KLASIFIKASI INTEGRALISME ILMU DALAM ISLAM
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Pemakalah :
MUHAMMAD YAZID
(16771033)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
1.
Dasar Pemikiran
Saat ini peradaban umat manusia dalam sisi materi berada dalam
puncak kejayaannya.Namun kemajuan peradaban ini lebih banyak dikendalikan oleh
Barat, sehingga berimplikasi pada terjadinya penjajahan peradaban Barat atas
dunia Islam.Peradaban Islam yang pernah mendominasi dunia, kini tenggelam
dikangkangi hegemoni Barat.Kemajuan Barat ini disebabkan oleh penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada sisi lain dunia Islam terjerembab dalam lembah
kemunduran dan keterbelakangan, setelah pada beberapa abad sebelumnya
mendominasi peradaban dunia. Menghadapi keadaan demikian, perlu dicari akar
masalah penyebab terjadinya keadaan ini.Syeikh Muhammad Abduh menyatakan
penyebab kemunduran itu disebabkan oleh umatnya.“Al Islaamumakhjuubun bil
muslimiin”.Islam tertutup oleh umat Islam sendiri.[1]Umat
Islam tertinggal karena adanya perpecahan, perebutan kekuasaan dan meninggalkan
ajaran-ajaran agamanya yang berimplikasi pada ketertinggalan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pada sisi lain muncul kesadaran di kalangan umat Islam maupun umat
manusia pada umumnya, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membawa
implikasi negatif, munculnya krisis yang sifatnya global. Ilmu pengetahuan dan
teknologi pada satu sisi hanya memberi kebahagian semu, dan pada sisi lain
memberi kontribusi bagi munculnya krisis ekologi, krisis kemanusiaan dan
kondisi dunia yang tidak nyaman. Untuk itu muncul kesadaran untuk melakukan
rekonstruksi ilmu pengetahauan melalui proyek besar Integralisme pengetahuan
dalam Islam.Penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh Integralisme pengetahuan
dalam Islam. Dalam hal ini akan dikaji tentang pemaknaan integralisme dalam
Islam, pendekatan Integralisme dalam Islam, dan Klasifikasi Integralisme dalam
Islam.
2. Pengertian Integralisme Islam
Integralisme adalah filsafat
Islam modern berdasarkan ayat-ayat Allah (al-Quran dan alam), untuk memehami
Islam secara baru, sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi dunia dewasa ini.bermula dari tampilnya humanisme di Eropa, yang
ditandai dengan adanya renaissance,
yakni kerinduan akan nilai-nilai budaya-leluhur Yunani dan Romawi, yang kering
nilai-nilai spiritual. Lewat corong renaissance,
humanisme mempromosikan supremasi kemanusiaan melebihi batas-batas fitrah
manusia itu sendiri. Manusia memahami alam hanya sebatas jangkauan akalnya. Humanisme
telah mewarnai cara berpikir manusia modern dan telah sengaja diciptakan untuk
menyeret manusia kepada formalitas kehidupan. Padahal humanisme ini, telah lama
terperangkap dengan dengan dogma-dogma materialis yang hanya menjadi paradoks
bagi manusia dan begitu rumit mencari solusi penyelesaiannya. Di mana manusia
sangat mendewakan kekuatan rasionya tanpa memberikan ruang sedikitpun kepada
nilai-nilai transenden dalam mempengaruhi Roger Bacon yaitu orang yang dipandang Barat sebagai
”Bapak” dari metode eksprimental di dalam ilmu pengetahuan mengakui bahwa kerja
ilmiahnya mengambil dari karya terjemah buku optik karangan seorang muslim
yakni Ibn Haitham, dengan memisahkan nilai-nilai Islam dengan ilmu
eksperimental.
Demikian juga Rene Descartes
yang menyatakan dengan tegas bahwa seseorang haras memisahkan masalah-masalah
moral dan iman dari wilayah rasio, [2]
tujuan hidup dan masalah-masalah yang transenden tidak perlu di masuki oleh
akal. Pola pemikiran ini melahirkan paham positivism Aguste Comte, yakni
menolak keberadaan sesuatu yang transenden yang tidak bisa dibuktikan secara
empirik dengan indera atau tidak dapat diukur dengan matematika, menjadi
kerangka kerja yang menamakan dirinya ”ilmu modem” atau ”ilmu Barat”.[3]
Pola pemikiran demikian telah membuat manusia modern menjadi sombong dengan
cara berpikir ”positif-nya”. Sehingga hanya yang eksperimental sajalah yang
dikatakan ilmiah.Perasaan, intuisi, bahkan wahyu dikategorikan sebagai gejala
psikologis yang bersifat subjektif saja, dan dianggap tidak ilmiah.
Dari pandangan hidup yang
formalitas ini, dapat menimbulkan sikap individualitas dalam kehidupan
bermasyarakat.Hal ini menjauhkan manusia dari esensi dan eksistensinya.Sehingga
lahirlah dikotomi di berbagai sektor kehidupan, termasuk dikotomi ilmu
pengetahuan dan lembaga pendidikan.
Padahal Islam merupakan
ajaran yang utuh dan tidak ada pemisahan antara yang sakral dan yang profan,
yang sekular dan yang religius.Sedangkan ilmu pengetahuan Barat—yang merupakan
acuan ilmu pengetahuan yang membawa kemajuan—secara khusus bersifat sekular dan
merusak nilai-nilai dasar Islam serta berlawanan dengan kesadaran historis
terdalam dari komunitas umat.[4]
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan
yang operasional sangat dibutuhkan untuk membangun sebuah peradaban—khususnya
peradaban Islam.Ilmu pengetahuan haras sarat dengan nilai-nilai Islam yang
abadi. Tanpa hal itu, umat Islam selamanya terus menjadi konsumen dari produk
peradaban Barat dan terns mengekor pada setiap kemajuan yang ditampilkan oleh
Barat tanpa memperhatikan latar belakang budaya, norma dan nilai yang berbeda.
Sehingga mustahil peradaban Islam yang selalu dinanti-nantikan akan muncul
kembali kepermukaan sebagaimana pada masa keemasannya.
Islam merupakan agama yang
sempurna dan suatu sistem total, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,
haras meliputi setiap aspek kehidupan manusia.Sehingga tidak satupun lepas dari
sentuhan nilai-nilai Islam. Apakah itu struktur politik atau organisasi sosial,
kegiatan ekonomi atau kurikulum pendidikan, proses pembelajaran, penyelidikan
ilmiah maupun penguasaan teknologi. Nilai-nilai akan memberikan ukuran dan
batasan bagi masyarakat muslim, dan sekaligus petunjuk bagi peradaban Islam. Disinilah
perlunya mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam ilmu pengetahuan umum,
sehingga lahirlah ilmu pengetahuan utuh yang sarat dengan nilai-nilai religius
yang memberikan kemudahan, manfaat dan ketenangan bagi manusia dan lingkungan
sekitarnya.
Kesadaran umat Islam akan
ketertinggalannya dibidang ilmu dan teknologi dibanding Barat, membuat umat
Islam bangkit dan menyusul ketertinggalannya dengan merombak pola pikir yang
selama ini membawa kebekuan dengan melalui kebebasan penalaran intelektual, dan
kajian- kajian rasional-empirik, filosofis dengan tetap menjurus kepada
kandungan al-Qur’an dan hadis, serta menggelar berbagai diskusi untuk mencari
format ideal bagi pendidikan Islam.
Pada tahun 1977, konferensi
muslim dunia pertama mengenai pendidikan Islam, mengajukan salah satu usaha
untuk menghilangkan dikotomi sitem pendidikan yang ada di seluruh dunia muslim.
Diputuskan bahwa jalan yang haras ditempuh adalah perlu segera dirumuskan
sistem terpadu bidang keilmuan.Semua cabang ilmu haras diintegrasikan dengan
ajaran-ajaran Islam, karena pendidikan Barat dianggap hanya dapat mengembangkan
peradaban materialistik belaka.[5]
Ziauddin Sardar memberikan
solusi dalam merumuskan konsep sains Islam yakni, pertama,
dari segi epistemologi, umat Islam haras berani mengembangkan kerangka
pengetahuan masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Kerangka pengetahuan yang
dikembangkan dapat membantu mengatasi masalah-masalah moral dan etika; kedua,
perlu ada gaya-gaya dan metode-metode aktivitas ilmiah dan teknologi yang
sesuai tinjauan dunia, tetapi islami; ketiga,
perlu ada teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem
tradisional dan sistem modern(integralistik).[6]
Selanjutnya Isma‘il Raji
al-Faruqi memberikan solusi bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan salah
satu langkah untuk menghilangkan dikotomi dalam pendidikan. Langkah yang
dimaksud ialah: pertama,
semua kajian baik yang berkaitan dengan manusia maupun alam, agama maupun
sains, haras menata kembali dirinya berdasarkanprinsip- prinsip tauhid; kedua,
ilmu-imu yang mengkaji tentang hubungan dengan sesama manusia haras mengenali
manusia bahwa manusia berada pada tempat yang secara metafisik dan aksiologik
dikuasai Allah swt.; ketiga,
ilmu-ilmu humaniora hendaknya tidak diintimidasi oleh ilmu-ilmu
fisika, karena keduanya memiliki metode yang sama, yang berbeda hanya objek
kajiannya; dan keempat,
islmisasi ilmu pengetahuan haras menunjukkanketerkaitan antara relitas yang
dikaji dengan aspek ilahiah.[7]
Selanjutnya, keempat langkah
tersebut dijabarkan lebih lanjut menjadi dua belas langkah yang haras ditempuh,
yaitu: pertama,
penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Hal ini dimaksudkan
bahwa untuk dapat menguasai suatu disiplin, harus dikuasai metodologi, obyek
kajiannya, dan sebagainya.Kedua,
Survei disipliner, dimaksudkan agar sarjana-sarjana muslim mampu menguasai
disiplin ilmu modern. Ketiga,
penguasaan terhadap khazanah Islam dengan membuat
antologi-antologi warisan pemikiran Islam yang berkaitan dengan disiplin ilmu.Keempat,
penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa dari
perspektif masalah-masalah kekinian.Kelima,
penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu.Keenam,
penilaian kritis terhadap disiplin modern dari titik pijak Islam. Ketujuh, penilaian kritis terhadap khazanah Islam untuk kemudian
dirumuskan relevansi kontemporernya. Kedelapan, Survei problem yang dihadapi umat Islam dalam dimensi politik,
ekonomi, intelektual, kultur, dan sebagainya. Kesembilan,
survei masalah-masalah umat manusia. Kesepuluh, analisa kreatif dan sintesa, sarjana-sarjana muslim siap
melakukan sintesa dalam rangka menjembatani jurang kejumudan yang berabad-abad.
Kesebelas,
merumuskan kembali disiplin- disiplin di dalam kerangka Islam. Kedua belas, Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan.[8]
Langkah yang diajukan
al-Faruqi tersebut tampaknya sangat sederhana, tetapi memiliki pandangan yang
komprehensif terhadap proses islamisasi pengetahuan, atau lebih tepat dikatakan
sebagai ilmuisasi Islam. Oleh karena itu, dalam rangka islamisasi ilmu
pengetahuan itu, pengintegrasian ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum mesti
dilakukan.Pengintegrasian itu sendiri menurut Abubaker A. Bagader tergantung
pada dua prinsip.Pertama,
para peneliti muslim haras merancang kajian sosial dari perspektif Islam. Kedua,
kajian Islam sebagai displin haras dintegrasikan dengan pesoalan-persoalan
sosial untuk memecahkan masalah sekularisasi pendidikan.[9]
Dalam konteks
ke-Indonesiaan, upaya integralisasi ilmu pengetahuan juga terns diupayakan.
Abdurrahman Mas'ud menawarkan humanisme religius sebagai sebuah paradigma dalam
rangka menghilangkan dikotomi dalam sistem pendidikan Islam dengan beberapa
alasan, yaitu: pertama,
keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan vertikal dan
kesemarakan ritual. Implikasi dari keberagamaan yang sering ditampilkan adalah
lebih mengutamakan kesalehan ritual daripada kesalehan sosial. Hal ini pada
gilirannya berimplikasi pada relitas social yang dihiasi dengan budaya
ritualistik, kaya kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai
spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Kedua,
kesalehan sosial masih jauh dari orientasi masyarakat. Kesalehan yang merupakan
output
pendidikan Islam, sering tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat
membutuhkan output
yang saleh dalam spiritual, cerdas dalam intelektual, dan peka dalam sosial (insan
kamil). Ketiga, Potensi peserta didik belum dikembangkan
secara proporsional, pendidikan belum berorientasi pada pengembangan sumber
daya manusia (undevelopment-
resources). Pendidikan di Indonesia masih teacher-oriented,
kendatipun paradigma tersebut sudah dirubah melalui perubahan kurikulum seperti
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kemudian disempurnakan dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tetapi belum didukung oleh sarana yang
memadai, sehingga penerapan kurikulum tersebut belum maksimal. Keempat,
dunia pendidikan di Indonesia belum mampu melahirkan output
yang mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab pribadi
peserta didik belum dapat dibentuk, boleh jadikarena alasan geofisik atau adapt
ketimuran yang masih mendidik anak dengan memanjakannya.[10]
Di samping itu, Shodiq
Abdullah mengajukan solusi mengatasi dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam
adalah dengan rekonsiliasi epistemologi agar rumusan sistem pendidikan Islam
lebih fungsional dan marketable
di masa depan.[11]Jika
hal ini tidak dilakukan, maka sistem pendidikan Islam tidak akan mampu
menghadapi perubahan dan menjadi counter
ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Hal lain yang dilakukan
dalam menghilangkan dikotomi terhadap pendidikan Islam adalah dengan
mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum, dengan mengislamkan atau
melakukan purifikasi (penyucian) terhadap ilmu pengetahuan produk Barat,
sehingga diperoleh ilmu pengetahuan yang islami.[12]
Kuntowidjoyo menawarkan lima
langkah untuk menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama,
memasukkan mata kuliah keislaman sebagai bagian integral dari sistem kurikulum
yang ada. Kedua,
menawarkan berbagai mata kuliah dalam studi keislaman.Ketiga,
memberikan nuansa keagamaan mata kuliah-mata kuliah umum dan
kemudian menigntegrasikannya ke dalam orde dan hirarki keilmuan Islam.Keempat,
mengintegrasikan semua disiplin ilmu dalam satu kerangka kurikulum, yang tentu
saja melalui perombakan kurikulum.[13]
Abdurrahman Wahid,
sebagaimana di tulis Dedy Djamaluddin Malik mengusulkan kerangka pemikiran
dalam mengembangkan kembali tradisi keilmuan dalam Islam, yaitu: pertama,
orientasi ilmu pengetahuan haruslah ditujukan kepada pemenuhan hakiki umat
manusia; kedua,
wawasan ilmiah tradisi keilmuan yang dikembangkan haruslah memiliki liputan
universal; ketiga,
harus dilakukan pembedaan yang tajam antara kepentingan Islam sebagai sebuah
agama dan kepentingan institusional lembaga-lembaga yang berdiri atas nama
agama.[14]
Di samping itu, Amin Abdullah
memberikan solusi dalam menghilangkan dikotomi dalam
sistem pendidikan Islam di Indonesia dalam bentuk Horizon jaring laba-laba
keilmuan Teoantroposentrik-
Integralistik dalam UIN.Hubungan teoantroposentrik-integralistik
horizon keilmuan integralistik sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor
tradisional maupun modern karena dikuasai oleh salah satu ilmu dasar dan
keterampilan.Umat Islam mesti terampil menangani dan menganalisis isu- isu yang
menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dengan berbagai
pendekatan ilmu seperti natural
science, social science, dan humanities
kontemporer.[15]
3. Klasifikasi Integralisme Pengetahuan dalam Islam
Klasifikasi integralisme pengetahuan dalam Islam dapat dipahami
melalui konsep integrasi itu sendiri.Adapun konsep integrasi terdiri dari; Pertama,
integrasi teologis yang dikembangkan Ian Barbour.Konsep ini berusaha
mencari implikasi teologis atas berbagai teori ilmiah mutakhir, kemudian satu
teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga teologi tradisional sebagai
salah satu sumber. Pandangan konseptual teologi dapat berubah atas nama
“belajar dari ilmu”[16]
Teori-teori ilmiah dapat memberikan dampak kuat bagi perumusan doktrin-doktrin
tertentu terutama tentang penciptaan dan sifat manusia. Dalam hal ini, istilah
yang digunakan Barbour adalah theology of nature, untuk membedakannya
dengan istilah natural theology, bahwa klaim eksistensi Tuhan dapat
disimpulkan oleh bukti tentang desain alam.Selain dua model integrasi tersebut,
Barbour juga mendukung konsep integrasi sintesis sistematis, bahwa ilmu
dan agama memberikan kontribusi pada pengembangan metafisika inklusif.[17]
Akan tetapi, pandangan theology of nature Barbour mendapat kritik dari
Huston Smith dan Sayyed Hossein Nasr, karena apabila teologi setiap saat
berubah karena berinteraksi atau belajar dari ilmu, maka akan menimbulkan kesan
bahwa teologi berada di bawah ilmu. Sebagai pendukung filsafat perenial, dua
tokoh ini berpandangan bahwa teologi dalam konsep esoterisnya memiliki
kebenaran yang perenial (abadi).Teologi hendaknya menjadi tolok ukur bagi
teoriteori ilmiah, dan bukan sebaliknya.[18]
Kedua, agama sebagai konfirmasi
ilmu yang dikemukakan oleh John F. Haught.Integrasi yang diinginkan oleh Haught
tidak hanya meleburkan ilmu dan agama, serta tidak hanya bertujuan untuk
menghindari konflik, tetapi menempatkan agama sebagai pendukung seluruh
kegiatan ilmiah.Menjawab berbagai pandangan yang menuduh bahwa ilmulah yang
menyebabkan berbagai persoalan dalam kehidupan ini, misalnya kerusakan
lingkungan, Haught justru menyatakan bahwa agama memberikan “konfirmasi”
terhadap perkembangan ilmu.Meskipun agama memberikan konfirmasi, agama tidak
boleh mencampuri bidang nyata karya ilmu karena agama tidak dapat menambahkan
apapun pada daftar penemuan ilmu.Agama tidak memberikan informasi kepada
ilmuwan seperti halnya informasi yang dapat dikumpulkan oleh ilmu itu sendiri.[19]
Meski begitu,
konsep integrasi yang dikemukakan Haught terkesan belum optimal. Hal ini karena
dalam al-Qur’ân banyak ayat yang mendasari dan menstimulasi penemuan ilmiah,
bahkan menjadi paradigma bagi pengembangan ilmu, seperti:
a.
Beberapa ayat yang
memberikan informasi terkait dengan ilmu kesehatan antara lain:
1) Surat al-Nah }l [16]:
68 dan 69 mengenai kehidupan lebah yang menghasilkan madu dan sari buah-buahan
yang dapat dijadikan obat bagi manusia.
2) Surat al-Baqarah [2]:
233 mengenai gizi yang terbaik untuk bayi, yaitu anjuran menyempurnakan
penyusuan bayi hingga dua tahun.
b.
Ayat yang memberikan
informasi tentang penciptaan alam semesta yaitu bahwa alam semesta diciptakan
oleh Allah dengan sistem evolusi atau bertahap, misalnya Q.S. al-Sajdah [32]:
4. Ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara
paham kreasionisme dan evolusionisme.
Ketiga, Islamisasi ilmu yang
dikembangkan oleh Muhammad Naquib al-Attas dan Ismaʻil Raji
al-Faruqi.Islamisasi ilmu menurut alAttas dimaksudkan sebagai upaya
dewesternisasi ilmu yang telah menyusup dalam seluruh aspek keilmuan.Ilmu harus
dibersihkan dari aspek sekularisme, dengan meletakkan kembali otoritas wahyu
dan intuisi.[20]
Islamisasi ilmu al-Attas dalam konteks integrasi dapat dikatakan
sebagai “integrasi monistik”.Ia menegasikan dualisme ilmu antara ilmu fard
‘ayn dan fard kifâyah, ilmu ʻaqlîyah dan ilmu naqlîyah
sebagaimana diungkapkan oleh al-Ghazâlî. Setiap ilmu mempunyai status ontologis
yang sama, yang membedakan adalah pada hierarki ilmu, yaitu tingkat
kebenarannya, misalnya naqlîyah memiliki tingkat kebenaran lebih tinggi
daripada ilmu ‘aqlîyah.[21]
Pemikiran al-Attas dan al-Faruqi tentang islamisasi ilmu ada
sedikit perbedaan. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu
pengetahuan modern, yang penting adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip
Islam sehingga sarjana Muslim dapat membaca dan menafsirkan konstruk ilmu
pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda. Sementara al-Attas lebih
menekankan pada autentisitas yang digali dari tradisi lokal. Dalam pandangan
al-Attas, peradaban Islam klasik sudah cukup lama berinteraksi dengan peradaban
lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan
ilmu pengetahuan sendiri.[22]
Sardar menolak pandangan al-Attas dan al-Faruqi bahwa salah satu
tujuan program Islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk menetapkan relevansi
antara Islam dengan setiap bidang ilmu pengetahuan modern.Menurutnya, bukan
Islam yang perlu direlevankan dengan pengetahuan modern, melainkan ilmu
pengetahuan modern yang harus relevan dengan Islam.[23]
Keempat, pengilmuan Islam yang
dikemukakan Kuntowijoyo. Model ini membalik konsep Islamisasi ilmu yang
merupakan gerakan dari konteks ke teks menjadi gerakan dari teks menuju ke
konteks, maksudnya teks al-Qur’ân dan H }adîth dijadikan sebagai paradigma bagi
pengembangan ilmu. Menurutnya, ada dua metodologi yang dapat dipakai dalam proses
pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektivikasi. Integralisasi adalah
pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam
al-Qur’ân serta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi). Sedangkan objektivikasi
adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang.[24]
Kuntowijoyo menggambarkan alur pertumbuhan ilmu-ilmu integralistik
sebagai berikut:
Agama ---- Teoantroposentrisme ---- Dediferensiasi ---- Ilmu Integralistik
Penjelasan terhadap bagan di
atas adalah:
1)
Agama. Agama Islam,
yang seluruh ajarannya bersumber dari alQur’ân, merupakan wahyu Tuhan yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, lingkungan (fisik,
sosial, budaya). Al-Qur’an merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan dan, dalam
konteks ini, dapat dijadikan sebagai grand theory. Wahyu tidak pernah
mengklaim sebagai ilmu qua ilmu.
2)
Teoantroposentrisme. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum,
kebijaksanaan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya menganggap
pikiran manusia sebagai satu-satuya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi
sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang
berasal dari manusia.
3)
Dediferensiasi. Peradaban yang disebut Pascamodern/Post-modern perlu ada
perubahan. Perubahan itu adalah dediferensiasi. Kalau diferensiasi menghendaki
pemisahan antara agama dan sektorsektor kehidupan lain, maka dediferensiasi
adalah penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk
agama dan ilmu.
4)
Ilmu integralistik. Ilmu yang menyatukan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu-ilmu
integralistik tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan
manusia. Diharapkan integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara
sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.[25]
Sementara itu, M. Amin
Abdullah menawarkan konsep “jarring-jaring laba-laba” keilmuan
teoantroposentris-integralistik. Dalam hal ini, Abdullah ingin menunjukkan dua
hal, yaitu: pertama, idealitas yang ingin dicapai dari
teoantroposentris-integralistik yaitu penyatuan seluruh ilmu yang ada di dunia
ini. Kedua, kondisi riil aktivitas keilmuan dari pendidikan agama di
IAIN dan STAIN.
Kenyataannya, pendidikan
agama hanya terfokus pada lingkaran ke-1 (al-Qur’ân dan Sunnah) dan lingkaran
ke-2 (Kalam, Filsafat, Tasawuf, H }adîth, Tarîkh, Fiqh, Tafsir, Lughah),
selain itu pendekatannya masih bersifat humaniora klasik. IAIN dan STAIN belum
mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial humaniora kontemporer seperti tergambar
dalam lingkaran ketiga (Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat, dan
lain-lain).Akibatnya, terjadi jurang yang tidak terjembatani antara ilmu-ilmu
keislaman klasik dan ilmuilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis
ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer.[26]
Berdasarkan pemaparan di
atas, konsep integrasi ilmu agama dan ilmu umum dapat diringkas dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 1.
Konsep Integrasi Ilmu agama
dan ilmu umum
NNo.
|
Tokoh
integrasi
|
Konsep
integrasi
|
11.
|
Ian Barbour
|
Kembangkan integrasi teologis
dengan istilah theology of nature, bahwa klaim eksistensi Tuhan dapat
disimpulkan oleh bukti tentang desain alam
|
2.2
|
John F. Haught
|
Agama
sebagai konfirmasi ilmu (agama sebagai pendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah)
|
33.
|
Naquib al-Attas dan
Ismail Raji al-Faruqi |
Islamisasi ilmu (dari
konteks ke teks) dalam konteks integrasi dapat dikatakan “integrasi
monistik”. Ia menegasi dualisme ilmu antara ilmu fard } ‘ayn dan
fard } kifâyah, ilmu aqlîyah dan ilmu naqlîyah sebagaimana
diugkapkan
|
44.
|
Kuntowijoyo
|
Pengilmuan Islam
(dari teks ke konteks), yaitu teks al-Qur’ân dan Hadîth dijadikan sebagai
paradigma bagi pengembangan ilmu. Ada dua metodologi yang dapat dipakai dalam
proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektivikasi
|
5.5
|
Amin
Abdullah
|
Jaring-jaring
laba-laba keilmuan teoantroposentris integralistik
|
4.
Kesimpulan
Dari pemaparan nilai-nilai Islam di
atas, terlihat betapa pentingnya nilai-nilai universal itu diintegasikan ke
dalam ilmu pengetahuan umum, karena nilai tersebut sangat menjaga kemaslahatan
manusia, alam dan lingkungan, atau dengan kata lain nilai-nilai tersebut akan
menjadi obor bagi manusia dalam mengembang tugas sebagai khalifah
dan menuntun manusia dalam menjalankan tujuan hidupnya sebagai ‘abdi.Oleh
karena itu para ilmuwan yang beragama Islam dituntut peran tanggungjawabnya
dalam mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam bidang ilmu pengetahuan
yang ditekuni masing-masing.Sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa para
ulama-lah yang notabenenya
yang mempunyai tugas untuk itu, karena mereka diberi tugas mengelola bidang
agama. Di samping itu sangat diharapkan bagi ilmuwan muslim agar selalu
bersifat sosial dan spiritual, dan menolak netralitas ilmu pengetahuan.
Di dalam batasan nilai-nilai itulah umat
Islam bebas mengekspresikan kemauan-kemuannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sejauh mekanisme yang telah digariskan oleh nilai-nilai tersebut.Dengan
mekanisme inilah, peradaban Islam senangtiasa berubah dan berkembang tetapi
tetap mempertahankan karakteristiknya yang unik dan abadi. Dengan demikian,
upaya mengintegasikan nilai-nilai Islam ke dalam ilmu pengetahuan, merupakan
salah satu upaya dari islamisasi pengetahuan yang dipahami sebagai upaya
membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan,
mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian
rasional-empirik atau semangat pengembangan pengembangan ilmiah yang merupakan
dari sikap istiqamah
terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an
dan hadis.
[2]Ahmad M. Saefuddin, et al,
Desekularisasi pemikiran: Landasan Islamsasi (Cet. IV; Bandung:
Mizan Anggota IKAPI, 1998), h. 46.
[3]Maurice Bucaille, The
Quran and Science, disunting oleh Khozin Afandi, Pengetahuan
Modern dalam al-Qur’an (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h.
45-46.
[4]Ziauddin Sardar, Jihad
Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter Ilmu pengetahuan Islam,
diterjemahkan oleh AE Priyono (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 120.
[5]Syed Sajjad Husain dan Syed Ali
As}raf, Crisis
Muslim Eduction, terj. Rahmani Astuti, Menyongsong
Keruntuhan Pendidikan Islam (Cet. V; Bandung: Gema Risalah Press,
1994), h. 79.
[6]Ziauddin Sardar, The
Future of Muslim Civilization, terj. Rahmani Astuti, Rekayasa
Masa Depan Peradaban Muslim (Cet. III; Bandung: Mizan, 1991), h.
280-281.
[7]Abubaker A. Bagader, Islamisasi
Ilmu Pengetahuan” dalam Islam
dan Perspektif Sosisologik (Cet. I; Surabaya: Amarpress, 1991),
h. 12-14.
[10]Abdurrahman Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Cet. IV; Yogyakarta: Gama Media, 2007), h. 144-153.
[11]Abdurahman Mas’ud, et.al,
Paradigma Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), h. 103.
[14]Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam: Pemikiran dan
Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nusrcholis Madjid, dan Jalaluddin
Rakhmat (Cet. I; Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1998), h. 187.
[15]Amin Abdullah, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif- Interkonektif (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h.106.
[16]Ian G. Barbour, Juru Bicara
Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002,
hal 82-83.
[18]Zainal Abidin Bagir,
“Bagaimana Mengintegrasikan Ilmu dan Agama?” dalam Jarot Wahyudi (ed.), Integrasi
Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Yogyakarta: MYIA-CRCS dan Suka
Press, 2005), 21.
[19]John F. Haught, Perjumpaan
Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, terj. Fransiskus Borgias (Bandung:
Mizan, 2004), 28.
[21]Arqom Kuswanjono, Integrasi
Ilmu dan Agama Perspektif Filsafat Mulla Sadra(Yogyakarta: Lima, 2010), 74.
[24]Kuntowijoyo, Islam
sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta:Tiara
Wacana, 2007), 49.
[26]M. Amin Abdullah,
“Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama:
dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah
Teoantroposentrik-Integralistik”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan
KembaliIlmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam dan
Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), 12-13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar