Selasa, 07 November 2017

MAKALAH PEMBENTUKAN ISLAM DI MADINAH: PIAGAM MADINAH (PERSPEKTIF SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK)

PEMBENTUKAN ISLAM DI MADINAH: PIAGAM MADINAH
(PERSPEKTIF SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam


Dosen Pengampu:
Dr. M. Hadi Masruri, M.A






Pemakalah:
MUHAMMAD YAZID
(16771033)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



A. Dasar Pemikiran 
               Dalam Sejarah Peradaban Islam disebutkan bahwa umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M, yaitu setelah Nabi bersama 70 keluarga muslim melakukan hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yastrib. Kota Madinah setelah kedatangan Nabi Muhammad terbagi atas tiga golongan besar, yaitu golongan Muslim (terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri dari banyak suku kecil dan didominasi oleh dua suku besar yaitu suku ‘Aus dan Khazraj),  golongan Yahudi (terdiri dari banyak suku , yang diantaranya terbesar adalah Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani  Qainuqa).[1]
                Disamping heterogen dari segi komposisi penduduknya, Madinah juga diwarnai peperangan antar suku. Peperangan antara suku ‘Aus dan Khazraj dalam memperebutkan kekuasaan dikota madinah. Meskipun keduanya pernah menjadi sekutu dalam memerangi orang-orang Yahudi yang menimbulkan kebencian diantara kaum yahudi dan kaum Arab.[2]
                Pada realitanya sering terjadi pengklaiman bahwa agama yang diyakininya adalah yang paling benar. Perdebatan ini mempertemukan dua agama ketauhidan (Islam dan Yahudi) dengan agama yang mempercayai banyak Tuhan (politeistik).[3]
                Keadaan Madinah yang diwarnai pertikaian antar suku dan perdebatan antar agama sudah mencapai puncaknya. Ditambah dengan Madinah pada status vacuum of power yang berarti tidak adanya sebuah kekuasaan politik tunggal yang diakui oleh seluruh suku bangsa yang ada. Sehingga membuat masyarakat Madinah berada pada level paling atas dalam menginginkan kedamaian di kotanya.
                Hingga pada akhirnya masyarakat Islam dari Makkah  datang ke Madinah pada tahun 622 M.[4] Dengan diprakarsai oleh Rasulullah dan di dukung oleh semua golongan masyarakat, disepakatilah sebuah perjanjian bersama yang bertujuan membangun masyarakat baru yang bernegara, menekankan kerja sama, persamaan antara hak dan kewajiban diantara semua golongan, baik dalam kehidupan sosial, politik, agama untuk mewujudkan pertahanan dan perdamaian di kota Madinah. Perjanjian inilah yang kemudian di kenal sebagai Piagam Madinah [5].
                Lahirnya Islam dengan piagam madinah membawa perubahan cepat (revolusi) dalam alam pikiran arab pada khususnya dan alam pikiran dunia pada umumnya. Timbulnya revolusi dalam dunia pikir berarti juga terjadi revolusi dalam segala bidang kehidupan manusia, baik bidang agama, bidang politik, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya.[6]  Revolusi ini telah mengkonstruksi peradaban baru di atas puing-puing jahiliyah.
            Tulisan ini akan mencoba mengulas tentang terbentuknya Islam di Madinah; Piagam Madinah dalam perspektif social, ekonomi, dan politik.    

      B.    Pembentukan Masyarakat Islam di Madinah
          Adapun pertimbangan nabi Muhammad hijrah ke madinah adalah memperoleh pengikut yang banyak, penduduk madinah lebih dekat dengan agama samawi, mereka mendengar dari orang-orang yahudi tentang Allah, wahyu, hari akhir, nabi dan sebaginya, sering terjadi peperangan antara Yahudi dengan Arab, pereselisihan antara kaum Aus dan Khazraj, di Makkah masyarakat mencaci dan memusuhinya, sementara di Madinah dinanti dan ditunggu kedatangannya, masyarakat Madinah berhati lembut, penuh pertimbangan cerdas, jadi seruan Islam lebih mudah diterima. Sedangkan masyarakat Makkah bertamprapent buruk dan tidak mampu berfikir secara mendalam, semenjak Abu Tholib wafat kafir Qurays bertindak kejam terhadap Nabi.
            Dalam periode Madinah, pengembangan Islam lebih ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat Islam dan pendididkan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi Kemudian meletakkan dasar-dasar Masyarakat Islam di Madinah yaitu:[7]
1.        Membangun/Mendirikan Masjid. Tujuan rosulullah mendirikan masjid adalah untuk mempersatukan umat Islam dalam satu majlis, sehingga di majelis ini umat Islam bisa bersama-sama melaksanakan shalat jama’ah secara teratur, mengadili perkara-perkara dan bermusyawarah. Masjid memegang peran yang sangat penting untuk mempersatuakan kaum muslimin dan mempererat ukhuwah Islamiyah. [8]
2.        Memepersatukan dan mempersaudarakan antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin. Dengan mempersaudarakan antar dua golongan ini, Rasulullah telah menciptakan suatau talian yang berdasarkan agama pengganti persaudaraan yang berdasar kesukuan seperti sebelumnya. [9]
3.        Perjanjian saling membantu antara kaum muslim dan bukan muslim. Nabi Muhammad hendak menciptakan toleransi antar golongan yang ada di Madinah, oleh karena itu nabi membuat perjanjian antara kaum muslimin dan kaum bukan msulim. Ibnu Hisyam telah menyebutkan isi-isi perjanjian itu, keringkasannya sebagai berikut :
·         Pengakuan atas hak pribadi keamanaan dan politik
·         Kebebasan beragama terjamin untuk semua umat
·         Adalah kewajiban penduduk Madinah, baik muslim maupun nonmuslim, dalam hal moral maupun materiil. Mereka harus bahu-membahu menangkis semua serangan terhadap kota mereka (Madinah)
·         Rasulullah adalah pemimpin umat bagi penduduk Madinah. Kepada beliau bahwa segala perkara dan perselisihan yang besar untuk diselesaikan. [10]

      C.     Piagam Madinah
                Kapan Piagam Madinah dibuat? Menurut Zainal Abidin, Piagam tersebut ditandatangani Nabi pada akhir ke- 2 H (622 M ) sebelum perang Badar. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Welhausen. Sedangkan Hubert Grimme mengatakan dibuat setelah perang Badar. Montgomery Watt mendukung pendapat yang pertama. Ia mengutip pendapat Welhausen bahwa dimasukkannya kelompok Yahudi ke dalam ummah merupakan alasan penting untuk menentukan bahwa dokumen tersebut dibuat sebelum perang Badar.[11]
                Para sejarawan menyebut naskah perjanjian Nabi dengan warga Madinah secara beragam. W.Montgomery Watt menyebutnya The Constitution of Medina, RA. Nicholson memberi nama Charter, Majid Khadduri menyebut Treaty, Philip K. Hitti menyebut Agreement,[12] Zainal Abidin Ahmad menyebut Piagam. Sedangkan shahīfah adalah nama yang disebut dalam naskah aslinya. Menurut Ahmad Sukardja, kata shahīfah searti dengan istilah charter dan piagam, yakni menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal.[13]
            Terlepas dari polemik penamaan, Piagam Madinah merupakan dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi Muhammad Saw sebagai perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Anshor, dan Yahudi, serta sekutunya. Dokumen ini mengandung prinsip-prinsip atau peraturan penting yang menjamin hak-hak dan menetapkan kewajiban-kewajiban sebagai dasar bagi kehidupan social politik Madinah.
            Terlepas dari polemik historitas penyusunan dan otentisitas naskahnya, Piagam Madinah yang digunakan adalah yang telah disistematisasi menjadi 47 pasal. Yaitu sebagai berikut:
Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad Saw. di kalangan Orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka”.
Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 2: Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, saling tanggung-menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) karena suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 3: (1) Banu „Auf (dari Yatsrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung-menanggung uang tebusan darah (diyat). (2) Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 4: (1) Banu Sa'idah (dari Yatsrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung menanggung uang tebusan mereka. (2) Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 5: (1) Banul-Harts (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 6: (1) Banu Jusyam (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 7: (1) Banu Najjar (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) dengan secara baik dan adil. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang beriman.
Pasal 8: (1) Banu „Amrin (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang -orang beriman.
Pasal 9: (1) Banu an-Nabiet (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang -orang beriman.
Pasal 10: (1) Banu Aws (dari suku Yatsrib) berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. (2) Setiap keluarga (tha‟ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 11: Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalai-kan tanggung jawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 12: Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari padanya.
Pasal 13: (1) Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan, melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman. (2) Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.
Pasal 14: (1) Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman. (2) Tidak pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.
Pasal 15: (1) Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah. (2) Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan sesame mereka daripada (gangguan) manusia lain.
Pasal 16: Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan per-lindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasing-kan dari pergaulan umum.
Pasal 17: (1) Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu. (2) Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.
Pasal 18: Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.
Pasal 19: (1) Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan. (2) Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat. Pasal 20: (1) Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui. (2) Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.
Pasal 21: (1) Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang ber-iman dengan cukup bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian (diyat). (2) Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.
Pasal 22: (1) Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan memberikan tempat kediaman baginya. (2) Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.
Pasal 23: Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad Saw.
Pasal 24: Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.
Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku „Auf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman. (2) Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut- pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali jika ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.
Pasal 26: Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu „Auf di atas.
Pasal 27: Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu „Auf di atas.
Pasal 28: Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu„Auf di atas.
Pasal 29: Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu„Auf di atas.
Pasal 30: Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu„Auf di atas.
Pasal 31: (1) Kaum Yahudi dari Banu Tsa‟labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi dari Banu „Auf di atas. (2) Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa‟labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa‟labah
Pasal 33: (1) Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu „Auf di atas. (2) Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.
Pasal 34: Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa‟labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa‟labah.
Pasal 35: Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama seperti kaum Yahudi.
Pasal 36: (1) Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Saw. (2) Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan orang kepadanya. (3) Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri. (4) Tuhan melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini.
Pasal 37: (1) Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul biaya Negara. (2) Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini. (3) Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa. (4) Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat atau sekutunya. (5) Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang atau golongan yang teraniaya.
Pasal 38: Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang beriman, selama peperangan masih terjadi.
Pasal 39: Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini.
Pasal 40: Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri-sendiri, tidak boleh diganggu keten-teramannya, dan tidak diperlakukan salah.
Pasal 41: Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya.
Pasal 42: (1) Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad Saw. (2) Tuhan ber-pegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia kepadanya.
Pasal 43: Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang yang membantu mereka.
Pasal 44: Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yatsrib.
Pasal 45: (1) Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai. (2) Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang me-nunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam). (3) Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu.
Pasal 46: (1) Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (pendamaian) itu. (2) Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan.
Pasal 47: (1) Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya. (2) Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya. (3) Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dhalim dan bersalah. (4) Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah aman. (5) Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim dan berbuat salah. (6) Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada). (7) Dan (akhirnya), Muhammad adalah Utusan Allah, semoga Allah mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya.

D.     Piagam Madinah dan Perubahan Sosial dan Politik Masyarakat Madinah
                Adanya kemajemukan masyarakat madinah yang tidak hanya didasarkan atas perbedaan agama dan keyakinan tetapi juga dalam hal etnis, bangsa, asal daerah, kelas social serta adat kebiasaan. Hal ini yang menyebabkan tiap golongan memiliki corak pikir dan tindakan yang berbeda-beda sesuai dengan filosofi hidup dan kepentingannya. Factor-faktor ini pulalah yang tampaknya sering mengakibatkan mudahnya timbul konflik antar masyarakat Madinah.
                Tipe masyarakat yang demikian memerlukan penataan dan pengendalian social-politik secaja bijaksana dengan adanya perundang-undangan sebagai pemersatu masyarakat yang bias diterima oleh berbagai pihak, yaitu atas dasar kemanusian.[14]Disamping Nabi Muhammad memiliki kedudukan sebagai seorang kepala Agama, beliau juga berperan sebagai kepala Negara. Dengan kata lain dalam diri Rasulullah terkumpul dua kekuasaan yantu kekuasaan spiritual (Agama) dan kekuasaan duniawi (Kepala Negara).[15]Dalam situasi kota Madinah yang dihuni oleh berbagai jenis ras, agama, dan kebudayaan yang berbeda, Rasulullah melakukan penataan dan pengendalian social yang mengatur hubungan antara golongan-golangan tersebut dengan meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat.
                Pertama, membangun mssjid, selain untuk tempat beribadah, juga sebagai sarana mempersatukan umat muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping itu masji juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan sekaligus menjadi pusan pemerintahan. Kedua, adalah Ukhwah Islamiyah, persodaraan sesama muslim. Tegasanya Nabi mempersodarakan umat muslim dari Makkah (Muhajirin) dan umat muslim pribumi (Anshor). Dengan demikian diharapkan setiap muslim merasakan suatu persaudaraan dan kekeluargaan diantara mereka. Dan ketiga, menjalin hubungan persaudaraan dengan pihak lain diluar orang-orang muslim agar stabilitas social kemasyarakatan dapat diwujudkan di Madinah. Terjaliannya hubungan antaran umat Islam dan golongan masyarakat Madinah yang lain tercetus dalam sebuah perjanjian yang disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah.[16]

                Dalam Piagam Madinah tersebut terdapat 47 pasal yang mengikat seluruh warga Madinah baik yang muslim ataupun nonmuslim sebagaimana diuraikan di atas. Menurut Dr. AJ Wensinck dalam bukunya Mohammaden de Yoden le Medina (1928) yang dikutip oleh Waytimah dalam tulisannya berjdul Naskah Piagam Madinah, berpendapat bahwa Dari empat puluh tujuh pasal tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sebelas bab sebagaimana berikut[17]:
                 Adapun batasan bab pada masing-masing tema dalam Piagam Madinah menurut Dr. AJ Wensinck adalah sebagai berikut :
1.      Muqaddimah terdapat pada pembukaan Piagam Madinah
2.      Pembentukan Ummat terdapat pada pasal 1
3.      Hak Asasi Manusia terdapat pada pasal 2-10
4.      Persatuan Seagama terdapat pada pasal 11-15
5.      Persatuan Warganegara terdapat pada pasal 16-23
6.      Golongan Minoritas terdapat pada pasal 24-35
7.      Tugas Warga Negara terdapat pada pasal 36-38
8.      Melindungi Negara terdapat pada pasal 39-41
9.      Pimpinan Negara terdapat pada pasal 42-44
10.  Politik Perdamaian terdapat pada pasal 45-46
11.  Penutup terdapat pada pasal 47

                Dalam membahas tentang pokok atau prinsip-prinsip substansial yang terefleksikan secara eksplisit dalam naskah Piagam Madinah tersebut para ahli berbeda pendapat dalam merumuskannya. Seperti Azyumardi Azra yang membagi kedalam 11 poin, Ajid Thohir membaginya kedalam 14 poin, Muhammad Kholid merumuskannya ke dalam 8 poin, sedangkan Zainal Abidin merumuskannya ke dalam 10 poin. Namun dari ke ragaman rumusan tersebut secara singkat dapat di tarik poin-poin umum bahwa prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan kehidupan demokratis untuk segala zaman adalah sebagai berikut :
  
                Penjelasan mengenai prinsip-prinsip umum Piagam Madinah di atas adalah sebagi berikut:
1.      Al-Ikho (Persaudaraan)
                Al-Ikho (Persaudaraan) merupakan salah satu asas penting masyarakat Islam yang diletakkan Rasulullah. Banyak ayat maupun hadits yang mengajarkan bahwa persaudaraan adalah hal yang penting dalam kehidupan, dan perwaudaraan yang hakiki itu adalah persaudaraan seiman dan seagama. Bangsa Arab yang sebelumnya lebih menonjolkan identitas kesukuannya, setelah memeluk agama yang di bawa Nabi Muhammad diganti dengan indentitas baru yaitu Islam. Maka atas dasar inilah Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin sebagai kaum pendatang dan Anshor sebagai kaum pribumi Madinah. Selain itu terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang menganjurkan untuk memperat tali persaudaraan diantara muslim, seperti dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 dan 75 serta Q.S. Ar-Ra’d ayat 21.
2.      Al-Musawamah (Persamaan)
                Rasulullah dengan tegas mengajarkan bahwa seluruh manusia adalah keturunan Adam yang diciptakan Tuhan dari tanah. Seorang Arab tidak lebih mulia dari golongan di luarnya kecuali karena ketaqwaannya. Ajaran ini memperjelas firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13. Berdasarkan asas ini setiap warga masyarakat memiliki hak kemerdekaan dan kebebasan atau al-hurriyah. Oleh sebab itu, Rasulullah sangat memuji dan menganjurkan para sahabatnya untuk memerdekakan hamba-hamba sahaya yang dimiliki oleh bangsawan-bangsawan Quraisy.
3.      Al-Tasamuh (Toleransi)
                Al-Tasamuh atau Toleransi sebagai asas masyarakat Islam dibuktikan antara lain dengan adanya Piagam Madinah. Umat Islam siap berdampingan secara baik dengan umat di luar Islam. Mereka (umat diluar  Islam) mendapat perlindungan dari Negara dan bebas melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Asas ini tentu selaras dengan firman Allah dalam surat Al-Kafirun ayat 6, surat Al-Baqarah ayat 256 dan surat Yunus ayat 99. Akan tetapi, toleransi yang diberikan umat Islam itu direspon oleh mereka dengan sikap pengkhianatan terhadap piagam yang disepakati bersama tersebut. Mereka mencoba mengusik keimanan kaum Muslim dan bersekongkol dengan kaum Quraisy untuk mencelakakan Nabi. Maka satu per satu kabilah-kabilah Yahudi itu di usir dari madinah.
4.      Musyawarah (Demokrasi)
                Kendatipun Rasulullah mempunyai status yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat, acapkali beliau meminta pendapat para sahabat dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan urusan dunia dan social budaya. Manakala argumentasi sahabat itu dianggap benar, tidak jarang beliau mengikuti pendapat mereka. Asas ini selaras dengan firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 159 dan Q.S. al-Syura ayat 38. 
5.      Al-Mu’awanah (Tolong-menolong)
                Dalam berbuat kebajikan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebaimana diisyaratkan dalam surta al-Maidah ayat 2 dan al-Hasyr ayat 9. Tolong menolong sesama muslim, antara lain telah ditunjukan dalam bentuk persaudaraan antara Anshor dan Muhajirin, sedangkan dengan pihak di luar Islam, Piagam Madinah adalah salah satu bukti pebuatan tolong menolong. 
6.      Al-Adalah (Keadilan)
                Al-adalah (keadilan) berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan posisi masing-masing. Di satu sisi seseorang hendaknya memperoleh haknya, sementara pada sisi yang lain ia berkewajiban memberikan hak orang lain kepada yang berhak menerimanya. Prinsip ini berpedoman pada surat al-Maidah ayat 8 dan Surat an-Nisa ayat 58
                Dalam perjalanan sejarah, Piagam Madinah tidak berjalan mulus. Pada tahun kelima Hijriyah naskah perjanjian tersebut mendapat ujian berat. Golongan Yahudi, terutama Bani Quraidzah dan Bani Qainuqa‟, ternyata mengkhianati isi konstitusi yang telah disepakati bersama. Dalam perang Khandaq, kaum Yahudi bukan saja tidak ambil bagian dalam mempertahankan negara Madinah dari serangan musuh, bahkan mereka bekerjasama dengan musuh, dan menggerogoti kekuatan negara dari dalam. Akibatnya mereka harus mendapat hukuman setimpal, termasuk harus keluar dari wilayah Madinah. Akibat pengkhianatan kaum non-muslim Yahudi dan seiring dengan semakin banyaknya ayat-ayat hukum (āyāt al-ahkām) yang turun, yang di antaranya berkaitan dengan hubungan antar muslim dan nonmuslim, maka berdampak perubahan pada naskah dalam Piagam Madinah. Kaum non-muslimYahudi, salah satu pilar pendukung Piagam Madinah, dibagi menjadi dua kategori; harbī dan dzimmī. Kelompok harbī yang memang menjadi musuh bagi umat Islam tidak bisa mendapat perlindungan dalam negara Madinah. Sedangkan kelompok kedua, dzimmī, tetap mendapat perlindungan penuh dari umat Islam, baik jiwa, harta dan agama mereka, dengan ketentuan harus membayar pajak (jizyah). Hanya bedanya, jika sebelumnya mereka menjadi warga Madinah memiliki hak dan kewajiban yang sepenuhnya sama dengan umat Islam, maka setelah peristiwa itu dalam beberapa hal hak dan kewajiban mereka tidak sepenuhnya sama, misalnya tentang kewajiban perang membela negara dan untuk menduduki jabatan tertentu dalam negara. Kendati telah terjadi pengurangan atas sebagian hak dan kewajiban non-muslim, menurut Masykuri Abdullah, jika dibandingkan dengan praktik kehidupan masyarakat atau negara yang ada di wilayah lain ketika itu, praktik perlindungan terhadap kelompok minoritas ini merupakan praktik yang sangat progresif.[18]
                Adanya kendala untuk menerapkan Konstitusi Madinah secara utuh bisa jadi, menurut Marshal Hodgson—sebagaimana dikutip Cak Nur--disebabkan esensinya yang bersifat radikal jika dibandingkan dengan pola umum kehidupan di Jazirah Arab ketika itu, yang belum teratur dengan ciri menonjol tiadanya pranata kepemimpinan masyarakat yang mapan yang menjadi kebutuhan masyarakat maju, selain daripada pranata kepemimpinan atas dasar kesukuan (tribalism) dan keturunan. Nah, dalam kaitan ini, Nabi—melalui gagasan Piagam Madinah—berupaya membendung arus tradisi Arab tersebut, untuk diganti dengan pola hidup sosial dengan pranata kepemimpinan yang mapan dan rasional.[19]
                Sekalipun dalam tataran praktis Piagam Madinah tak dapat dilaksanakan sepenuhnya akibat pengkhianatan kaum Yahudi, namun makna dan semangatnya menjiwai keseluruhan tindakan sosial dan politik Nabi, yang kemudian dilestarikan oleh penguasa Islam sesudah-Nya. Bahkan dokumen politik pertama dalam sejarah peradaban umat manusia ini, telah memberikan model dasar bagi hubungan antara Islam dan politik serta Islam dan negara. Di antara terobosan penting yang tertuang dalam Piagam Madinah, Nabi memperkenalkan istilah baru, ummah. Istilah ini menunjuk pada semua warga yang terlibat dalam perjanjian Madinah dengan berbagai latar belakang; agama (Islam, Yahudi, Munafiqin), wilayah (Mekah dan Madinah), dan suku bangsa (Quraisy, Auz, Khazraj). Istilah ummah bagi masyarakat Arab ketika itu tergolong baru, karena sebelumnya mereka terbiasa dengan sebutan qabilah yang menunjukkan semangat kelompok dan kesukuan yang cenderung memecah belah. Melalui istilah tersebut, Nabi hendak menegaskan bahwa “negara” yang baru dibangun berdiri di atas prinsip persatuan kebangsaan demi mencapai cita-cita bersama. Melalui istilah ummah Nabi sekaligus berupaya mengikis habis semangatsemangat komunal yang telah mendarah daging dalam tradisi Arab.
                Puncak prestasi Nabi dalam bidang politik adalah keberhasilan beliau merebut kembali kota Mekah secara militer dan moral. Secara militer, Nabi berhasil merebut Mekah tanpa ada perlawanan berarti. Penduduk Mekah yang menjadi musuh utama Nabi sebelum beliau hijrah ke Madinah, benar-benar telah kehilangan daya juang di hadapan bala tentara umat Islam. Namun, di tengah puncak kekuatan tersebut, Nabi dan kaum beriman tidak ada upaya untuk melampiaskan dendam masa lalu kepada mereka. Bahkan Nabi memberi amnesti umum kepada penduduk Mekah, terkecuali kepada beberapa orang, dan menampung mereka sebagai anggota-anggota baru persaudaraan muslim.[20]

E.  PENUTUP                                                                                                                                      
Berdasarkan uraian di atas mengenai Piagam Madinah, dapat kita simpulkan bahwasannya :
1.      Piagama Madinah sebuah ikatan perjanjian yang dilakukan oleh Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi
2.      Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad bukan hanya seorang Nabi dan Rasul, tetapi beliau juga seorang ahli politik yang bijak
3.      Piagam Madinah sebagai norma yang mengatur manusia dan masyarakat dalam hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan
4.      Nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar kehidupan demokratis yang tersirat dalam Piagam Madinah antara lain; Al-Ikho (Persaudaraan), Al-Musawwamah (Persamaan), Al-Tasamuh (Toleransi), Musyawarah (Demokrasi), Al-Mu’awanah (Tolong-menolong), dan Al-Adalah (Keadilan).
                   Dalam aspek politik, bangsa Arab pra-Islam sudah memiliki tatanan dan mekanisme rotasi kekuasaan, meskipun belum ada negara sebagaimana terdapat di era modern. Kekuasaan politik bangsa Arab praIslam berada di tangan para qabīlah. Kepemimpinan silih berganti di antara mereka sesuai mekanisme yang ditentukan dan disepakati bersama. Pengangkatan Muhammad sebagai Rasulullah di Mekah tidak serta merta menjadikan beliau sebagai kepala negara di kota kelahiranNya ini. Selama di Mekah, Nabi lebih berperan sebagai kepala agama (Rasul Allah) yang mendapat mandat untuk menyebarkan Islam. Kepemimpinan politik belum bisa diraih karena kerasnya penolakan warga Mekah terhadap Nabi dan ajaran Islam. Sedangkan di Madinah di samping sebagai kepala agama, Nabi juga berperan sebagai kepala negara yang memimpin warga Madinah yang heterogin. Missi kerasulan yang ditopang kekuatan politis membuat ajaran Islam lebih mudah diterima masyarakat. Kepemimpinan politik Nabi di Madinah ditandai dengan terbentuknya Konstitusi Madinah sebagai pedoman hidup bernegara yang disepakati seluruh penduduk Madinah yang heterogen di bawah kendali Nabi. Dan puncak prestasi Nabi dalam bidang politik adalah keberhasilan beliau merebut kembali kota Mekah, fathu makkah, secara militer dan moral.



DAFTAR PUSTAKA


Abdu Lathif, Abdu Syafi Muhammad, Buhuts fii al-Syirah An-Nabawi Wat-Tarikh Al-Islam, Dar al-Salam, Kairo, 2008.
Abubakar, Istinah, Sejarah Peradaban Islam Untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum, UIN-Malang Press, Malang, 2008.
Azra, Azyumardi, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam : Bingkai Gagasan yang Berserak, Penerbit Nuansa, Bandung 2005.
K Hitti, Philip., History of The Arabs, (New York: The McMillan Press,terj Cecep Lukman Yasin., 2002).
Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Global Pustaka Utama, Yogyakarta. 2004.
Nurhakim, Moh, Sejarah dan Peradaban Islam, UMM Press, Malang, 2004.
Madjid, Nurcholish. Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhalifahan Islam Klasik. Makalah disampaikan dalam KKA Paramadina seri KKA ke 127/Tahun XII/1997 di Hotel Regent Indonesia Jakarta.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta; Paramadina, 1994.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an. Jakarta; RajaGrafindo Persada, 1994.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1993.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945. Jakarta; UI-Press, 1995.
Syalaby, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid I, terj. Mukhtar Yahya et.al. Jakarta; Pustaka al- Husna, 1973.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004.
Waytimah, Naskah Piagam Madinah, Von Edison Alouisci, 2012.
Watt, W. Montgomery. Muhammad at Medina. London; Oxford University Press, 1972.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. PT Raja Grafindo Persada. 2008





[1] Dr. Abdu Syafi Muhammad Abdu Lathif, Buhuts fii al-Syirah An-Nabawi Wat-Tarikh Al-Islam, Dar al-salam, Kairo, 2008, hal 65
[2] Istinah Abubakar, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam Untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum, UIN-Malang Press, Malang, 2008, hal 18
[3] Azyumardi Azra, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam : Bingkai Gagasan yang Berserak, Penerbit Nuansa, Bandung 2005, hal 98
[4] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, UMM Press, Malang, 2004, hal 26
[5] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004, hal 17
[6] A. Hasjimy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: PT Karya UI Press,
1993), 1.
[7] A.Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Pustaka Alhusna, 1987). 118-119
[8]Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2010),68.
[9]Ibid., 69.
[10]Ibid., 69.
[11] W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (London; Oxford University Press,1972), 227-228
[12] Philip K Hitti,., History of The Arabs, (New York: The McMillan Press,terj Cecep Lukman Yasin., 2002).
[13] Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, 36.
[14] Drs. Mansur, M.A. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Global Pustaka Utama, Yogyakarta. 2004. Hal 22
[15] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam. PT Raja Grafindo Persada. 2008. Hal 25
[16]  Dr. Badri Yatim, M.A. Ibid. hal 26-27
[17] Waytimah, Naskah Piagam Madinah, Von Edison Alouisci, 2012
[18] Masykuri Abdullah “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam; Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern” dalam Tashwirul Afkar, No.7/2000, 89-90
[19] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta; Paramadina, 1992), 314-316.
[20] Madjid, Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhalifahan Islam Klasik, 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar