasi sebagai konsep-konsep kemasyarakatan yang mungkin terjadi, dan ia merenungkan pertanyaan-pertanyaan tentang etika (buku Essays) meskipun bidangnya adalah filsafat alam (The Advancement of Learning).
Setelah studinya di Trinity College, Cambridge and Gray’s Inn, London, Bacon tidak melanjutkan lagi ke pasca sarjana, melainkan memulai karir di bidang politik. Meskipun usahanya tidak dianugerahi keberhasilan selama pemerintahan Ratu Elizabeth, di bawah James I ia menanjak ke jenjang politik tertinggi, sebagai Lord Chancellor. Bacon termasyur secara internasional dan berpengaruh luas pada masa-masa akhirnya, saat ia mampu memfokuskan energinya pada bidang filsafat, dan bahkan setelah kematiannya, ketika ilmuwan Inggris Boyle (Invisible College) mengambil idenya tentang lembaga riset koperatif dalam rencana dan persiapan-persiapan mereka untuk memapankan Masyarakat Kerajaan.  Sampai saat ini Bacon sangat dikenal akan teorinya tentang filsafat alam empiris (The Advancement of Learning, Novum Organum Scientiarum) dan atas doktrinnya tentang idola-idola, yang dikemukakan di bagian awal dari tulisannya, sebagaimana gagasan tentang sebuah lembaga riset modern yang dijelaskan dalam Nova Atlantis. 
2. Pengertian
a. Empirico
Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan yang terpenting adalah David Hume. Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.
b. Deduktif
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum. Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuk saja.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir yang dinamakan silogismus.[1] Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara suatu kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pertnyaan-pertanyaan yang lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik. Guna memenuhi dan  membatasi maksud logika deduktif bagian terkenal sebagai logika Aristoteles. Cabang loka ini membicarakan pernyataan-pernyataan yang dapat dijadikan bentuk ‘S’ adalah ‘P’, misalnya, “manusia (adalah) mengenal mati. Tampaklah pada kita bahwa ‘S’ merupakan huruf pertama perkataan ‘Subjek’ dan ‘P’ merupakan huruf pertama perkataan ‘Predikat’. Dari pernyataan-pernyataan semacam itu, kita dapat memilah empat cara pokok untuk mengatakan sesuatu dari setiap atau sementara subjek yang dapat diterapi simbol ‘S’.

Contoh membuat silogismus sebagai berikut:

  • Semua makhluk hidup memerlukan udara                (Premis mayor)
  • Dewi adalah makhluk hidup                                      (Premis minor)
  • Jadi Dewi memerlukan udara                                    (Kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil bahwa si Dewi memerlukan udara adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditasrik secara logis dari dua permis yang mendukungnnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah. Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan.
2.  Pemikiran Francis Bacon
Masa filsafat modern diawali dengan munculnya Renaissance sekitar abad XV dan XVI M. Berangkat dari keinginan lepas dari dogma-dogma, akhirnya muncul semangat untuk menggali kembali kekayaan filsafat Yunani klasik. Problem utama pada masa Renaissance adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era Renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik secara individu maupun sosial.
Di antara filosof masa Renaissance adalah Francis Bacon (1561 – 1628). Francis Bacon Lahir pada tanggal 22 Januari 1561  di York House, London. Ayahnya adalah pejabat tinggi kerajaan Inggris. Pada usia 12 tahun, Bacon telah belajar di Trinity College, Cambridge University. Setelah lulus dari Cambridge, ia diangkat sebagai staf kedutaan Inggris di Prancis. Pada usia 3 tahun ia diangkat menjadi anggota parlemen. Kemudian pada tahun 1681, James I mengangkatnya menjadi Lord Chancellor dan kemudian menjadi Viscount St. Albans. Pada usia 40 tahun, ia mulai menulis filsafat. Ia mendapat gelar bangsawan dan pernah memberi kuliah tentang Aristoteles di Universitas Paris.[2]
Karya Tulis Francis Bacon yang terkenal adalah The Advances of Learning dan New Atlantis. Ia juga menulis menulis buku tentang metode empiris-eksperimental yang berjudul Novum Organum (1620) Alat/Metode Baru yang ia maksudkan sebagai penolakan terhadap metode logika deduktif Aristoteles.[3] Bacon juga menginginkan rekonstruksi menyeluruh bidang seni, pengalaman dan ilmu pengetahuan manusia dengan menggunakan metode empiris-eksperimental.
Dalam buku Novum Organum, Bacon menyempurnakan metode ilmiah induktif. Menurutnya, logika silogisme tradisional tidak sanggup lagi menghasilkan penemuan empiris yang baru,[4] ia hanya mewujudkan konsekwensi deduktif dari apa yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan terus berkembang dan memunculkan teori-teori hukum baru, maka metode deduksi harus ditinggalkan dan diganti dengan metode yang baru. [5]
Secara historis. Metode induktif sudah dimulai oleh Aristoteles. Ia menggunakan istilah induktif untuk mengacu pada proses pemikiran di mana akal budi manusia, dengan bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal yang khusus, menyimpulkan pengetahuan yang umum.[6] Secara teknis, Aristoteles menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam induktif, yang kemudian diistilahkan induktif sempurna (perfect) dan luas (ampliative), yaitu:
a. Dalam induktif sempurna atau lengkap, kesimpulan umum diambil berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang diteliti. Kesimpulan tidak melampaui evidensi. Bentuk ini disebut juga induktif dengan enumerasi simpel.
 b.   Dalam induktif luas (ampliative) kesimpulan mengambil contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat khas sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas.[7] Metode induktif yang digulirkan oleh Aristoteles inilah yang dinamakan induktif tradisional. Metode induktif tradisional ini dikenal juga dengan nama induction by simple enumeration (induktif melalui penjumlahan sederhana) dan tidak dapat diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar. Aristoteles sendiri juga tidak memberi objek perhatian terhadap persoalan induktif dan justru mengembangkan metode deduksi sebagai jalan sempurna menuju ke pengetahuan baru.[8]

Namun, pada abad ke-17, Francis Bacon mengkritisi metode deduktif Aristoteles yang tidak menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Bagi Bacon, agar induktif tidak terjebak pada proses generalisasi yang tergesa-gesa, maka yang perlu dihindari empat penghalang prakonsepsi. Empat hal tersebut adalah:
1)    Idola Tribus (The idols of Tribe)
Yang dimaksud idola tribus adalah menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada sebab-sebab yang diperiksa secara dangkal (sebagaimana pada umumnya manusia awam/tribus). Sumber kesesatan ini pada dasarnya bersumber pada kodrat manusia sendiri pada ras manusia misalkan, manusia hanya memiliki lima indra, tidak lebih. Segala hal diukur menurut ukuran pribadi individual, tidak menurut alam semesta. Padahal akal manusia adalah cermin yang palsu, menerima cahaya tidak teratur, membengkokkan dan meluruskan hakekat segalanya dengan mencampurkan hakikatnya sendiri dengan hakikat sesuatu tadi. Dengan ini manusia sekaligus berpotensi menjadikan tertutupnya hakikat kebenaran.

2)  Idola Specus (The Idols of the Cave)
Yang menyebabkan seseorang terkurung dalam “gua” (sudut pandangnya sendiri) disebabkan oeh adanya prasangka pribadi, sehingga seseorang cenderung menarik kesimpulan sendiri sesuai dengan selera pribadi.

3)  Idola Fori (The Idols of the Market Place)
Seseorang yang cepat dipengaruhi orang-orang yang bicara (pandangan masa). Boleh dikatakan pandangan masa sering sekali berbeda dengan realitas yang sesungguhnya dan karenanya sering kali berbeda dengan realitas yang sesungguhnya dan karena sering kali menjadi hambatan bagi pemahaman rasional.

4)  Idola Theatri (The Idols of the Theatre)
Prasangka pemikiran atau teori dogmatis. Pemikiran dogmatis sering kali memperdaya seseorang, sehingga berakibat menumpulkan daya berpikir kritis.
Untuk melihat operasional metode induktif tradisional beserta syarat-syarat yang menyertainya, mari kita lihat contoh yang di turunkan oleh Thomas Henry Huxley berikut ini: “Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel. Kita ambil sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil sebuah yang lain, itupun keras, hijau, dan masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi, belum mencicipinya, kita memperhatikannya dan terbukti yang itu pun adalah keras dan hijau, dan seketika itu kita beritahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti masam, seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi.”
Jalan pikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli apel, ialah sebuah induktif. Huxley menjelaskan proses induktif itu sebagai berikut: “Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut induktif. Kita telah menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat masam. Demikianlah pada peristiwa yang pertama, dan itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang amat sempit, akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induktif: kedua fakta itu bisa digeneralisasikan dan kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan hijau. Dan ini suatu induktif yang tepat.”[9] Kalau dirumuskan secara formal, penalaran di atas menurut Huxley adalah demikian: induktif:

  • Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
  • Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
  • Semua apel keras dan hijau adalah masam[10]
Induktif seperti di atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal (a passage from individuals to universals). Secara metaforis, Bacon melukiskan bahwa kita tidak boleh menjadi sama seperti laba-laba yang meminta jaringannya dari apa yang ada di dalam tubuhnya, atau seperti semut yang semata-mata hanya tahu mengumpulkan, melainkan kita harus sama seperti lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan, tetapi juga tahu bagaimana menata. Metode silogistik deduktif digambarkannya dengan laba-laba itu, metode induktif tradisional seperti semut yang hanya tahu mengumpul, dan metode induktif yang telah disempurnakannya sama dengan lebah yang tahu mengumpul dan menata.[11] Kemudian Bacon memberikan ilustrasi:
Bacon ingin menemukan sifat panas. Ia mengandaikan panas sebagai terdiri dari gerakan-gerakan cepat yang tidak teratur dari bagian-bagian kecil benda-benda. Supaya sifat panas dapat ditemukan ia membuat daftar-daftar benda-benda panas dan benda-benda dingin, dan juga benda-benda yang mempunyai tingkatan panas yang bermacam-macam. Ia berharap bahwa daftar-daftar ini akan menampakkan beberapa corak watak panas yang senantiasa berada di dalam benda-benda panas, dan yang senantiasa tidak berada di dalam benda-benda dingin, serta yang senantiasa berada dalam benda-benda yang panasnya bermacam-macam tingkatannya.”
Dari ilustrasi di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan metode induktif Bacon mengharuskan mencabut hal yang hakiki dari hal yang tidak hakiki dan menemukan struktur atau bentuk yang mendasari fenomena yang diteliti, dengan cara: a) Membandingkan contoh-contoh hal yang diteliti, b) menelaah variasi-variasi yang menyertainnya, dan c) menyingkirkan contoh-contoh yang negatif. Contoh :

  • Tembaga, Besi, Perak, Emas
  • Adanya Penyalur Listrik
  • Tembaga, Besi, Perak, Emas
  • Adanya Logam
  • Jadi, logam adalah penyalur listrik.
Contoh di atas disusun sedemikian rupa, hingga jelas prosesnya, dan jelas mekanisme logis pemikiran induktif. Bacon memang bukan penemu murni metode induktif, namun ia hanya berupaya menyempurnakan metode itu dengan cara menggabungkan metode induktif tradisionalis.[12]Dengan eksperimentasi yang sistematis, observasi yang ekstensif demi mendapatkan kebenaran ilmiah yang konkret, praktiks, mensistematisasi prosedur ilmiah secara logis, dan bermanfaat bagi manusia, inilah metode induktif modern yang telah mengalami penyempurnaan.[13]

C. Dedukto-Falsifikatif (Karl R. Popper)
1. Biografi Karl R. Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 28 Juli tahun 1902.[14] Ayahnya Dr. Simon Sigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada Filsafat. Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar dan karya-karya mengenai problem sosial. Agaknya Karl Popper mewarisi minatnya pada filsafat dan problem sosial dari ayahnya. Orang tuanya keturunan Yahudi, tetapi tidak lama setelah menikah mereka berdua dibabtis dalam gereja Protestan. Ayahnya adalah sarjana hukum dan pengacara yang mencintai buku, dan musik. Pada umur 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya “realgymnasium” dengan alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu ia menjadi pendengar bebas pada
Universitas Wina dan baru tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa.
Suatu dalil bahwa tindakan manusia didorong oleh perasan semacam inferioritas. Misalnya kasus seorang laki-laki tidak mau menolong seorang anak yang terseret oleh arus, karena takut dan karena ia memutuskan tidak menolong. Keputusan tidak menolong ini dibenarkan oleh Adler, karena laki-laki tersebut telah mengatasi perasaan inferioritas mendemontrasikan bahwa ia mempunyai kemauan keras untuk tetap berdiri di tepi sungai. Ketika umur 17 tahun, selama beberapa tahun ia menganut komunisme, tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan aliran politik ini, karena ia yakin bahwa penganutnya menerima begitu saja suatu dokmatisme yang tidak kritis dan ia menjadi anti Marxis untuk seumur hidup. Perjumpaannya dengan Marxisme diakui olehnya sebagai satu diantara peristiwa penting dalam perkembangan intelektualnya. Dalam outobiografinya bercerita bahwa ia mengikuti aneka macam kuliah, tentang sejarah, kesusasteraan, psikologi, filsafat bahkan tentang ilmu kedokteran.
Pada tahun yang sama tahun 1919, Popper mendengar apa yang dikerjakan oleh Einstein dan menurut pengakuannya merupakan suatu pengaruh dominan atas pemikirannya, bahkan dalam jangka panjang pengaruhnya sangat berarti. Dalam suatu waktu Popper mendengarkan ceramah Einstein di Wina. Ia terpukau oleh sikap Einsten terhadap teorinya yang tidak dapat dipertahankan kalau gagal dalam tes tertentu. Ia mencari eksperimen-eksperimen yang kesesuaiannya dengan ramalan-ramalannya belum berarti meneguhkan teorinya.
Sedangkan ketidaksesuaian antara teori dengan eksperimen akan menentukan apakah teorinya bisa dipertahankan atau tidak. Sikap ini menurutnya berlainan dengan sikap Marxis yang dogmatis dan selalu mencari pembenaran-pembenaran (verifikasi) terhadap teori kesayangannya. Sampai pada kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis, yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang serius, pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Pada tahun 1928 ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan suatu disertasi tentang ZurMethodenfrage der Denkp Psychologei (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran), suatu karangan yang tidak diterbitkan. Pada tahun berikutnya Popper memperoleh gelar Diploma pada bidang Matematika dan ilmu pengetahuan Alam. Dalam catatan sejarah, Popper tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina, tetapi ia mengenal anggota Lingkaran Wina yang bekerja di universitas dan pada beberapa di antara mereka, ia mempunyai hubungan khusus dengan anggota Lingkaran Wina di antaranya Viktor Kraft, Herert Feigl. Dalam usaha studinya, Popper belajar banyak dari Karl Buhler, Profesor Psychologi di Universitas Wina yang paling penting dalam perkembangannya di masa mendatang ialah teori Buhler tentang tiga tingkatan bahasa yaitu fungsi ekspresi, fungsi stimulasi dan fungsi deskriptif. Menurut Buhler fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia maupun binatang, sementara fungsi yang ketiga khas pada bahasa manusia. Popper sendiri kelak menambahkan fungsi yang keempat yaitu fungsi argumentatif, yang dianggap penting karena merupakan basis pemikiran krisis. Pada tahun kedua di Institut Pedagogis, Popper berjumpa dengan Prof Heinrich Gomperz dan banyak dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan problem psikologi pengetahuan atau psikologi penemuan. Hasil pertemuannya dengan Prof. Heinrich melahirkan keyakinan Popper bahwa data indrawi, data atau kesan sederhana itu semua khayalan yang berdasarkan usaha keliru yang mengalihkan Atomisme dari fisika ke psikologi.
Sesudah perang dunia II selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London School of Economics, sebuah institut di bawah naungan Universitas London. Di sini ia mempersiapkan suatu buku yang menguraikan perkembangan pemikirannya sejak buku The Logic of Scientific Discovery, di antara buku yang diterbitkan antara lain Realism and Aim of Science: Quantum Theory and the Schism in Physics The Open Sociaty and Its Enemies, dan The Poverty of Historicism yang memberi analisis dan kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh yang menurut dia termasuk historisisme, yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Pada tahun 1977 Popper banyak memberikan ceramah dan kuliah tamu di Eropa, Amerika, Jepang dan Australia. Ia banyak mengenali secara pribadi ahli-ahli kimia modern yang besar seperti, Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin Schrodinger. Popper meninggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di Croydon, London Selatan, dalam usia 92 tahun akibat komplikasi penyakit kanker. Menjelang akhir hayatnya beberapa karyanya diterbitkan dengan bantuan orang lain. Buku yang paling penting dari periode terakhir ini adalah A World of Propensities (1999) di mana ia menguraikan pemikiran definitifnya tentang probabilitas dalam logika dan Ilmu Pengetahuan.[15]

2. Pengertian
a.      Dedukto
Seperti yang telah di paparkan di atas, dedukto/deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir yang dinamakan silogismus.[16] Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut.

b.      Falsifikatif
Falsifikasi berasal dari kata falsafah, yang secara bahasa berarti anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling mendasar. Sedangkan secara istilah berarti penelitian berdasarkan akal budi menurut sebab, asas, hukum dan sebagainya atas segala sesuatu mengenai kebenaran dan tentang arti dari 'adanya' sesuatu.[17] Salah satu tokok falsifikatif adalah Karl Raimund Popper (1902). MenurutPopper, falsifikasi atau falsifiabilitas adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat antara sesuatu yang dapat disebut ilmu dengan yang bukan ilmu.[18]
Falsifikasi adalah salah satu teori yang berguna untuk menilai, menguji, dan membuktikan suatu kebenaran. Pada dasarnya, aliran Falsifikatif adalah suatu aliran yang tidak puas bahkan menentang atas prinsip verifikatif, yakni prinsip pembedaan antara ungkapan yang bermakna (prinsip Ilmu Pengetahuan empiris) dan yang tidak bermakna (metafisika) yang diyakini oleh kelompok Wina.[19] Menurut aliran ini, suatu teori tidak dapat hanya dengan diverifikasi (tidak bersifat ilmiah, hanya karena dapat dibuktikan) melainkan ialah karena teori itu dapat diuji dengan percobaan-percobaan yang sistematis untuk menyangkal kebenarannya. Apabila suatu hipotesa (teori) dapat bertahan atas penyangkalan-penyangkalan dari kebenarannya (falsifikasi), maka kebenaran hipotesa (teori) tersebut akan semakin diperkokoh. Artinya, jika suatu toeri itu semakin besar kemungkinannya untuk disangkal dan teori tersebut tetap bertahan, maka semakin kokoh pula kebenarannya.[20]

3. Pemikiran  Karl R. Popper
Seorang filusuf yang bernama Karl Raimun Popper ia merupakan seorang filosof ilmu alam dan ilmu sosial dari Austria. Dia lahir di Venna, Austria 28 Juli 1902, meninggal di London, Inggris 17 September 1994 pada umur 92 tahun. Dia termasuk salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper adalah sosok filusuf kontemporer yang pola pikirannya sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh konstelasi zamannya. Pemikiran Popper mendasarkan diri pada Rasionalisme kritis dan Empirisme-kritis yang dalam bentuk metodologinya disebut "Deduktif-Falsifikatif" dengan realisasi metodologinya tentang problem-solving. Metode yang demikian itu mengisyaratkan perhatian Popper akan pentingnya problem sebagai esensi substansial pengetahuan manusia, karena menurut pemikirannya, ilmu dimulai oleh problem dan diakhiri pula dengan problem.
Mengakui bahwa ia mendekati problem induktif melalui Hume. Popper merasakan benar bagaimana Hume sangat tepat ketika menunjukkan bahwa metode induktif tidak dapat dijustifikasi secara logis. Meskipun Popper mengakui penolakan Hume terhadap metode penalaran induktif jelas dan konklusif, namun ia sangat tidak puas dengan penjelasan psikologis Hume ke dalam istilah adat atau kebiasaan. Dalam analisis Popper, kritik yang dilontarkan Hume terhadap metode induktif lebih bersifat psikologis ketimbang menyuguhkan sebuah teori filosofis, psychological rather than a philosophycal theory. Sebab Hume berupaya menguraikan sebuah penjelasan sebab-akibat berdasarkan sebuah fakta psikologis (a psychological fact).[21]
Berdasarkan ketidakpuasan tersebut, Popper melakukan kritik fundamental terhadap metode induktif yang dia formulasikan secara filosofis-empiris. Menurut Bertens, Popper telah berhasil menyodorkan suatu pencerahan bagi masalah induktif dan dengan itu serentak juga ia mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu pengetahuan. Menurut dia, suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena sudah dibuktikan, melainkan karena dapat diuji (testable). Ucapan seperti “Semua logam akan memuai kalau dipanaskan”  dapat dianggap ilmiah, kalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menangkalnya. Seandainya, kita dapat menunjukkan satu jenis logam yang tidak memuai setelah dipanaskan, maka ucapan itu ternyata tidak benar dan harus diganti dengan ucapan lain yang lebih tepat.
Jadi, cukuplah mengemukakan satu kasus (dalam contoh kita: satu jenis logam yang tidak memuai setelah dipanaskan) untuk menyatakan salahnya suatu ucapan ilmiah. Dan kalau suatu teori setelah diuji tetap tahan, maka itu berarti bahwa kebenarannya diperkukuh (corroboration). Makin besar kemungkinan untuk menyangka suatu teori, makin kukuh pula kebenarannya, jika teori-teori itu tahan terus. Secara singkat itulah yang disebut Popper the thesis of refutability: suatu ucapan atau hipotesis bersifat ilmiah kalau secara prinsipial terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). Atau dengan perkataan lain, perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan menakuti kritik. Sebaliknya, ia sangat mengharapkan kritik, sebab hanya melalui jalan kritik ilmu pengetahuan dapat maju.
Untuk mencapai pandangan ini, Popper menggunakan suatu kebenaran logis yang sebenarnya sederhana sekali. Dalam perkataan Popper sendiri “Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih-betapapun besar jumlahnya orang tidak dapat sampai pada teori bahwa semua angsa bewarna putih. Tetapi cukuplah satu observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal teori tadi”. Pandangan ilmu pengetahuan yang berdasar metode induktif sebenarnya tidak membuat lain daripada berusaha membuktikan bahwa semua angsa berwarna putih. Sedangkan Popper beranggapan bahwa ilmu pengetahuan harus berusaha mencari satu ekor yang tidak berwarna putih. Selama angsa hitam itu belum ditemukan, pernyataan “Semua angsa berwarna putih” dapat dianggap benar. Dengan pendekatan ini, Popper membuka perspektif baru bagi ilmu pengetahuan, yang sama sekali berbeda dengan perspektif yang berdasarkan konsepsi induktif.[22]
Berulang kali Popper telah menjelaskan bahwa terutama fisika baru Einstein menghantar dia kepada konsepsi tentang ilmu pengetahuan yang dilukiskan tadi. Sebelumnya sudah lebih dari dua abad ilmiah dikuasai oleh pandangan fisika Newton. Banyak sekali penemuan ilmiah telah terjadi berdasarkan fisika Newton itu. Akhirnya semua ilmuwan sudah yakin akan kebenaran fisika Newton. Kebenaran fisika ini sudah dinyatakan dengan seribu satu cara. Namun demikian, pada awal abad ke-20 Einstein mengemukakan suatu fisika baru. Semua fakta yang telah diterangkan oleh fisika Newton dapat diterangkan pula dalam rangka fisika Einstein ditambah lagi beberapa fakta yang didiamkan oleh Newton. Sesudah diskusi beberapa waktu, para ahli sepakat menerima fisika Einstein sebagai yang lebih memuaskan daripada fisika lama Newton yang menerangkan gejala-gejala fisis dalam dunia kita. Bagi Popper, perkembangan ini merupakan contoh paling jelas yang memperlihatkan bagaimana cara tumbuhnya ilmu pengetahuan. Suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif. Lebih baik dikatakan kita semakin mendekati kebenaran, karena teori-teori kita terjadi lebih terperinci dan bernuansa. Selalu kita harus rela meninggalkan suatu teori, jika muncul teori lain yang ternyata lebih memuaskan untuk mengerti fakta-fakta.”[23]
Dalam hal ini, Popper memang menegaskan sekali bahwa rasio bekerja melalui proses percobaan dan kekeliruan, trial and error. Kita menciptakan mitos-mitos dan teori-teori dan kemudian kita mencobanya: kita selalu berusaha untuk mengetahui sampai sejauh mana mitos-mitos dan teori-teori tersebut bisa membawa kita mendekati realitas. Dan jika mampu, kita ingin mengembangkan kebenaran teori-teori kita. Dengan alasan inilah, Popper menitahkan solusi tentatif: “The better theory is the one that has the greater explanatory power: that explains more, that explains with greater precision and that allows us to make better predictions.”[24] Teori yang lebih baik adalah teori yang memiliki daya penjelasan yang lebih besar: yang mampu menjelaskan lebih banyak; yang mampu menjelaskan dengan presisi yang lebih besar dan yang mengizinkan kita untuk membuat prediksi-prediksi yang lebih baik.”
Dalam perspektif Bryan Magee yang memiliki pengalaman hubungan secara personal langsung dengan Popper, dalam hal-hal yang berhubungan dengan filsafat sainslah, Popper mengerjakan ide-idenya yang paling fundamental: yaitu bahwa kita tidak akan pernah bisa benar-benar merasa pasti akan kebenaran sebuah pernyataan umum mengenai dunia, dan karena itu juga tidak akan bisa benar-benar merasa pasti akan kebenaran dari setiap hukum saintifik atau setiap teori saintifik (penting untuk dipahami bahwa apa yang sedang dia bicarakan adalah mengenai pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan luas, dan bukan pernyataan-pernyataan yang tunggal. Kita kadang kala mungkin bisa merasa pasti tentang kebenaran dari hasil sebuah observasi yang bersifat langsung, tetapi tidak tentang kerangka penjelasannya. Ini karena observasi-bservasi langsung dan pernyataan-pernyataan tunggal selalu bisa diinterpretasikan lebih dari satu cara).

D. Kesimpulan
Berdasarkan paparan data uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin secara logika untuk bisa menetapkan kebenaran dari sebuah teori, maka setiap upaya untuk melakukannya merupakan sebuah upaya untuk melakukan sesuatu yang secara logika tidak mungkin sehingga tidak hanya positivisme logis yang harus diabaikan karena prinsip verifikasionisnya, tetapi juga semua filsafat dan semua sains yang melibatkan upaya pencarian kepastian haruslah diabaikan, sebuah upaya yang telah mendominasi pemikiran barat sejak Descartes sampai Russel. Itu karena kita tidak akan pernah bisa mengetahui dalam arti yang tradisional dari kata itu kebenaran dari setiap sains kita, dan semua pengetahuan saintifik kita itu akan selalu bersifat bisa jadi keliru dan bisa jadi salah. Pengetahuan itu tidak tumbuh sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang selama beratus-ratus tahun oleh proses penambahan kepastian-kepastian baru yang terus menerus terhadap apa yang telah ada, tetapi oleh proses penyingkiran teori-teori yang ada secara berulang kali oleh teori-teori yang lebih baik, yaitu teori-teori yang menjelaskan lebih banyak atau yang menghasilkan prediksi-prediksi yang lebih akurat.
Kita bisa mengetahui bahwa teori-teori yang lebih baik itu pada gilirannya akan terpatahkan oleh teori-teori yang lebih baik lagi dikemudian hari. Proses ini akan berlangsung tiada akhir, sehingga apa yang kita sebut sebagai pengetahuan kita hanya akan selalu merupakan teori-teori kita. Teori-teori kita merupakan produk-produk dari pikiran-pikiran kita dan kita bebas untuk menciptakan teori-teori apapun. Namun, sebelum teori itu bisa diterima sebagai pengetahuan, harus ditunjukkan bahwa teori itu lebih baik daripada sebuah atau beberapa teori yang akan digantikannya. Sebuah preferensi semacam itu hanya bisa dibangun melalui proses pengujian yang tegas.



DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Desy. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amelia
Endraswara, Suwardi. 2015. Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Metode Ilmiah.
Hakim, Abdul, Atang, dan Beni, Ahmad, Saebani. 2008. Filsafat Umum dari Mitologi Sampai Teofisolofi. Bandung: Pustaka Setia
Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
K. Bertens. 1999.  Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius
Lorens Bagus. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lubis, Akhyar Yusuf. 2016. Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
M Budianto, Irmayanti. 2005. Realitas dan Objektivitas. Jakarta : Wedatama Widya Sastra
Muslih, Muhammad. 2004.  Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Belukar
Russel , Bertand. 2007. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
R. G. Soekadijo. 2001.  Logika Dasar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).
Zaprulkhan. 2015. Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta : PT. Grafindo Persada.




[1] Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
[2] Bertand Russel. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Cet. III, hlm. 711
[3] Bacon, seorang tokoh yang dipengaruhi Ibnu Rusyd, menekankan pentingnya metode baru (Novum Organum), yaitu metode eksperimen untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Ia menulis buku Novum Organum (1620), The Avancement  of Learning dan The New Atlantis. Bacon juga telah mengemukakan peran ilmu pengetahuan untuk mencinptakan kemajuan dan kemakmuran bagi umat manusia. Bagi bacon, ilmu pengetahuan adalah kekuasaan/kekuatan (knowledge is power, Nam et ipsa scientia potastas est). Bacon berpendapat bahwa Tuhan telah menciptakan alam secara rasional, sehingga gejala-gejala alam dapat dijelaskan berdasarkan pengalaman (ingat pythagoras yang menyatakan bahwa bilangan sebagai arkhe alam semesta).
[4] Jan Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hm. 104
[5] John Losee. A Historical Intruction to the Philosophy of Science (New York: OxfordUniversity Press, 2001), hlm. 46-62
[6] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 106
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 342.
[8] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani , op. cit., hlm. 169
[9] R. G. Soekadijo,  Logika Dasar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 131
[10] R. G. Soekadijo,  Logika Dasar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 132
[11] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, op. cit., hlm. 114
[12] Lihat Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat.. hlm. 527-528
[13]  Jan Hendrik Rapar, Pengantar., hlm. 115
[14] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 220
[15] C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 156
[16] Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
[17] Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Surabaya :Amelia, 2003), hlm. 138
[18] Muhammad Muslih,. Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Belukar, 2004), hlm. 120.
[19] Irmayanti M Budianto, Realitas dan Objektivitas, (Jakarta : Wedatama Widya Sastra, 2005), hlm. 42.
[20] Muhammad Muslih,. Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Belukar, 2004), hlm. 121.
[21]Karl R. Popper, Conjecture and Refutations (New York: Routledge, 2000) hlm. 42
[22] Bandingkan dengan Bryan Magee, Popper (Great Britain: Fontana, 1975), hlm. 23.
[23] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, op. cit., hlm. 78-80
[24] Popper, Conjectures and Refutations, op. cit., hlm. 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar