PEMBENTUKAN ISLAM DI MADINAH:
PIAGAM MADINAH
(PERSPEKTIF SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK)
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam”
Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A
Dr. M. Hadi Masruri, M.A
Pemakalah:
MUHAMMAD YAZID
(16771033)
(16771033)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
A. Dasar Pemikiran
Dalam Sejarah Peradaban Islam
disebutkan bahwa umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka
setelah pada tahun 622 M, yaitu setelah Nabi bersama 70 keluarga muslim
melakukan hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yastrib. Kota Madinah
setelah kedatangan Nabi Muhammad terbagi atas tiga golongan besar, yaitu
golongan Muslim (terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri
dari banyak suku kecil dan didominasi oleh dua suku besar yaitu suku ‘Aus dan
Khazraj), golongan Yahudi (terdiri dari
banyak suku , yang diantaranya terbesar adalah Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan
Bani Qainuqa).[1]
Disamping heterogen dari segi
komposisi penduduknya, Madinah juga diwarnai peperangan antar suku. Peperangan
antara suku ‘Aus dan Khazraj dalam memperebutkan kekuasaan dikota madinah.
Meskipun keduanya pernah menjadi sekutu dalam memerangi orang-orang Yahudi yang
menimbulkan kebencian diantara kaum yahudi dan kaum Arab.[2]
Pada realitanya sering terjadi
pengklaiman bahwa agama yang diyakininya adalah yang paling benar. Perdebatan
ini mempertemukan dua agama ketauhidan (Islam dan Yahudi) dengan agama yang
mempercayai banyak Tuhan (politeistik).[3]
Keadaan Madinah yang diwarnai
pertikaian antar suku dan perdebatan antar agama sudah mencapai puncaknya. Ditambah
dengan Madinah pada status vacuum of
power yang berarti tidak adanya sebuah kekuasaan politik tunggal yang
diakui oleh seluruh suku bangsa yang ada. Sehingga membuat masyarakat Madinah
berada pada level paling atas dalam menginginkan kedamaian di kotanya.
Hingga pada akhirnya masyarakat
Islam dari Makkah datang ke Madinah pada
tahun 622 M.[4]
Dengan diprakarsai oleh Rasulullah dan di dukung oleh semua golongan
masyarakat, disepakatilah sebuah perjanjian bersama yang bertujuan membangun
masyarakat baru yang bernegara, menekankan kerja sama, persamaan antara hak dan
kewajiban diantara semua golongan, baik dalam kehidupan sosial, politik, agama
untuk mewujudkan pertahanan dan perdamaian di kota Madinah. Perjanjian inilah
yang kemudian di kenal sebagai Piagam Madinah [5].
Lahirnya Islam dengan piagam madinah membawa
perubahan cepat (revolusi) dalam alam pikiran arab pada khususnya dan alam
pikiran dunia pada umumnya. Timbulnya revolusi dalam dunia pikir berarti juga
terjadi revolusi dalam segala bidang kehidupan manusia, baik bidang agama,
bidang politik, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya.[6] Revolusi ini telah mengkonstruksi peradaban baru di atas
puing-puing jahiliyah.
Tulisan ini akan mencoba mengulas tentang
terbentuknya Islam di Madinah; Piagam Madinah dalam perspektif social, ekonomi,
dan politik.
B.
Pembentukan Masyarakat Islam di Madinah
Adapun pertimbangan nabi Muhammad hijrah ke madinah adalah memperoleh
pengikut yang banyak, penduduk madinah lebih dekat dengan agama samawi, mereka
mendengar dari orang-orang yahudi tentang Allah, wahyu, hari akhir, nabi dan
sebaginya, sering terjadi peperangan antara Yahudi dengan Arab, pereselisihan
antara kaum Aus dan Khazraj, di Makkah masyarakat mencaci dan memusuhinya,
sementara di Madinah dinanti dan ditunggu kedatangannya, masyarakat Madinah
berhati lembut, penuh pertimbangan cerdas, jadi seruan Islam lebih mudah
diterima. Sedangkan masyarakat Makkah bertamprapent buruk dan tidak mampu
berfikir secara mendalam, semenjak Abu Tholib wafat kafir Qurays bertindak
kejam terhadap Nabi.
Dalam periode Madinah,
pengembangan Islam lebih ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat Islam
dan pendididkan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi Kemudian
meletakkan dasar-dasar Masyarakat Islam di Madinah yaitu:[7]
1.
Membangun/Mendirikan
Masjid. Tujuan rosulullah mendirikan masjid adalah untuk mempersatukan umat
Islam dalam satu majlis, sehingga di majelis ini umat Islam bisa bersama-sama
melaksanakan shalat jama’ah secara teratur, mengadili perkara-perkara dan
bermusyawarah. Masjid memegang peran yang sangat penting untuk mempersatuakan
kaum muslimin dan mempererat ukhuwah Islamiyah. [8]
2.
Memepersatukan
dan mempersaudarakan antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin. Dengan
mempersaudarakan antar dua golongan ini, Rasulullah telah menciptakan suatau
talian yang berdasarkan agama pengganti persaudaraan yang berdasar kesukuan
seperti sebelumnya. [9]
3.
Perjanjian
saling membantu antara kaum muslim dan bukan muslim. Nabi Muhammad hendak
menciptakan toleransi antar golongan yang ada di Madinah, oleh karena itu nabi
membuat perjanjian antara kaum muslimin dan kaum bukan msulim. Ibnu Hisyam
telah menyebutkan isi-isi perjanjian itu, keringkasannya sebagai berikut :
·
Pengakuan atas
hak pribadi keamanaan dan politik
·
Kebebasan
beragama terjamin untuk semua umat
·
Adalah
kewajiban penduduk Madinah, baik muslim maupun nonmuslim, dalam hal moral
maupun materiil. Mereka harus bahu-membahu menangkis semua serangan terhadap
kota mereka (Madinah)
·
Rasulullah
adalah pemimpin umat bagi penduduk Madinah. Kepada beliau bahwa segala perkara
dan perselisihan yang besar untuk diselesaikan. [10]
C.
Piagam Madinah
Kapan
Piagam Madinah dibuat? Menurut Zainal Abidin, Piagam tersebut ditandatangani
Nabi pada akhir ke- 2 H (622 M ) sebelum perang Badar.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Welhausen. Sedangkan Hubert Grimme
mengatakan dibuat setelah perang Badar. Montgomery Watt mendukung pendapat yang
pertama. Ia mengutip pendapat Welhausen bahwa dimasukkannya kelompok Yahudi ke
dalam ummah merupakan alasan penting untuk menentukan bahwa dokumen
tersebut dibuat sebelum perang Badar.[11]
Para
sejarawan menyebut naskah perjanjian Nabi dengan warga Madinah secara beragam.
W.Montgomery Watt menyebutnya The Constitution of Medina, RA. Nicholson memberi nama Charter, Majid
Khadduri menyebut Treaty, Philip K. Hitti menyebut Agreement,[12] Zainal
Abidin Ahmad menyebut Piagam. Sedangkan shahīfah adalah nama yang
disebut dalam naskah aslinya. Menurut Ahmad Sukardja, kata shahīfah
searti dengan istilah charter dan piagam, yakni menunjuk kepada
surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal.[13]
Terlepas dari polemik penamaan,
Piagam Madinah merupakan dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi Muhammad
Saw sebagai perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Anshor, dan Yahudi,
serta sekutunya. Dokumen ini mengandung prinsip-prinsip atau peraturan penting
yang menjamin hak-hak dan menetapkan kewajiban-kewajiban sebagai dasar bagi
kehidupan social politik Madinah.
Terlepas dari polemik historitas
penyusunan dan otentisitas naskahnya, Piagam Madinah yang digunakan adalah yang
telah disistematisasi menjadi 47 pasal. Yaitu sebagai berikut:
Dengan nama Tuhan Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang “Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad Saw. di
kalangan Orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy
dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan
berjuang bersama mereka”.
Pasal
1: Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan
kekuasaan) manusia.
Pasal
2: Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, saling
tanggung-menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) karena
suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal
3: (1) Banu „Auf (dari Yatsrib) tetap mempunyai hak asli mereka,
tanggung-menanggung uang tebusan darah (diyat). (2) Dan setiap keluarga dari
mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara
orang-orang beriman.
Pasal
4: (1) Banu Sa'idah (dari Yatsrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung
menanggung uang tebusan mereka. (2) Dan setiap keluarga dari mereka membayar
bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal
5: (1) Banul-Harts (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan
secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal
6: (1) Banu Jusyam (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara
baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal
7: (1) Banu Najjar (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) dengan secara
baik dan adil. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan
secara baik dan adil di kalangan orang beriman.
Pasal
8: (1) Banu „Amrin (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara
baik dan adil di kalangan orang -orang beriman.
Pasal
9: (1) Banu an-Nabiet (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara
baik dan adil di kalangan orang -orang beriman.
Pasal
10: (1) Banu Aws (dari suku Yatsrib) berpegang atas hak-hak asli mereka,
tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2)
Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil
di kalangan orang-orang beriman.
Pasal
11: Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalai-kan tanggung jawabnya
untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar uang
tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal
12: Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat
persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa
persetujuan terlebih dahulu dari padanya.
Pasal
13: (1) Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang
yang berbuat kesalahan, melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau
pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman. (2) Kebulatan persatuan
mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun
terhadap anak-anak mereka sendiri.
Pasal
14: (1) Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman
lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman. (2) Tidak pula
diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan
seorang yang beriman lainnya.
Pasal
15: (1) Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang
lemah. (2) Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan
sesame mereka daripada (gangguan) manusia lain.
Pasal
16: Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita,
berhak mendapatkan bantuan dan per-lindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan
tidak boleh diasing-kan dari pergaulan umum.
Pasal
17: (1) Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu. (2) Tidak
diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut
sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali
atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.
Pasal
18: Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan
terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.
Pasal
19: (1) Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas
tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan. (2) Setiap orang beriman yang
bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat. Pasal 20: (1)
Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap
harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui. (2) Campur tangan apapun
tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.
Pasal
21: (1) Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang ber-iman dengan cukup bukti
atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga
yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian
(diyat). (2) Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan
itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.
Pasal
22: (1) Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya
kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan
memberikan tempat kediaman baginya. (2) Siapa yang memberikan bantuan atau
memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang
yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti,
dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.
Pasal
23: Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka
kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad Saw.
Pasal
24: Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum
beriman, selama negara dalam peperangan.
Pasal
25: (1) Kaum Yahudi dari suku „Auf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan
warga yang beriman. (2) Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum
Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap
pengikut- pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali
jika ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang
bersangkutan dan keluarganya.
Pasal
26: Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu „Auf di atas.
Pasal
27: Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu
„Auf di atas.
Pasal
28: Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu„Auf di atas.
Pasal
29: Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu„Auf di atas.
Pasal
30: Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu„Auf di atas.
Pasal
31: (1) Kaum Yahudi dari Banu Tsa‟labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi
dari Banu „Auf di atas. (2) Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan,
maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan
keluarganya.
Pasal
32: Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa‟labah,
diperlakukan sama seperti Banu Tsa‟labah
Pasal
33: (1) Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu „Auf di
atas. (2) Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.
Pasal
34: Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa‟labah, diperlakukan sama
seperti Banu Tsa‟labah.
Pasal
35: Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama
seperti kaum Yahudi.
Pasal
36: (1) Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad
Saw. (2) Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan
orang kepadanya. (3) Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu
menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri. (4) Tuhan
melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini.
Pasal
37: (1) Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul
biaya Negara. (2) Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin
pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta
dari piagam ini. (3) Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati
dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa. (4) Seorang warga negara
tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat atau sekutunya. (5)
Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang atau golongan
yang teraniaya.
Pasal
38: Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang
beriman, selama peperangan masih terjadi.
Pasal
39: Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar
kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini.
Pasal
40: Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai
diri-sendiri, tidak boleh diganggu keten-teramannya, dan tidak diperlakukan
salah.
Pasal
41: Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau
kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya.
Pasal
42: (1) Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau
terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan
penyelesaiannya menurut (hukum) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad
Saw. (2) Tuhan ber-pegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia
kepadanya.
Pasal
43: Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala
orang yang membantu mereka.
Pasal
44: Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk
menentang setiap agresor yang menyergap kota Yatsrib.
Pasal
45: (1) Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai
(treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai. (2)
Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman
harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang me-nunjukkan permusuhan
terhadap agama (Islam). (3) Kewajiban atas setiap warganegara mengambil
bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu.
Pasal
46: (1) Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan
mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk
kebaikan (pendamaian) itu. (2) Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat
menghilangkan segala kesalahan.
Pasal
47: (1) Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas
dirinya. (2) Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini,
yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya. (3) Sesungguhnya tidaklah
boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dhalim dan
bersalah. (4) Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian
(keluar), adalah aman. (5) Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali
orang-orang yang dhalim dan berbuat salah. (6) Sesungguhnya Tuhan melindungi
orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada). (7) Dan (akhirnya),
Muhammad adalah Utusan Allah, semoga Allah mencurahkan shalawat dan
kesejahteraan atasnya.
D.
Piagam
Madinah dan Perubahan Sosial dan Politik Masyarakat Madinah
Adanya kemajemukan masyarakat
madinah yang tidak hanya didasarkan atas perbedaan agama dan keyakinan tetapi
juga dalam hal etnis, bangsa, asal daerah, kelas social serta adat kebiasaan.
Hal ini yang menyebabkan tiap golongan memiliki corak pikir dan tindakan yang
berbeda-beda sesuai dengan filosofi hidup dan kepentingannya. Factor-faktor ini
pulalah yang tampaknya sering mengakibatkan mudahnya timbul konflik antar
masyarakat Madinah.
Tipe masyarakat yang demikian
memerlukan penataan dan pengendalian social-politik secaja bijaksana dengan
adanya perundang-undangan sebagai pemersatu masyarakat yang bias diterima oleh
berbagai pihak, yaitu atas dasar kemanusian.[14]Disamping
Nabi Muhammad memiliki kedudukan sebagai seorang kepala Agama, beliau juga berperan
sebagai kepala Negara. Dengan kata lain dalam diri Rasulullah terkumpul dua
kekuasaan yantu kekuasaan spiritual (Agama) dan kekuasaan duniawi (Kepala
Negara).[15]Dalam
situasi kota Madinah yang dihuni oleh berbagai jenis ras, agama, dan kebudayaan
yang berbeda, Rasulullah melakukan penataan dan pengendalian social yang
mengatur hubungan antara golongan-golangan tersebut dengan meletakkan
dasar-dasar kehidupan bermasyarakat.
Pertama, membangun mssjid, selain untuk tempat beribadah, juga
sebagai sarana mempersatukan umat muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di
samping itu masji juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan sekaligus
menjadi pusan pemerintahan. Kedua,
adalah Ukhwah Islamiyah, persodaraan
sesama muslim. Tegasanya Nabi mempersodarakan umat muslim dari Makkah (Muhajirin) dan umat muslim pribumi (Anshor). Dengan demikian diharapkan
setiap muslim merasakan suatu persaudaraan dan kekeluargaan diantara mereka.
Dan ketiga, menjalin hubungan
persaudaraan dengan pihak lain diluar orang-orang muslim agar stabilitas social
kemasyarakatan dapat diwujudkan di Madinah. Terjaliannya hubungan antaran umat
Islam dan golongan masyarakat Madinah yang lain tercetus dalam sebuah
perjanjian yang disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah.[16]
Dalam Piagam Madinah tersebut terdapat 47 pasal yang mengikat seluruh warga Madinah baik yang muslim ataupun nonmuslim sebagaimana diuraikan di atas. Menurut Dr. AJ Wensinck dalam bukunya Mohammaden de Yoden le Medina (1928) yang dikutip oleh Waytimah dalam tulisannya berjdul Naskah Piagam Madinah, berpendapat bahwa Dari empat puluh tujuh pasal tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sebelas bab sebagaimana berikut[17]:
Adapun batasan bab pada
masing-masing tema dalam Piagam Madinah menurut Dr.
AJ Wensinck adalah sebagai berikut :
1.
Muqaddimah terdapat pada pembukaan Piagam
Madinah
2.
Pembentukan Ummat terdapat pada pasal 1
3.
Hak Asasi Manusia terdapat pada pasal 2-10
4.
Persatuan Seagama terdapat pada pasal 11-15
5.
Persatuan Warganegara terdapat pada pasal
16-23
6.
Golongan Minoritas terdapat pada pasal 24-35
7.
Tugas Warga Negara terdapat pada pasal 36-38
8.
Melindungi Negara terdapat pada pasal 39-41
9.
Pimpinan Negara terdapat pada pasal 42-44
10. Politik
Perdamaian terdapat pada pasal 45-46
11. Penutup
terdapat pada pasal 47
Dalam membahas tentang pokok atau prinsip-prinsip substansial yang terefleksikan secara eksplisit dalam naskah Piagam Madinah tersebut para ahli berbeda pendapat dalam merumuskannya. Seperti Azyumardi Azra yang membagi kedalam 11 poin, Ajid Thohir membaginya kedalam 14 poin, Muhammad Kholid merumuskannya ke dalam 8 poin, sedangkan Zainal Abidin merumuskannya ke dalam 10 poin. Namun dari ke ragaman rumusan tersebut secara singkat dapat di tarik poin-poin umum bahwa prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan kehidupan demokratis untuk segala zaman adalah sebagai berikut :
Penjelasan mengenai
prinsip-prinsip umum Piagam Madinah di atas adalah sebagi berikut:
1.
Al-Ikho (Persaudaraan)
Al-Ikho (Persaudaraan) merupakan
salah satu asas penting masyarakat Islam yang diletakkan Rasulullah. Banyak
ayat maupun hadits yang mengajarkan bahwa persaudaraan adalah hal yang penting
dalam kehidupan, dan perwaudaraan yang hakiki itu adalah persaudaraan seiman
dan seagama. Bangsa Arab yang sebelumnya lebih menonjolkan identitas
kesukuannya, setelah memeluk agama yang di bawa Nabi Muhammad diganti dengan
indentitas baru yaitu Islam. Maka atas dasar inilah Rasulullah mempersaudarakan
kaum Muhajirin sebagai kaum pendatang dan Anshor sebagai kaum pribumi Madinah.
Selain itu terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang menganjurkan untuk memperat
tali persaudaraan diantara muslim, seperti dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 dan 75
serta Q.S. Ar-Ra’d ayat 21.
2.
Al-Musawamah (Persamaan)
Rasulullah dengan tegas
mengajarkan bahwa seluruh manusia adalah keturunan Adam yang diciptakan Tuhan
dari tanah. Seorang Arab tidak lebih mulia dari golongan di luarnya kecuali
karena ketaqwaannya. Ajaran ini memperjelas firman Allah dalam Al-Qur’an surat
Al-Hujurat ayat 13. Berdasarkan asas ini setiap warga masyarakat memiliki hak
kemerdekaan dan kebebasan atau al-hurriyah. Oleh sebab itu, Rasulullah sangat
memuji dan menganjurkan para sahabatnya untuk memerdekakan hamba-hamba sahaya
yang dimiliki oleh bangsawan-bangsawan Quraisy.
3.
Al-Tasamuh (Toleransi)
Al-Tasamuh atau Toleransi
sebagai asas masyarakat Islam dibuktikan antara lain dengan adanya Piagam
Madinah. Umat Islam siap berdampingan secara baik dengan umat di luar Islam.
Mereka (umat diluar Islam) mendapat
perlindungan dari Negara dan bebas melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.
Asas ini tentu selaras dengan firman Allah dalam surat Al-Kafirun ayat 6, surat
Al-Baqarah ayat 256 dan surat Yunus ayat 99. Akan tetapi, toleransi yang
diberikan umat Islam itu direspon oleh mereka dengan sikap pengkhianatan
terhadap piagam yang disepakati bersama tersebut. Mereka mencoba mengusik
keimanan kaum Muslim dan bersekongkol dengan kaum Quraisy untuk mencelakakan
Nabi. Maka satu per satu kabilah-kabilah Yahudi itu di usir dari madinah.
4.
Musyawarah (Demokrasi)
Kendatipun Rasulullah mempunyai
status yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat, acapkali beliau meminta
pendapat para sahabat dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan urusan dunia dan social budaya. Manakala argumentasi sahabat
itu dianggap benar, tidak jarang beliau mengikuti pendapat mereka. Asas ini
selaras dengan firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 159 dan Q.S. al-Syura ayat 38.
5.
Al-Mu’awanah (Tolong-menolong)
Dalam berbuat kebajikan
merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebaimana diisyaratkan dalam surta
al-Maidah ayat 2 dan al-Hasyr ayat 9. Tolong menolong sesama muslim, antara
lain telah ditunjukan dalam bentuk persaudaraan antara Anshor dan Muhajirin,
sedangkan dengan pihak di luar Islam, Piagam Madinah adalah salah satu bukti
pebuatan tolong menolong.
6.
Al-Adalah (Keadilan)
Al-adalah (keadilan) berkaitan
dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat sesuai
dengan posisi masing-masing. Di satu sisi seseorang hendaknya memperoleh
haknya, sementara pada sisi yang lain ia berkewajiban memberikan hak orang lain
kepada yang berhak menerimanya. Prinsip ini berpedoman pada surat al-Maidah
ayat 8 dan Surat an-Nisa ayat 58
Dalam
perjalanan sejarah, Piagam Madinah tidak berjalan mulus. Pada tahun kelima
Hijriyah naskah perjanjian tersebut mendapat ujian berat. Golongan Yahudi,
terutama Bani Quraidzah dan Bani Qainuqa‟, ternyata mengkhianati isi konstitusi
yang telah disepakati bersama. Dalam perang Khandaq, kaum Yahudi bukan saja
tidak ambil bagian dalam mempertahankan negara Madinah dari serangan musuh,
bahkan mereka bekerjasama dengan musuh, dan menggerogoti kekuatan negara dari
dalam. Akibatnya mereka harus mendapat hukuman setimpal, termasuk harus keluar
dari wilayah Madinah. Akibat pengkhianatan kaum non-muslim Yahudi dan seiring
dengan semakin banyaknya ayat-ayat hukum (āyāt al-ahkām) yang turun,
yang di antaranya berkaitan dengan hubungan antar muslim dan nonmuslim, maka
berdampak perubahan pada naskah dalam Piagam Madinah. Kaum non-muslimYahudi,
salah satu pilar pendukung Piagam Madinah, dibagi menjadi dua kategori; harbī
dan dzimmī. Kelompok harbī yang memang menjadi musuh bagi
umat Islam tidak bisa mendapat perlindungan dalam negara Madinah. Sedangkan
kelompok kedua, dzimmī, tetap mendapat perlindungan penuh dari umat
Islam, baik jiwa, harta dan agama mereka, dengan ketentuan harus membayar pajak
(jizyah). Hanya bedanya, jika sebelumnya mereka menjadi warga Madinah
memiliki hak dan kewajiban yang sepenuhnya sama dengan umat Islam, maka setelah
peristiwa itu dalam beberapa hal hak dan kewajiban mereka tidak sepenuhnya
sama, misalnya tentang kewajiban perang membela negara dan untuk menduduki
jabatan tertentu dalam negara. Kendati telah terjadi pengurangan atas sebagian
hak dan kewajiban non-muslim, menurut Masykuri Abdullah, jika dibandingkan
dengan praktik kehidupan masyarakat atau negara yang ada di wilayah lain ketika
itu, praktik perlindungan terhadap kelompok minoritas ini merupakan praktik
yang sangat progresif.[18]
Adanya kendala untuk menerapkan
Konstitusi Madinah secara utuh bisa jadi, menurut Marshal Hodgson—sebagaimana
dikutip Cak Nur--disebabkan esensinya yang bersifat radikal jika dibandingkan
dengan pola umum kehidupan di Jazirah Arab ketika itu, yang belum teratur
dengan ciri menonjol tiadanya pranata kepemimpinan masyarakat yang mapan yang
menjadi kebutuhan masyarakat maju, selain daripada pranata kepemimpinan atas
dasar kesukuan (tribalism) dan keturunan. Nah, dalam kaitan ini,
Nabi—melalui gagasan Piagam Madinah—berupaya membendung arus tradisi Arab
tersebut, untuk diganti dengan pola hidup sosial dengan pranata kepemimpinan
yang mapan dan rasional.[19]
Sekalipun
dalam tataran praktis Piagam Madinah tak dapat dilaksanakan sepenuhnya akibat
pengkhianatan kaum Yahudi, namun makna dan semangatnya menjiwai keseluruhan
tindakan sosial dan politik Nabi, yang kemudian dilestarikan oleh penguasa
Islam sesudah-Nya. Bahkan dokumen politik pertama dalam sejarah peradaban umat
manusia ini, telah memberikan model dasar bagi hubungan antara Islam dan
politik serta Islam dan negara. Di antara terobosan penting yang tertuang dalam
Piagam Madinah, Nabi memperkenalkan istilah baru, ummah. Istilah ini
menunjuk pada semua warga yang terlibat dalam perjanjian Madinah dengan
berbagai latar belakang; agama (Islam, Yahudi, Munafiqin), wilayah (Mekah dan
Madinah), dan suku bangsa (Quraisy, Auz, Khazraj). Istilah ummah bagi
masyarakat Arab ketika itu tergolong baru, karena sebelumnya mereka terbiasa
dengan sebutan qabilah yang menunjukkan semangat kelompok dan kesukuan
yang cenderung memecah belah. Melalui istilah tersebut, Nabi hendak menegaskan
bahwa “negara” yang baru dibangun berdiri di atas prinsip persatuan kebangsaan
demi mencapai cita-cita bersama. Melalui istilah ummah Nabi sekaligus
berupaya mengikis habis semangatsemangat komunal yang telah mendarah daging
dalam tradisi Arab.
Puncak
prestasi Nabi dalam bidang politik adalah keberhasilan beliau merebut kembali
kota Mekah secara militer dan moral. Secara militer, Nabi berhasil merebut
Mekah tanpa ada perlawanan berarti. Penduduk Mekah yang menjadi musuh utama
Nabi sebelum beliau hijrah ke Madinah, benar-benar telah kehilangan daya juang
di hadapan bala tentara umat Islam. Namun, di tengah puncak kekuatan tersebut,
Nabi dan kaum beriman tidak ada upaya untuk melampiaskan dendam masa lalu
kepada mereka. Bahkan Nabi memberi amnesti umum kepada penduduk Mekah,
terkecuali kepada beberapa orang, dan menampung mereka sebagai anggota-anggota
baru persaudaraan muslim.[20]
E. PENUTUP
Berdasarkan
uraian di atas mengenai Piagam Madinah, dapat kita simpulkan bahwasannya :
1.
Piagama Madinah sebuah ikatan perjanjian yang
dilakukan oleh Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi
2.
Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi
Muhammad bukan hanya seorang Nabi dan Rasul, tetapi beliau juga seorang ahli
politik yang bijak
3.
Piagam Madinah sebagai norma yang mengatur
manusia dan masyarakat dalam hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan
4.
Nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar
kehidupan demokratis yang tersirat dalam Piagam Madinah antara lain; Al-Ikho
(Persaudaraan), Al-Musawwamah (Persamaan), Al-Tasamuh (Toleransi), Musyawarah
(Demokrasi), Al-Mu’awanah (Tolong-menolong), dan Al-Adalah (Keadilan).
Dalam
aspek politik, bangsa Arab pra-Islam sudah memiliki tatanan dan mekanisme
rotasi kekuasaan, meskipun belum ada negara sebagaimana terdapat di era modern.
Kekuasaan politik bangsa Arab praIslam berada di tangan para qabīlah. Kepemimpinan
silih berganti di antara mereka sesuai mekanisme yang ditentukan dan disepakati
bersama. Pengangkatan Muhammad sebagai Rasulullah di Mekah tidak serta merta
menjadikan beliau sebagai kepala negara di kota kelahiranNya ini. Selama di
Mekah, Nabi lebih berperan sebagai kepala agama (Rasul Allah) yang mendapat mandat
untuk menyebarkan Islam. Kepemimpinan politik belum bisa diraih karena kerasnya
penolakan warga Mekah terhadap Nabi dan ajaran Islam. Sedangkan di Madinah di
samping sebagai kepala agama, Nabi juga berperan sebagai kepala negara yang
memimpin warga Madinah yang heterogin. Missi kerasulan yang ditopang kekuatan
politis membuat ajaran Islam lebih mudah diterima masyarakat. Kepemimpinan
politik Nabi di Madinah ditandai dengan terbentuknya Konstitusi Madinah sebagai
pedoman hidup bernegara yang disepakati seluruh penduduk Madinah yang heterogen
di bawah kendali Nabi. Dan puncak prestasi Nabi dalam bidang politik adalah
keberhasilan beliau merebut kembali kota Mekah, fathu makkah, secara
militer dan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Abdu
Lathif, Abdu Syafi Muhammad, Buhuts fii
al-Syirah An-Nabawi Wat-Tarikh Al-Islam, Dar al-Salam, Kairo, 2008.
Abubakar,
Istinah, Sejarah Peradaban Islam Untuk
Perguruan Tinggi Islam dan Umum, UIN-Malang Press, Malang, 2008.
Azra,
Azyumardi, Nilai-nilai Pluralisme dalam
Islam : Bingkai Gagasan yang Berserak, Penerbit Nuansa, Bandung 2005.
K Hitti, Philip., History of The Arabs, (New York: The
McMillan Press,terj Cecep Lukman Yasin., 2002).
Mansur,
Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah.
Global Pustaka Utama, Yogyakarta. 2004.
Nurhakim, Moh, Sejarah dan Peradaban Islam, UMM Press, Malang, 2004.
Madjid, Nurcholish. Sistem Kenegaraan Modern Republik dan
Kekhalifahan Islam Klasik. Makalah disampaikan dalam KKA Paramadina seri
KKA ke 127/Tahun XII/1997 di Hotel Regent Indonesia Jakarta.
Madjid, Nurcholish. Islam
Doktrin dan Peradaban. Jakarta; Paramadina, 1994.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam
Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an. Jakarta; RajaGrafindo Persada,
1994.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1993.
Sukardja, Ahmad. Piagam
Madinah dan UUD 1945. Jakarta; UI-Press, 1995.
Syalaby, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid I, terj.
Mukhtar Yahya et.al. Jakarta; Pustaka al- Husna, 1973.
Thohir,
Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam,
PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004.
Waytimah, Naskah Piagam Madinah, Von Edison
Alouisci, 2012.
Watt, W. Montgomery. Muhammad
at Medina. London; Oxford University Press, 1972.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. PT Raja
Grafindo Persada. 2008
[1] Dr. Abdu Syafi Muhammad Abdu Lathif,
Buhuts fii al-Syirah An-Nabawi Wat-Tarikh
Al-Islam, Dar al-salam, Kairo, 2008, hal 65
[2] Istinah Abubakar, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam Untuk Perguruan
Tinggi Islam dan Umum, UIN-Malang Press, Malang, 2008, hal 18
[3] Azyumardi Azra, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam : Bingkai
Gagasan yang Berserak, Penerbit Nuansa, Bandung 2005, hal 98
[4]
Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, UMM Press,
Malang, 2004, hal 26
[5] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam,
PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004, hal 17
[6]
A. Hasjimy, Sejarah
Kebudayaan Islam (Jakarta: PT Karya UI Press,
1993), 1.
1993), 1.
[7]
A.Salabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Pustaka Alhusna, 1987). 118-119
[8]Samsul Munir, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2010),68.
[9]Ibid., 69.
[10]Ibid., 69.
[11]
W. Montgomery Watt, Muhammad
at Medina (London; Oxford University Press,1972), 227-228
[12]
Philip
K Hitti,., History of The Arabs, (New York: The McMillan
Press,terj Cecep Lukman Yasin., 2002).
[13]
Sukardja, Piagam
Madinah dan UUD 1945, 36.
[14] Drs. Mansur, M.A. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah.
Global Pustaka Utama, Yogyakarta. 2004. Hal 22
[15] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam. PT Raja
Grafindo Persada. 2008. Hal 25
[16]
Dr. Badri Yatim, M.A. Ibid.
hal 26-27
[17] Waytimah, Naskah Piagam Madinah, Von Edison
Alouisci, 2012
[18]
Masykuri Abdullah
“Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam; Sebuah Perspektif Sejarah dan
Demokrasi Modern” dalam Tashwirul Afkar, No.7/2000, 89-90
[19]
Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban (Jakarta; Paramadina, 1992), 314-316.
[20]
Madjid, Sistem
Kenegaraan Modern Republik dan Kekhalifahan Islam Klasik, 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar