HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN
AGAMA DALAM ISLAM
(Tolak Ukur Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama
dalam Islam)
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dosen
Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Pemakalah
:
MUHAMMAD
FURQAN
(16771006)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A. Pendahuluan
Manusia memiliki keistimewaan
dibandingkan makhluk yang lain. Dia diberikan kemampuan untuk berpikir,
bertanya, menganalisa. Dengan alat ini manusia mendapatkan pengetahuan.
Pengetahuan yang dimiliki mengantarkannya kepada posisi yang berbeda dengan
yang lainnya, baik dengan makhluk lain atau sesama manusia.
Objek yang dicari oleh manusia
adalah kebenaran tentang Tuhan, alam dan manusia. Berarti manusia adalah
makhluk yang mencari kebenaran terhadap tiga objek diatas. Kebenaran yang
ditemukan dapat berupa pernyataan yang sesuai pernyataan lain yang lebih dahulu
atau mendapatkan penyaksian dari putusan lainnya. Untuk mencapai kebenaran tadi
manusia mempergunakan sarana ilmu, filsafat dan agama. Terdapat hubungan yang
erat antara ketiga sumber kebenaran ini, walaupun masing-masing berbeda dalam
metodologinya (nilai epistemologi), hakikatnya (nilai ontologi) dan manfaat
serta kegunaannya (nilai aksiologi).
Filsafat merupakan hasil dari
pemikiran manusia yang tajam terhadap setiap persoalan. Dalam mencari kebenaran
pun hanya menggunakan akal semata, sehingga kebenarannya merupakan kebenaran
rasionalitas yang tentunya bersifat relatif atau nisbi. Ilmu merupakan hasil
dari penelitian yang dibuktikan dengan kegiatan ilmiah melalui tahap pengujian,
pembuktian, dan penyesuaian degan fakta yang terjadi. Kebenarannya diperoleh melalui
pandangan manusia terhadap realita, sehingga kebenaran tersebut bersifat
empiris dan masih relative atau nisbi. Sedangkan agama merupakan kebenaran yang
diperoleh melalui wahyu (agama samawi) yang bersifat intuisi serta
rohani. Kebenarannya pun bersifat mutlak atau hakiki.
Manusia, pada awalnya
begitu ia dilahirkan tidak tahu dan tidak mengenal dengan apa-apa yang ada di
sekitarnya, bahkan dengan dirinya sendiri. Ketika manusia mulai mengenal
dirinya, kemudian mengenal alam sekitarnya, karena manusia adalah sesuatu yang
berpikir, maka ketika itu dia mulailah ia memikirkan dari mana asal sesuatu,
bagaimana sesuatu bisa terjadi, untuk apa sesuatu, kemudian apa manfaatnya
sesuatu itu.
Sebenarnya pada ketika
manusia telah mulai tahu dari mana asalnya, bagaimana proses terjadinya, siapa
dia, untuk apa dia, pada ketika itu ia telah berfilsafat. Karena filsafat itu
pada intinya adalah berusaha mencari kebenaran tentang segala sesuatu, baik
yang ada maupun yang mungkin ada, dari mana asal sesuatu, bagiamana sesuatu itu
muncul dan untuk apa sesuatu itu ada, dari pemikiran seperti itu, maka
muncullah beraneka macam pandangan, pendapat dan pemikran serta tanggapan, yang
akhirnya menjadi suatu kesepakatan untuk diketahui secara bersama-sama dan
berlaku dilingkunganya.
Kesepakatan tentang
sesuatu itu dan berlaku untuk umum serta menjadi kebiasaan pada komunitasnya
secara turun temurun hal itulah yang dinamakan tradisi, dari tradisi itulah
berkembang menjadi suatu ilmu. Seperti kalau mau menanam padi di sawah harus
ada air, kemudian harus dipikirkan dari mana mengambil air, bagaimana
menyuplaikan air ke sawah, akhirnya memunculkan ide untuk membuat kincir air
atau membuat saluran air ke sawah (irigasi), hal-hal yang seperti itulah yang
akhirnya menjadi suatu ilmu.
Manakala seandainya jika
disepakati dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu
pengetahuan,[1]
maka oleh karena itu setiap metode, objek, dan sistematika filsafat itu harus
mempunyai arti fungsional bagi setiap pengembangan ilmu pengetahuan yang
lainnya. Dengan berdasarkan atas konsep yang telah dikemukakan dan dipaparkan
di atas, maka dengan jelas dapat dipahami bahwa setiap ilmu pengetahuan yang
lain yang bersifat terapan merupakan pengembangan dari metode dan sistematika
yang ada di dalam disiplin filsafat.
Berdasarkan dari
pengertian dan kedudukan filsafat yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas
haruslah disadari dan dipahami bahwa telah terjadi adanya hubungan yang sangat
signifikan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang
lainnya, demikian pula halnya terjadi adanya hubungan antara filsafat dengan
agama dan hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga terjadi
hubungan yang saling terkait (tasalsul) satu sama lainnya.
Maka oleh karena itulah
jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala
sesuatu yang ada (mawjud) dan yang mungkin ada (mumkin al-wujud)
serta sebagai suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat pengetahuan
manusia, justru karena itu, maka dapat dikatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan
itu harus mempunyai hubungan yang erat secara struktural dan fungsional dengan
filsafat.
Sejalan dengan
perkembangan pemikiran manusia, dimana perbincangan dan pembahasan mengenai
ilmu pengetahuan mulai mencari titik perbedaan antara berbagai hal, termasuk
diantaranya mencari persekutuan-persekutuan di dalam penyelidikan keperbedaan
tersebut. Lantas kemudian orang mulai dapat membedakan antara filsafat dengan
ilmu pengetahuan, demikian pula halnya dapat membedakan antara filsafat dengan
agama, dan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Penempatan kedudukan yang
berbeda, demikian pula perbedaan pengertian fungsional dari ketiga masalah yang
telah disebutkan di atas seringkali menimbulkan berbagai macam sikap yang
kurang atau bahkan tidak menguntungkan bagi manusia itu sendiri, karena terjadi
kesalahanpahaman tentang perbedaan itu.
Bertitik tolak dari persoalan-persoalan yang telah
dikemukakan dan dipaparkan di atas tadi, maka dalam makalah ini penulis ingin
mencoba untuk membahas bagaimana tolak ukur hubungan (nisbah) antara
filsafat dengan agama, antara agama dengan ilmu pengetahuan dan antara ilmu
pengetahuan dengan filsafat.
B.
Sekilas Tentang Filsafat,
Ilmu dan Agama
1.
Filsafat
a.
Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat, dalam
sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat lainnya
selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri.
Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan
terminologi.
Secara etimologi, kata
filsafat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah “falsafah”
dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “philosophy” adalah
berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri
atas kata philos yang berarti cinta dan sophia yang
berarti kebijakasanaan (wisdom), sehingga secara etimologi istilah
filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam
arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang filsuf adalah pencinta
atau pencari kebijaksanaan. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh
Pythagoras (496-582 SM). Arti filsafat pada saat itu belum begitu jelas,
kemudian pengertian filsafat itu diperjelas seperti yang banyak sekarang ini
dan juga digunakan oleh Socrates (399-470 SM) dan filsuf lainnya.[2]
Menurut Hatta sebagaimana
yang dikutip oleh Ahmad Tafsir mengemukakan bahwasanya pengertian filsafat itu
sebaiknya tidak dibicarakan lebih dahulu. Nanti, bila orang telah banyak
membaca atau mempelajari filsafat, itu akan mengerti dengan sendirinya apa
filsafat menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Langeveld juga
berpendapat: “setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat
itu, dan semakin ia berfilsafat ia akan semakin mengerti apa filsafat itu”.[3]
Karena
itu, pengertian secara etimologi tidak akan memberikan pengertian yang tepat
untuk mendefinisikan filsafat itu apa. Masalah di atas akan sedikit teratasi
kalau kita melihat pengertian filsafat secara terminologi. Akan tetapi kita
juga harus tahu, pengertian filsafat secara terminologi, dalam sejarah
perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dan ahli
filsafat lainnya selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat
itu sendiri. Dikarenakan
batasan dari filsafat itu banyak maka sebagai gambaran perlu diperkenalkan oleh
beberapa ahli, antara lain yaitu:
· Pythagoras (497-572 SM). Menurut tradisi filsafat dari
zaman yunani kuno, Pyhtagoras adalah orang yang pertama-tama memperkenalkan
istilah philosophia, kata yang berasal dari bahasa Yunani yang kelak
dikenal dengan istilah filsafat. Ia memberikan definisi filsafat sebagai “the
love of wisdom”. Manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia
pencipta kebijakan (lover of wisdom),
sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan melakukan
perenungan tentang Tuhan. Pythagoras sendiri menganggap dirinya seorang pylosophos (pencinta kebijakan), baginya
kebijakan yag sesungguhnya hanyalah dimiiki semata-mata oleh Tuhan.
· Socrates (469-399 SM). Ia adalah seorang filsuf dalam
bidang moral yang terkemuka setelah Thales pada zaman Yunani kuno. Socrates
memahami bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif
atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia (principles
of the just and happy life).
· Plato (427-347 SM). Seorang sahabat dan murid Socrates
ini telah mengubah pengertian kearifan (sophia)
yang semula bertalian dengan soal-soal praktis dalam kehidupan menjadi
pemahaman intelektual. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang berminat
mencari kebenaran asli. Dalam karya tulisnya “Republic Plato” ia
menengaskan bahwa para filsuf adalah pencipta pandangan tentang kebenaran (vision
of truth). Dalam pencarian terhadap kebenaran tersebut, hanya filsuf yang
dapat menemukan dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi dan tak
berubah. Dalam konsepsi Plato, filsafat merupakan pencarian yang bersifat
spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran. Filsafat
plato tersebut kemudian dikenal dengan filsafat spekulatif.
· Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles adalah salah
seorang murid Plato yang terkemuka. Menurut pendapatnya, sophia (kearifan) merupakan kebijakan intelektual tertinggi,
sedangkan philosophia merupakan
padanan kata dari Episteme dalam arti suatu kumpulan teratur pengetahuan
rasional mengenai sesuatu objek yang sesuai. Menurutnya juga, filsafat adalah
pengetahuan yag meliputi kebenaran yang didalamnya tergabung metafisika,
logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika.
· Al-Kindi (801-873 M). Ia adalah seorang filosof Muslim
pertama. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu
dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori
adalah mencari kebenaran, maka dalam prakteknya pun harus menyesuaikan kebenaran
pula.
· Al-Farabi (870-950 M). Menurutnya, filsafat adalah
pengetahuan tentang bagaimana hakikat alam wujud yang sebenarnya.
· Francis Bacon (1561-1626 M). Seorang filsuf Inggris
ini mengemukakan metode induksi yang berdasarkan pengamatan dan percobaan
menemukan kebenaran dalam ilmu penetahuan. Ia menyebutkan filsafat sebagai ibu
agung dari ilmu-ilmu (the
great mother of the sciences).
· Henry Sidgwick (1839-1900 M). Dalam bukunya Philosophy “Its scope and Relations: An
Introductory Course of Lecture Henry Sidgwick” menyebutkan bahwa filsafat
sebagai scientia scientarium (ilmu tentang ilmu), karena filsafat
memeriksa pengertian-pengertian khusus, asas-asas pokok, metode khas, dan
kesimpulan-kesimpulan utama dalam suatu ilmu apapun dengan maksud untuk mengkoordinasikan
semuanya dengan hal-hal yang serupa dari ilmu-ilmu lainnya.
· Bertrand Russel (1872-1970 M). Seorang filsuf Inggris
lainnya yang bernama lengkap Bertrand Arthur William Russel ini menganggap
filsafat sebagai kritik terhadap pengetahuan, karena filsafat memeriksa secara
kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan dalam kehidupan sehari-hari, dan
mencari sesuatu yang tidak selaras yang terkandung dalam asas-asas itu.
· J.A. Leighton. Ia menegaskan bahwa filsafat mencari
suatu kebulatan dan keselarasan pemahaman yang beralasan tentang sifat alami
dan makna dari semua segi pokok kenyataan. Suatu filsafat yang lengkap meliputi
sebuah pandangan dunia atau konsepsi yang beralasan tentang seluruh alam
semesta dan sebuah pandangan hidup atau ajaran tentang berbagai nilai, makna,
dan tujuan kehidupan manusia.
· John Dewey (1858-1952 M). Dalam karangannya “Role
of Philosophy in The History of Civilizations (Proceedings of The Sixht
International congress of Phylosophy)”, ia menganggap filsafat sebagai
suatu sarana untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian antara hal-hal yang
lama dengan yang baru dalam penyesuaian suatu kebudayaan. Filsafat merupakan
suatu pengungkapan dari perjuangan-perjuangan manusia dalam usaha terus menerus
untuk menyesuaikan kumpulan tradisi yang lama dengan berbagai kecenderungan
ilmiah dan cita-cita politik yang baru.
· Poedjawijatna (1974 M). Ia menyatakan bahwa kata
filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani,
bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya adalah philosopia, dalam bahasa yunani kata philisophia merupakan kata majemuk yang
terdiri atas philo dan sophia. Philo artinya cinta dalam arti yang luas yaitu ingin, dan karena
itu selalu berusaha untuk mencapai yang diinginkannya itu. Sophia artinya kebijakan atau pandai dalam pengertian yang
mendalam. Jadi menurutnya, filsafat bisa diartikan ingin mencapai kepandaian,
cinta pada kebijakan. Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai sejenis
pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala
sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
· Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa filsafat merupakan
pengetahuan otonom yang perlu dikaji oleh manusia karena ia dikarunai akal.
Al-Qur’an mewajibkan manusia berfilsafat untuk menambah dan memperkuat keimanan
kepada Tuhan.[4]
Namun,
meskipun demikian, dari beberapa ungkapan para filosof di atas, dapat diambil
benang emas bahwa filsafat itu titik tekannya adalah “Kebenaran”. Dari analisis di atas, penulis mempunyai
hipotesa bahwa Sophia (bijak/ kebijaksanaan) dalam filsafat maksudnya adalah kebenaran (lihat definisi Plato,
Aristoteles, Al-Farabi). Jadi, filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau
sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang
dicita-citakan. Filsafat juga dapat diartikan sebagai suatu sifat seseorang
yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin
melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Filsafat
adalah akar dari segala pengetahuan manusia baik pengetahuan ilmiah maupun
nonilmiah.[5]
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan dan diuraikan di atas, di mana secara otonom dapat disimpulkan bahwa
filsafat adalah suatu kegiatan atau aktifitas pikir manusia yang bersifat
dinamis dan mempergunakan seluruh kemampuan dan kekuatan yang ada dengan tujuan
adalah untuk memahami segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada agar dengan
itu diperoleh suatu inti pandangan tentang dunia dan hidupnya sebagai dasar
pijakan sikap dan tindakan.
b.
Ruang Lingkup Filsafat
Ruang lingkup filsafat adalah semua lapangan pemikiran manusia yang
komprehensif. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar ada (nyata), baik
material konkret maupun non-material (abstrak). Jadi, objek filsafat itu tidak
terbatas.[6]
Objek pemikiran filsafat yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan
kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya. Adapun menurut pendapat
para ahli tentang ruang lingkup filsafat, yaitu:
-
Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan
metode-metodenya.
-
Tentang ada dan tidak ada.
-
Tentang alam, dunia dan seisinya.
-
Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.
-
Hakikat manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk
lainnya.
-
Tuhan tidak dikecualikan.
Memperhatikan tujuan atau ruang
lingkup filsafat yang begitu luas, maka para ahli pun membatasi ruang lingkupnya.
Menurut Will Durant, ruang lingkup studi filsafat itu ada lima: logika,
estetika, etika, politik, dan metafisika.
1)
Logika
Studi mengenai metode-metode
ideal mengenai berpikir dan meneliti dalam melaksanakan observasi, introspeksi,
dedukasi dan induksi, hipotensis dan analisis eksperimental dan lain-lain, yang
merupakan bentuk-bentuk aktivitas manusia melalui upaya logika agar bisa
dipahami.
2)
Estetika
Studi tentang bentuk dan
keindahan atau kecantikan yang sesungguhnya dan merupakan filsafat mengenai
kesenian.
3)
Etika
Studi mengenai tingkah laku yang
terpuji yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang nilainya tinggi. Menurut
Socrates, bahwa etika sebagai pengetahuan tentang baik, buruk, jahat dan
mengenai kebijaksanaan hidup.
4)
Politik
Suatu studi tentang organisasi
sosial yang utama dan bukan sebagaimana yang diperkirakan orang, tetapi juga
sebagai seni pengetahuan dalam melaksanakan pekerjaan kantor. Politik merupakan
pengetahuan mengenai organisasi sosial seperti monarki, aristokrasi, demokrasi,
sosialisme, markisme, feminisme, dan lain-lain, sebagai ekspresi aktual
filsafat politik.
5)
Metafisika
Suatu studi mengenai realita
tertinggi dari hakikat semua benda, nyata dari benda (ontologi) dan dari akal
pikiran manusia (ilmu jiwa filsafat) serta suatu studi mengenai hubungan kokoh
antara pikiran seseorang dan benda dalam proses pengamatan dan pengetahuan
(epistemologi).[7]
Di lain sumber yang penulis kutip
menyatakan bahwa di dalam lapangan
filsafat, ada tiga persoalan pokok yang dibahas oleh filsafat itu
sendiri, yaitu:
1) Metafisika
Metafisika
merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat yang tersimpul di belakang
dunia fenomena. Objek kajian metafisika menurut Aristoteles ada dua yaitu: (1)
ada bagian yag ada maksudnya, pengetahuan yang mengkaji yang ada itu dalam
bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti
kata tidak terkena perubahan, yang bisa ditangkap pancaindra; dan (2) ada
sebagian yang Ilahi yaitu, keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada
lain yakni Tuhan (Ilahi berarti tidak dapat ditangkap oleh pancaindra).
2) Epistimologi
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang asal, sifat,
struktur, metode, serta keabsahan pengetahuan. Epistimologi juga disebut sebagai
teori pengetahuan (theory of knowledge)
barasal dari kata Yunani yaitu episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan
yang benar”, ”pengetahuan ilmiah”, dan logos atau teori. Epistimologi
dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode, dan sahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika,
pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?” sedangkan dalam epistimologi
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”.
3) Aksiologi
Aksiologi barasal dari
kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Dengan demikian, maka aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama; moral
conduct yaitu tindakan moral yang melahirkan etika. Kedua; esthetic
expression yaitu ekspresi keindahan. Ketiga; sosiopolitical life yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.[8]
Objek adalah sesuatu yang menjadi bahan dari suatu penyelidikan atau
pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti memiliki objek. Objek
dapat dibedakan menjadi dua, sama halnya dengan filsafat terdapat dua macam
objeknya, yaitu objek material dan objek formal.
1) Objek Material
Filsafat, yaitu:
- Bersifat
sangat umum, artinya persoalan kefilsafatan tidak terkait dengan objek-objek
khusus. Sebagian besar masalah kefilsafatan dengan ide-ide yang besar, misalnya
filsafat tidak menanyakan berapa harta yang anda sedekahkan dalam satu bulan,
akan tetapi filsafat menanyakan apa keadilan itu.
- Tidak
menyangkut fakta, persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif.
Persoalan-persoalan yang dihadapi dapat melampaui pengetahuan ilmiah.
- Filsafat
menyangkut nilai-nilai (values), artinya persoalan-persoalan
kefilsafatan berkaitan dengan penilaian baik nilai moral, estetis, agama, dan
sosial. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu kualitas abstrak yang yang
terdapat pada sesuatu hal.
- Filsafat
bersifat kritis, artinya filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap
konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh
suatu ilmu tanpa penyelidikan secara kritis.
- Filsafat
bersifat sinoptik, artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan
secara keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan
sebagai suatu keseluruhan.
- Filsafat
bersifat implikatif, artinya jika sesuatu persoalan kefilsafatan telah dijawab,
maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling
berhubungan. Jawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang
menyentuh kepentingan-kepentingan manusia.
2) Objek Formal Filsafat
Objek formal filsafat yaitu sudut pandang yang
menyeluruh, secara umum sehingga dapat menemukan hakikat dari objek
materialnya. Inilah yang membedakan antara filsafat dengan ilmu-ilmu lainnya
terletak dalam objek material dan objek formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain
objek materialnya membatasi diri sehingga pada filsafat tidak membatasi diri.
Adapun pada objek formalnya membahas objek materialnya itu sampai ke hakikat.[9]
c.
Ciri-Ciri Filsafat
Pemikiran kefilsafatan menurut Suyadi MP mempunyai karakteristik sendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Hal ini sama pendapat Sri Suprapto Wirodiningrat yang menyebut juga pikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu menyeluruh, mendasar din
spekulatif. Lain halnya Sunoto menyebutkan ciri-ciri dari berfilsafat, yaitu
deskriptif, kritik, atau analitik,
evaluatik atau nomatif, spekulatif, dan
sistematik.
1) Menyeluruh. Artinya,
pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya
ditinjau dari satu sudut pandangan tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin
mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu lain, hubungan
ilmu dengan moral, seni, dan tujuan hidup.
2) Mendasar. Artinya,
pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi
tidak hanya berhenti pada periferi (kulitnya) saja, tetapi sampai tembus kedalamannya.
3)
Spekulatif. Artinya, hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran
selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk
menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Meskipun demikian tidak berarti hasil
pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai keselesaian.[10]
Adapun menurut Ali Mudhofir, ciri-ciri berpikir
secara kefilsafatan adalah sebagai berikut:
1) Berpikir secara
kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang
berarti akar. Berpikir secara radikal adalah berpikir sampai keakar-akarnya.
Berpikir sampai ke hakikat, esensi atau sampai ke substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki,
yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
2) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan
secara universal (umum).
Berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal serta
proses-proses yang bersifat umum, dalam arti tidak memikirkan hal-hal yang
parsial. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari umat manusia. Dengan
jalan penjajakan yang radikal
itu filsafat berusaha untuk sampai pada berbagai kesimpulan yang universal.
3) Berpikir secara
kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Konsep di sini adalah hasil generalisasi dari pengalaman tentang hal-hal
serta proses-proses individual. Dengan ciri yang konseptual ini, berpikir
secara kefilsafatan melampaui batas pengalaman hidup sehari-hari.
4) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten.
Koheren, artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir (logis). Konsisten,
artinya tidak mengandung kontradiksi.
5) Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem. Sistem di sini adalah kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan
menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu.
Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu
masalah, para filsuf/ahli filsafat memakai berbagai pendapat sebagai wujud dari proses berpikir yang disebut berfilsafat.
Pendapat-pendapat yang merupakan
uraian kefilsafatan itu harus saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6) Berpikir secara kefilsafatan
dicirikan secara komprehensif. Komprehensif
adalah mencakup secara menyeluruh. Berpikir secara
kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7) Berpikir secara
kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas maka setiap
filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas
dari berbagai prasangka sosial, historis,
kultural ataupun religius.
8) Berpikir secara
kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggung jawab. Seseorang yang
berfilsafat adalah orang yang berpikir sambil bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Di sini
tampaklah hubungan antara kebebasan berpikir dalam filsafat dengan etika yang
melandasinya. Fase berikutnya ialah cara bagaimana ia merumuskan berbagai
pemikirannya agar dapat dikomunikasi kan pada orang lain.[11]
d.
Metode dan Contohnya Filsafat
Ada dua macam dalam metode
filsafat yang paling dasar, yakni metode umum dan metode khusus. Berikut
penjelasannya.
1)
Metode Umum
Ada dua pasang metode secara
umum: deduksi-induksi dan analisis-sintesis.
-
Metode Induksi
Ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat
khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan
secara umum itu adalah sebagai berikut: “Perunggu itu bila dipanaskan akan
memuai, perak bila dipanaskan juga akan memuai, begitu pula emas dan jenis
logam lainya, dengan demikian semua logam bila dipanaskan akan memuai pula”.
-
Metode Deduksi
Ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan
ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atas masalah yang
bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat kusus. Penarikan
kesimpulan secara khusus itu adalah sebagai berikut: “Setiap manusia yang ada
di dunia pasti suatu ketika akan mati, Si Ahmad adalah manusia, atas dasar
ketentuan yang bersifat umum tadi karena Ahmad adalah manusia maka suatu ketika
ia akan mati”.[12]
-
Metode Analisis
Adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan
mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti. Metode analisis ini dapat
diterapkan terhadap pengertian-pengertian yang bersifat apriori dan
aposteriori. Makna apriori adalah sifat bahanya diperoleh tidak melalui atau
tidak berupa pengalaman indrawi. Berarti, adanya hanya pikiran manusia.
Misalnya dalam bentuk kontruksi-kontruksi pikiran atau bahkan dalam bentuk
citra pikiran manusia. Makna aposteriori menunjukan pengertian-pengertian
mengenai hal-hal yang ada dan sudah pernah dalam pengalaman manusia kususnya
indrawi. Maksutnya merupakan pengertian-pengertian hal-hal yang dapet diserap oleh
panca indra.Di dalam filsafat, analisis berarti pemerincian istilah-istilah
atau pendapat-pendapat kedalam bagian-bagianya sedemikian rupa sehingga kita
dapat melakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya. Maksudnya ialah untuk
memperoleh kejelasan arti yang sebenar-benarnya. Jika berusaha memahami sesuatu
maka kita perlu kejelasan tentang arti yang ingin dipahami.
-
Metode Sintesis
Adalah jalan yang dipakai untuk mendapakan ilmu pengetahuan ilmiah dengan
cara mengumpulkan atau menggabungkan. Metode ini pula bararti cara penanganan
terhadap obyek ilmiah tertentu dengan cara menggabungkan pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain, yang pada akhirnya dapat diperoleh pengetahuan
yang sifatnya baru. Contoh apabila kita menggambarkan Ahmad pergi haji ke Mekkah
berarti, bahwa pada dasarnya baik pengertian yang berupa subyek maupun yang
berupa predikat semua itu merupakan dapat ditangkap oleh indrawi dan dalam hal
ini sesudah kita mengalaminya, misalnya kita melihat sendiri bahwa si Ahmad
pergi haji ke Mekkah. Maksud pokok metode sintesis adalah mengumpulkan semua
pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun pandangan dunia. Sintesis
merupakan usaha untuk mencari kesatuan dalam keberagaman.[13]
2) Metode Khusus
Metode khusus ialah metode
khas tiap-tiap ilmu atau kelompok ilmu. Pada dasarnya setiap ilmu atau kelompok
ilmu memiliki metode khasnya masing-masing. Metode ini berkenaan dengan
“operasi” atau kegiatan “riset” dalam ilmu bersangkutan. Sebenarnya jumlah
metode filsafat hampir sama banyaknya dengan definisi dari para ahli dan filsuf sendiri. Karena metode ini adalah
suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan
filsuf itu sendiri.
Lantaran banyaknya metode ini, Runes dalam Dictionary of Philosophy bagaimana
dikutip oleh Anton Bakker menguraikan sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan sejumlah metode-metode filsafat yang berbeda dengan cukup jelas. Yang paling
penting dapat disusun menurut garis
historisnya, beberapa metode yaitu sebagai berikut:
-
Metode Kritis-dialektis: Socrates (470-399 SM), Plato (427-347 SM)
Metode Socrates dan Plato ini disebut
metode kritis, sebab proses yang terjadi dalam implikasinya adalah menjernihkan
keyakinan-keyakinan orang. Meneliti apakah memiliki
kosistensi intern atau tidak. Prinsip utama dalam metode kritis adalah
perkembangan pemikiran dengan cara mempertemukan ide-ide, interplay antar ide. Sasarannya adalah yang umum atau batiniah.
Akhir dari dialog kritis tersebut adalah perumusan definisi yang sudah
merupakan suatu generalisasi.
-
Metode Intuitif: Plotinos (205-270) dan Hendri Bergson (1859-1941)
Plotinos
mencoba menyusun suatu sintesa dari aneka unsur filsafat Yunani. Ia sebenarnya
dipengaruhi cukup kuat oleh pandangan Plato, karena itu ia disebut sebagai neoplatonisme, tetapi ia juga
mengintegrasikan dengan filsafat Aristoteles. Semua cabang filsafat ia
perhatikan kecuali politik.
Soal yang ia hadapi adalah
masalah religious. Ia termasuk seorang mistikus dan mempunyai pengalaman
langsung dan pribadi akan rahasia ilahi. Hanya saja ia mengemas itu semua
secara metafisis dan sistematis serta bukan berdasarkan wahyu. Metode
filsafatnya intuitif atau mistis. Sikap kontemplatif ini meresapi seluruh
metode berfilsafat pada Plotinus. Karna itu filsafatnya bukan hanya doktrin
tetapi merupakan suatu cara hidup (way
of life). Hal ini dapat dibandingkan dengan suatu biara di mana ia
dan teman-temannya menghayati suatu hidup religi yang mendalam.
-
Metode
Skolastik: Thomas Aquinas (1225-1247)
Juga
disebut metode sintetis deduktif. Ada dua prinsip utama dalam metode sekolastik
yaitu Lectio dan Disputatio. Lectio adalah
perkuliahan kritis, diambil teks-teks dari para pemikir besar yang berwibawa
untuk dikaji. Biasanya diberi interpretasi dan komentar-komentar kritis. Dalam
proses inilah bisa timbul objektifitas metodis yang sangat mendalam terhadap
sumbangan otentik dari para pemikir besar. Disputatio
adalah suatu diskusi sistematis dan meliputi debat dialegtis yang sangat
terarah. Bahannya adalah soal-soal yang ditemukan dalam teks atau
persoalan-persoalan yang muncul dari teks tersebut. Bentuk perbincangan sangat
terarah dan sistematis. Dosen mengajukan soal-soal yang problematis, kemudian
keberatan-keberatan diajukan oleh seorang mahasiswa, dan seorang mahasiswa
senior memberikan jawaban-jawaban. Kemudian kesimpulan determinatif kembali
deberikan oleh dosen, kesimpulan ini merupakan jawaban-jawaban yang tepat atas
persoalan dan keberatan-keberatan yang diajukan.
-
Metode
Geometris: Rene Descartes (1596-1650)
Dalam
metodenya Descartes mengintegrasikan logika, analisa geometris dan aljabar
dengan menghindari kelemahannya. Metode ini membuat kombinasi dari pemahaman
intuitif akan pemecahan soal dan uraian analitis. Mengembalikan soal itu kehal
yang telah diketahui tetapi akan menghasilkan pengetian baru. Descartes ingin
mencari titik pangkal yang bersifat mutlak dari filsafat dengan menolak atau
meragukan metode-metode dan pengetahuan lain secara prinsipel ia menghasilkan
segala-galanya. Tapi keraguan ini adalah bersifat kritis.
-
Metode Empiris:
Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume
Hanya
pengalamanlah menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide) dalam introspeksi
dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian disusun bersama secara geometris.
-
Metode
Transendental: Immanuel Kant (1724-1804)
Filsafat
Kant disebut kritisisme. Metodenya bersifat kritik. Dia mulai dengan terlebih
dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant memang seorang
pembaharu dengan kritik-kritiknya. Ia membawa perubahan-perubahan tertentu
dalam filsafat. Kant memberi alternatif metode yang relevan. Metode ini
bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis
diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian demikian.
-
Metode
Dialektika: George Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831)
Disebut
metode dialektis. Disebut demikian sebab jalan untuk memahami kenyataan adalah
dengan mengikuti gerakan fikiran atau konsep. Metode teori dan sistem tidak
dapat dipisahkan karena saling menentukan dan keduanya sama dengan kenyataan
pula. Menurut Hegel, struktur didalam pikiran adalah sama dengan proses genetis
dalam kenyataan. Dengan syarat kita mulai berfikir secara benar, kita akan
memahami kenyataan sebab dinamika dinamika fikiran kita akan terbawa.
Dialektis
terjadi dalam langkah-langkah yang dinamakan tesis-antitesis-sintesis.
Diungkapkan dalam tiga langkah: dua pengertian yang bertentangan, kemudian
dipertemukan dalam suatu kesimpulan. Implikasinya adalah dengan cara kita
menentukan titik tolaknya lebih dulu. Kita ambil suatu pengertian atau konsep
yang jelas dan paling pasti. Misalnya konsep tentang keadilan, kebebasan,
kebaikan, dsb. Konsep tersebut dirumuskan secara jelas, kemudian diterangkan
secara mendasar. Dalam proses pemikiran ini konsep yang jelas dan terbatas ini
akan cair dan terbuka. Menjadi titik tegas dan hilang keterbatasannya.
-
Metode
Analitika Bahasa: Ludwig Von Wittgenstein (1889-1951)
Menurut Ludwig Von Wittgenstein (1889-1951) filsafat adalah hanya
merupakan metode Critique of Language. Analisa bahasa adalah metode netral.
Tidak mengandaikan epistemology, metafisika, atau filsafat. Metode Wittgenstein
mempunyai maksud positif dan negatif. Positif maksudnya bahasa sendirilah yang
dijelaskan. Apakah memang dapat dikatakan dan bagaimanakah dapat dikatakan.
Segi positif diarahkan pada segi negatif dengan jalan positif mempunyai
efek therapeutis (penyembuhan) terhadap kekeliuran dan kekacauan. Dengan
ditampakkan jalan bahasa dan diperlihatkan sumber-sumber salah paham, orang
akan terbuka untuk melihat hal-hal menurut adanya.bukan dengan mengajukan
teori-teori, tidak dengan menetapkan peraturan bahasa dan juga bukan dengan
membuktikan kesalahan ucapan-ucapan yang dipersoalkan.[14]
2.
Ilmu
a.
Pengertian
Ilmu
Secara bahasa, Ilmu berasal dari
bahasa: ‘alima-ya‘lamu-‘ilman, yang berarti yang berarti mengetahui,
memahami dan mengerti benar-benar. Dalam bahasa Inggris disebut Science, dari bahasa Latin yang
berasal dari kata Scientia (pengetahuan)
atau Scire (mengetahui). Sedangkan dalam bahasa Yunani adalah Episteme (pengetahuan).[15]
Dalam kamus Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang
tersusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu.[16]
Dalam Encyclopedia Americana, ilmu adalah
pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis. Paul Freedman, dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan
ilmu sebagai: bentuk aktifitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan
dan senantiasa lebih lengkap dan cermat
tentang alam di masa lampau,
sekarang dan kemudian
hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya
dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
S. Ornby mengartikan ilmu sebagai susunan
atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari
fakta-fakta. Poincare, menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti
definisi yang tersembunyi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses untuk memperoleh suatu ilmu adalah dengan melalui pendekatan
filsafat.
Menurut Slamet Ibrahim. Pada
zaman Plato sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu
pengetahuan boleh dikatakan tidak ada. Seorang filosof (ahli filsafat) pasti
menguasai semua ilmu pengetahuan. Perkembangan daya berpikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat
praktis dikalahkan oleh perkembangan ilmu yang didukung oleh teknologi. Wilayah
kajian filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Sehingga
ada anggapan filsafat tidak dibutuhkan lagi. Filsafat kurang membumi sedangkan
ilmu lebih bermanfaat dan lebih praktis. Padahal filsafat menghendaki
pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan universal dan hal ini tidak
dapat diperoleh dalam ilmu. Sehingga filsafat dapat ditempatkan pada posisi di mana
pemikiran manusia tidak mungkin dapat
dijangkau oleh ilmu.[17]
b.
Syarat-syarat Ilmu
Berbeda dengan pengetahuan,
ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada
persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.[18] Sifat
ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam
yang telah ada lebih dahulu.
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam.
Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji
keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni
persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif;
bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran.
Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara
umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada
metode ilmiah.
Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu
harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga
membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu
yang ketiga.
Kebenaran yang
hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat
tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan
syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar
ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat
universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
c.
Ciri-Ciri Ilmu
Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, berbeda dengan pengetahuan biasa, memiliki
beberapa ciri pokok, yaitu:
-
Sistematis
Para filsuf dan ilmwan
sepaham bahwa ilmu adalah pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang tersusun
secara sistematis. Ciri sistematis ilmu menunjukkan bahwa ilmu merupakan
berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan
tersebut mempunyai hubungan-hubungan saling ketergantungan yang teratur
(pertalian tertib). Pertalian tertib dimaksud disebabkan, adanya suatu azas
tata tertib tertentu di antara bagian-bagian yang merupakan pokok soalnya.
-
Empiris
Bahwa ilmu mengandung
pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengamatan serta percobaan-percobaan
secara terstruktur di dalam bentuk pengalaman-pengalaman, baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Ilmu mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan
menyimpulkan hal-hal empiris yang bersifat faktawi (faktual), baik berupa
gejala atau kebathinan, gejala-gejala alam, gejala kejiwaan, gejala
kemasyarakatan, dan sebagainya. Semua hal faktai dimaksud dihimpun serta
dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan persediaan bagi ilmu. Ilmu, dalam
hal ini, bukan sekedar fakta, tetapi fakta-fakta yang diamati dalam sebuah
aktivitas ilmiah melalui pengamalaman. Fakta bukan pula data, berbeda dengan
fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal yang
diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi inderawi.
-
Obyektif
Bahwa ilmu menunjuk pada
bentuk pengatahuan yang bebas dari prasangka perorangan (personal bias), dan
perasaan-perasaan subyektif berupa kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu
haruslah hanya mengandung pernyataan serta data yang menggambarkan secara terus
terang atau mencerminkan secara tepat gejala-gejala yang ditelaahnya.
Obyektifitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan pengetahuan itu haruslah sesuai
dengan obyeknya (baik obyek material maupun obyek formal-nya), tanpa
diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subyektif dari penelaahnya.
-
Analitis
Bahwa ilmu berusaha
mencermati, mendalami, dan membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian-bagian
yang terpecinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari
bagian-bagian tersebut. Upaya pemilahan atau penguraian sesuatu kebulatan pokok
soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu bidang keilmuan senantiasa
tersekat-sekat dalam cabang-cabang yang lebih sempit sasarannya. Melalui itu,
masing-masing cabang ilmu tersebut membentuk aliran pemikiran keilmuan baru
yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus dikembangkan secara khusus
menunju spesialisasi ilmu.
-
Verifikatif
Bahwa ilmu mengandung kebenaran-kebenaran yang
terbuka untuk diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah
(valid) dan disampaikan kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran
(verifikasi) dimaksud lah yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir.
Pengetahuan, agar dapat diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk
diuji atau diverifikasi dari berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya
diakui benar. Ciri verifikasif ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu
senantiasa mengarah pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleh manusia
untuk menemukan suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut
kebenaran ilmiah. Kebenaran tersebut dapat berupa azas-azas atau kaidah-kaidah
yang berlaku umum atau universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan.
Melalui itu, manusia berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa mendatang
dan menerangkan atau menguasai alam sekelilingnya.
Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit mengerti dan meramalkan, serta
menguasai gejala atau peristiwa-peristiwa alam, seperti; hujan, banjir, gunung
meletus, dan sebagainya. Orang, karena itu, lari kepada tahyul atau mitos yang
gaib. Namun, demikian, setelah adanya ilmu, seperti; vulkanologi, geografi,
fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara tepat dan cermat bermacam-macam
peristiwa tersebut serta meramalkan hal-hal yang akan terjadi kemudian, dan
dengan demikian dapat menguasainya untuk kemanfaatan diri atau lingkungannya.
Berdasarkan kenyataan itu lah, orang cenderung mengartikan ilmu sebagai
seperangkat pengetahuan yang teratur dan telah disahkan secara baik, yang
dirumuskan untuk maksud menemukan kebenaran-kebenaran umum, serta tujuan
penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran-kebenaran ilmu demi kepentingan
pribadi atau masyarakat, dan alam lingkungan.
Selain, kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan
lainnya, misalnya: ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental,
dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk melakukan
sesuatu hal. Ilmu, dalam hal ini sukar namun, juga amat muda dalam arti,
senantiasa merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang
mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide-ide baru. Ilmu berciri faktual,
dalam arti, ilmu tidak memberikan penilaian, baik atau buruk terhadap apa yang
ditelaahnya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi sepengguna. Pandangan
terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolak karena, menurut mereka ilmu
sebagai sebuah hasil budaya manusia, selalu bertautan atau berhubungan dengan
nilai. Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai
dan selalu harus bertanggungjawab atasnya.[19]
d.
Metode Ilmu
Ada
beberapa metode ilmu, yaitu:
1) Metode Induksi-Deduksi
Metode induksi adalah suatu cara atau jalan yang
dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari
pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat umum. Apabila orang menerapkan cara penalaran
yang bersifat induktif berarti orang bergerak dari bawah ke atas. Artinya,
dalam hal ini orang mengawali suatu penalaran dengan memberikan contoh-contoh
tentang peristiwa-peristiwa khusus yang sejenis kemudian menarik kesimpulan
yang bersifat umum.
Metode deduksi adalah suatu cara yang dipakai untuk
mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas
hal-hal atau masalah yag bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang
bersifat khusus. Apabila orang menerapkan cara penalaran yang bersifat deduktif
berarti orang bergerak dari atas menuju ke bawah. Artinya, sebagai langkah
pertama orang menentukan satu sikap tertentu dalam menghadapi masalah tertentu,
dan berdasarkan aatas penentuan sikap tadi kemudian mengambil kesimpulan dalam
tingkatan yang lebih rendah.
2) Metode Analisis-Sintesis
Metode analisis adalah cara yang dipakai untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap
objek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah dengan
cara memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain.
Metode sintesis
adalah cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara
mengumpulkan atau menggabungkan. Cara ini berarti pula penanganan terhadap
objek ilmiah tertentu dengan cara menggabungkan pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain.
3) Metode Kulitatif-Kuantitatif
Bogdan dan Taylor mendefinisikan, metodologi
kualitatif sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Sebaliknya, metodologi kualitatif melibatkan pengukurantingkatan suatu ciri
tertentu. Untuk menemuan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui
apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamatan dan
penelitian mulai mencatat atau menghitung dari angka satu, dua dan seterusnya.
Dengan kata lain kuantitatif melibatkan diri pada
perhitungan dan angka atau kuantitas. Sedangkan penelitan kualitatif menunjuk
pada segi alamiah yang dipertentangkan dengan jumlah. Namun demikian, keduanya
dapat digunakan dalam membantu meneliti permasalahan kefilsafatan.[20]
e.
Contoh Ilmu
-
Contoh Ilmu
Bahasa ialah ilmu, maka bahasa berlaku
untuk umum dan sistematis. Siapa pun, kapan pun, di mana pun, jika ingin
mempelajari suatu bahasa, harus melalui tahap berbicara, mendengar, membaca,
dan menulis. Hal ini membuktikan bahwa bahasa adalah ilmu yang mempunyai sifat
umum dan sistematis yang dijadikan dasar/acuan. Jadi, siapakah guru bahasa?
Guru bahasa adalah ilmu bahasa itu sendiri, sedangkan
pengajarnya adalah pengampu/pemangku/penghubung ilmu bahasa.
- Contoh Pengetahuan
Perdukunan atau ilmu batin, yang pelakunya biasa
dipanggil paranormal dan sudah diakui manfaaat dan kebenarannya. Berhubung
karena sifatnya masih individual/kelompok dan tidak sistematis dan tidak
terbuka, maka orang yang ingin mempelajarinya harus mencari guru sendiri. Guru
merupakan acuan yang harus diikuti karena guru merupakan itu sendiri (lain guru
lain ilmu). Jadi, pengetahuan dapat dijadikan ilmu apabila sudah diuji,
sistematis sehingga semua orang bisa mempelajarinya secara terbuka.
3.
Agama
Kata agama
kadangkala diidentikkan dengan kepercayaan, keyakinan dan sesuatu yang menjadi
anutan. Dalam konteks Islam, terdapat beberapa istilah yang merupakan padanan
kata agama yaitu: al-Din, al-Millah dan al-Syari’at. Ahmad Daudy menghubungkan makna al-Din
dengan kata al-Huda (petunjuk).[21] Hal ini menunjukkan bahwa agama merupakan
seperangkat pedoman atau petunjuk bagi setiap penganutnya.
Muhammad
Abdullah Darraz mendefinisikan agama (din)
sebagai: “keyakinan terhadap eksistensi (wujud) suatu dzat -atau beberapa dzat- ghaib yang maha tinggi, ia memiliki
perasaan dan kehendak, ia memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan
yang berkenaan dengan nasib manusia. Keyakinan mengenai ihwalnya akan
memotivasi manusia untuk memuja dzat
itu dengan perasaan suka maupun takut dalam bentuk ketundukan dan pengagungan”.
Secara lebih ringkas, ia mengatakan juga: bahwa agama adalah “keyakinan
(keimanan) tentang suatu dzat (Ilahiyah) yang pantas untuk menerima ketaatan
dan ibadah (persembahan).[22] Sedangkan Daniel Djuned mendefinisikan agama sebagai: tuntutan
dan tatanan ilahiyah yang diturunkan Allah melalui seorang rasul untuk umat
manusia yang berakal guna kemaslahatannya di dunia dan akhirat. Fungsi agama
salah satunya adalah sebagai penyelamat akal.[23]
Dari definisi
di atas, dapat dijelaskan bahwa pokok dan dasar dari agama adalah keyakinan
sekelompok manusia terhadap suatu zat (Tuhan). Keyakinan dapat dimaknai dengan
pengakuan terhadap eksistensi Tuhan yang memiliki sifat agung dan berkuasa
secara mutlak tanpa ada yang dapat membatasinya. Dari pengakuan tentang
eksistensi Tuhan tersebut, menimbulkan rasa takut, tunduk, patuh, sehingga
manusia mengekpresikan pemujaan (penyembahan) dalam berbagai bentuk sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan oleh suatu agama.
Makna lainnya
dari agama bila dirujuk dalam bahasa Inggris Relegion (yang diambil dari bahasa Latin: Religio). Ada yang berpendapat berasal dari kata Relegere (kata kerja) yang berarti
“membaca kembali” atau “membaca berulang- ulang”.[24] Sedangkan pendapat lainnya
mengatakan berasal dari kata Religare yang
berarti mengikat dengan kencang.[25] Dalam makna tersebut
penekanannya ada dua, yaitu pada adanya ikatan antara manusia dengan Tuhan, dan
makna membaca, dalam arti adanya ayat-ayat tertentu yang harus menjadi bacaan
bagi penganut suatu agama.
Esensi agama
adalah untuk pembebasan diri manusia dari penderitaan, penindasan kekuasaan
sang tiran untuk kedamaian hidup. Islam, seperti juga Abrahamic Religious keberadaannya untuk manusia (pemeluknya) agar
dapat berdiri bebas di hadapan Tuhannya secara benar yang diaktualisasikan
dengan formulasi taat kepada hukum-Nya, saling menyayangi dengan sesama,
bertindak adil dan menjaga diri dari perbuatan yang tidak baik serta
merealisasikan rasa ketaqwaan. Dasar penegasan moral keagamaan tersebut
berlawanan dengan sikap amoral. Dalam implementasinya institusi sosial
keagamaan yang lahir dari etika agama sejatinya menjadi sumber perlawanan
terhadap kedhaliman, ketidak-adilan, dan
sebagainya.[26]
Dari ungkapan
di atas, dapat dipahami bahwa agama juga mengandung pemahaman tentang adanya
unsur agama yang memiliki peran penting untuk mengharmoniskan kehidupan
manusia. Dengan agama, suatu komunitas menjadi saling menyayangi sesama manusia
walaupun memeluk agama yang saling berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa agama
tidak semata-mata interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi juga menuntut sikap
yang saling menyayangi sesama manusia, walaupun berbeda agama sekalipun. Untuk
itu makna agama dapat dikatakan sangat luas, termasuk juga sebagai wadah membina
sikap saling saying menyayangi sesama
manusia. Dengan kata lain, agama bukan hanya mengatur urusan penyembahan
manusia terhadap Tuhannya, tetapi juga mengatur pola hidup manusia yang lebih
baik melalui sikap saling kasih mengasihi sesama mereka.
Selanjutnya,
agama juga didefinisikan sebagai suatu keyakinan (iman) kepada sesuatu yang
tidak terbatas (muthlak). Hal ini seperti dikatakan oleh Herbert Spencer bahwa
faktor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan tak terbatas, atau
kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu atau tempatnya.[27] Hal ini menunjukkan bahwa salah satu unsur
terpenting dalam pemahaman tentang agama
adalah adanya kekuasaan
muthlak dari dzat
yang dianggap pokok segala
sesuatu, yaitu Tuhan. Dalam konsep ini, agama identik dengan pemahaman bahwa
manusia memiliki keterbatasan dalam segala hal. Karena itu agama merupakan
sebagai central dari segala sesuatu tersebut untuk dikembalikan dan diserahkan
segala urusan. Kadar penyerahan segala urusan ini, memiliki tingkat yang
berbeda bagi agama tertentu dan aliran tertentu.
C. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Agama
Sebenarnya hakikat manusia
itu adalah mahkluk pencari kebenaran, karena ia dibekalikan oleh Allah Swt
dengan akal pikiran, akan tetapi akal pikiran yang suci yang tidak
terkontaminasi dengan yang lain, yang dibimbing oleh nilai-nilai agama, karena
dengan akan pikiran yang dibimbing oleh nilai-nilai agama itulah yang bisa
mencapai kebenaran. Paling tidak ada tiga sarana atau jalan untuk mencari,
menghampiri dan menemukan kebenaran itu, yaitu: melalui filsafat, melalui ilmu
dan melalui agama, yaitu melalui wahyu dari Sang Pencipta Kebenaran yang Mutlak
dan Abadi. Ketiga sarana atau jalan itu masing-masing mempunyai
ciri-ciri tersendiri di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu.
Ketiga sarana tersebut juga mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan
titik singgung (hubungan) antara yang satu dengan yang lainnya.
1.
Titik Persamaan
Filsafat, ilmu dan agama adalah bertujuan
setidak-tidaknya berurusan dengan hal-hal yang sama, yaitu kebenaran dan
bertindak atas dasar rumusan mengenai suatu kebenaran tersebut.[28]
Seperti filsafat berusaha untuk mencari kebenaran dengan jalanmenggunakan akal,
pikiran dan logika, ilmu berusaha mencari kebenaran dengan menggunakan metode
ilmiah melalui penelitian-penelitian, sementara itu agama berusaha untuk
menjelaskan kebenaran itu melalui wahyu dari Tuhan. Jadi ketiganya
sasaran adalah sama, yaitu kebenaran. Jadi filsafat berupaya mencari kebenaran,
ilmu berusaha membuktikan kebenaran sementara agama adalah berupaya menjelaskan
kebenaran itu, maka tidak mengherankan kalau kaum muktazili mengatakan
tidak semuanya kandungan yang ada di dalam Al-Qur’an itu sifatnya komunikasi,
akan tetapi banyak juga yang sifatnya konfirmasi, yaitu membenarkan,
mempertegaskan dan menguatkan apa yang pernah dilakukan manusia.
Ilmu, dengan metodenya
sendiri mencoba berusaha mencari kebenaran tentang alam semesta beserta isinya
dan termasuk di dalamnya adalah manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri, juga
berusaha mencari kebenaran, baik kebenaran tentang alam maupun tentang manusia
(sesuatu yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena di luar atau di
atas jangkauannya) ataupun tentang Tuhan, Sang Pencipta segala-galanya. Semenatara itu agama dengan kepribadiannya sendiri
pula, berupaya memberikan jawaban atas segala persoalan-persoalan yang bersifat
asasi yang dipertanyakan oleh manusia baik tentang alam semesta, manusia maupun
tentang Tuhan itu sendiri, dengan kata lain agama adalah memberikan penjelasan,
penegasan dan pembenaran tentang sesuatu yang benar dan yang tidak benar.
Secara khusus Al-Farabi salah seorang tokoh
pemikir dan tokoh filsafat Islam mengemukakan pendapatnya tentang persamaan
antara filsafat dengan agama yang mana menurut beliau kedua-duanya (filsafat
dan agama) adalah sama-sama melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi
manusia, yaitu kebahagiaan tertinggi, dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain.[29]
Jadi keduanya adalah bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan, filsafat mencapai kebahagiaan dengan berupaya menemukan kebenaran,
sebab apabila suatu kebenaran itu sudah ditemukan, maka akan muncul rasa puas,
rasa puas itulah yang membuat timbulnya rasa bahagia, sementara itu agama
(Islam) mengungkapkan kebahagiaan dengan berupaya memberikan penjelasan kepada
penganutnya bahwa apabila seseorang ingin mencapai kebahagiaan, ia harus
mengikuti aturan yang diajarkan oleh agama, karena aturan yang diajarkan oleh
agama itu semuanya benar, maka apabila sudah mengikuti aturan dan ajaran agama
yang benar, yang sesuai dengan petunjuk, maka ia akan mendapatkan kebahagaiaan
itu, baik kebahagiaan di atas dunia ini maupun kebahagiaan di alam akhirat
nanti.
2.
Titik Perbedaan
Filsafat dan ilmu kedua-duanya adalah
sama-sama bersumber kepada ra’yu (akal, pikiran, budi, rasio, nalar dan
reason) manusia untuk mencari kebenaran. Sementara itu agama mengungkapkan,
menjelaskan dan membenarkan suatu kebenaran adalah bersumber dari wahyu.
Filsafat mencoba mencari kebenaran dengan cara menjelajahi atau menziarahi
akal-budi secara radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya), mengakar,
sistematis (logis dengan urutan dan adanya saling hubungan yang teratur) dan
integral (universal: umum, berpikir mengenai keseluruhan) serta tidak merasa
terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri, yaitu logika
Ilmu mencari kebenaran dengan menggunakan metode atau cara penyelidikan
(riset), pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen) atau sangat terkait
dengan tiga aspek, yaitu: aspek hipotesis, aspek teori, dan aspek dalil hukum.[30] Sedangkan
manusia di dalam mencari kebenaran terhadap agama itu adalah dengan jalan atau
cara mempertanyakan (dalamupaya untuk mencari jawaban) tentang berbagai macam
masalah yang asasi dari kitab suci dan kodifikasi firman ilahi.[31]
Selanjutnya
kebenaran ada yang bersifat spekulatif atau kebetulan saja adalah kebenaran
yang bersifat dugaan atau perkiraan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris,
secara riset dan secara eksperimental.[32]
Kebenaran ilmu adalah kebenaran yang bersifat positif, bukan bersifat spekulasi
atau kebetulan saja,[33]
yaitu kebenaran yang masih berlaku sampai saat ini yang dapat diuji. Baik
kebenaran filsafat maupun kebenaran ilmu, kedua-duanya bersifat nisbi atau
relatif, artinya sifatnya sementara dan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai
dengan perkembangan pemikiran manusia, yang sangat tergantung kepada situasi
dan kondisi, termasuk perubahan alam. Sedangkan kebenaran agama (Islam) adalah
kebenaran yang bersifat mutlak (absolut), yang tidak dapat diragukan sampaikan
kapanpun dan dimanapun, karena agama sumbernya adalah wahyu yang diturunkan
oleh Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna Yang Maha Mutlak benarnya.[34] Begitu
juga halnya dengan ilmu maupun filsafat, kedua-duanya adalah dimulai dengan
sikap sanksi atau ragu (skeptis), sedangkan agama berangkat dari sikap percaya
atau keyakinan.
3.
Titik Singgung
Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia
dapat dijawab secara positif oleh ilmu, karena ilmu itu terbatas; terbatas oleh
subjeknya dan terbatas pula oleh objeknya(baik objek materi maupun objek
forma), dan terbatas juga oleh metodologinya. Tidak semua masalah yang
tidak atau belum terjawab oleh ilmu, lantas dengan sendirinya dapat dijawab
oleh filsafat. Jawaban filsafat sifatnya adalah spekulatif dan juga merupakan
alternatif tentang jawaban sesuatu masalah, artinya jawaban filsafat itu belum
pasti dan masih bisa atau mungkin berubah. Tidak semua masalah yang tidak atau
belum terjawab oleh filsafat, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh
agama. Agama hanya memberi jawaban tentang banyak persoalan asasi yang sama
sekali tidak terjawab oleh ilmu, dan filsafat.
Akan tetapi perlu ditegaskan juga bahwa tidak
semua persoalan manusia terdapat jawabannya di dalam agama, karena agama
(Islam) itu bersumber dari wahyu yaitu Al-Qur’an Al-Karim, tidak akan mungkin
semua persoalan yang terjadi di alam semesta ini dijelaskan oleh Al-Qur’an,
akan tetapi Tuhan melalui firman-Nya yang tertera di dalam Al-Qur’an memberikan
kesempatan kepada manusia untuk mencari kebenaran dengan mempergunakan akal
pikiran seperti kalimat apala ta‘qilun, yaa ulil abshar, fa‘tabiru yaaulil
al-baab dan lain-lain.
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan di atas tentang titik singgung ketiga hal
tersebut atau hubungan antara filsafat, ilmu dan agama, maka titik singgung
ketiga masalah itu adalah saling to take and give (isi mengisi), karena
di dalam kajian-kajian
filosofis terdapat kajian-kajian ilmudan sejumlah problematika saintis,[35]
sebaliknya di dalam kajian-kajian saintis terdapat prinsip-prinsip dan
teori-teori filosofis. Begitu juga topik-topikfilsafat -sebagai cntoh filsafat Islam- bersifat religius
dengan pembahasan pada wilayah keagamaan, yang dimulai dengan mengEsa-kan
Tuhan. Bahkan di dalam perspektif sejarah, para filosofIslam menganggap ilmu
pengetahuan yang rasional itu sebagai bagian dari filsafat. Mereka memberikan
pemecahan atas masalah-masalah fisika seperti halnya di dalam masalah-masalah
metafisika. Contoh yang paling jelas untuk hal itu adalah buku Al-Syifa’, ensiklopedi filsafat Arab
terbesar, karena buku tersebut adalah berisikan empat bagian, yaitu: logika,
fisika, matematika dan metafisika.[36]
Belakangan ini di kenal bahwa setiap ilmu itu
mempunyai filsafat, artinya ilmu mengandung nilai-nilai filsafat, seperti
filsafat ekonomi, filsafat pendidikan, fisafat hukum, filsafat komunikasi dan
lain-lain sebagainya.
Di dalam pembahasan tentang menemukan titik
singgung antara filsafat dengan ilmu pengtehauan, dimana Ibrahim Madkour salah
seorang tokoh pemikir Islam di dalam hal ini memberikan berkomentar, bahwa pada
kenyatannya ilmu fisika dan ilmu matematika amat berhubungan erat dengan
kajian-kajian filosofis di dalam Islam, yang tidak mungkin dapat dipahami
secara terpisah dari yang lainnya.[37] Begitu
juga halnya, adanya titik singgung atau relasi antara filsafat, ilmu
pengetahuan dan agama. Abdul Munir Mulkan berkomentar: bahwa untuk memahami
ajaran agama dan menjadikannya sebagai pedoman di dalam hidup dan kehidupan
yang berfungsi sebagai penyelesaian berbagai macam permasalahan dalam
kehidupan, dimana manusia dituntut untuk memikirkan, merenungkan dan kemudian
menyusun formulasi praktis sehingga mendorong kepada melakukan amalan perbuatan
di dalam dunianya yang historis, sintesis dan dialektis.[38]
Berdasarkan dengan hal-hal yang telah disebutkan
dan diuraikan di atas tadi, dimana dengan tegas dapat dikatakan bahwa antara
filsafat, ilmu pengetahuan dan agama merupakan satu kesatuan bangunan paramida
yang merupakan sarana untuk mencapai kebenaran, sekedar untuk dimaklumi bahwa
filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, maka di dalam
masalah ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan, masalah etika dan masalah
seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Begitu pula halnya dengan agama
(Islam) yang mana agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mencari ilmu
sebanyak-banyak, di dalam Islam perintah untuk mencari ilmu itu adalah dimulai
semenjak sesorang itu dilahirkan sampai dengan keliang kubur (mati) dan mencari
ilmu itu kemana saja boleh, tapi yang dimaksudkan adalah ilmu yang bermanfaat
baik bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya, artinya menuntut atau mencari
ilmu itu adalah sepanjang umur mansuia yang bersangkutan atau sepanjang umur
masing-masing manusia itu.
Di dalam ajaran Islam orang yang berilmu akan mendapat derajat yang
lebih tinggi. Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah tentu terkandung di dalamnya
ilmu pengetahuan itu sendiri dan filsafat, apalagi kebenaran yang ditawarkan
itu mempunyai keserasian diantara ketiganya itu (filsafat, ilmu pengetaahuan
dan agama).
D. Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana
ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan
dengan hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama, yaitu sebagai
berikut:
1.
Antara
filsafat, ilmu dan agama terdapat titik
persamaannya, yaitu mencari kebenaran.
2. Antara
filsafat, ilmu dan agama disamping terdapat persamaan, akan tetapi juga ada
perbedaannya, yaitu dari aspek sumber, metode dan hasil yang ingin dicapai.
3. Antara
filsafat, ilmu dan agama mempunyai titik singgung atau relasi, yaitu saling
isi-mengisi di dalam menjawab persoalan-persoalan yang diajukan oleh manusia. Di samping itu ketiganya merupakan satu
kesatuan bangunan paramida di dalam mencarikan dan menemukan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
A. Baiquni, Teropong Islam terhadap Ilmu
Pengetahuan, Solo: Ramadhani, 1989.
Abd. Wahid, Korelasi Agama, Filsafat dan Ilmui, Jurnal
Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2014.
Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim,
Yogyakarta: Sipress, 1993.
Aceng Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta:
Kencana, 2013.
Ahmad
Daudy, Kuliah Aqidah Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1997.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Rosda Karya, 2002.
Ali Mudhofir, Kamus Teori
dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Anton Bakker, Metodologi Penelitian
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Armada Riyanto, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematis, Malang: UMM Press, 2004.
Dadang Kahmad, Sosiologi
Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar,
Jakarta:
Indeks, 2008.
Daniel
Djuned, “Konflik Keagamaan dan Solusinya” dalam Syamsul Rijal et.al, Filsafat, Agama dan Realitas Sosial, Banda
Aceh: Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, 2004.
H.B Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta:
Kembang, 1986.
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
terj., Yogyakarta: Bumi Aksara, 1990.
Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia, 1996.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih
bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Kencana, 1986.
Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan
Pengetahauan, Jakarta: tp, 1959.
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Musa
Asy’arie, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual,
Yogyakarta: LESFI, 2002.
Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun Rangka Berfikir Islamnisasi
Ilmu, Bandung: Mizan, 1997.
Sri Suprapto
Wirodiningrat, Metafisika Indonesia dalam Pengantar Kealam
Pemikiran Kefilsafatan, Yogyakarta: Yayasan
Pembinaan Fakultas Filsafat UGM, 1981.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Sudarto,
Metodologi
Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Jakarta:
Bumi Aksara, 2004.
Tim Penulis, Kamus
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka: 1998.
Yusuf
Al-Qaradhawy, Pengantar Kajian Islam, Suatu Analisis
Komprehensif tentang Pilar-Pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber
Acuan Islam, terj. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Al-Kautsar, 2000.
http://lipoihsan.blogspot.co.id
http://kuliah.unpatti.ac.id
[1] Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim,
(Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 22.
[2] Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm.
1.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda Karya, 2002), hlm. 9.
[5] Aceng Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 20.
[6] Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 22.
[7] H.B Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kembang, 1986), hlm. 7-8.
[8] Aceng Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan, hlm. 139-162.
[9] Lipo Ihsan, Filsafat Ilmu: Pengertian, Ciri-ciri Filsafat, dilansir melalui
laman http://lipoihsan.blogspot.co.id/2014/11/filsafat-ilmu-pengertian-ciri-ciri.html, dikutip pada tanggal 13 Mei 2017.
[10] Sri Suprapto Wirodiningrat, Metafisika Indonesia dalam Pengantar
Kealam Pemikiran Kefilsafatan, (Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM, 1981), hlm.
113-114.
[11]
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan
Teologi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996), hlm 13-15.
[14] Armada Riyanto, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematis, (Malang: UMM Press, 2004), hlm 45-54.
[15]
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.
39.
[17] Abd. Wahid, Korelasi Agama, Filsafat dan Ilmui, Jurnal Substantia, Vol. 14, No.
2, Oktober 2014, hlm. 226.
[19] A. Watloly, Filsafat Ilmu: Bahan Ajar Pertemuan ke-9, dilansir melalui laman http://kuliah.unpatti.ac.id/mod/page/view.php?id=13, dikutip pada tanggal 13 Mei 2017.
[22] Yusuf Al-Qaradhawy, Pengantar Kajian Islam, Suatu Analisis
Komprehensif tentang Pilar-Pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber
Acuan Islam, terj. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Al-Kautsar, 2000), hlm. 15.
[23] Daniel Djuned, “Konflik Keagamaan dan Solusinya”
dalam Syamsul Rijal et.al, Filsafat,
Agama dan Realitas Sosial, (Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry,
2004), hlm. 82.
[25] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1985), hlm. 10.
[26] Musa Asy’arie, Dialektika
Agama untuk Pembebasan Spiritual, (Yogyakarta:
LESFI, 2002), hlm. 13-14.
[29] Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun Rangka Berfikir
Islamnisasi Ilmu, (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 100.
[32] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat,
alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Kencana, 1986), hlm. 10-11.
[35] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori
Filsafat Islam, terj., (Yogyakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 253.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar